Bismillahirrohmanirrohim. Saya baru saja menamatkan Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, karya seorang penulis fiksi muda, Tere Liye. Di buku tersebut, tertulis tanggal 15 Oktober 2011, itu tanggal saat Tere Liye dengan program Sajubunya mengirimkan beberapa buah karya-karyanya kepada kami. Butuh waktu beberapa tahun, hingga akhirnya saya memilih mengambil buku ini dari rak buku. Bukankah di dunia ini tidak ada yang kebetulan? Sekarang saya seolah mendapatkan jawaban, mengapa buku ini –dengan judul yang sama- harus saya terima dua kali berturut-turut. Dan, mengapa pula saya baru membacanya sekarang, lalu mengapa pula saya memilihnya diantara deretan buku-buku. Buku ini, dengan sengaja –melalui tangan Tuhan- telah dikirimkan kepada saya, sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan di saat itu juga kepada-Nya, saat saya tak mampu menemukan jawabannya dengan bahasan yang lebih sederhana, saya menemukannya, di buku ini. Luar biasa!, Tuhan benar-benar menjawabnya melalui buku ini. Persis seperti lima pertanyaan Rehan.
“Bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat, Ray. Bedanya,
bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. Kehidupanmu
menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain
mengakibatkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada
siklus keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu… saling mempengaruhi, saling
berinteraksi… sungguh kalau kulukiskan peta itu maka ia bagai bola raksasa
dengan benang jutaan warna yang saling melilit, saling menjalin,
lingkar-melingkar. Indah. Sungguh indah. Sama sekali tidak rumit.”
Ah iya, kita memang tidak pernah
menyadari itu. Bahwa apapun, apapun yang terjadi pada diri kita di hari ini
adalah rangkaian sebab-akibat, yang mungkin baru dapat kita petik di kemudian
hari. Atau malah, kita tidak pernah tahu mengapa hal itu terjadi, karena kita
tidak perlu tahu. Misalnya, saat saya dulu begitu ingin tahu, mengapa harus
Jakarta? Mengapa harus disana? Saya baru menyadarinya saat saya telah
menyelesaikan masa-masa penuh tangis dan tanya, saat saya berada disini, -lama
sekali-. Selama ini saya mirip sekali dengan Ray, yang tak berani menatap
kembali Rumah Pantinya, yang selalu memilih memutar arah saat harus berpapasan
dengan Rumah Pantinya. Saya pun begitu, saya tak ingin kembali, ada banyak
tempat disana yang tak ingin saya saksikan lagi, sebab itu hanya akan
memunculkan kenangan tentang masa lalu yang ingin saya lupakan. Ah betapa! Saya
hanya melihat satu sisi saja. Saya hanya melihat sisi dari kehilangannya saja.
Saya hanya bisa mengingat tentang kehilangan-kehilangan beruntun yang
menyakitkan. Kemudian saya sadari,
dikemudian hari, bahwa Jakarta telah menuntun saya memiliki sesuatu untuk
dicintai, sesuatu untuk diperjuangkan seumur hidup, sesuatu yang bisa saya
kejar habis-habisan, sesuatu yang nilainya melebihi apa yang bisa saya miliki
di dunia ini. Aih, betapa berharganya!.
“Kau
tahu, hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga miliknya, amat
berharga malah. Ada yang kehilangan sebagian tubuh mereka, cacat, kehilangan
pekerjaan, kehilangan anak, orang-tua, benda-benda berharga, kekasih,
kesempatan, kepercayaan, nama baik, dan sebagainya. Kau kehilangan isteri yang
amat kau cintai. Dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami, mungkin jauh
lebih menyakitkan. Tetapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relatif lebih
atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan.”
Siapa bilang sakit gigi itu lebih baik
daripada sakit hati? Bagi saya, keduanya sama-sama menyakitkan, keduanya
sama-sama kehilangan. Tidak ada sakit yang tak menyakitkan, bahkan untuk ukuran
ujung kuku yang tertusuk duri, atau telapak kaki yang tergores batu.
“Tidak. Tentu saja tidak ada yang salah dengan rutinitas,
langit bahkan menciptakan hidup dengan rutinitas, tapi kau seharusnya memiliki
kesenangan menjalani rutinitas itu, dengan sepenuh hati…”
“Ray, kalau Tuhan menginginkannya terjadi, maka sebuah
kejadian pasti terjadi, tidak peduli seluruh isi langit bersekutu menggagalkan.
Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menginginkannya, maka sebuah kejadian niscaya
tidak akan terjadi, tidak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu
melaksanakannya.”
“Kejadian buruk itu datang sesuai takdir langit. Hanya ada
satu hal yang bisa mencegahnya. Hanya ada satu hal, sama seperti siklus
sebab-akibat sebelumnya, yaitu: berbagi. Ya, berbagi apa saja dengan orang
lain. Tidak. Sebenarnya berbagi tidak bisa mencegahnya secara langsung, tapi
dengan berbagi kau akan membuat hatimu damai. Hanya orang-orang dengan hati
damailah yang bisa menerima kejadian buruk dengan lega. Sayangnya, apa mau
dikata, selama ini kau tidak pernah berdamai dengan hatimu.”
Bagian italic
yang saya tulis adalah cuplikan-cuplikan percakapan di dalam novel ini. Lihat
betapa teramat dalam maknanya. Penulisnya bahkan mampu mengajak pembacanya
mengamalkan firman Tuhan dengan bahasa fantasi yang lebih sederhana, mengena.
Seperti itulah fiksi, karena itu saya menyukainya. Sayang, saya belumlah
menjadi pembaca yang maniak. Saya masih selalu menimang-nimang ukuran buku dari
gambar depannya. Juga, menimbang-nimbang sebuah buku dari judulnya. Jadi, tidak
semua karya fiksi yang bagus –menurut kebanyakan orang- sudah selesai saya
baca, seperti novel ini misalnya.
Saya pernah
membaca beberapa karya dari seorang penulis yang sama. Dari itu, saya belajar
menemukan –untuk tidak mengatakan menyimpulkan- satu benang merah, tentang satu
tema garis besar yang biasa diusung sang penulis, yang biasanya tidak jauh
berbeda dari satu karya ke karya yang lainnya. Misalnya saja, saya pernah
membaca dua novel dari satu penulis yang sama, ternyata isinya –meski dengan
judul dan jalan cerita yang berbeda- berkisah tentang cinta yang tak sampai,
tentang patah hati, dan semacam itu. Hingga muncullah pemikiran dibenak saya,
jangan-jangan penulisnya sendiri yang mengalami ini. Jika tidak, mengapa harus capek-capek
menulis dua buku tebal, jika isi dan endingnya
hampir sama, terpisahkan-cinta tak sampai-mati. Karenanya, seringkali saya
menghindari membaca banyak karya fiksi dari penulis yang sama, saya hanya perlu
membacanya satu atau dua atau tiga, sebagai bahan pembelajaran bagi saya.
Tetapi, setelah
membaca novel ini –Rembulan Tenggelam di Wajahmu- pendapat saya ini
terbantahkan. Ternyata masih ada, penulis yang bisa menulis dengan ragam tema
berbeda di setiap karyanya, mengagumkan. Saya jadi berfikir, tentu orang ini
–sang penulis- di masa lalunya, telah mengalami banyak hal, dengan tanda kutip
–semacam hal yang tak mengenakkan, kesulitan, dan semacam itu-. Sebab,
begitulah cara Tuhan mengasah kemampuan hati untuk dapat lebih banyak
merasakan, akal untuk dapat lebih baik dalam berfikir, dan budi untuk lebih
banyak berbuat baik. Sayang, setelah saya fikirkan kembali, rupa-rupanya, saya
belum sampai ke tahapan seperti itu. Tahapan dimana saya bisa berbagi banyak,
membagikan tulisan penuh hikmah dan menginspirasi kehidupan. Selama ini, yang
baru saya lakukan, adalah bermain ‘petak umpet’, bersembunyi dibalik fiksi.
Saya lebih sering menggunakan fiksi untuk bersembunyi dari ketidakberanian saya
mengungkapkan apa yang saya rasakan, semacam curhat terselubung. Tidak ada yang
salah, hanya seharusnya saya lebih serius, seperti penulis dua novel –yang
isinya mirip itu-, bukankah dia terlalu serius sampai-sampai menghasilkan dua
karya yang hampir mirip isinya? Lalu kemudian terkenal karena dua novelnya itu.
Aih, inilah yang saya fikirkan belakangan ini, hingga akhirnya saya berandai-andai
memiliki waktu malam yang lebih panjang dari siapapun, lalu mulai belajar
menyelesaikan satu demi satu karya fiksi. Jika novel terlalu panjang hingga
saya takut mulai bosan dan tak mampu menyelesaikannya, saya bisa mulai belajar membuat
cerpen, tetapi rupanya cerpen pun masih terlalu sulit untuk dibuat, maka saya
dapat belajar membuat cerita yang lebih singkat semacam Cermin atau Flash
Fiction, jika masih terasa berat juga, saya dapat belajar membuat puisi-puisi
pendek. -Bahkan saya masih banyak mengajukan syarat untuk belajar membuatnya-.
[Jika ada sebuah
dunia, dimana kita bisa bebas menentukan isi dunia itu, mengacak-ngacaknya,
membangunnya, menentukan orang-orangnya atau bahkan menciptakan jenis manusia
baru, atau jenis dunia baru lagi, itulah fiksi. Tempat para penulis dengan
sebebas-bebasnya mengembangkan imajinasi, mengkolaborasikan fantasi dan daya
khayal tingkat tinggi. Jika ada sebuah tempat, dimana kita bisa memotret ulang
peristiwa dunia, membangun sejarah sendiri, menyuguhkan berbagai kisah
memilukan-menyenangkan-mencerahkan-membahagiakan untuk dapat menyentik hati
orang-orang agar senantiasa berlimpah syukur dan sabar, itu juga fiksi. Jika
membutuhkan tempat persembunyian teraman, tanpa diganggu orang-orang, tanpa
perlu disibukkan dengan berbagai jenis hujat ataupun sanggahan ataupun saran
dan masukan,, barangkali, itu juga fiksi, hihi…)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
8 komentar
Ada yang namanya text, lalu subtext, dan context. Yah, namanya penulis mah kerjaannya tinggal main-mainin ini aja. Trus orang juga bisa milih buat hanya memnaca text, mau mengerti subtext, atau mau mencari tahu context.
ReplyDeleteSemangaaaaaat~!
Hukum sebab akibat ya, Mak. :))
ReplyDelete*Salam kenal
@Octaviani Nur Hasanah
ReplyDeleteAsli, nggak paham baca komen Mbak Octa :'(
@Octaviani Nur Hasanah Semangaaaaaaaaaaaaaaat!!
ReplyDelete@Boneka Lilin Iya Mak,,, :) salam kenal... :)
ReplyDelete@Millati Indah mungkin saya bisa menjelaskan sedikit maksudnya,, text: kalimat. Subtext; maksud kalimat. Context: pesan yang terkandung dari kalimat tersebut. Benar gak sih seperti itu Mbak Octa?
ReplyDelete@Nurin Ainistikmalia
ReplyDeleteEh, gitu bukan ya? *jadi ikutan bingung*
Sederhananya gini:
Text: apa yang tersirat. Apa adanya. Termasuk juga maksud yang "apa-adanya" sesuai dengan tulisannya.
Subtext: makna lain yang diisikan penulis ke tulisannya. Gak semua orang bisa baca subtext ini kalau gak benar-benar paham atau emang mau ngerti.
Context: kondisi latar-belakang waktu tulisan itu dibuat sama penulisnya. Apa yang ada di sekitar dia waktu itu. Kalau ditarik ke latar-belakang lain, pemaknaannya jadi beda.
Kalo baca tafsir, biasanya ada semua ini. Tafsir menjelaskan text, membahas context juga subtext.
Contoh yang gampang, misalnya lagu Strawberry Field Forever-nya The Beatles yang liriknya tentang perjalanan ke kebun stroberi. Itu text-nya. Subtext-nya: lagu ini menceritakan seorang cowok yang merasa hidupnya akan hancur karena dia kena wajib militer ke Vietnam (Strawberry Field: Perang melawan komunis--makanya pake warna stroberi: merah--di Vietnam. Context-nya: lagu ini diciptakan sekitar tahun 67, waktu lagi terjadi Perang Vietnam (55-75). Banyak yang menentang wajib militer ke sana dengan alasan kemanusiaan.
Gitu deh, contoh sederhananya. :D
@Octaviani Nur Hasanah penjelasan yang sangat mencerahkan Mbak,,, terimakasih. :)
ReplyDelete