*KEBAHAGIAAN*
Tribun Kaltim, edisi 28 Desember 2017.
Bismillahirrahmanirrahim.
Saya menulis ini karena saya baru tahu kalau sebagian besar efek narkoba adalah membuat penggunanya merasa nyaman dan bahagia.
Ini hampir sama dengan apa yang saya rasakan saat selesai menulis. Saya merasa bahagia, saya merasa punya dunia sendiri. Saya merasa semua beban, penat, lelah, marah, jengah sirna saat menulis. Perasaan sesak, mungkin juga muak lenyap seketika.
Dalam istilah psikologi, ini dinamakan kondisi FLOW. Suatu keadaan di mana seseorang seolah melupakan waktu dan tempat karena ia begitu fokus dan antusias mengerjakan sesuatu.
FLOW ini memungkinkan seseorang mendapatkan efek kebahagiaan di level ekstasi, sangat tinggi.
Saya mencintai dunia menulis dan sangat antusias. Karena itu, kegiatan menulis yang saya lakukan berpengaruh terhadap sistem di otak lalu memicu hormon dopamine (hormon pembuat bahagia). Hormon ini akan mengalir ke dalam seluruh aliran darah. Kemudian ini yang membuat saya bahagia.
Begini, ringkasnya cara alamiah secara ilmiah untuk memicu perasaan bahagia.
Selain hal tersebut, perasaan bahagia dapat dipicu oleh zat kimiawi lainnya, baik ekstraksi maupun buatan.
Pada pengguna penyalahgunaan obat-obatan, zat di dalam barang haram tersebut yang bekerja untuk menyabotase dopamine, sehingga narkobalah yang langsung bekerja membuat efek fly, nyaman, tenang, bahagia.
Karena sering digunakan, hingga dosis tinggi, otak akan mengingat pemicu ini untuk datang kembali, sementara dopamine lama kelamaan menjadi hilang fungsi.
Ini seperti halnya pemicu alamiah semisal, saya suka menulis. Dengan menulis, saya bahagia. Otak merekam memori itu, kemudian mengingatnya, sehingga ini membuat saya terpanggil untuk menulis lagi, menulis lagi. Ini efek 'ketagihan' menulis.
Sama halnya, dengan pemicu obat. Sekali menggunakan, berpeluang untuk ketagihan. Parahnya, penggunaan berulang akan mematikan fungsi hormon dopamine.
Sehingga mau tidak mau, ketergantungan pengguna menjadi sangat tinggi berikut efek kesehatan dan mental pada jangka panjang.
Sehingga mau tidak mau, ketergantungan pengguna menjadi sangat tinggi berikut efek kesehatan dan mental pada jangka panjang.
Saya menulis ini, karena saya menyadari bahwa, pada dasarnya kita semua, manusia, senantiasa mencari kebahagiaan.
Ketenangan, kenyamanan, perasaan damai.
Karena itu, pencapaian keberhasilan pembangunan suatu bangsa saat ini tidak lagi hanya diukur dari ekonomi dan pembangunan manusia saja.
Tetapi juga melihat bagaimana sisi perasaan manusia terhadap apa yang telah dia rasakan yang terangkum dalam pengukuran Indeks kebahagiaan. *
~~~
Maaph, nampaknya prolog kepanjangan 😅.
FYI, cuap-cuap saya di atas ini bukan isi/paragraf dari artikel yang saya tulis. 🙏.
Eng, anuu, itu baru latar belakang.. muahaaha 😆.
Ya maaph, namanya juga lagi FLOW. 😄
Semoga berkenan.
#MenulisAsyikBPS
#MenulisAsyikDanBahagia
#BadanPusatStatistik
#GerakanCintaData
-----
#MenulisAsyikDanBahagia
#BadanPusatStatistik
#GerakanCintaData
-----
Narkoba dan Keinginan Manusia Hidup Bahagia
Terbit di Tribun Kaltim, 28 Desember 2017
Jumlah
masyarakat ketergantungan narkoba di Indonesia saat ini diprediksi mencapai 6
juta orang, jika disatukan, setara hampir dua kali lipat jumlah penduduk Kalimantan
Timur. Diantara yang kesekian itu, jamak kita ketahui sebagian penggunanya
adalah kalangan berkecukupan yang bergelimang kekayaan dan popularitas.
Ada
banyak alasan mengemuka mengapa mereka menjadi pengguna barang haram ini. Satu
yang menarik, adalah alasan untuk mendapatkan rasa nyaman, relaksasi dan
perasaan bahagia. Andika “The Titans” salah satu artis yang terjerat narkoba,
mengatakan dengan gamblang bahwa ia menggunakan obat-obatan terlarang untuk
mencapai ketenangan. Senada dengan Andika, beberapa artis lain menjelaskan
latar belakang terjerumus obat-obatan terlarang untuk kehidupan yang lebih
tenang dan bahagia.
Sebagai
awam, kita lantas tergelitik untuk bertanya, “kebahagiaan apa yang hendak di
cari?”, “tidakkah cukup status selebritis, terkenal, punya banyak harta, bisa
dengan mudah berkeliling dunia, bisa membeli semua barang yang diimpikan,
adalah kebahagiaan yang selama ini mayoritas penduduk negeri ini inginkan?”. Faktanya,
semua hal yang manusia idamkan tersebut, pada akhirnya tidak lantas membuat
pelakunya hidup bahagia.
Berdasarkan
penelitian sosial psikologi yang dilakukan oleh Dr Martin Selignman, ia
menemukan bahwa tingkat kesenangan dalam hidup tidak selalu berbanding lurus
dengan tingkat kebahagiaan. Pencapaian kesenangan tidak selalu memberikan
kepuasan hidup bagi manusia. Kesimpulan ini bisa dimaknai bahwa manusia yang
hidup dalam kekurangan dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasar, sangat
rentan terhadap perasaan derita dan sengsara, tetapi, kelimpahan harta tidak
lantas menjadikannya selalu bergelimang gembira. Kekayaan itu perlu, tetapi
bukan penjamin rasa bahagia.
Selignman
juga menemukan bahwa kesenangan hidup memiliki batas, titik jenuh dan
berbeda-beda untuk tiap manusia. Kesenangan kita akan ketenaran misalnya, pada
awalnya akan memberikan efek kebahagiaan, tetapi lama-kelamaan, semua akan
terasa sebagai rutinitas semata. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan serta
pencapaian yang didapatkan dari menjadi tenar tersebut pada akhirnya membawa
pada satu titik jenuh, bosan. Dan kemudian, manusia kembali menjadi hampa,
kembali mencari kesenangan baru, untuk mendapatkan kebahagiaan.
Para
ahli kedokteran dan psikologi yang mengadakan riset pada otak manusia, menemukan
secara neurokimia, bahwa pada saat manusia mendapatkan kesenangan, terdapat
bagian tertentu pada otak yang meningkatkan hormon bahagia. Melalui kerja
sejumlah hormon pada sistem saraf otak, bahan-bahan kimiawi yang berfungsi
membuat manusia merasa bahagia, bersemangat, nyaman, tenang dan bebas dari rasa
sakit diproduksi oleh tubuh.
Sebagai
contoh, saat kita mendapatkan prestasi dan mendapatkan banyak pujian, otak akan
memproduksi suatu bahan kimia yang disebut dopamine.
Aliran dopamine dalam darah akan membuat orang merasa bahagia. Saat manusia
berinteraksi antar manusia, otak akan menghasilkan hormon oxytocin yang memiliki efek memperkuat rasa percaya diri,
menghilangkan rasa kesepian, kenyamanan, ketenangan dan sebagainya.
Berbagai
macam hormon pemicu rasa bahagia tersebut selain dapat diproduksi oleh tubuh secara
alamiah, juga dapat diproduksi oleh penggunaan bahan kimia –hasil ekstraksi
bahan alami maupun sintesis-. Bahan kimia ini biasanya digunakan dalam rangka
pengobatan, dalam dunia kedokteran. Penyalahgunaan obat-obatan ini yang pada
hari ini kita sebut sebagai narkoba.
Sistem
kerja narkoba sebagian besar mengambil alih neurotransmitter
dalam otak, terutama dopamine,
dan membuatnya tidak lagi berfungsi secara normal. Akibatnya, otak akan
mengingat zat kimia ini –narkoba- sebagai pengganti dopamine. Sehingga saat efek
barang haram ini hilang, otak otomatis akan memanggil kembali, dan inilah efek
ketagihan yang melanda penggunanya. Kokain misalnya, langsung berefek pada dopamine, memicu rasa nyaman dan
bahagia. Sabu, mampu menciptakan efek perasaan euforia sampai ekstase (senang yang sangat berlebihan).
Dan, hampir sebagian besar narkoba mampu menciptakan efek bahagia secara
instan. Inilah yang dinamakan oleh cendekiawan Hasanudin Abdurrakhman sebagai
“Jalan Pintas Kebahagiaan.”
Manusia mencari kebahagiaan dan
senantiasa menjadikannya sebagai tujuan. Pemberantasan terhadap pengguna
narkoba tidak dapat dilakukan sekedar memberinya hukuman, mendapat sanksi
sosial, dan dipandang sebagai sampah
masyarakat. Tanpa berpikir lebih jauh pada akar permasalahan utama dari sisi
humanisme dan kejiwaannya yakni; kebutuhan dasar manusia akan hakikat kebahagiaan. Mengembalikan dan
merehabilitasi kebiasaan mereka yang menggantungkan kebahagiaan pada narkoba
serta menghidupkan kembali sistem kerja hormon pemicu rasa bahagia secara
alamiah, inilah yang semestinya menjadi peer bersama yang harus dilakukan.
Satu
hal setidaknya, yang dapat kita perbuat adalah, membentengi diri sendiri,
dengan cara belajar memaknai hidup serta
menemukan cara yang benar dalam meraih kebahagiaan. Riset yang dilakukan German Socio-Economic Panel Survey (SOEP) terhadap 60.000 responden selama lebih dari 25 tahun
menghasilkan penemuan bahwa mayoritas responden menyatakan, tujuan sosial bagi
orang lain lebih penting ketimbang uang. Fokus pada keluarga, melakukan
aktifitas sosial, berolahraga, taat beragama dan melakukan hal-hal yang
dianggap benar, merupakan pilihan baik untuk meraih kebahagiaan.
Temuan ini sejalan dengan hasil Survei Pengukuran
Tingkat Kebahagiaan (SPTK) masyarakat Indonesia yang dipublikasikan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) bulan Agustus lalu. BPS melaporkan bahwa Indeks
Kebahagiaan masyarakat Indonesia yang diukur melalui 19 indikator yang mewakili
tiga dimensi kebahagiaan (kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup) mencapai
70,69 pada skala 0-100. Secara umum, masyarakat Indonesia tergolong bahagia.
Menariknya, indikator yang merepresentasikan kualitas hubungan sosial dengan keluarga
dan lingkungan sekitar ternyata merupakan kontributor utama Indeks
Kebahagiaan tersebut. Dari 19 indikator
yang ada, keharmonisan keluarga, keadaan
lingkungan, kondisi keamanan, hubungan sosial, tujuan hidup, penerimaan diri,
ketersediaan waktu luang, hubungan positif dengan orang lain menjadi
penyumbang dominan terhadap Indeks Kebahagiaan. Sementara indikator lain
seperti pekerjaan/usaha, pendapatan
rumah tangga, kondisi rumah, fasilitas rumah serta pendidikan yang masuk ke
dalam sub dimensi kepuasan hidup personal memiliki indeks yang lebih rendah
dibandingkan unsur relasi sosial.
Ini menunjukkan bahwa
kebahagiaan tidak bergantung kepada pencapaian materi atau kesenangan hidup
semata. Lebih jauh, kebahagiaan adalah saat kita mampu memberi makna pada hidup.
Hidup untuk berbagi, hidup untuk memberi, dan inilah capaian kebahagiaan hakiki
yang akan didapatkan. Dengan memberi, akan muncul perasaan bahagia di dalam
diri. Untuk itu, kebahagian pada dasarnya adalah hal yang dapat dipelajari,
ditumbuhkan dan diupayakan.
Kebahagiaan juga merupakan proses
panjang yang diraih dengan perjuangan. Manusia yang sampai pada tujuan
menjadikan hidupnya bermakna (meaningful
life) akan memandang derita, tekanan, ujian, deraan sebagai hal yang akan
membawa pada kebermaknaan hidup. Ia akan berjuang, menghadapi, tidak lantas
menghindari, apalagi mencari sebuah pelarian sesaat yang justru sesat.
Lebih-lebih menisbatkannya pada kebahagiaan semu yang berpangkal sengsara,
seperti halnya narkoba!. *