Fiksi

-68- Cinta Dalam Semangkuk Bakso

Thursday, July 26, 2012


Aku duduk di tepian sungai Kayan, Tanjung Selor Kota Ibadah. Senja, warnanya merah saga, indah nian bercampur dengan aroma sungai yang khas. Beberapa pemancing terlihat gelisah karena tak kunjung mendapatkan tangkapan, tiga pasang muda-mudi asyik bercengkerama sambil menatap barisan bukit di seberang, tepat di sekitar Gunung Putih. Seorang ibu seperti juga aku, begitu awas menatap kedua anaknya yang berlarian bermain layang-layang, takut kalau-kalau mereka berlari terlalu jauh.


Aisyah, putriku yang baru sembilan bulan ku lahirkan, akhirnya bisa tertidur pulas. Kasihan, sudah dua hari ini tidurnya seringkali tak nyenyak, aku mengikuti saran Yazmin dan Adi, kakaknya untuk mengajak mereka bertiga jalan-jalan menikmati senja.

“Bunda, Yazmin pengen beli bakso sama abang yang disana…bunda… ayo bun..”, Yazmin menarik-narik bajuku, hingga hampir saja membangunkan Aisyah. Bakso, aku seperti pesakitan jika melihat penjual bakso, alergi atau lebih tepatnya trauma. Rasanya yang kenyal dan enak itu hanya sesaat, hanya di awal, tidak akan lama dan abadi … bakso mengingatkanku pada mas Priambudi, pada pertemuan pertama kali dulu.

“Baksonya satu ya bang, kasih bonus pentolnya dua ya…. Cinta kan pelanggan setia…”,

“Siip…pasti dong…apa sih yang ndak abang kasih untuk Cinta….”,

“Suit…suit… cie…cie....”, Anita, Lemon dan Ifani serentak menggodaku, terlebih  wajahku yang mulai bersemu merah. Sepulang dari sekolah, kami yang waktu itu masih duduk di bangku SMP seringkali memesan bakso mas Priambudi yang mangkal di depan gerbang sekolah. Mas Priambudi yang tinggi, ganteng dan rapi itu menarik perhatianku. Bukan aku yang memulai, Mas Priambudi yang memulainya lebih dulu. Ia sering memberiku satu mangkok bakso gratis, diam-diam tanpa sepengetahuan ketiga temanku tentunya. Biasa saja, tapi aku merasa sangat di istimewakan. Setelah itu, aku seringkali berpura-pura lewat di tempat mangkalnya, saat ia sedang sibuk menuangkan kuah bakso atau saat ia sedang santai menunggu pembeli.

Aku terpikat, terlebih saat menjelang hari kelulusanku, mas Priambudi menyatakan cintanya padaku, dan ia nekat melamarku. Yah, aku dilamar, aku takluk di bawah cintanya. Aku, Cinta… gadis berumur 15 tahun,  baru lulus SMP, akhirnya menikah dengan pemuda tampan penjual bakso, mas Priambudi yang usianya mendekati 23.

Ah, mas Priam… sampai kapanpun mungkin aku akan selalu terpikat, tapi kejadian tadi malam, juga malam-malam sebelumnya, membuat kadar cintaku semakin memendar.

“Untuk apa sih ikut-ikut pengajian kayak gitu? Ngapain juga kamu sholat kayak sudah jadi bu haji aja…”. Prang… mas Pram membuang satu baki isi kue jualanku, yang tak laku satupun di hari itu.

“Sudah aku bilang berkali-kali, gak usah pake nyembah-nyembah dan mohon segala, yang penting apa yang bisa kita makan hari ini. Lihat… mana bukti dari Tuhan? Setiap kali kamu mengingatnya, setiap kali itu juga Dia mencampakkan kita”. Byuuuur…. mas Pram menumpahkan sepanci besar kuah baksonya yang hanya laku dua mangkuk. Matanya merah, menyeramkan. Mas Priambudi mencaciku habis-habisan, aku juga tidak mengerti mengapa setiap kali aku ikut pengajian atau aku mulai rajin sholat, dagangan kami pasti tidak laku.

“Yazmin, kita makan bakso punya ayah saja ya, rasanya lebih enak dan yummmm…bang Adi mau? Yuuk, kita pulang ke rumah…”.

“Bunda…..emmm… kenapa sih Ayah suka marah-marah dan kasar sama bunda?”, aku menarik napas dalam-dalam, berfikir jawaban yang tepat untuk Adi yang baru saja memasuki kelas 1 SD. Belum sempat aku berucap, seorang laki-laki berseragam yang baru saja keluar dari mobil panther silver, tergopoh-gopoh mengejarku.

“Ibu Priambudi ya? ohhh… jadi ini bayi ibu yang namanya Aisyah…?”
“Ya pak, ada apa ya?”
“Tidak bu, saya hanya mau menanyakan tawaran harga yang pas, untuk mengambil Aisyah. Kemarin saya berbincang-bincang dengan pak Priambudi……………………”.

Air mataku jatuh, tidak lagi ku perhatikan perkataan laki-laki berseragam itu yang nampak sumringah karena sebentar lagi akan memboyong seorang bayi setelah dua puluh tahun belum diberi momongan. Kepalaku berkunang, langkahku sempoyongan. Abang bakso yang diinginkan Yazmin berdiri sepuluh langkah dari hadapanku.



gambar dipinjam.
Tulisan ini sudah pernah saya upload di FB. Saya kisahkan kembali kisah yang intisarinya berdasarkan kisah nyata ini, selain sebab karena saya tak jua mendapatkan ide menulis, juga karena agar kisah ini tak lenyap begitu saja. Semoga bermanfaat.  

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



5 komentar

  1. @Nimas Kinanthi intisarinya diambil dari kisah nyata mbak, bisa mbak kembangin jadi novel nih. itung-itung gantikan cerita yang tak janjikan itu. Kayaknya aku gak jadi ngasih, :)

    ReplyDelete
  2. keren mbak :)
    tulisan mb nurin keren-keren...
    oya mbak, endri ikutan yang pakai penomoran ya mbak Nurin, boleh kan ya, hehehe

    postingannya ikut2an pakai nomor :)

    ReplyDelete
  3. @endricahyo2safi3 meski begitu, aku masih belum punya banyak karya En. Yuk, kita terus mengasah kemampuan agar lebih banyak memiliki tulisan yang bermanfaat,,, :)

    ReplyDelete