Sumber gambar: http://www.soniazone.wordpress.com/ |
Bismillahirrohmanirrohim.
Bersosialisasi merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai makhluk sosial. Apalagi, ketika kita hidup bertetangga. Tetangga-tetangga kami, rata-rata pegawai. Bertemu pagi saat hendak berangkat ke kantor, bertemu sebentar siang saat makan siang, bertemu sore sepulang dari kantor. Butuh waktu beberapa hari untuk sekedar saling sapa, maklum, di pagi hari, masing-masing bergegas berangkat ke kantor, sore hari, masing-masing sudah sama-sama lelah. Hari libur, biasanya setiap keluarga memiliki acara sendiri-sendiri. Lagipula, kebanyakan tetangga adalah pendatang dari kabupaten lain, di hari libur, biasanya mereka pulang ke rumahnya untuk berkumpul bersama keluarga.
Tetapi, dalam beberapa kesempatan, kamipun sempat berkenalan dan berbincang. Sebut saja ada Mbak Wati, Mbak Erna dan Mbak Santi. Kami semua, berstatus PNS dan sama-sama berstatus kontaktor (pengontrak rumah).
Ibu Wati sepanjang pengamatan saya, adalah ibu dengan satu orang anak berumur lima tahun. Setiap akhir pekan saya tidak pernah melihatnya berada di rumah.
Bismillahirrohmanirrohim,
Setelah saya menerima satu buah paket buku dari Mbak Nimas dan menamatkannya dalam sekali duduk, hal pertama yang saya tanyakan padanya adalah:
"Penulisan buku ini sudah lama ya?"
"2011 Dek..."
Saya merasa perlu bertanya tentang itu padanya, sebab menurut saya akhir-akhir ini kualitas tulisan Mbak Nimas sepanjang saya mengikutinya, telah melesat menjadi jauh lebih baik. Tetapi, mengingat latar belakang kejadian yang mendasari penulisan buku ini di tahun 2011 itu, meyakinkan saya bahwa untuk menghasilkan sebuah karya yang baik adalah dengan 'menderita'. Itu juga yang dikatakan Pak Dahlan saat meluncurkan sekuel novel 'Surat Dahlan', Minggu, 10 Februari lalu.
"Khrisna bisa menulis novel hebat karena dia tidak punya uang. Ketika novel pertama laris dan ada kemungkinan dia akan punya banyak uang, saya meminta kepada penerbit jangan beri honor dulu. Supaya dia menderita dan bisa membuat buku bagus lagi", ujar Pak Dahlan tentang Khrisna, sang penulis Novelnya.Begitulah, perlu menderita. Mudahnya, untuk menghasilkan sesuatu yang cetar membahana badai, kita memang perlu 'menderita'. Dan buku ini, adalah salah satu karya Mbak Nimas yang terpampang nyata hasil dari menderita itu. :)
Setelah
menikah, saya dan suami ditugaskan di BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten
Bulungan, Kalimantan Timur. Hal pertama yang cukup mengganggu adalah mencari
tempat hunian. Maklum, kala itu honor kami selama lima bulan belum dibayarkan.
Maka, dengan berbekal uang pinjaman, kami bersepakat mencari hunian sementara
dengan harga paling terjangkau. Setelah satu minggu berkeliling, pilihan kami
jatuh pada sebuah rumah couple panggung
terbuat dari kayu di pinggiran sungai Kayan. Meski terletak di dalam sebuah
gang sempit padat hunian, saya merasa senang bisa melihat hamparan indah sungai
Kayan setiap saat sampai puas, tempat ini juga pas untuk memenuhi hasrat hobi
Kak (suami saya) yang gemar memancing.
Sebagai orang baru, bersilaturrohim dengan tetangga
adalah hal wajib nomor satu yang harus kami lakukan. Tetangga sebelah saya yang
masih satu bangunan, adalah anak pemilik kontrakan. Sama seperti kami, mereka
adalah pasangan muda yang baru memiliki satu anak. Di depan rumah kami, adalah
tempat hunian sekaligus salon rias pengantin, di sebelah kanannya lagi saya
biasa menyebutnya ‘Ibu Dangdut’. Ibu Dangdut berasal dari Sulawesi ini suka
sekali memutar musik dangdut keras-keras, tidak peduli pagi-siang-sore-malam.
Sampai bludrek rasanya telinga. Apalagi, saat maghrib tiba. Saat adzan
berkumandang, eh, Ibu Dangdut malah asyik
berkarauke ria. Dan dibelakang
kami, seorang nenek tinggal bersama anak dan cucunya. Sang nenek adalah buruh
pencuci pakaian, anak laki-lakinya seorang pengangguran, sedang satu dari tiga
cucunya masih bersekolah.
Rumah Bayang-bayang, Sungai Sesayap |
*** Sungai Terpanjang
Sungai
Sesayap yang membelah Tideng Pale sebagai ibukota Kabupaten Tana Tidung,
termasuk juga dalam kelompok sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur
yang melintasi dua wilayah (kabupaten Malinau dan Tana Tidung).
Bismillahirrohmanirrohim.
What
a wonderful day!. Cuaca cerah, matahari naik sepenggalah.
After break off writing, I decided to
take my pocket camera and walked around the city. Menunggu pekerjaan selesai,
kemudian menulis, seperti menunggu waktu yang tepat untuk menggenggam angin.
Tak sampai-sampai, dan hanya ada dalam panjangnya angan-angan. Pekerjaan selalu
ada dan bertambah tiap waktu, ketika anda ingin mengerjakan ‘ini’ jika ‘itu’
selesai, itu hanya akan menambah daftar panjangnya penguluran waktu. Believe me, if you want to receive great
thing, you don’t need to wait too much in your spare time to begin it.
Waktu senggang atau
waktu kosong hanya akan membuat anda mengulur-ngulur kesempatan dan bersantai
dalam penundaan. Percayalah, jika kita memang membutuhkan kesibukan untuk
menyelesaikan semua pekerjaan dan mimpi. Tentu, kita pun sama-sama tahu, bahwa
para penulis buku-buku best seller
itu, bukanlah orang-orang yang memiliki banyak waktu bersantai. Mereka sibuk. Para CEO di
perusahaan-perusahaan terkemuka yang memiliki milyaran
pundi-pundi, juga bukanlah orang-orang yang memiliki banyak waktu
bersenang-senang, bahkan hanya untuk sekedar menikmati secangkir kopi di atas
balkon rumah. Mereka terburu-buru, mereka
sibuk. Para ilmuwan dan alim ulama’, yang seringkali kita jadikan objek
‘iri’ karena ketinggian ilmu dan keunggulan pekertinya, mereka juga sama.
Mereka sibuk. They are busy, we are busy
too.
Gemericik air menari di depan mataku. Kulihat semburat jingga hendak keluar menyembul, turut menyaksikan sebuah pertunjukan yang dihidupkan hujan siang ini. Jam menunjukkan pukul 11 lewat 35 menit. Persis sama dengan waktu ketika pertama kali kami sampai di Jakarta, dan berhujan-hujan ria menuju gerobak mie ayam di depan BRI. Hampir sama persis dengan waktu, ketika untuk pertama kalinya kami dapat bercengkerama dengan mesra di bawah putaran angin. “Aku suka sekali dengan hujan”, ucapku waktu itu. Dan benar saja, sesaat kemudian hujan menjadi sedemikian deras dan angin berputar dengan kencang.
Hujan kali ini juga
mengisyaratkan sesuatu,
Tentang rahasia alam yang mampu
mengubah lahar menjadi embun,
Tentang ‘kata kunci’ yang dapat merubah batu menjadi pasir,
Tentang aku, dia dan apa yang
telah terjadi antara kami,
Tentang setitik rasa yang mulai
bermitosis menjadi cinta,
“Jadi, mau berkelana?”
“Ya, asalkan …”, jawabku dengan tegas.
“Kamu ini wanita atau bukan sih?”, ia langsung menghentikan gerak lincah garpu, dan mendaratkannya dengan bebas, di atas kumpulan mie ayam yang tinggal separuh, sambil sedikit tertawa, renyah.
“Memangnya aku terlihat seperti kakek-kakek?”, aku merajuk.
“Setidaknya berpura-puralah malu. Seharusnya wanita seperti itu. Kamu ini lucu. Hmm… baiklah. Asalkan apa?”