Bismillahirrohmanirrohim
Sejarah
itu kelabu.
Merah-kuning-hijau-biru.
Semakin
dibaca, semakin abu-abu.
-Istikmalia-
Setiap kepingan masa yang telah dilalui akan
menjadi sejarah. Diri kita akan menyejarah melampaui batas-batas masa yang
lebih jauh dari ambang usia. Mempelajari sejarah, sama halnya seperti mengurai
sebuah benang kusut. Ada banyak simpul yang saling silang, atau malah tak
bertemu ujung. Sejarah tidak dapat digambarkan dengan pasti seperti saat
membayangkan sebuah benda. Tidak kubus, bundar ataupun persegi. Tidak bengkok,
lurus ataupun juga bergelombang. Sejarah menjadi rumit manakala ia kemudian
menjadi monopoli sepihak. Pun, ditunggangi kepentingan politik yang berujung
pada cengkeraman kekuasaan, kekuatan dan kewenangan. Politik di negeri manapun,
termasuk di Indonesia dalam sejarahnya selalu lekat dengan intrik atau dengan
bahasa yang lebih kasar, “penuh tipu-tipu muslihat”. Tipuan itu adakalanya
berazaskan kemaslahatan. Tetapi lebih banyak hanya menguntungkan sebagian
golongan.
Begitu banyak tragedi kemanusiaan yang terjadi, dan
sangat sulit menemukan akar permasalahannya secara pasti. Dari puluhan tragedi
itu, tragedi 1965 termasuk salah satu tragedi yang cukup lama menguras rasa
penasaran saya. Sebab, tragedi ini pada
akhirnya merubah seluruh tatanan bangsa dalam berkehidupan, berbangsa dan
bernegara. Saya ingin tahu lebih banyak, dan ingin keluar dari doktrin yang
cukup lama mendarah daging sejak jaman Sekolah Dasar tentang siapa yang salah
dan siapa yang benar. Tentang siapa yang korban dan siapa yang lebih korban.
Membayangkan tentang perkembangan suatu partai politik di jaman itu yang kemudian
berkembang dengan sangat baik dan besar, lantas diberangus sampai ke
akar-akarnya, simpatisannya atau orang yang dekat dengan simpatisannya atau orang yang hanya mengenal partainya atau orang
yang tidak tahu apa-apa tetapi membawa benderanya dalam satu dekade waktu
adalah hal yang tidak cukup dinalar menggunakan logika doktrin sejarah jaman
sekolah yang seolah cukup digambarkan seperti tontonan kesatria baja, ada
penjahat-ada pahlawan, ada yang jahat maka harus dilawan. Menalar pembunuhan
jenderal-jenderal yang kemudian –seakan menjadi satu-satunya- latar belakang
atas pemberangusan itu, mendapatkan penjelasan tentang peristiwa lubang buaya dan
mencari jawab atas apa yang sebenarnya hendak diberangus? Orang-orangnya? Atau
pemikirannya? Atau keduanya? Atau ada motif-motif lain? sama sulitnya seperti
mencari penjelasan yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan anak saya yang berisik
tentang “Allah itu pake baju warna apa? Dia laki-laki atau perempuan?” “surga
itu jauh gak? Kita ke sana pake mobil atau jalan kaki?”
Meski pasca reformasi, keran informasi lebih
terbuka lebar dan beragam sudut pandang telah dihadirkan, dan baik itu para
pelaku sejarah, pengamat ataupun orang-orang yang berkepentingan di dalamnya
mulai berani buka-bukaan, apa yang sebenarnya benar-benar terjadi pada 30
September 1965 tetap saja hitam-kelam. Tidak ada yang mampu membuktikan secara
pasti siapa dalang utama, tidak ada yang berani mengklaim pendapatnya sebagai
satu-satunya kebenaran. Seolah-olah setiap tragedi kemanusiaan memang patut
untuk menjadi misteri dan teka-teki sepanjang kehidupan. Jadi, tidak perlu
heran dengan kasus-kasus tak seberapa semisal Munir atau kasus dengan korban
yang hampir-hampir sama banyaknya, kerusuhan 1998. Atau memang seperti itulah
sejarah!. Penuh mistis-misteri dan teka-teki.
Siapapun kita, tidak akan pernah bisa lepas dari
masa lalunya. Jika ingin mengenali sosok seseorang, ada baiknya kita mengenali
siapa ayah dan ibunya, bagaimana keluarganya, teman-temannya dan lingkungannya.
Mengenali diri sendiri, adalah berarti memahami apa yang ada di dalam diri. Apa
yang diinginkan, apa yang difikirkan dan apa yang telah melekat pada
kepribadian. Mengenali Indonesia, bagi saya juga tak luput dari meluaskan
wawasan kebangsaan, keindonesiaan. Memahami bagaimana bangsa ini berfikir,
berbudaya, dan berprilaku. Memahami bahwa bagaimanapun juga, sekecil apapun,
turunan masa lalu tetap akan menjadi bagian yang mendarah daging pada bangsa
ini. sebagaimana halnya budaya. Dimana pada masing-masing kebiasaan, selalu ada
ritual nenek moyang yang dari masa antah-berantah masih saja dianggap sebagai kepercayaan
yang harus dijalankan. Kepercayaan itu seterusnya tanpa bisa dibendung pada
masanya menjadi bagian dari agama. Atau agama itu pada masanya kehilangan makna
dan hanya berisi ritual-ritual budaya semata.
Turunan masa lalu itu yang dapat kita pelajari dari
sejarah, termasuk sejarah negeri kita, Indonesia. Ada banyak aspek yang
melatarbelakangi sejarah bangsa, tapi diantara semua itu, tak ada yang bisa
menyangkal bahwa sejarah bangsa ini tak pernah lepas dari ranah politik. Tidak terkecuali
tragedi 1965. Sejatinya, bangsa ini, jauh sebelum peristiwa 1965, adalah bangsa
yang terus menerus mencari jati dirinya. Mencari makna sejati dibalik Pancasila sebagai
azasnya. Seperti seorang gadis yang masih tertarik membebek gaya teman-teman
sebayanya, gamang pada pendiriannya dan cenderung melihat apa yang ada di luar
darinya elok sedemikian rupa. Karenanya, sejak itu, bangsa ini sudah
terkotak-kotak, liberalis, komunis, sosialis, kapitalis, agamis, atheis. Itupun
masih terkotak kembali dengan dua kubu magnet yang berseberangan di setiap kotak,
ekstrimis kanan-ekstrimis kiri. Kotak-kotak itu, sesuai dengan sifat turunan
sejarah, tetap ada, sampai detik ini, selalu. Hanya wujudnya, tidak nampak
dipermukaan seperti dahulu, -tentunya dengan belajar dari sejarah masalalu, bahwa
menunjukkan secara terang-terangan sebuah idealisme pemikiran hanya akan
menjadi boomerang dan amat mudah diluluh lantakkan-, kotak-kotak itu
menyublim-mencair-membeku berubah wujud seolah-seolah pemikiran bangsa ini
telah satu, sementara melalui topeng-topengnya, kotak-kotak itu tarik-menarik satu
sama lain berusaha memalingkan Indonesia agar sesuai-sepemikiran dengan mereka.
Dengan topeng apakah mereka menutupi wajahnya? Apakah
cukup hanya dengan saling adu debat persoalan pada ranah forum-forum, ajakan,
atau pada tulisan-tulisan media? Atau pada sesuatu yang lebih mudah menjadi
jalan masuk, salah satunya dalam wadah perpolitikan Indonesia yang cantik-molek
di luar, tetapi bobrok-bernanah di dalam. Mengapa politik? Karena politik
sangat dekat dengan kekuasaan. Mengapa kekuasaan? Karena kekuasaan sangat dekat
dengan kebijakan. Mengapa kebijakan? Karena kebijakan adalah cara pencapaian
praktik pemikiran secara cepat dan nyata. Karena itu tidak perlu menggunakan
logika rumit dan berkelit saat muncul pro-kontra penghilangan kolom agama di
KTP. Kembalikan ke jati diri bangsa, sesuai sila pertama yang sudah benar-benar
kita hafal di luar kepala, Ketuhanan Yang Maha Esa. Baca kembali sejarah
mengapa sila pertama itu muncul. Sehingga kita dapat memutuskan dengan
menggunakan logika dan nurani kebangsaan apakah sebuah kebijakan itu
mengada-ada atau telah sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Begitupun kemudian,
dengan kebijakan-kebijakan lain yang –anehnya- cenderung menghilangkan jati
diri bangsa ini dengan ketakutan yang luar biasa pada simbol-simbol agama,
dengan alasan itu sudah tidak sesuai dengan jamannya, dan tidak sekeren
bangsa-bangsa lain di luaran? Atau jangan-jangan jika Negara di luar sana
berfikiran bahwa agama itu bukan bagian Negara, lantas kita latah mengamini bahwa
agama adalah candu?
Ya, bangsa ini, bangsa yang besar ini, akui saja
dengan jujur, belum mengenali dirinya dengan baik –termasuk kita, yang sedari
dulu mengakui berbangsa satu, bangsa Indonesia- Dimanakah Pancasila? Barangkali
baru sebatas pada simbol garuda di tembok ruangan, atau stempel di kaos dengan
tulisan Garuda di Dadaku, tapi tidak benar-benar meresap di dalam dada. Lantas demokrasi?
masih perlukah dibaca dengan huruf tegak, atau dibaca dengan huruf miring demo-crazy? Saya percaya tidak ada yang
sempurna pada sistem, apalagi jika sistem itu hasil buatan ide pemikiran
manusia. Karena itulah, kotak-kotak pemikiran yang saya sebutkan itu terus
menerus berusaha merubah sistem dengan ide-ide dasar pemikiran yang mereka
miliki. Tetapi, perlu kita ingat, bahwa pemikiran selalu lekat dengan
pendidikan. Pemikiran seseorang dapat dilihat dari tempat dimana ia menimba
ilmu, lingkungan di mana ia menghabiskan hari-harinya, buku-buku apa saja yang
sudah selesai ia lahap, dan dengan siapa saja ia berkawan. Karenanya, sebelum
habis membekali diri dengan jiwa ke-Indonesiaan, perlu ada kehati-hatian saat
menerima tawaran belajar ke luar –bukan semata karena anti asing-, atau
memilah-milah buku bacaan. Kecuali jika, azas bangsa kita, sudah berganti, dan
tidak lagi bernilai Pancasila? Mungkinkah?
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
7 komentar
Aaaaak~ Nurin, ini postingan susah aku runut pemikirannya. Jadi piye? :D
ReplyDeleteAku komenin masalah sekolah aja, deh.
Ada seorang temenku, dulunya feminist, jilbab buka-pake-buka, keluarganya abangan pula. Trus dia sekolah ke UK, belajar feminism. Kemaren udah mau pulang dan menjelang pulang, dia malah pake jilbab syar'i dan bilang, "Gue udah gak percaya feminisme. Gue mau nikah, punya anak, jadi IRT." Semua pemikiran dia tentang feminisme itu dia hancurkan sendiri setelah dia belajar bertahun-tahun, ngebaca begitu banyak buku, dan diskusi dengan banyak orang. Kalo seandainya dia gak pernah belajar sampe sejauh itu, dia gak akan tahu gimana dalemnya dan gimana harus bersikap dan mengambil keputusan.
Beberapa orang sepertinya memang harus melewati jalan seperti itu untuk kemudian jadi paham. dari orang-orang kayak ginilah, akhirnya aku belajar lebih banyak karena mereka udah membandingkan dan bisa lebih dipercaya, sih. Temen deket sendiri. Liat gimana-gimananya dia IRL. :D
Itu yang aku gak setuju sebenernya; sensor dan larangan belajar atau membaca. Aku gak setuju sensor buku karena daripaad disensor, mendingan dibiarin tapi disertai banyak akses ke orang-orang yang mengerti tentang hal itu. Karena semakin dilarang, makin dicari.
Makanya lagi, dibanding ngasih bantuan langsung berupa uang dsb, pendidikan itu jadi jalan yang paling cepat dan lebih banyak berhasilnya dibanding gagalnya untuk mengubah kehidupan dan mengurangi orang miskin. Walopun ada kegamangan tentang sumber dana beasiswa (misalnya dari lembaga apaaa ... gitu yang berusaha menanamkan pengaruh ini-itunya), itu mah memang terjadi dan akan selalu terjadi. Tapi yang mereka lakukan kan, hanya berusaha. Dan mencontohkan si A pulang dari negara B jadi sosialis dan sejenis, malah bikin takut orang mau belajar aja. Yang diperlukan sebenernya, tapi ini menurutku aja sih, gimana caranya biar si orang itu punya bekal yang cukup sebelum masuk ke tempat-tempat tertentu. Gak mudah buat mengubah pandangan orang tentang sesuatu. Sama gak mudahnya dengan membawa orang ke jalan yang menurut kita, benar. Itu semua sama misteriusnya seperti hidayah.
Duluuu ... banget, kamu pernah bilang kan; kok aku belajar filsafat tapi gak jadi kiri?
Yaaa ... karena filsafat itu gak kiri atau kanan. Banyak ulama kita yang belajar filsafat. Bahkan filsafat Yunani itu ditulis ulang oleh ilmuan Islam pada masa kejayaan Islam dan kegelapan Eropa. Dan filsafat ini sebenernya bukan ilmu tentang ngeyelan, tapi tentang gimana ngebikin cara berpikir kira jadi teratur dan terstruktur. Kalo kemudian ada filosof yang kiri, kanan, bunuh diri karena mempertanyakan eksistensialism dirinya, itu murni pemikiran dia sendiri yang sebenernya bisa jadi bahan belajar kita.
Trus, gimana belajar filsafat? Letakkan core-nya di Tauhid. Ini yang aku pegang kuat-kuat waktu belajar yang beginian. Jadikan ilmu itu sebagai pengantar agar jadi lebih dekat sama Allah.
ReplyDeleteTentang sejarah, pernah aku baca ungkapan yang bilang kalo sejarah itu kayak genangan es batu yang udah mencair. Kita tahu di sana dulunya ada es batu dan sekarang udah mencair, tapi kita sulit banget buat mencari tahu bentuk aslinya kayak gimana. Kayak tiga orang buta ngeliat gajah gitu lah. Tergantung kepentingannya. Belum lagi yang namanya ingatan itu gak selamanya seperti yang ingin kita percayai. Ingatan juga bisa salah (false memory).
Trus tentang yang ini --> "Kembalikan ke jati diri bangsa, sesuai sila pertama yang sudah benar-benar kita hafal di luar kepala, Ketuhanan Yang Maha Esa. Baca kembali sejarah mengapa sila pertama itu muncul."
Nurin pernah nanya gak, kenapa itu "Ketuhanan" bukan "Tuhan"? Ketuhanan itu beda loh, sama Tuhan. Sama kayak keputihan itu beda sama putih. :D
Karena ya itu, budaya kita ini bukan budaya agamis. Ketuhanan itu artinya kurang lebih; mirip-mirip Tuhan, sesuatu yang seperti Tuhan. "Esa" itu bukan berarti satu karena di bahasa Sansekerta, satu itu "eka". Esa itu lebih ke "keberadaan" artinya, dari kata "etad". Jadi arti sederhananya semacam; negara ini percaya sama adanya sifat ketuhanan. Yang mana, itu artinya, dinamisme dan animisme pun diakui dan dijamin keberadaannya--seharusnya.
Jadi kalo dihubungkan sama kolom agama di KTP sih, menurutku terlalu lebar. Kalo aku lebih ngeliat kolom agama ini perlu untuk identitas, data, dan pendataan. Karena itulah guna KTP, kan? :D Guna formal aja. Kalopun dihapus, gak akan ngaruh ke kondisi keagamaan yang punya KTP. Kalo misalnya ke depannya e-KTP itu jalan, data lebih lengkap tentang yang punya KTP bakalan bisa diakses dari KTP-nya. Jadi menurutku, gak akan hilang blas itu kolom KTP. Mustahil soalnya data penting kayak gitu gak ditulis.
Isu tentang penghilangan kolom agama ini, beberapa waktu lalu, sempet bikin keributan luar-biasa di twitter dan aku ngikutin. Tapi aku lebih setuju sama pemikiran beberapa orang bahwa yang sebenernya perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah; akses datanya. Pas itu KTP digesek kayak kartu kredit/debit, itu data apa aja yang keluar. Kalo pun nantinya KTP isinya cuma nama, foto, sama nomer penduduk, gak jadi masalah asal akses data ke yang lebih lengkap itu mudah.
Trus yang ini --> "Atau jangan-jangan jika Negara di luar sana berfikiran bahwa agama itu bukan bagian Negara, lantas kita latah mengamini bahwa agama adalah candu?"
Nurin ... apa hubungannya antara bukan bagian negara dengan agama adalah candu? :D
Terakhir, (ini panjang banget, ya?) aku sendiri gak meletakkan Pancasila di tempat yang setinggi itu. Sebagai asas negara, boleh lah ya. Sebagai asas gue? Ntar dulu! :D Aku lebih percaya Tauhid dan sila pertamanya tentu aja kalimat syahadat. :D
Terakhir banget, kita perlu belajar banyaaak banget, Nurin. Biar kalo ketemu sama orang-orang yang berseberangan, gak langsung emosi dan berdebat gak jelas juntrungannya. Jangan sampe kita bisa di-insult dengan ... (aku pake Shakespearean insult deh, biar rada keren dan halus):
"I would challenge you to a battle of wits, but I see you are unarmed."
Iqro! Be armed!
Hai mba nurin...berbicara tentang sejarah gak ada matinya ya. aq sendiri karena terlalu banyak sumber mengenai 1965 akhirnya lebih percaya terhadap apa yang ingin kupercaya.
ReplyDelete@Catatan Ingatan: yeeay, internet udah mulai lancar jaya...
ReplyDeleteterimakasih untuk bincang-bincangya... :D. Mau dipindhin kesini, entaran aja dah... *___*
@Catatan Ingatan: yeeay, internet udah mulai lancar jaya...
ReplyDeleteterimakasih untuk bincang-bincangya... :D. Mau dipindhin kesini, entaran aja dah... *___*
@ummiko:
ReplyDeletehai juga...:)
jangan bangkitkan keterpurukan zaman dahulu
ReplyDelete