Tulisan ini pernah diterbitkan di Tribun Kaltim, edisi 29 Desember 2018.
***
Manasik Untuk Haji Berkualitas
Kamis (22/11) lalu Badan Pusat Statistik baru saja
merilis indikator strategis terkini terkait Indeks Kepuasan Jemaah Haji
Indonesia Tahun 1439 H/2018 M. Hasilnya sangat menggembirakan. Tahun ini Indeks
Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) sebesar 85,23, yang bermakna bahwa secara
umum layanan pemerintah kepada jemaah haji Indonesia telah memenuhi kriteria
“sangat memuaskan”. Sebuah prestasi yang patut diapresiasi.
Peningkatan kualitas pelayanan pemerintah terhadap jemaah
haji sejak tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan peningkatan yang sangat berarti.
Indeks Kepuasan naik dari 81,52 poin di tahun 2014, menjadi 82,67 poin di tahun
2015, 83,83 poin pada tahun 2016, kemudian meningkat kembali menjadi 84,85 poin
tahun 2017. Angka poin 75 sampai dengan kurang dari 85 dibaca sebagai ‘memuaskan’
(di atas standar). Sementara nilai 85 atau di atasnya dimaknai sebagai ‘sangat
memuaskan’.
Tidak berlebihan rupanya jika Indonesia mendapatkan
pujian dari Pihak Penyelenggara Haji dari Komite Arab Saudi dalam hal kinerja
penyelenggaraan haji Indonesia. Disebutkan bahwa, cara Indonesia mengelola
ibadah haji sangat sistematis dan rapi dibandingkan negara-negara lain.
Pelayanan haji Pemerintah Indonesia juga disebut-sebut mempermudah koordinasi
dan pengendalian pelaksanaan haji. Perihal ini, bahkan saat pelepasan jemaah
haji di rombongan yang saya ikuti, Kepala Kemenag Provinsi Kaltara dengan
berapi-api menyampaikan, “Indonesia itu terbaik dalam hal pelayanan jemaah haji
dibandingkan negara-negara lain.” Itu artinya tidak hanya tahun ini saja, gaung
pelayanan terbaik tersemat pada PPIH (Panitia Pelaksana Haji Indonesia).
Dengan jumlah jemaah paling banyak, terhitung 221.000 jemaah
haji di tahun 2018, tentu perlu koordinasi, kerja keras, dan upaya dalam hal
pelayanan. Sejak dari pemberangkatan, saya sudah dibuat kagum dengan kinerja
petugas. Pada tahun ini, Petugas
menjadi salah satu unsur pendukung perubahan Indeks Kepuasan Jemaah Haji. Tiga
penilaian dalam hal sisi petugas, yakni Pelayanan
Petugas Haji, Pelayanan Ibadah
dan Pelayanan Lainnya mengalami peningkatan
yang cukup signifikan. Pelayanan Petugas Haji misalnya, naik
dari 87,38 poin di tahun 2017 menjadi 87,69 poin di tahun 2018. Indeks Pelayanan Petugas Haji meningkat
terutama dari unsur kesiapan petugas dalam memberikan pelayanan, kepedulian
petugas, dan kemampuan pembimbing ibadah dalam membimbing haji. Sementara itu, Indeks Pelayanan Ibadah juga mengalami peningkatan, dari 86,45 poin
di tahun 2017 menjadi 87,12 poin di tahun 2018. Begitupun dengan Pelayanan Lainnya yang meningkat
menjadi 85,61 poin dari 84,46 poin di tahun 2017.
Tidak hanya dari unsur
Petugas, peningkatan Indeks Kepuasan Haji juga disumbang oleh
peningkatan kepuasan terhadap layanan Transportasi
(misalnya pada pelayanan bus Armina yang meningkat menjadi 81,09 poin dari
78,09 poin di tahun 2017), Akomodasi
(Indeks Pelayanan Hotel meningkat dari 85,70 poin menjadi 86,02 poin, begitupun
dengan Pelayanan Tenda Armina, naik menjadi 77,59 poin dari 75,55 poin), dan Pelayanan Katering (pelayanan katering
Armina mengalami peningkatan 2,93 poin sementara non Armina meningkat 1,6
poin).
Dalam hal lainnya, inovasi yang telah dilakukan
pemerintah seperti halnya rekam
biometrik jemaah haji Indonesia,
QR Code pada gelang jemaah haji, sistem akomodasi satu musim penuh di Madinah, penggunaan bumbu masak dan juru masak Indonesia, penambahan layanan katering, penandaan
khusus pada paspor dan koper,
penggunaan tas kabin, pengalihan porsi bagi jemaah yang wafat ke ahli waris, pencetakan visa oleh Kemenag, satu
konsultan ibadah di setiap sektor, dan pembentukan tim Pertolongan Pertama Pada
Jemaah Haji (P3HJ) membuktikan bahwa pemerintah sangat serius untuk selalu
meningkatkan pelayanan Jemaah haji Indonesia dari tahun ke tahun.
Namun sayang, tampaknya konsentrasi pemerintah dalam hal
pelayanan, masih berfokus pada pelayanan bersifat teknis dan belum secara
serius menyentuh esensi yang paling penting yakni pemaknaan ibadah. Hal ini
dibuktikan dengan angka hasil SKJHI 2018 oleh Badan Pusat Statistik yang
menyatakan bahwa hanya 42,01 persen jemaah Haji yang paham mengenai manasik
haji; 9,91 persen yang sangat paham; sisanya cukup paham dan kurang paham, dan
masih ada sekitar satu persen yang tidak paham.
Hal ini tentu menjadi catatan sendiri untuk PPIH, terutama
Kementrian Agama sebagai penanggung jawab pelaksanaan ibadah haji. Hal-hal
perkara ibadah yang mendasar, misalnya, tata cara penggunaan kain ihram pada jemaah
laki-laki yang memperlihatkan lengan sebelah kanan saat tawaf masih ada saja
yang terlanggar. Seusai dari Armina, saya masih menemukan jemaah haji yang
tidak sabar dalam antrian, marah-marah kepada petugas, dan hal perbuatan kurang
terpuji lainnya. Demikian pula saat wukuf di Arafah, masih banyak jemaah yang
menggunakan waktu tersebut untuk mengobrol, bersenda gurau, dan tidur. Salah
satu penyebabnya dilakukan karena tidak sengaja, namun sebagian besar dilakukan
karena memang tidak tahu kalau itu tidak boleh dilakukan, selebihnya karena
memang tidak paham sehingga ibadah haji yang dilakukan tidak membekas secara
mendalam dan belum mampu menjadi batu pijakan perubahan dari dalam diri.
Ibadah haji pada dasarnya adalah ibadah agung yang merupakan
puncak ibadah wajib bagi setiap muslim. Penghayatan, pemaknaan, dan perenungan
intisari daripada ibadah ini menjadi penting untuk membentuk dan menghasilkan hajjan mabruran. Tidak sekadar menjadi
ibadah ritual dan berlelah-lelah belaka, namun juga harapan menjadi manusia
yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan modal jumlah jemaah yang sangat banyak
dan muslim yang mayoritas ini, pemerintah sudah seharusnya sangat serius
menggarap persiapan haji dari sisi manasik untuk mewujudkan negara yang baik -baldatun tayyibatun- .
Memberikan pemahaman yang baik dan utuh tentang makna
mendalam dari sisi spiritual mengenai ibadah haji, mempersiapkan manasik secara
serius –tidak hanya tentang ritualnya-, tidak cukup hanya dengan satu dua kali
manasik wajib saja. Semestinya, persiapan dilakukan lebih intensif, dengan
pertemuan yang lebih banyak dan waktu yang lebih panjang. Pelayanan jemaah haji
sudah baik dari sisi pelaksanaan dan fasilitas menunjukkan sudah saatnya
pemerintah berfokus pada hal yang lebih esensi, memikirkan peningkatan kualitas
manusia sepulangnya dari berhaji, sehingga tidak ada lagi kita mengenal
haji-haji korupsi, haji tapi maksiat, haji tapi tak membawa berkat, baik untuk
dirinya, maupun bangsa dan negara.
Bukankah kita semua mengharapkan hajjan mabruran, untuk keberkahan dan kebaikan negeri ini? Ratusan
ribu jemaah haji Indonesia setiap tahunnya, sudah berapa banyak kontribusinya
dalam pembangunan negara (?).