Review

-193- Berguru Pada 5 Guru Kecilku

Friday, July 01, 2016



Bismillahirrahmanirrahim.

Akhirnya, saya jadi memahami dengan baik, mengapa hak menjatuhkan talak ada pada lelaki, karena kalau tidak, perkataan cerai akan jatuh secara gegabah dan begitu mudah. :)

Sebagaimana saya yang seringkali membutuhkan waktu menyendiri dan berulang kali berucap,
"I give up!", "aku menyerah menghadapinya, tolong selesaikan", yang frekuensinya bisa sampai dua hingga empat kali seminggu. Saat parah-parahnya, bisa satu kali sehari. :).

Itu terjadi saat saya merasa payah, kehabisan akal dan stok kesabaran menghadapi polah tingkah Fifi. Coba bayangkan betapa tidak logisnya perempuan. Sedikit-sedikit merajuk dan mudah sekali menyerah. :p

"Ishbir...ishbir... Tenang... Hirup napas dalam-dalam", begitu selalu kata-kata suami menenangkan sambil menyunggingkan senyuman.

"Iya, tapi tadi tuh... Udah berapa kali aku kasih tahu... Bla..bla..bla..", keluarlah semua ocehan dari dalam perut bumi, :p.

"Katanya mau punya anak kembar tiga...", timpalnya lagi dengan garis senyuman yang lebih lebar.

Langsung luluh kalau sudah dinasihatin begitu. Iya ya, ini gimana kalau doanya terijabah beneran. Mana saya sudah kadung terlalu pede dan nggaya bisa ngurus banyak anak bersamaan. :). Satu saja, belajar sabarnya berliku dan panjaaaang, bagaimana kalau anaknya banyak, kembar dua, kembar tiga, kembar lima. MasyaAllah, gak kebayang bagaimana manajemennya.


Pernah, beberapa kali saya mengucap 'serapah' saat marah. Menahan gemerutuk gigi yang inginnya mengumpat dan meluapkan gejolak emosi panas.

Saya katakan pada Fifi,
"Ya Allah Nak, mudah-mudahan nanti Fifi kalau sudah besar jadi perempuan salehah, jadi isteri dan ibu yang salehah, punya banyak keturunan, anaknya dua belas".

Ternyata ucapan saya itu sedemikian membekas. Hingga suatu malam, di saat ia mengantuk berat dan sudah ingin menutup mata, tiba-tiba bangun kembali,

"Bunda... Bunda.. Rasa-rasanya Fifi itu gak bisa Bunda punya anak dua belas"

"Ha?"... Saya masih terheran-heran, mau tidur kenapa ngomongin anak dua belas.

"Kenapa memang Nak?"

"Fifi bingung Bunda, Fifi gak bisa urusnya". Wajahnya serius sekali waktu mengucapkan ini.

Ya Allah, antara lucu, menghibur, dan reflek membuat saya sumringah sendiri.
Tuh, anak umur 6 tahun saja tahu..., :).

Sudah lama berlalu. Semalam, sebelum tidur, masih sempat-sempatnya Fifi membahas tema yang sama.
"Bunda, kalau anaknya dua belas, pembantunya berapa Bunda?" :D.

"Ngapain pake pembantu?"

"Nanti siapa yang bantu Fifi? Bunda kan sudah tua. Sudah nenek-nenek..". Alamak, ini anak... Di seriusin bener-bener. :D

"Kalau anaknya banyak, malah enak, nanti ada yang bantu cuci piring, yang satu cuci baju, yang satu jagain adek, semuanya bakal bantu Fifi, malah enak loh Fi", ini emaknya malah ngomporin. :). Ya, karena si anak nanyanya diseriusin, saya juga menjawabnya diseriusin. :D.

Fifi masih tampak belum puas dengan jawaban saya, lalu kemudian menawar.
"Satu saja Bunda, satu aja deh pembantunya", wajahnya masih tampak serius, dan sepertinya benar-benar berpikir betapa beratnya mengurus anak dua belas sendirian.
Rasanya tak tahan untuk tertawa. :D :D.

"Oalah Nak... Nak. Dah sekarang tidur dulu." :).

###

Luar biasa, maha besar Allah yang telah berkenan menitipkan amanah.

Dalam satu hari, perasaan saya bisa seperti grafik, turun naik, kadang menukik ke bawah dengan tajam, lalu beberapa saat kemudian bisa naik dengan cepat. Sesekali menegangkan, sesekali menjengkelkan, sesekali membahagiakan. :).

Proses belajar untuk mengasuh anak sendiri tidak instan. Selain butuh kekompakan ayah-bunda, seorang ibu yang lebih banyak membersamai anak juga perlu banyak sekali belajar tentang manajemen waktu, belajar tentang sabar, dan belajar untuk menerapkan pola pendidikan yang baik. Semuanya butuh proses. Butuh sabar dan kemauan untuk terus menerus belajar.

Saya beruntung, bisa menemukan dua buku seri '5 Guru Kecilku', di tulis oleh seorang ibu dengan lima anak yang sempat tinggal di luar negeri, mendidik anaknya di rumah, homeschooling, tanpa asisten rumah tangga. Penulisnya bernama Kiki Barkiah. Buku ini sendiri berisi kumpulan pengalaman Kiki Barkiah mengasuh kelima anaknya, dengan beragam tipikal kepribadian, jenjang umur yang berdekatan dan suka duka di dalamnya.

Sebelum membeli buku ini, saya terlebih dahulu menjelajah blog penulis dan membaca hampir seluruh artikelnya yang berisi pengalaman dan kisah keseharian dalam mendidik anak. Jadi, buku ini sebenarnya adalah kumpulan kisah-kisah yang pernah ditulisnya di dalam blog dan laman facebooknya.

Adalah sebuah kenikmatan sendiri dapat membacanya langsung dari sebuah buku. Saya mendapatkan buku seri II sebelum akhirnya mendapatkan buku seri I. Kedua seri bukunya Best Seller. Bahkan pada cetakan buku seri I  tertulis, Best Seller, cetakan 1 habis dalam waktu satu hari. Amazing!. Pantas saja rasanya cukup tidak mudah mendapatkan buku seri 1. Saya harus pre order dulu dan menunggu hampir satu bulan lamanya. :).

Kita belajar bahwa sebaik-baik cara mendidik anak, adalah mengikuti apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, sebaik-baik tauladan dan panutan. Sebagai orang tua, pengasuh, pendidik, tugas berat yang diemban ini meminta kita untuk meluangkan banyak waktu untuk membaca banyak buku sirah bagaimana mendidik anak, bagaimana mencukupkan hak dan kewajiban anak, dan mempelajari pola pengasuhan yang baik dan benar. Nah, buku '5 Guru Kecilku' ini bisa diibaratkan sebagai pelengkap karena keseluruhan isinya adalah contoh tauladan yang baik dalam menghadapi anak, dan kisah seputaran pengasuhan anak.

Sudah lumrah bukan, jika yang kita tahu hanya berdasar teori saja, pada kenyataannya tidak mudah dipraktikkan. Manusia adalah makhluk peniru yang ulung. Sehingga, teknik belajar dengan mencontoh dari praktik nyata, jauh lebih mudah untuk di aplikasikan.

Kiki Barkiah sendiri dalam kedua bukunya berkisah dengan tutur kata yang ringan, sederhana, dan terlihat jelas ada akar motivasi yang kuat untuk berbagi. Saya sangat menyukai bagian pembuka dari buku seri I '5 Guru Kecilku'. Di bagian awal, dengan judul tulisan, "Niatmu Kekuatanmu", terlihat sekali bahwa penulis  ingin menegaskan betapa penting dan sakralnya persoalan niat dan motivasi.

Kekuatan dan ketangguhan seorang manusia untuk tetap istiqomah menjalankan peran, tugas dan amanahnya berbanding lurus dengan kekuatan motivasi yang dimilikinya terhadap peran, tugas dan amanah tersebut. Tidak ada peran yang mudah kita jalankan dalam hidup, kecuali saat-saat di mana Allah mengaruniakan kemudahan dalam menjalaninya. Oleh karena itu, setiap orang perlu memiliki alasan yang kuat mengapa kita memilih dan menjalankan sebuah peran. Semakin kuat akar motivasi kita dalam melakukan sesuatu, semakin tangguh kita menjalaninya.  

Jika kita berada pada masa-masa kelelahan, kejumudan atau kesulitan dalam pengasuhan anak, maka dua pertanyaan besar harus mampu kita jawab. Mengapa kita memilih menikah? Dan mengapa kita memilih untuk memiliki anak? Semakin kuat motivasi kita dalam mengambil peran tersebut, semakin tangguh kita menjalaninya. Melahirkan anak adalah perjuangan yang sulit, merawat anak bukanlah pekerjaan yang mudah, membesarkan anak adalah tugas yang penuh tantangan, mendidik anak adalah tanggung jawab besar. 

Jleb banget!. Benar sekali, nampaknya kita memang perlu mempertanyakan kembali perihal niat dan motivasi. Untuk apa menikah? Untuk apa punya anak? Jawaban dari keduanya sangat menentukan berat atau ringannya, apakah menyenangkan atau tidak lebih dari sebuah beban.

Lebih lanjut, Kiki Barkiah menamainya sebagai cara pandang.

Cara pandang kita terhadap keturunan seharusnya dalam kerangka yang sama sebagaimana cara pandang islam dalam melihat keutamaan memiliki keturunan yang saleh. Dengan menuturkan sebuah hadits dari Rasulullah,
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda, "Satu Qintar sama dengan 12 Uqiyah, tiap Uqiyah adalah sesuatu yang lebih baik daripada semua yang beradabdi antara langit dan bumi." Dan kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga kelak sampai ia bertanya, 'Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?' Maka dikatakan kepadanya,  (ini semua) disebabkan istighfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu'". [Sunan Ibnu Majah No.3660]

Dengan satu hadits di atas saja rasanya sudah lebih dari cukup untuk menjadi motivasi dan niatan kuat mengapa kita menginginkan anak. Terlebih lagi jika mengingat bagaimana kedudukan seorang anak bagi orang tua yang berbeda-beda:


  1. Anak sebagai hiasan hidup sebagaimana terdapat di dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 14
  2. Anak sebagai cobaan hidup sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah Al-Anfal 28 dan At-Taghabun 15.
  3. Anak sebagai musuh sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah At-Taghabun ayat 14.
  4. Anak sebagai penyenang hati sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah Al-Furqan ayat 74.
Artikel pembuka pada buku pertama ini, membuat saya merenung lama sekali sekaligus merinding. Ya Allah, sungguh amanah anak itu bukan perkara main-main. Maka, semoga kita mendapatkan anak sebagai penyenang hati, Qurrota A'yun, penyejuk mata untuk kedua orang tua. Amin. 

Artikel-artikel berikutnya berisi tentang pengalaman-pengalaman Kiki Barkiah bersama kelima anaknya. Saat saya menuliskan ini, di Bulan Juni ini penulis sedang mengandung anak keenam, semoga semua dimudahkan, lancar dan sehat. Amin. 

Kisah yang cukup haru  adalah kisah Kiki dengan anak pertamanya Ali, 
Hari itu sepulang kuliah, adalah  hari pertama saya menjemput Ali di sekolah TK. Saat itu ia berumur 3 tahun. Bocah kecil itu berlari menghampiri sambil berteriak dengan girang, "horeeee Ali punya Ummi baru!". Itulah hari pertama bagi Ali pulang sekolah dijemput oleh sesosok bernama "Ibu". Wajahnya seolah mengatakan pada dunia, bahwa aku pun bisa dijemput oleh "Ibu" seperti teman-teman lainnya. Saya hampir tak percaya, kehidupan yang sehari-hari berkutat dengan rumus, percobaan dan himpunan mahasiswa mendadak berubah status menjadi seorang ibu, saat seorang ayah berputera satu melamar saya. Demikian Tutur penulis.
Sungguh, tentu tidak mudah beradaptasi, baik perasaan anak terhadap orangtua maupun sebaliknya, Kiki sendiri mengakuinya. Apalagi Ali adalah seorang anak yang belum pernah melihat wajah almarhumah sang ibunda, yang meninggal karena sakit setelah melahirkannya. Tetapi Ali kemudian tumbuh menjadi pemuda yang terbuka, mampu mengutarakan perasaan terhadap Umminya, mandiri dan kreatif. Itu tidak lepas dari bagaimana peran Kiki dalam mengasuh anak-anaknya.

Ali tentu saja memberikan kesan tersendiri di hati penulis. Bersama Ali lah, penulis memulai sebuah perjalanan hidup baru. Bersama Ali penulis terus belajar menjadi seorang ibu. Meski itu tidak mudah.

Dalam mendidik Ali, ada masa-masa di mana saya sedang begitu kecewa terhadap perilakunya. Ketika muncul saat-saat sulit dalam menasihati dan meluruskan perilaku Ali, terkadang saya mengingatkan kembali sosok ibu. "Ali, seandainya mamah Ali masih ada, ia pasti akan berharap sama seperti Ummi", tak lama kemudian Ali bersimbah air mata, menangis sambil memeluk foto ibundanya. Lalu meminta maaf pada saya dan berjanji memperbaiki kesalahannya. Mengingatkan bahwa Ali adalah satu-satunya simpanan ibundanya di dunia adalah cara terakhir yang paling ampuh jika sekian cara menasihati telah dilalui. 

Hubungan yang dijalinpun membuahkan hasil, saya terkesima dengan perkataan Ali terhadap Umminya, di suatu siang dengan tiba-tiba memeluk dari belakang dan berkata,

"Ummi, not every kids has a Mom like you"

 "And not every Mom has a child like you too!". Manis sekali. Pernyataan yang begitu indah didengar. :)

Bagaimana hubungan dengan anak-anak yang lain, menjalin kedekatan, persaudaraan, melerai perkelahian, memenej rasa cemburu kakak pada adik bayi yang baru, mengatasi permasalahan anak yang sulit makan, mengatasi anak yang mogok sekolah dan banyak lagi. Semua kisah terpetakan dengan baik dan mudah dimengerti.


Setelah membaca bagaimana kisah Kiki Barkiah bersama Ali, Shafiyah yang pendiam, Faruq yang banyak akal, Shiddiq yang cerdas dan Fatih membuat kita meresapi arti seorang ibu bagi anak-anaknya. Betapa anak-anak dengan kekhasannya masing-masing dan segenap kelebihan dan potensinya adalah aset yang luar biasa di masa depan. Sehingga memang, sebagai seorang ibu, kita dituntut untuk terus berbenah, dan menyiapkan stok kesabaran yang teramat banyak.

Bisa jadi, anak-anak itu, di kemudian hari, akan menjadi orang-orang besar dan penebar banyak manfaat.

Membaca kedua buku ini hampir-hampir seperti 'menelanjangi diri sendiri' dalam model pengasuhan anak. Saya banyak berkaca dan belajar kembali, "Oh ternyata begitu caranya", "Oh selama ini saya salah ternyata". "Oh, ternyata tidak sulit jika kita tahu ilmunya". Ada perasaan haru, lucu, merasa bersalah dan juga tekad kuat untuk memperbaiki diri dan hubungan bersama anak.

Satu paragraf yang saya garis bawahi adalah yakni,

Anak punya keinginan, sebagaimana kita sebagai orang tua. Anak punya harapan, sebagaimana kita sebagai orang tua. Anak juga memiliki perasaan, sebagaimana kita sebagai orang tua. Namun terkadang kita memiliki perbedaan dalam memilih jalan dan caranya. Namun ingatlah bahwa yang kita inginkan adalah sama-sama menuju surga. Berdamai dengan perbedaan itu perlu. Namun jika jalan yang dipilih jauh dari tujuan kita menuju surga, di sinilah otoritas orang tua dapat berbicara. 

Buku ini membawa manfaat yang luar biasa, mendongkrak semangat untuk kembali banyak belajar tentang ilmu pengasuhan anak. Kiki Barkiah juga banyak berkisah bagaimana proses melatih kesabaran dan teknik-teknik mengatasi problematika masing-masing anak sesuai karakternya.

Penulisnya, Kiki Barkiah adalah seorang lulusan Teknik Elektro ITB yang menyimpan rapat-rapat ijazahnya untuk kemudian memfokuskan diri mengasuh kelima buah hatinya. Perjalanan yang tidak mudah, tapi semangat berbaginya luar biasa. 35 kisah di buku bagian I dan 27 kisah di buku bagian II sangat mencerahkan dan bermanfaat. Jika boleh memberi ulasan, dari 10 bintang, maka saya ingin memberikan 10 bintang untuk kedua buku ini, sempurna!. Buku ini layak untuk dibaca. :)



Judul Buku : 5 Guru Kecilku (Bagian I) 
Penulis : Kiki Barkiah, S.T.
Editor : Aditya Irawan
Cetakan ke : 3, April 2016
Penerbit : CV. Mastakka Global informa




Judul Buku : 5 Guru Kecilku (Bagian II) 
Penulis : Kiki Barkiah, S.T.
Editor : Aditya Irawan
Cetakan ke : 1, Desember 2015
Penerbit : CV. Mastakka Global informa




You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



10 komentar

  1. Subhanallah.. meski memang setiap model pengasuhan anak itu pendekatannya berbeda, tapi kita sebagai Ibu memang butuh penguatan dengan membaca buku-buku bertenaga seperti ini.
    Semoga Allah senantiasa memampukan kita untuk menjadi Ibu shalihah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak perlu banyak membaca dan belajar dengan intensitas sering. Belajar praktikkan, belajar praktikkan, demikian seterusnya sampai mengendap benar2. :)

      Delete
  2. Fifi lucu dan pintar ya... Salut sekali untuk ibu kiki barkiah, nikah saat kuliah, langsung jadi ibu dari anak tiga tahun. Bahkan dia sanggup ngurus 5 anak, mau 6, tanpa pembantu.Luar biasa... :)

    Isi bukunya bagus. Artikelnya juga bagus banget, mbak. Jleb untuk kalimat Ali pada umminya, begitu sebaliknya. Dan ngikik saat putrinya mbak sampai kepikiran terus kalau punya anak 12 :D

    ReplyDelete
  3. saya blum baca yg kedua, pdhl udah lama nongkrong di rak...

    ReplyDelete
  4. Apa yang kita katakan pada anak memang kadang membekas banget ya, Mbak. Anak saya juga gitu. Kadang ada satu perkataan saya yg dibahas terus, sampai berbulan2 kemudian :D
    Btw bukunya bagus banget ya kayaknya, dilihat dari cuplikan2 kalimatnya. Luar biasa sekali sang penulis ini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, daya ingatnya kuat sekali.

      Recomended book ini Mbak, ayuk beli dan baca :)

      Delete
  5. masya allah..bukunya bermanfaat sekali ya mbak. mumpung belum punya anak, insya allah kapan ada duit saya beli bukunya. makasih mbak review nya:)

    ReplyDelete