Inspirasi

-95- Menyantap [Masa Kini] Dengan Lahap

Thursday, December 20, 2012

Gambar di pinjam dari sini
Bismillahirrohmanirrohim,

"Aku masih ngerasa gak betah tinggal disini Iz..."

Itu adalah kalimat yang hampir-hampir setiap hari didengar oleh Faiz dari mulut Akbar.  Kalimat tersebut terceruap begitu saja entah dari ucapan atau sekedar status di sosmed. Saban bertemu dengan Faiz, tidak ada hal lain yang begitu bersemangat dibicarakannya kecuali, 

"Kalau bisa, aku pengen pindah ke Jawa. Selamanya"

"Mau bagaimana lagi bro, tidak ada yang memintamu pindah kesini. Kamu sendirikan yang telah memutuskan mencari pekerjaan disini. Katanya, dulu... kamu mau merantau jauh-jauh kemari karena gak cocok dengan teman-temanmu di Jawa dulu. Dimana tuh, di Madura kan ya tempatnya..."


"Hah, disini sama saja. Sepertinya aku juga gak cocok. Gak dengan orang-orangnya. Gak dengan lingkungannya. Bagaimana mereka yang tinggal disini mau maju, diajak berfikir dan berencana saja sulitnya minta ampun. Gerakannya juga lambat. Gak sama seperti waktu aku di Jogja dulu..."

Faiz sudah hafal betul dengan gelagat Akbar. Lagi-lagi -untuk kesekian kalinya- Akbar, seorang sarjana lulusan UGM Jogjakarta kembali bercerita tentang Jogja. Tentang bagaimana giatnya teman-temannya di Jogja melakukan ini dan itu, tentang kegiatan-kegiatan yang semarak, tentang bagaimana cerdasnya mereka meramu berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan diri. Tentang ini dan tentang itu. Semua hal, tentang Jogja.

Faiz diam saja. Matanya yang teduh mencoba mengedarkan pandang menuju hamparan Sungai Kayan. Di Kota yang mungkin cukup terpencil bagi Faiz dan juga Akbar ini, sepertinya memang tidak cukup menjanjikan harapan baru tentang masa depan yang cerah sebagaimana harapan semua pelancong atau pendatang pencari kehidupan baru seperti mereka. Tetapi bagi Faiz, Tanjung Selor Kota Ibadah, Ibu Kota Kabupaten Bulungan ini memberikan warna baru bagi kehidupannya. Disini, saban pagi dan sore, ia bisa dengan leluasa menikmati pemandangan sungai hingga puas. Sungai dan laut, adalah dua hal yang telah lama dirindukannya. Di dalam hati kecilnya, tempatnya kini adalah tempat curahan rindunya atas waktu yang terbuang dengan riuh sesak keramaian Jakarta.

"Iz, makan yuk..."

Akbar tiba-tiba mengagetkan Faiz. Jadilah, dua orang sahabat, Faiz dan Akbar kini telah duduk dengan nyaman di sebuah warung tenda. 

"Bar, ngomong-ngomong makanan apa yang paling kamu suka dan paling kamu rindukan dari masakan ibumu..."

"Nasi goreng buatan ibuku yang paling enak. Waktu aku di Madura, aku jarang beli nasi goreng, alasannya ya itu... gak ada yang paling pas dengan seleraku, kecuali masakan ibuku. Disini apalagi, waduh... nasi gorengnya awut-awutan Iz...biar kata aku mau dikasih sebakul nasgor gratis... gak bakalan doyan deh..."

"Hmm... begitu ya..."

"Eh Bar. Nasi goreng buatan ibumu itu letaknya dimana sekarang?"

"Maksudnya gimana? ya jelas aja sekarang gak ada. Lha itu nasi goreng cuma bakalan ada, kalau aku minta dibikinkan ama ibuku disana, di rumah"

"Berarti nasi gorengnya gak kelihatan kan ya?"

"Ya iyalah, udah jelas pake nanya lagi, kamu itu gimana sih Iz..."

"Terus sekarang di hadapanmu sekarang yang ada apa?"

"Nih, aku pesen ikan nila bakar, aku memang sudah lama pengen makan ini"

"Misalkan nih ya, ikan bakarnya gak ada, satu-satunya makanan yang bisa kamu pesan cuma nasi goreng. Nasi goreng itu sekarang ada di hadapan kamu. Terus, kamu gimana?"

"Ya, aku cari warung lain lagi lah..."

"Kalau misalkan di warung lain menu yang tersedia juga cuma nasi goreng?"

"Ya, cari warung yang lain lagi. Memangnya warung disini cuma dua atau tiga?"

"Mau dicari sampai berapa warung?"

"Ya sampai sedapetnya lah"

"Iya, sampai berapa?"

"Aku juga gak tahu Iz. Kenapa kamu nanya terus sih?"

"Kalau kamu sudah terlanjur laper seperti sekarang bagaimana?"

"Hehe... ya pastinya aku maleslah keliling bolak-balik cuma untuk nyari menu lain. Ngabisin waktu aja, boros bensin juga. Kalau aku udah selaper ini, dan memang cuma ada nasi goreng di hadapanku sekarang nih ya ... ehm ... kayaknya aku gak peduli lagi deh. Aku makan aja dengan lahap. Yang penting aku kenyang dulu..."

"Bar, aku tahu sekarang" 

"Apaan?"

"Hmm... kasih tahu gak ya ... beneran mau tahu nih? "

"Apaan sih?"

"Ciyuss mau tahu?"

"Ah, elo Iz, mulai jayus deh..."

"Seharusnya, seperti ketika cara kamu menghadapi nasi goreng tadi. Dalam kehidupan ini, jika memang kamu belum bisa menikmati nasi goreng selain buatan ibumu, maka mudah saja. Buat saja perutmu lapar, selapar-laparnya. Jadi, kamu bisa menyantap (masa kini) dengan lahap". 

Akbar termenung, cukup lama sampai akhirnya berujar, 

"Apaan sih Iz, aku gak ngerti"

"Ah, kamu. Ternyata sahabatku yang lulusan UGM ini bisa lemot juga. Aku tahu kenapa kamu merasa gak cocok saat menetap di Madura dulu dan disini. Itu karena kamu selalu membandingkan semua halnya dengan  saat kamu di Jogja. Sementara saat ini, kamu tinggal disini, dengan lingkungan yang berbeda, manusia-manusia yang tak sama, masalah yang tak seragam dengan yang dulu, di zaman yang berlainan pula. Kalau kamu begitu mengagung-agungkan keadaanmu ketika di Jogja, itu tidak tepat. Sebab, Jogja kini tak lagi berada dihadapanmu. Ia, adalah masa yang telah usang dan jauh dari jangkauanmu. Berfikir bahwa segala halnya akan sesuai dan sesempurna seperti saat di Jogja dulu hanya akan melelahkan raga dan rasamu. Sebab kamu, senantiasa akan berangan-angan untuk mencari tempat yang baru lagi, begitu seterusnya. Seperti tadi, saat kamu berkata akan terus mencari warung yang menjual selain nasi goreng. Yah, kira-kira begitu Bung!". 

Akbar terdiam. Perkataan Faiz, cukup menohok. 

"Ya, seharusnya aku bisa menyantap masa kini dengan lahap. Seperti saat menyantap makanan yang ada di hadapanku kini...", ujarnya dalam hati.



Wallohu a'lam bish showab.



You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar