merunduk malu-malu
di bawah semilir pohon randu
kau tanya bagaimana kabarku
dan aku hanya bisu
sambil memainkan kancing baju
adakah engkau rindu?
pada secarik kertas biru
saat pertama kali aku buatkan engkau gambar kupu-kupu?
---
Tuhan, aku mati rasa
tak mampu lagi merangkai kata,
tak sanggup lagi mengikat cinta,
dengan manusia,
Bayi lelaki itu merangkak mendekatiku.
Dia berhenti di beberapa langkah dari tempatku berdiri. Pandangan kami
beradu. Kurasakan kedua matanya seperti sebilah pedang yang
mengoyak-ngoyak pikiranku dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang
telah kulakukan.
"Ah, biar sajalah, peduli amat, sekali-kali ini", batinku dalam hati.
Aku kembali sibuk menyibak tempat penggantungan pakaian, mencari celah diantara belasan jenis blazer dan pakaian khusus kerja. Setelah memasukkan satu buah blazer merah marun yang baru saja ku setrika, pandanganku tiba-tiba tertuju kepada si blazer hitam dengan padanan rok panjang yang anggun.
aku berjalan mengendap-ngendap
ke arah timur matahari
dan bukan barat.
Disana,
dibalik pintu,
aku dapati senyumanmu
di tengah riuh burung
pipit,
yang baru saja terjaga
oleh tepukan dedaunan
yang melambai
sejuk
![]() |
Kredit |
"Kakek Tua itu membawaku ke sebuah kamar gelap", Jennifer terperanjat, tak percaya.
"Lalu, apa dia menyekapmu?"
"Tidak, dia hanya mengantarku"
"Kau tahu? penghuni kamar gelap itu, amat menyeramkan", Thomas dan Alpha yang mulanya hanya mendengar selintas, turut antusias, "lalu bagaimana?", keduanya serempak mengundang tanya.
"Kamarnya sangat gelap, ruangannya kecil dan bau, di sana sangat dingin, jendelanya hanya sebesar ini" Anna membentuk jemari telunjuk dan jempolnya menjadi persegi.
"Dan....", ketiga kawan Anna bertambah serius menyimak, mata mereka melotot, bulat kelereng.
![]() |
Credit |
Masih ku ingat, saat
pertama kali bertemu Mira, gadis berjilbab merah muda di sudut teras masjid
kampusku. Matanya dan mataku, bersitatap tanpa disengaja. Hari itu, untuk
pertamakalinya aku merasakan sebuah desiran lain dihatiku, aku menikmati
tatapannya yang hangat. Hari itu, untuk pertamakalinya juga aku bisa melihat
sosok selain Neng Zakiyah. Neng Zakiyah, gadis yang namanya telah tersimpan
lama di hatiku, teman masa kecilku, putri Kiai Anshori, tempat dimana aku
pernah menimba ilmu.
“Menikahlah
denganku, Mira…”.
Suatu senja di sudut teras masjid, di tempat yang sama saat pertama kali kami bertemu, aku memberanikan diri melamar Mira. Mira yang kala itu bersama seorang teman perempuannya, terus menunduk dan diam.
Suatu senja di sudut teras masjid, di tempat yang sama saat pertama kali kami bertemu, aku memberanikan diri melamar Mira. Mira yang kala itu bersama seorang teman perempuannya, terus menunduk dan diam.
Bismillahirrohmanirrohim. Saya baru saja menamatkan Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, karya seorang penulis fiksi muda, Tere Liye. Di buku tersebut, tertulis tanggal 15 Oktober 2011, itu tanggal saat Tere Liye dengan program Sajubunya mengirimkan beberapa buah karya-karyanya kepada kami. Butuh waktu beberapa tahun, hingga akhirnya saya memilih mengambil buku ini dari rak buku. Bukankah di dunia ini tidak ada yang kebetulan? Sekarang saya seolah mendapatkan jawaban, mengapa buku ini –dengan judul yang sama- harus saya terima dua kali berturut-turut. Dan, mengapa pula saya baru membacanya sekarang, lalu mengapa pula saya memilihnya diantara deretan buku-buku. Buku ini, dengan sengaja –melalui tangan Tuhan- telah dikirimkan kepada saya, sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di saat itu juga kepada-Nya, saat saya tak mampu menemukan jawabannya dengan bahasan yang lebih sederhana, saya menemukannya, di buku ini. Luar biasa!, Tuhan benar-benar menjawabnya melalui buku ini. Persis seperti lima pertanyaan Rehan.
![]() |
Mengenangmu,
Tak
habis-habis aku
Tak
jua sampai
Tak
juga selesai
Seharusnya, kamu, tak ada lagi di
fikiranku, sebab keberadaanmu, bagaikan kutu di rambutku, mengganggu. Seharusnya,
aku pun tak perlu lagi memikirkanmu, sebab kamu, hanyalah masa lalu, seperti
sisa air hujan yang menetes dari balik jendela kamarku, segera pergi, dan tidak
pernah abadi.
Apa kau tahu, bayang-bayangmu, yang
acapkali hadir tanpa kuminta, begitu menghantuiku. Aku berharap kamu segera
tahu, lalu menolongku, agar kemudian aku bisa menghapus jejakmu, atau
setidaknya agar aku tak lagi menyusun harap bertemu denganmu, mengulang masa
lalu, merekonstruksi pilihanku, membuat keputusan bijak, lalu hidup dengan
cita-cita sederhana, -bersamamu-.
***
Tin ... tin ... tin … tin … “Sialan!”,
seorang supir bus kota mendengus kesal sembari mengelap keringat yang terus
mengucur di dahinya.
“Jakarta ini kota
besar. Saking besarnya sampai-sampai tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Lihat! Masalah macet saja tidak rampung-rampung. Sama itu, kalau kamu punya
badan gendut, susah ngurusnya, ya toh?”
“Iya Pak, tapi tinggal
di kota besar seperti ini lebih enak Pak, apa-apa serba ada. Lah, kalau tinggal
di kampung, apalagi seperti di kampung saya, ampun deh Pak, listrik aja belum
masuk”. Dua orang penumpang angkot sedang begitu serius memperbincangkan Jakarta,
sambil terus menutup hidung, menghindari bau Ciliwung yang menyengat.
Gemericik air menari di depan mataku. Kulihat semburat jingga hendak keluar menyembul, turut menyaksikan sebuah pertunjukan yang dihidupkan hujan siang ini. Jam menunjukkan pukul 11 lewat 35 menit. Persis sama dengan waktu ketika pertama kali kami sampai di Jakarta, dan berhujan-hujan ria menuju gerobak mie ayam di depan BRI. Hampir sama persis dengan waktu, ketika untuk pertama kalinya kami dapat bercengkerama dengan mesra di bawah putaran angin. “Aku suka sekali dengan hujan”, ucapku waktu itu. Dan benar saja, sesaat kemudian hujan menjadi sedemikian deras dan angin berputar dengan kencang.
Hujan kali ini juga
mengisyaratkan sesuatu,
Tentang rahasia alam yang mampu
mengubah lahar menjadi embun,
Tentang ‘kata kunci’ yang dapat merubah batu menjadi pasir,
Tentang aku, dia dan apa yang
telah terjadi antara kami,
Tentang setitik rasa yang mulai
bermitosis menjadi cinta,
“Jadi, mau berkelana?”
“Ya, asalkan …”, jawabku dengan tegas.
“Kamu ini wanita atau bukan sih?”, ia langsung menghentikan gerak lincah garpu, dan mendaratkannya dengan bebas, di atas kumpulan mie ayam yang tinggal separuh, sambil sedikit tertawa, renyah.
“Memangnya aku terlihat seperti kakek-kakek?”, aku merajuk.
“Setidaknya berpura-puralah malu. Seharusnya wanita seperti itu. Kamu ini lucu. Hmm… baiklah. Asalkan apa?”
Jangan pernah kau bertanya tentang gerimis
Yang menderas menjadi sebesar peluh
Hingga mengenai matamu
Berisiklah saat hujan
Manakala ia datang
Sebentar-sebentar
Lalu menghilang
Tanpa meninggalkan bayang-bayang
“…Telah ku buang anggapan ganda,
Kulihat dua dunia ini esa;
Esa yang kucari, Esa yang kutahu,
Esa yang kulihat, Esa yang kupanggil,
Ia yang pertama, Ia yang terakhir,
Ia yang lahir, Ia yang batin”
-Maulana Jalaludin Rumi-
Bismillahhirrohmanirrohim
Sebenarnya saya ingin mempersiapkan tulisan yang lain, namun sehabis kepulangan saya dari Turki–akhir-akhir ini saya senang membaca buku tentang pengalaman orang-orang yang berkelana dari negeri ke negeri, lalu membayangkan saya benar-benar pergi kesana- Najmar (sang penulis) dalam bukunya yang berjudul, ‘Finding Rumi, Catatan Petualangan Seorang Perempuan Indonesia ke Turki’ seolah dengan nyata membawa saya serta menjejaki dan menemukan Rumi. Potongan-potongan syair Rumi yang Najmar berikan pada saya telah mengetuk bagian terdalam yang saya miliki; rasa; jiwa; juga hati.
Seperti kata mas Binawan Arif (Kakak sepupu saya),
“Puisi memang begitu, hanya penulisnya yang mampu memahaminya secara utuh ...”
Rembulan tenggelam
Ombak di laut tak lagi pasang
Kau Rupa
Kau Wicara
Kaulah yang lebih dulu
Menabuh genderang
Aku duduk di tepian sungai Kayan, Tanjung Selor Kota Ibadah. Senja,
warnanya merah saga, indah nian bercampur dengan aroma sungai yang khas.
Beberapa pemancing terlihat gelisah karena tak kunjung mendapatkan
tangkapan, tiga pasang muda-mudi asyik bercengkerama sambil menatap
barisan bukit di seberang, tepat di sekitar Gunung Putih. Seorang ibu
seperti juga aku, begitu awas menatap kedua anaknya yang berlarian
bermain layang-layang, takut kalau-kalau mereka berlari terlalu jauh.
Aisyah,
putriku yang baru sembilan bulan ku lahirkan, akhirnya bisa tertidur
pulas. Kasihan, sudah dua hari ini tidurnya seringkali tak nyenyak, aku
mengikuti saran Yazmin dan Adi, kakaknya untuk mengajak mereka bertiga
jalan-jalan menikmati senja.
“Bunda, Yazmin pengen beli
bakso sama abang yang disana…bunda… ayo bun..”, Yazmin menarik-narik
bajuku, hingga hampir saja membangunkan Aisyah. Bakso, aku seperti
pesakitan jika melihat penjual bakso, alergi atau lebih tepatnya trauma.
Rasanya yang kenyal dan enak itu hanya sesaat, hanya di awal, tidak
akan lama dan abadi … bakso mengingatkanku pada mas Priambudi, pada
pertemuan pertama kali dulu.
“Baksonya satu ya bang, kasih bonus pentolnya dua ya…. Cinta kan pelanggan setia…”,
Fiksi
-65- From Iran to Damaskus [Edisi Persia dan Nyanyian Sumbang Si Gadis Patah Hati]
Thursday, July 12, 2012 Beri komentar
Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?1
Pagi menjelang, namun matahari tak juga tersenyum merekahkan panasnya. Langit yang kusaksikan masih sama, gelap bercampur pekat. Sejauh mata ini memandang, kota yang terletak di kaki pegunungan Alborz kali ini menampilkan suguhan gumpalan tipis lembut selayaknya musim semi yang bertaburan bunga. Dari balik jendela yang kini telah terbuka tanpa tirai biru, hawa dingin menelusuk. Sementara lamat mata yang tak ingin meredup terus menyaksikan bagaimana gumpalan tipis putih bagai jatuhan kapas terus turun, perlahan lalu menempel di sela-sela jendela, menelusuk seolah hendak memeluk aspal, bergelayut manja di atas pepohonan ranggas tanpa putik daun. Saya hampir tidak memercayainya, ini benar-benar salju timur tengah. Salju putih yang terus menerus mencandai rerumputan, tanah dan bahkan dengan gembira menyepuh kota Teheran, ibu kota Iran ini menjadi serba putih.
![]() |
Tuan Bekantan, Presiden |
Syahdan pada suatu hari, jauh di
dalam pelosok hutan, Tuan Bekantan (Presiden)
sedang menuliskan surat undangan kepada semua anggota Wawan (sebutan untuk para petinggi Negeri Hutan Layar) beserta masyarakat perwakilan dari Ormus, LSN, dan
Partai Polatak untuk menghadiri sidang Paripurna Hutan Layar Klop. Negeri ini pada mulanya bernama Negeri Hutan,
namun seiring waktu dan semenjak terjadinya Revolusi Birokrato, beberapa tahun belakangan Presiden beserta anggota
Wawan sepakat dengan mengeluarkan surat Keprok atas penggantian nama negara
menjadi Negeri Hutan Layar.
Sejarawan negeri ini menuliskan bahwa nama layar dikaitkan dengan mulai
dikenalnya sebuah kotak yang bisa dibentangkan menjadi sebuah layar yang
menampilkan berbagai macam suguhan tontonan menarik dari berbagai negeri,
seperti halnya Negeri Metropolislen,
Negeri Amrekang atau Negeri Indominesia dimana berbagai jenis hewan
dan tumbuhan tinggal bersama para Manusiwo.
Layar ini mulai dikenal sejak Presiden Buruck
Obamus (Seekor Singa Jantan) dari Negeri Amrekang melakukan kunjungan kerja
ke Negeri Hutan dan memberikan hadiah sebuah Layar ini sebagai tanda
persahabatan.
Bismillahirrohmanirrohim.
Melanjutkan edisi sebelumnya.
Masih bersama
Tintin. Sebelum saya pulang, Tintin mengajak saya berkunjung ke Swiss. Untuk
kenang-kenangan katanya. Kebetulan di Volkerkunde
Museum (museum rakyat) Universitas Zurich di Kota Zurich Swiss sedang
digelar pameran tentang Kalimantan Timur bertajuk Aufschlussrelches (Napak Tilas) Borneo. Rupanya ia sangat mengenali
saya yang begitu menyukai museum dan sejarah. Dan lagi, ia sengaja mengajak
saya ke pameran Borneo ini sebab saya asli orang Borneo.
Pertama kali
memasuki museum, saya tidak percaya betapa antusiasnya masyarakat Swiss
terhadap pameran ini, meskipun untuk masuk ke pameran ini mereka dipungut
bayaran. Aufschlussrelches (Napak Tilas)
Borneo ini sendiri menceritakan pengalaman Wolfgang Leupold yang pernah
tinggal di Kalimantan Timur pada tahun 1921-1927 (hanya 6 tahun dan bisa
menjadi saksi sejarah seperti ini), saya kemudian berpikir sudah berpuluh-puluh
tahun saya tinggal di Borneo, tapi belum pernah mendokumentasikan apapun
tentang Borneo, bahkan beberapa hal baru saya ketahui saat di pameran ini, di
Swiss, bukan negeri saya.
Wofgang Leupold
sendiri adalah seorang ahli geologi berkebangsaan swiss yang bekerja
untuk perusahaan Hindia Belanda. Pada tahun 1921, ia ditugaskan memimpin
eksplorasi minyak bumi di pulau Bunyu (sekarang pulau Bunyu merupakan salah
satu Kecamatan di Kabupaten Bulungan, tempat tugas saya) dan Tarakan (sekarang
menjadi Kota Tarakan, setelah melepaskan diri dari Kabupaten Bulungan). Namun,
Leupold tak sekedar mencari minyak. Pria kelahiran 1895 dan meninggal dunia di
usia 91 tahun (1986) ini juga merekam banyak sekali
dokumentasi foto, tulisan dan aneka pernik khas Kaltim yang dibawanya pulang ke
Zurich ketika tugasnya selesai. Nah, kehidupan masyarakat Kaltim pada awal abad
20-an inilah yang kemudian dipamerkan di Volkerhunde
Museum. Pameran ini juga mengisahkan pengalaman pasangan Swiss (Leupold dan
istrinya) yang tertarik dengan budaya asing dan apa yang tersisa
dari beberapa tahun fase kehidupan setelah itu.
Pagi
hari, masih bersama buku-buku. Seorang pemuda sedari tadi hilir mudik di
depanku. Dengan cekatan, dibukanya tirai biru yang menutupi jendela
disampingku. Aku cuek saja, ku tatap lamat-lamat buku panduanku,
Man ob mikhom
artinya: saya mau air.
“Hey, tahu tidak, cara pengucapan
bahasa Iran. Man toksi mikhom itu
artinya saya mau taksi. Bale..bale..
itu artinya ya. In artinya ini, un artinya itu”. Aku mencoba mengajak
sang pemuda yang kini sibuk mengemasi sampah-sampah yang ada disekitaran kami
untuk sedikit berkomunikasi.
Tiba-tiba
saja sebuah suara mendarat di telingaku,
“Hey,
sekarang lagi dimana?”
“Umm..Saya
sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Da-mas-kus”, jawabku pelan.
***
![]() |
Salju di Eropa |
Setelah berhari-hari, akhirnya saya
bisa menuliskan catatan perjalanan fantasi ini, From
Iran to Damaskus sepertinya judul yang menarik, mirip judul sebuah buku
yang pernah saya lihat, kalau tidak salah From
Beirut to Libanon. Bukan bermaksud meniru-niru, apalagi mendompleng
ketenaran judul buku itu, tapi saya suka dengan judulnya. Hmm, From Iran to Damaskus. Yeah, From Iran to Damaskus, cukup keren
bukan?
Setelah sebelumnya, for the first time, saya mencoba sensasi
musim dingin di Eropa. Tiba di bandara Internasional Amsterdam pukul 6 pagi,
disambut dengan udara minus 9 derajat celcius.