Haji 2018

-315- Perempuan Setegar Hajar, Sebuah Perjuangan

Saturday, December 22, 2018



Bismillahirrahmanirrahim. 

"Sakit Bu?"

"Enggak"

"Ibu kayaknya sekarang sudah kebal ya, sudah gak ngerasain sakit lagi. Saking sudah seringnya ya Bu."

Kalimat pernyataan terakhir yang disampaikan kepada saya pagi itu, menggetarkan hati saya.

"Ibu harus memperbanyak doa, hanya Allah yang punya kuasa atas hasilnya," melebihi getaran perasaan saat saya menerima pesan ini sebelumnya

Tangisan saya pun tumpah seusainya.

Saya selalu ingat pesan Bapak, "perasaan jangan ditahan. Kalau kamu sedih, sedih saja, kalau ingin menangis, menangis saja, kalau kamu suka, ungkapkan, tidak ada hal yang tabu untuk urusan perasaan."

Bapak dulu bahkan berkata, "beritahu Bapak siapa laki-laki yang kamu suka, Bapak akan datang kepadanya, melamarkannya untukmu.". 😃 Sampai selevel itu Bapak mengajarkan saya tentang perasaan. 😊

Dan saya tidak bisa menahan perasaan saya di detik itu. Saya tidak tahu kalau pada akhirnya saya bisa sekuat ini, saya tidak percaya bahkan di mata orang lain, saya nampak sedemikian tenang dan kebal. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya pada akhirnya, akan sampai pada titik di mana rasa sakit itu hanyalah pilihan. Setiap orang punya rasa sakit yang berbeda-beda, dan ini milik saya, Allah yang beri, Allah yang kasih, saya hanya memilih untuk menerimanya, menjalaninya, mengamininya.

Tapi apa mau dikata, dua hari setelahnya, perasaan saya belum juga membaik. Saya semakin sering menangis, pernyataan bahwa saya terlihat baik-baik saja, membuka luka lama, tentang bagaimana saya menjalani prosesnya, karena sebenarnya saya tidak baik-baik saja sebelum ini.

Setahun terakhir, saya bahkan tidak melakukan apa-apa. Kekhawatiran saya memuncak, saya trauma, saya lelah, saya merasa tidak kuat lagi untuk sebuah ikhtiar, saya takut untuk mencoba lagi. Saya tidak lagi punya keberanian untuk menghadapi hal yang tanda tanya.

Saya juga merasa di dalam puncak lelah luar biasa, dengan lingkungan di lingkaran saya yang sedemikian tidak sehat, banyak aura kebencian di sana, kecurangan, dan hal-hal yang membuat saya merasa sudah tidak sanggup lagi menanggungnya. 

Sampai Allah kemudian memberikan hadiah terbesar yang demikian saya inginkan, merangkak dan meratap di Baitullah, Dua kesempatan dalam tahun yang sama, ya Allah sungguh maha besar Allah. Hadiah yang sampai-sampai saya meminta seperti permintaan terakhir saja, ya Rabb panjangkan usia saya hingga menyelesaikan haji. Ya Rabb izinkan saya menyempurnakan ibadah yang kelima.

Boleh baca: Perjalanan Haji, Sebuah Mimpi

Tempat Sai. 
Banyak hikmah yang saya dapatkan di dalam perjalanan haji ini. Selain di depan kakbah, di tempat sai, saya tersedu dan hampir selalu tidak bisa menahan air mata.

Ya Rabbi, saya tiada ada apa-apanya, dibandingkan sesosok perempuan bernama Hajar. Ya Rabb, saya takut untuk mencoba lagi, saya tidak punya ketegaran dan keberanian seperti Hajar yang berulang kali berlari di antara Safa dan Marwah.

"Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." (Al Baqarah : 158)

Sai adalah tempat yang sangat membekas untuk saya. Seakan Allah dengan sengaja mengabulkan doa permohonan saya, memperlihatkan untuk saya, secara nyata,
"Lihat Hajar, di tempat bebatuan seterjal ini, tidak ada pepohonan, tidak ada tanda-tanda kehidupan, panas, gersang, tidak ada peluang sedikitpun -jika didasarkan pada logika manusia-, ia tetap berusaha, berupaya, dia tidak diam saja, terus berlari antara Safa dan Marwah."

Saya seperti perempuan yang baru di putaran kedua, sudah tidak sanggup lagi untuk berupaya. Saya trauma, karena di ujung perjalanan saya berusaha, saya tidak menemukan apa-apa. Saya takut kembali mencoba, karena saya tahu, barangkali hasilnya nanti hanyalah fatamorgana. 

Tangisan saya selalu tak dapat terbendung di tempat Sai, saya sampaikan pada Allah, tentang bagaimana perasaan saya, saya merasa takut untuk kembali berlari, saya takut akan kegagalan, saya takut bahwa pada akhirnya nanti Allah memberikan takdir lain yang belum sanggup saya jalani dan terima.

Tetapi di setiap tapak kaki saya menyentuh lantai Sai, Allah seakan memberi pengajaran, agar saya meresapi bagaimana seorang perempuan tegar, Hajar berupaya.

Mungkin jika, Hajar menyerah, di putaran ketiga atau kelima, kisahnya akan jadi berbeda, barangkali tidak akan ada Zam-zam di akhir cerita.

Lihat bagaimana Hajar, meski tak ada peluang keberhasilan, ia tidak diam saja, tidak menyerah, tidak duduk diam, tidak meraung atau bahkan marah kepada Tuhan. Dan lihat, betapa besar kekuasaan Allah, bahwa hasil indah Allah berikan dari tempat yang tiada akan disangka oleh manusia, Zam-zam kemudian dihadirkan dalam puncak kepasrahan dan ketawakkalan seorang hamba.

Allah seakan hendak memperlihatkan pada saya, jangan khawatirkan bagaimana akhirnya, itu urusanKu. Keajaiban itu dapat datang dari arah yang tiada pernah manusia sangka dan pikirkan, Allah yang punya Kun Fayakun. Tugas hamba adalah percaya, percaya, percaya, percaya pada kuasa-Nya.

Di tempat Sai, saya meminta kepada Alah hati yang ikhlas, hati yang lapang, hati yang memaafkan, hati yang tegar. Setegar Hajar, perempuan yang demikian saya kagumi kadar keikhlasannya, ketegarannya, kesabarannya, kegigihannya, kepercayaannya kepada Allah. Ia perempuan yang sangat layak diganjar dengan keberkahan Zam-zam, kesalehan Ismail, dan ibadah ritual haji, agar manusia setelahnya, selalu mampu mengambil pelajaran dan hikmah daripada kehidupannya.

Empat puluh hari dalam perjalanan tanah suci, lima belas hari diantaranya saya jalani dengan kondisi fisik yang lemah, saya sakit. Saya tahu sebab sakitnya, ialah pergulatan batin saya untuk belajar ikhlas, belajar menerima, belajar menjalani, belajar bahwa saya hamba. Tugas hamba adalah ikhtiar, ranah hamba adalah berdoa, sementara hasil, hanya Allah penggenggamnya.  If There is Doa, There is a Way

Saya mendapat banyak pengajaran sepulang dari ibadah haji. Saya menjadi semakin sadar bahwa dunia ini bukan kepemilikan, badan saya, hati saya, hidup saya, mati saya, ini semua harus bersandarkan lillahi taala. Saya merasa lapang dan setelah menuliskan ini semua, hati saya juga menjadi tenang.

Mungkin ada benarnya, saya sudah sampai pada keadaan di mana semua terasa biasa saja, karena sudah sering dialami. Allah memberi kita ujian yang sama, berulang, untuk menjadikan kita kuat. Allah sengaja memperpanjang waktu, karena ingin melihat seberapa gigih kita berusaha. Allah bisa saja segera menolong Hajar di putaran yang pertama, tapi keikhlasan, kegigihan, kepasrahan, tawakkal tidak akan tercipta di sana, Allah berbuat demikian karena Allah sayang.

Jika menengok setahun, atau bahkan sembilan tahun belakangan, saya menjadi banyak berpikir ulang, saya merasa bersyukur, banyak sekali Allah limpahkan saya keberkahan, rizki, nikmat dan karunia. Meski terasa sakit dalam prosesnya, saya kemudian menyadari bahwa memang seperti ini hal yang harus saya jalani. Allah memilih saya, karena Ia tahu saya sanggup menjalaninya.

Saya ingin menjadi manusia yang bermakna.

Barangkali itulah satu-satunya resolusi yang ingin saya wujudkan, jika saya ditanya.

Sepulang dari haji, semua cita-cita rasanya terasa kecil di mata saya. Bukan dalam artian "kerdil". Tapi seperti saya sudah merasa cukup dengan semuanya. Saya merasa apa yang saya inginkan, impian, harapan, cita-cita sudah Allah genapkan. Haji adalah impian terbesar dalam hidup.

Seakan saya ingin berucap, "mimpi-mimpi saya yang lain tiada apa-apanya, sederhana saja, setelah impian terbesar ini Engkau penuhi, saya sudah tidak berambisi lagi dengan segala macam perhiasan dunia. Insyaallah saya sudah ikhlas, dengan semuanya."

Saya ingin menjadi manusia yang bermakna, di mata Allah, dan sesama. Saya ingin sisa usia yang Allah berikan kepada saya tidak berakhir sia-sia. Saya ingin menjadi hamba yang diridaiNya, hamba yang punya kebermanfaatan untuk manusia lainnya. 
Saya ingin menjadi sesosok perempuan, setegar Hajar, yang mendapatkan karunia besar berupa keturunan yang salih dan abadi kisahnya, menjadi pengajaran untuk manusia-manusia setelahnya. 

Saya ingin menjadi ibu, dari anak sesalih Ismail.

Saya ingin menjadi manusia yang bermakna. Itu saja, sesederhana itu. ~~ 😊



Pekan ini, saya dan Teh Novi, ingin berkisah tentang pengalaman mendalam apa yang didapatkan dari perjalanan haji ini, dan apa yang ingin dicapai setelahnya. 😊.

Bagaimana kisah Teh Novi? simak yuks, :).

Cerita Teh Novi







You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar