Karya

-317- Manasik Untuk Haji Berkualitas

Monday, December 31, 2018



Tulisan ini pernah diterbitkan di Tribun Kaltim, edisi 29 Desember 2018.

***

Manasik Untuk Haji Berkualitas

Kamis (22/11) lalu Badan Pusat Statistik baru saja merilis indikator strategis terkini terkait Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia Tahun 1439 H/2018 M. Hasilnya sangat menggembirakan. Tahun ini Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) sebesar 85,23, yang bermakna bahwa secara umum layanan pemerintah kepada jemaah haji Indonesia telah memenuhi kriteria “sangat memuaskan”. Sebuah prestasi yang patut diapresiasi.

Peningkatan kualitas pelayanan pemerintah terhadap jemaah haji sejak tahun 2014 hingga 2018 menunjukkan peningkatan yang sangat berarti. Indeks Kepuasan naik dari 81,52 poin di tahun 2014, menjadi 82,67 poin di tahun 2015, 83,83 poin pada tahun 2016, kemudian meningkat kembali menjadi 84,85 poin tahun 2017. Angka poin 75 sampai dengan kurang dari 85 dibaca sebagai ‘memuaskan’ (di atas standar). Sementara nilai 85 atau di atasnya dimaknai sebagai ‘sangat memuaskan’.

Tidak berlebihan rupanya jika Indonesia mendapatkan pujian dari Pihak Penyelenggara Haji dari Komite Arab Saudi dalam hal kinerja penyelenggaraan haji Indonesia. Disebutkan bahwa, cara Indonesia mengelola ibadah haji sangat sistematis dan rapi dibandingkan negara-negara lain. Pelayanan haji Pemerintah Indonesia juga disebut-sebut mempermudah koordinasi dan pengendalian pelaksanaan haji. Perihal ini, bahkan saat pelepasan jemaah haji di rombongan yang saya ikuti, Kepala Kemenag Provinsi Kaltara dengan berapi-api menyampaikan, “Indonesia itu terbaik dalam hal pelayanan jemaah haji dibandingkan negara-negara lain.” Itu artinya tidak hanya tahun ini saja, gaung pelayanan terbaik tersemat pada PPIH (Panitia Pelaksana Haji Indonesia).

Dengan jumlah jemaah paling banyak, terhitung 221.000 jemaah haji di tahun 2018, tentu perlu koordinasi, kerja keras, dan upaya dalam hal pelayanan. Sejak dari pemberangkatan, saya sudah dibuat kagum dengan kinerja petugas. Pada tahun ini, Petugas menjadi salah satu unsur pendukung perubahan Indeks Kepuasan Jemaah Haji. Tiga penilaian dalam hal sisi petugas, yakni Pelayanan Petugas Haji, Pelayanan Ibadah dan Pelayanan Lainnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan.  Pelayanan Petugas Haji misalnya, naik dari 87,38 poin di tahun 2017 menjadi 87,69 poin di tahun 2018. Indeks Pelayanan Petugas Haji meningkat terutama dari unsur kesiapan petugas dalam memberikan pelayanan, kepedulian petugas, dan kemampuan pembimbing ibadah dalam membimbing haji.  Sementara itu, Indeks Pelayanan Ibadah juga mengalami peningkatan, dari 86,45 poin di tahun 2017 menjadi 87,12 poin di tahun 2018. Begitupun dengan Pelayanan Lainnya yang meningkat menjadi 85,61 poin dari 84,46 poin di tahun 2017.

Tidak hanya dari unsur  Petugas, peningkatan Indeks Kepuasan Haji juga disumbang oleh peningkatan kepuasan terhadap layanan Transportasi (misalnya pada pelayanan bus Armina yang meningkat menjadi 81,09 poin dari 78,09 poin di tahun 2017), Akomodasi (Indeks Pelayanan Hotel meningkat dari 85,70 poin menjadi 86,02 poin, begitupun dengan Pelayanan Tenda Armina, naik menjadi 77,59 poin dari 75,55 poin), dan Pelayanan Katering (pelayanan katering Armina mengalami peningkatan 2,93 poin sementara non Armina meningkat 1,6 poin).

Dalam hal lainnya, inovasi yang telah dilakukan pemerintah seperti halnya rekam biometrik jemaah haji Indonesia, QR Code pada gelang jemaah haji, sistem akomodasi satu musim penuh di Madinah, penggunaan bumbu masak dan juru masak Indonesia, penambahan layanan katering, penandaan khusus pada paspor dan koper, penggunaan tas kabin, pengalihan porsi bagi jemaah yang wafat ke ahli waris, pencetakan visa oleh Kemenag, satu konsultan ibadah di setiap sektor, dan pembentukan tim Pertolongan Pertama Pada Jemaah Haji (P3HJ) membuktikan bahwa pemerintah sangat serius untuk selalu meningkatkan pelayanan Jemaah haji Indonesia dari tahun ke tahun.

Namun sayang, tampaknya konsentrasi pemerintah dalam hal pelayanan, masih berfokus pada pelayanan bersifat teknis dan belum secara serius menyentuh esensi yang paling penting yakni pemaknaan ibadah. Hal ini dibuktikan dengan angka hasil SKJHI 2018 oleh Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa hanya 42,01 persen jemaah Haji yang paham mengenai manasik haji; 9,91 persen yang sangat paham; sisanya cukup paham dan kurang paham, dan masih ada sekitar satu persen yang tidak paham.

Hal ini tentu menjadi catatan sendiri untuk PPIH, terutama Kementrian Agama sebagai penanggung jawab pelaksanaan ibadah haji. Hal-hal perkara ibadah yang mendasar, misalnya, tata cara penggunaan kain ihram pada jemaah laki-laki yang memperlihatkan lengan sebelah kanan saat tawaf masih ada saja yang terlanggar. Seusai dari Armina, saya masih menemukan jemaah haji yang tidak sabar dalam antrian, marah-marah kepada petugas, dan hal perbuatan kurang terpuji lainnya. Demikian pula saat wukuf di Arafah, masih banyak jemaah yang menggunakan waktu tersebut untuk mengobrol, bersenda gurau, dan tidur. Salah satu penyebabnya dilakukan karena tidak sengaja, namun sebagian besar dilakukan karena memang tidak tahu kalau itu tidak boleh dilakukan, selebihnya karena memang tidak paham sehingga ibadah haji yang dilakukan tidak membekas secara mendalam dan belum mampu menjadi batu pijakan perubahan dari dalam diri.

Ibadah haji pada dasarnya adalah ibadah agung yang merupakan puncak ibadah wajib bagi setiap muslim. Penghayatan, pemaknaan, dan perenungan intisari daripada ibadah ini menjadi penting untuk membentuk dan menghasilkan hajjan mabruran. Tidak sekadar menjadi ibadah ritual dan berlelah-lelah belaka, namun juga harapan menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan modal jumlah jemaah yang sangat banyak dan muslim yang mayoritas ini, pemerintah sudah seharusnya sangat serius menggarap persiapan haji dari sisi manasik untuk mewujudkan negara yang baik -baldatun tayyibatun-

Memberikan pemahaman yang baik dan utuh tentang makna mendalam dari sisi spiritual mengenai ibadah haji, mempersiapkan manasik secara serius –tidak hanya tentang ritualnya-, tidak cukup hanya dengan satu dua kali manasik wajib saja. Semestinya, persiapan dilakukan lebih intensif, dengan pertemuan yang lebih banyak dan waktu yang lebih panjang. Pelayanan jemaah haji sudah baik dari sisi pelaksanaan dan fasilitas menunjukkan sudah saatnya pemerintah berfokus pada hal yang lebih esensi, memikirkan peningkatan kualitas manusia sepulangnya dari berhaji, sehingga tidak ada lagi kita mengenal haji-haji korupsi, haji tapi maksiat, haji tapi tak membawa berkat, baik untuk dirinya, maupun bangsa dan negara.


Bukankah kita semua mengharapkan hajjan mabruran, untuk keberkahan dan kebaikan negeri ini? Ratusan ribu jemaah haji Indonesia setiap tahunnya, sudah berapa banyak kontribusinya dalam pembangunan negara (?). 





You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar