Inspirasi

-263- Berkunjung Kembali Ke Ponpes Anak, YPI Masyitoh Ngoro Mojokerto (Part 2)

Thursday, November 02, 2017


Bismillahirrahmanirrahim.

Saya selalu merasa inferior dengan santri, lulusan Pesantren, dari dulu, rasa-rasanya -masih- sampai detik ini. :)

Ini salah satu alasan, mengapa njuk menuliskan pengalaman kunjungan saja lamanya kayak setengah abad, gak kelar-kelar, :D. Karena saya rasanya rendah diri, mau nulis rasanya bingung sendiri, merasa gak punya ilmu apa-apa, nol besar, dibanding kebesaran guru-guru, kemegahan ilmu yang diajarkan oleh pesantren dan yang dimiliki oleh santri-santrinya.

Silahkan baca kembali, kisah kunjungan di part sebelumnya, 
Saya ingat, di sela-sela kuliah di STIS, di hari libur, satu pekan sekali, saya bersama beberapa kawan belajar ilmu tafsir dan fiqh secara bergantian jadwal. Pulang-pulang, rasanya sesak sekali, saya baper, :p, kalau sudah bapernya kelewatan, saya bisa nangis kejer, yang gak jelas, (ya Allah dulu hamba norak sekali, :p) gak terima masak yang ngajarin kami tafsir Quran seumuran saya, :D.

"Ya Allah, saya gak bisa terima ini, masak guru saya seumuran? masak dia sudah jadi ahli tafsir? dan saya secuil pun belum paham", kira-kira gitulah ya, saya punya rasa iri yang besar sekali terhadap penyandang ilmu-ilmu syar'i, terutama kepada Ahlul Quran. :(.

Dulu, cita-cita terpendam saya, ada tiga, menjadi seorang dokter spesialis, menjadi doktor di bidang tafsir Quran atau menjadi penyair. 😊. Bukan berarti saya mau ketiga-tiganya, itu hanya berdasarkan keinginan, menunjukkan peringkat cita-cita.

Qadarullah, ketiga-tiganya, jalannya tidak lapang, dan tidak mulus. Seperti Allah tutup, dengan cara dan kuasaNya. :)

Ditengah kehampaan, kebimbangan, dan masa yang 'gelap' itu, Bapak mendapatkan pencerahan tentang suatu sekolah yang akhirnya dipelajari benar-benar oleh Bapak, kemudian pada suatu hari, saat bunga mulai bersemi, dan angin berhembus sepoi, :p, Bapak bilang, 

"Nduk, ini ada sekolah bagus, kamu coba ikut daftar. Di sekolah ini, inshaAllah semua cita-cita kamu akan tercapai. Kamu mau jadi penyair, jadi penulis, mau belajar Quran, mau jalan-jalan, semuanya, dari sekolah ini inshaAllah semua akan tercapai.", sabda Bapak. :) *Coba dari mana bisa-bisanya Bapak ngomong begini, apa hanya karena hendak menghibur saya?. :D

Kira-kira, kalau saya lafalkan niat saya masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dulu,  
"Nawaitu daftar ikut ujian STIS karena manut sabda Bapak, alfatihaaaah" hehe. :D. 

Alhamdulillahnya, atas sabda Bapak, ridho ibu, ndilalah jalan menuju STIS, sampai lulusnya mendapatkan banyak sekali kemudahan.

Kalau saya fikirkan kembali dengan tenang, kata-kata sakti Bapak ada benarnya. Alhamdulillah meski belum kesampaian jadi ahli tafsir, saya dimudahkan Allah belajar Quran.

Meski belum kesampaian jadi penyair, Allah sampaikan saya jadi penulis dan sekarang alhamdulillah bisa mengurus blog dan jadi blogger. Saya cinta sekali dengan profesi ini. 😘. Bisa nyicip alhamdulillah sebagian wilayah Indonesia, GRATIS, bisa jalan-jalan, dan banyak lagi. Berkah dan ridlo dari kedua orang tua.

Nah, di mata saya, sebagai seseorang yang pernah menyandang status santri, hubungan santri dan kyai, itu sedekat Bapak dengan anak, seintim ibu dengan anak. Dekat sekali. Tetapi dengan 'bentuk' yang berbeda. 


Bertahun-tahun sekolah, dengan banyak guru, belum ada yang dapat menggantikan posisi di hati saya, jika harus menggambarkan bagaimana pola perasaan kedekatan antara saya dan kyai-bu nyai di pondok dengan guru-guru yang mengajarkan saya saat di sekolah. 

"Rasanya beda." 

Dengan pondok, sampai kapanpun, rasanya tetap lekat. Masih butuh barokahnya doa kyai. Masih butuh nasihat alim ulama', sejuk sekali hidup apabila dapat senantiasa mendapat nasihat dan dukungan. 

Karena itu, dikalangan santri dikenal istilah, 'ngalap berkah'. Mengharap berkah dari para guru/kyai. Dan untuk mendapatkan kebarokahan ilmu, senantiasa diajarkan, "adab dahulu, baru ilmu." 

Demikian suasana yang saya rasakan, ketika berkunjung kembali ke pondok dan menyaksikan bagaimana polah santriwan-santriwati, ketika Ibu Nyai mengenalkan saya kepada mereka. 

Santriwan-santriwati Masyitoh saat kegiatan Ramadhan ke Masjid Agung Nasional Surabaya
Sopan, beradab, mudah diatur, rapi sekali. 

MasyaAllah! masih usia SD lho!, bagus-bagus sekali adab dan tata kramanya. 

"Ibu, dulu Lia sekecil ini ya?", celetuk saya ke Ibu. Ya Allah, saya ngebayangin dulu saya seimut apa. 😊

Waktu saya tidak banyak, kurang lebih satu jam. Ibu mengajak saya berkeliling bangunan pesantren,

"Ayuk keliling dulu.", beliau sosok yang hangat, ramah dan dekat. 

Karena saya memilih untuk sholat dulu. Keliling-kelilingnya terhenti, saya diminta memberi motivasi ke anak-anak pondok, ke adek-adek yang mayoritasnya masih berusia SD. 

"Ada sekitar 50-an santri sekarang Nak yang mukim." Kata Ibu. 

"Santrinya tidak begitu banyak, anak-anak bisa terurus dengan baik, bersih tempatnya, ngajinya di sana bagus, nasab (Kyai-Bu Nyainya) bagus, lihat riwayat ngajinya beliau juga bagus Lia", ini cerita paman saya di Jawa, waktu saya tanya dulu kenapa saya dimasukkan ke Masyitoh. Bapak dan ibu dulu tinggal ikut saja, yang merekomendasikan dan memilihkan tempat ya paman-paman yang di Jawa. 

"Kyainya wara' Lia".

"Wara' gimana maksudnya?", ini pertanyaan lanjutan dari saya.

"Ya wara' lah pokoknya, kan banyak juga kyai yang gak wara'". 

"Gak wara' gimana maksudnya?"

"Ya, yang tujuannya materi, misalnya". 

Oh! ada ya! saya hanya mbatin saja dalam hati. Kalau boleh saya simpulkan, wara' dapat diartikan berkharisma dan berakhlak mulia. Tidak hubbuddunya dan dapat menjadi tauladan. Takutnya hanya Allah, tujuannya hanya Allah, ikhlas lillahi ta'ala.

Sebagian adek-adek pondok, seusai shalat dzuhur
Tidak hanya usia SD, di sini juga ada santri usia SMP. Anak-anak didampingi ustad/ustadzah pengasuh, yang membantu dalam keseharian. Anak-anak dilatih kemandirian dengan pendampingan. Jadi tidak dibiarkan sebebas-bebasnya, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, inshaAllah didampingi, diawasi dan dijaga. Ini tentu dapat menghadirkan rasa tenteram tersendiri untuk orang tua yang mengamanahkan anaknya, karena di Pondok, anak-anak masih punya sosok orang dewasa yang ngemong dan ngasuh.

Saat ini, Masyitoh juga membuka kesempatan bagi santri lulusan SMA sederajat yang masih punya ghirah (semangat) melanjutkan kuliah, untuk mengabdi menjadi pengasuh anak-anak santri, inshaAllah sembari mengabdi akan dikuliahkan dari biaya pondok.

Ada satu pertanyaan dari salah satu santriwan cilik yang cukup menarik, 
"Mbak Lia, punya pondok ya? orang tua Mbak Lia santrinya berapa?", waaah luar biasa pertanyaannya! :). Ini pasti yang bertanya anak ulama' cikal bakal penerus pesantren kedua orang tua. :).

Informasi dari Bu Nyai, ternyata latar belakang santri memang beraneka rupa. Ada santri dari kalangan ulama' yang orang tuanya punya pondok dan ribuan santri, ada yang pengusaha, sampai santri yang tidak tahu di mana kedua orang tuanya.

Ada juga santri yang bertanya, bagaimana caranya jadi penulis? waaah! ini juga luar biasa!, dan jawabannya singkat saja sebenarnya, mau jadi penulis ya langsung menulis saja. :). 

Santriwan santriwati saat ada kunjungan Gubernur NTB. 
Setelah berbagi cerita dengan adik-adik santri, saya diajak melihat bangunan SMP, dulu bangunan ini belum ada. 

Saat ini, pesantren Masyitoh telah terintegrasi, memiliki bangunan SD sendiri, SMP sendiri, sehingga sekolah santri tidak perlu jauh-jauh di luar pondok. 
Kegiatan karate santri pondok
Bersama Neng Saadah Abadiyah (putri kedua Bu Nyai), saya diminta sedikit motivasi ke sebagian adek-adek SMP. Pemuda-pemudi jaman now. 😄. 

Kurang lebih lima belas menit menemui mereka, sebenarnya kok ya rasanya kurang. 😅. Masih pengen banyak berbagi, memberi motivasi menulis dan cerita-cerita ringan. *Alamak jang! gayanya saya ini. 😂. 
 Bersama adek-asek SMP Masyitoh
Waktu menunjukkan pukul dua siang, Bapak sudah bolak balik telepon "Nduk jangan sore-sore nanti kemalaman nyampe Malang." (Ya Allah Bapak, saya ini sudah besar. 😆), begitulah Bapak, kebetulan saya dan rombongan masih ada jadwal silaturrahim ke Malang, lalu dini hari kami hendak ke Bromo, yeaaaay. 


Bapak hanya tiga hari di Nganjuk, saat saya berkunjung ke sini, beliau sudah kembali pulang. Ibu yang awalnya juga ingin ikut, jatuh sakit, kelelahan karena selama di Jawa, kami pergi dari pagi sampai malam silarurrahim ke rumah sanak saudara dan keluarga. Saya sampai gak sempat menghaturkan salam Bapak Ibu saking sebentarnya kesempatan berkunjung. :)

Setelah puas keliling komplek pesantren, saya dan rombongan diajak makan siang. Ngobrol-ngobrol sebentar. Lalu saya pamitan. Meski sejenak, inshaAllah banyak pengalaman yang saya dapatkan dari Bu Nyai. 

Semoga Abah Ibu dan segenap asatidz-asatidzah sehat selalu, diberikan kekuatan untuk terus berjuang. Merinding saya membayangkan betapa banyak santriwan-santriwati yang diluluskan, betapa banyak kebaikan yang mengalir, betapa dalam ladang amal, dan betapa melimpah jariyah yang inshaAllah nanti akan dipetik. 

Dulu, saya diajarkan mengaji, dididik agar dekat dengan Quran, senantiasa bersama Quran, hidup dengan mencintai Quran, diajarkan adab, diajarkan akhlak, diajarkan akidah, untuk senantiasa menjadikan Allah sebagai tujuan, diajarkan banyak ilmu. 

MasyaAllah! semuanya membekas, dan mudah-mudahan semua ilmu dapat terus membawa barokah, dan saya dapat terus menjaga harum identitas sebagai santri dalam setiap jejak langkah kehidupan. 

Terimakasih Abah. Ibu. Neng Aad, dan semua keluarga besar YPI Masyitoh, semoga senantiasa diberi kesehatan, kemudahan jalan, keistiqomahan dalam berjuang!. Amin ya mujibas sailin.

Mohon dimaafkan atas segala kekurangan dan mungkin kata-kata yang kurang berkenan.

Semoga di lain kesempatan, diberikan keluangan waktu dan kemudahan untuk berkunjung kembali. :)











You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Senang ya Mbak bisa berkunjung ke pesantren dan pernah nyantri. Jaman dulu saya pengen nyantri tapi tidak kesampaian, akhirnya ikut pesantren Ramadhan sebulan di sebuah pesantren pas SMA. Itu pertama kali dan terakhir merasakan nyantri. Walaupun cuma sebulan tapi berkesan banget. Sekarang punya anak kelas 6 SD. Disuruh ke pesantren ndilalah nggak mau. ..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Mbak, apapun itu. Di dalam atau luar pesantren, inshaAllah selalu tersimpan kebaikan. Semoga anak-anak kita menjadi shalih shalihah ya Mbak.

      Delete