Credit: Pinterest |
Dua dekade terakhir, zaman berubah begitu cepat. Kini manusia tidak lagi hanya bersosialisasi dengan menanti hadirnya tatap muka. Perkembangan teknologi menyuguhkan pelbagai kemudahan dan mengikis segala benteng sekat ruang dan waktu. Manusia bertemu, bersosialisasi, berhaha-hihi dalam hitungan detik, melintasi batas benua, melampaui perbedaan waktu. Manusia hidup di era dunia maya, dunia virtual yang tak tampak, tapi terasa dekat. Dunia ini mendekatkan yang jauh, memudahkan yang sulit dan menyatukan yang terpisah. Dunia ini memungkinkan beragam informasi dengan mudah kita terima, tanpa filter, to the point, -dan mungkin saja- binal. Inilah era dunia digital, dunia dalam genggaman. Dunia di ujung jari.
Dunia yang sejatinya memberikan kemudahan akses sekaligus ironi dua sisi. Di satu sisi, kita, sebagai seorang muslimah mendapatkan beragam manfaat. Di sisi lain, menawarkan candu sampai kepada kelalaian dan justru menjauhkan yang semestinya dekat.
Di era smartphone, acapkali kita menyaksikan pemandangan di mana orang-orang berkumpul tetapi masing-masing sibuk dengan gawainya. Social media juga menyeret kita, muslimah untuk begitu bergantung, sehingga hidup sepertinya tidak nyaman tanpa membuka akun dan membuat status. Dalam satu hari, rata-rata, minimal 10 menit sekali kita membuka smartphone untuk melihat perkembangan berita di social media. Tawaran beranda begitu memikat hati, lalu kita menjadi sibuk dengan mengurusi urusan orang lain, membaca berita viral, ikut membaca komentar, membalas, stalking akun, dan kegiatan lainnya yang cukup menguras tenaga dan pikiran. Bangun tidur ingat gawai, mau makan ingat gawai, berpisah sebentar dengan HP rasanya sudah tidak tahan.
Dunia hari ini adalah dunia yang
berbeda, dibanding ratusan tahun lalu. Kita menjadi semakin disibukkan dengan
urusan dunia maya. Tidak peduli bagaimana keadaan kita yang sebenarnya, dunia
virtual menampilkan kita sebagai sosok yang berbeda. Di era ini, tentu bentuk
jihad seorang muslimah tidak lagi sama seperti masa di zaman Rasulullah dan
sahabat.
Jika dahulu kita mengenal sosok Khaulah binti Azur. Seorang muslimah yang kuat bertubuh tinggi langsing tegap. Yang dalam peperangan muncul sebagai penunggang kuda berbaju hitam, dengan semangat jihadnya mengibaskan pedang dan menumbangkan musuh. Maka di era digital kita juga membutuhkan sosok muslimah sekuat Khaulah dalam pemikiran, dalam kemampuan menulis dan mengolah kata, untuk melawan kebatilan informasi yang kini terbungkus cantik dalam kemasan bermacam-macam warna di etalase social media dan internet, tetapi sebenarnya justru sesat dan jauh dari kebenaran.
Jika dahulu kita mengenal Rufaidah binti Sa’ad, tokoh pelopor pertama dunia keperawatan Islam. Sosok yang dikenal sebagai sukarelawan yang merawat sahabat yang terluka dalam peperangan Perang Badr, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Khaibar dan lainnya. Maka di era digital ini, kita butuh sosok-sosok muslimah yang peduli pada isu-isu kemanusiaan. Yang tidak hanya disibukkan dengan mengurusi hasrat ‘kepo’ atas kehidupan ranah pribadi orang lain. Tetapi sosok muslimah yang peduli dan sigap mengurusi urusan umat dengan menggunakan sebaik-baik pemanfaatan kecepatan dunia maya.
Jika dahulu kita mengenal Shafiyyah binti Abdul Muthalib, ibu yang sangat peduli pada pendidikan anaknya. Jihadnya menjadikan puteranya, Zubair bin Awwam menjadi salah seorang pahlawan islam yang termasuk dalam daftar 10 orang sahabat yang dijanjikan surga. Di mana dikisahkan bahwa Shafiyyah hidup dan dibesarkan dalam lingkungan terpilih. Shafiyyah menguasai sastra, fasih berbahasa, sangat terpelajar, piawai menunggang kuda dan berani bak ksatria. Maka di era digital ini, kita membutuhkan muslimah yang cakap dan bijak menggunakan fasilitas di era media digital. Dijadikannya dunia digital dan aksesnya sebagai ladang untuk menuntut sebanyak-banyaknya ilmu. Ditinggalkannya hal-hal yang tidak perlu, percakapan-percakapan yang tidak bermutu, berita hoaks yang tidak membangun, untuk kemudian disibukkan dengan mengambil saripati kebaikan dari dunia internet. Muslimah-muslimah ini yang kelak akan menjadi seorang ibu. Maka ia juga akan menjadi sosok muslimah cerdas, terpelajar dalam mendidik anak di era digital.
Jihad muslimah di era digital berbeda
wujudnya dengan jihad muslimah di zaman lampau, tetapi mengusung semangat dan
nilai yang sama. Mari menjadi muslimah yang cerdas menggunakan smartphone dan
menjadikan media digital sebagai sarana dakwah untuk saling mengingatkan dalam
kebaikan, dan saling mengingatkan dalam kebenaran. *
______________