Cinta

-198- 3 Perempuan, 3 Sudut Pandang dan Letak Kebahagiaan. #Tentang Perempuan Pertama

Thursday, July 21, 2016




Bismillahirrahmanirrahim.

::: 3 Perempuan, 3 Sudut Pandang dan Letak Kebahagiaan:::

# Tentang Perempuan Pertama #

"Apa kabar?", tanyanya.

Sebuah pertanyaan basa-basi, mengandung dua arti. Pertama, itu sebuah kalimat tanya biasa, tak bermakna, hanya sekedar sapa. Kedua, itu adalah tanda kearifan bahwa hidup tidak sekedar urusan pribadi, bahwa kepentingan tak sekedar kepentingan diri sendiri, dan sekaligus kalimat penyentuh bahwa sang pengirim pesan ingin memiliki tempat berbagi.

Kalian pasti tahu, kehidupan yang terlampau sibuk ini kadang tak menyempatkan waktu untuk sekedar basa-basi menanyai kondisi, memperhatikan kanan-kiri, berempati, atau pada level yang lebih tinggi, berbagi.

Semua ingin menjadi poros, paling diperhatikan, paling dihormati, paling disegani. Sehingga tidak heran, banyak orang yang senang mengirim pesan 'kemarahan', pesan 'kebencian', pesan 'menyudutkan'. Pesan yang paling tidak penting dari itu semua, pesan 'kesombongan', menyalahkan, merasa diri lebih satu tingkatan.

Pengirim-pengirim pesan jauh dari kearifan itu tak pernah mau tahu bagaimana kondisi penerima pesan. Yang mereka pedulikan adalah soal hati mereka, masalah mereka dan kehidupan mereka. Padahal, bisa jadi, saat engkau menjadi pengirim pesan, jauh di ujung sana, penerima pesanmu sedang berada di bibir jurang, mempertaruhkan nyawa, sakit-sakitan, tak punya daya, sedang terlilit masalah, atau yang paling sederhana, sedang merana.

Karenanya, kalimat 'apa kabar' ini bijak sekali. Itu penanda bahwa pengirimnya adalah pendengar yang baik budi. Tidak pernah memikirkan diri sendiri, tidak abai terhadap perasaan kawan sendiri. Ia berikan ruang bagi lawan bicaranya untuk mengungkapkan isi hati terlebih dahulu, tidak main-main, percayalah, manusia-manusia langka seperti ini, adalah manusia berbudi pekerti.

Itulah alasan mengapa saya tidak pernah mengkerdilkan kalimat 'apa kabar'. Untuk alasan pertama maupun alasan kedua.

--------

Dan untuknya, Perempuan Pertama. Saya memilih alasan kedua.

Bahkan sejak saya membaca pesan singkatnya, saya tahu ada sesuatu di sana. Saya tahu, kawan saya itu, Perempuan Pertama yang ingin saya ceritakan ini, sedang ingin didengarkan.

Maka, lewat dari tiga hari, meski terhitung terlambat, saya membalas tanyanya tanpa menjawab tanya.

"Bagaimana kabarmu?"

Lalu, mengalirlah apa yang saya namakan dengan 'telepati perasaan'. Kalian tahu, antara satu hati dan hati yang lainnya memiliki jaringan dan sinyal? Persis seperti sambungan telepon. Saat sinyal sedang baik, maka nomor yang kalian tuju akan tersambung, cocok. Begitu pula persahabatan, satu hati dan hati lainnya akan tersambung jika menemukan kecocokan. Persahabatan adalah soal kecocokan, juga kenyamanan. Tidak peduli sejurang perbedaan. Tidak masalah bendera partai kalian berseberangan. Persahabatan adalah persahabatan. Jika kesemua perbedaan bertemu di muara yang sama, cocok, nyaman, maka kalian bersahabat.

"Bagaimana menurutmu, keluarga yang terdiri dari ayah-ibu-anak, lengkap. Apa mereka tidak punya masalah? Apa mereka bahagia?". Tanyanya lagi. Pertanyaan yang membuat saya merenung. Mencoba mengambil benang merah, menangkap banyak kekhawatiran di dalamnya.

"Semakin lama aku semakin khawatir", tebakan saya benar.

"Kamu tahu, semakin aku fikirkan, semakin melelahkan. Aku lelah, aku rapuh. Aku tidak kuat menghadapi ujian ini".

Saya masih sempat mencandainya dengan, "butuh aq*a?" :D :D.

"Aku butuh bahumu...", jawabnya mantap dengan lebih serius.

Hampir melalui 10 tahun pernikahan, dan belum dikaruniai keturunan. Siapa yang tidak khawatir? Kalut? Takut? Bermacam-macam perasaan beraduk jadi satu.

Ditambah lagi dengan berisiknya tetangga, ninik-mamak, saudara jauh-dekat, sejawat, rekanan, sampai tukang parkiran. :p.

Ada yang sok pintar macam dukun kesiangan,
"Pasti ada yang tak suka dengan kalian. Kirim gundam atau jampi-jampi untuk tujuh turunan. Atau jangan-jangan, kamu sudah kena kirim raja jin lengkap dengan seribu pasukan"

Ada yang nyindir, tapi masih malu-malu,
"Kamu pasti kurang usaha. Kurang greget ikhtiarnya. Aku aja udah mau anak kelima, masak kamu belum-belum juga". Mak jleb!.

Ada yang terlihat sopan, tapi...
"Isteri kamu belum hamil-hamil juga. Yakin, gak pengen nikah lagi?"

Ada yang sudah seperti malaikat rakib atid pencatat amal,
"Kamu banyak dosa itu, perbanyaklah istighfar, banyakin sedekahnya"

Ada yang sembari memberi nasihat, nimbrung jualan obat,
"Pakai ramuan ini, dijamin deh sukses. Coba coba... Cobain obat A, obat B... Obat Z banyak yang cocok lho.."

Ya...ya..ya.. Sebagian nasihat mengandung kebaikan, sedang sebagian lagi, hanya memekakkan telinga, membuat penuh pikiran. Yang memekakkan telinga ini ialah mereka yang paling berisik, berlagak semacam hakim yang memutuskan perkara, sok tahu, sok segalanya. Mudah sekali menerka, berkata yang bukan-bukan. Dan yang paling berat, mereka-mereka ini sebagiannya adalah kerabat yang paling dekat.

Kalian pernah mendengar, ada suami yang dipaksa bercerai oleh ibunya, karena isterinya tak kunjung hamil juga? Ini dilematis sekali. Dan ini kisah yang benar-benar pernah terjadi. Dengan ending yang menyedihkan. Antara rasa sayang kepada isteri dan berbakti kepada ibunda. Jika diminta memilih antara keduanya, dengan timbangan apapun juga, maka kepada ibu pasti lebih utama. Maka, bercerailah keduanya, dengan pilihan dan konsekuensi yang teramat berat. Sungguh, perpisahan dengan alasan seperti ini, sangatlah menyedihkan, berat, teramat, tapi ternyata kejadian. Dan kejadian-kejadian serupa ini -rusuhnya keluarga besar- sebagian besar terjadi pada angka penantian kritis menuju ke sepuluh ulang tahun perkawinan, persis mirip angka yang kini dimiliki Perempuan Pertama.

Itulah mengapa saya mengerti benar kerisauan Perempuan Pertama ini. Masa sepuluh tahun pertama adalah ujian yang menentukan. Percayalah, jika kalian bisa melewati dengan baik masa ini, dengan masalah tipikal sama dengan Perempuan Pertama, itu adalah keberkahan, salah satu hadiah terbaik dari Tuhan.

Selain dari itu, sebaiknya, sesuatu yang sifatnya di luar jangkauan manusia jangan pernah dijadikan bahan pergunjingan, olok-olokan, guyon-guyonan, atau sindir-sindiran. Karena bagi yang sedang mengalaminya, itu bisa jadi menyakitkan. Jika tidak bisa banyak membantu dan menenangkan, janganlah tambah menambah kerisauan dengan mengatakan, Perempuan Pertama ini kurang giat berikhtiar. Oh, sudahlah, di usia pernikahan sejumlah itu, semua hal dari jamu pahit sampai bermaafan dan mengelola hati pasti sudah dilakukan. Dan jangan pula mengatakan perempuan sejenis Perempuan Pertama ini terlalu banyak dosa dan hobi melawan. Karena jika pun demikian, tentu para isteri generasi terbaik sebelum kalian -sebaik-baik contoh wanita salihah- tidak akan diberikan kesamaan ujian.

Dan, Perempuan Pertama ini mencoba tak menghiraukan, tetap hidup dan berusaha sesuai kemampuan. Dengan senyuman dan tawa yang berusaha ditampakkan. Dengan segala kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan yang disembunyikan.

Hanya, sebagaimana manusiawinya manusia. Ia bosan. Lelah. Dan apalagi entah. Ia jenuh dengan segala rupa pengobatan, mulai dari dokter, berbagai macam terapi hingga tradisional. Ia mulai berfikir macam-macam mengenai doa-doa yang ia panjatkan siang malam. Ia mulai mengevaluasi segala macam kebaikan yang telah ia lakukan dan semua upaya untuk tak menambah jenis-jenis dosa. Lalu mengapa, tak berdampak juga? Mengapa begitu sulit? Dan mengapa harus saya? Apa salah saya?. Begitulah kecamuk fikirannya.

Saya tahu, bagaimana rasanya memiliki keinginan yang belum juga terwujud. Saya juga pernah mengalami, hingga tahu rasanya mengantri dokter berjam-jam, melalui banyak suntikan menyakitkan, minum obat sampai muntah-muntah karena kebanyakan, mengeluarkan uang hingga tak ternilai lagi berapa nol digit di belakang. Sehingga, wajar. Jika pada satu titik, Perempuan Pertama ini berada pada satu titik, KEJENUHAN.

"Tapi, perceraian dan belum hamil itu dua ujian yang berbeda. Aku merasa ujianku lah yang paling berat", tukasnya lagi menampik kisah yang saya ceritakan.

Dan, pada perbincangan hingga larut malam itu, ia mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan.

"Kau tahu, jika aku ini hamba, dan Allah adalah Tuhan. Dan jika hamba adalah anak, sedang Tuhan adalah orang tua. Aku merasa orang tuaku sedang membagi-bagikan kuenya kepada semua anak. Sedang aku adalah anak yang tersisih, terlupakan karena tidak mendapat bagian. Menyedihkan bukan?"

"Atau aku terlampau banyak dosa? Tapi... Tapi... Para pezina tetap saja bisa hamil dan punya anak".
Jika kalian sedang berada di ujung tanduk, berada di puncak maksimum kepenatan, mulai berbicara 'aneh' soal Tuhan, maka ini warning awal, tanda-tanda stadium darurat menuju level empat.

"Aku rapuh. Aku merasa tak mampu dengan ujian ini. Tapi aku tetap berdoa, tetap berharap. Bukankah sampai masuk liang lahat pun kita tetap diuji? Dengan rentetan pertanyaan?"
Ingatlah, pada dasarnya, manusia itu, pada level terendah kesadaran, tetaplah mengingat Tuhan, dan bahkan kematian.

Dan ingat lagi, salah satu tanda kekritisan memasuki level empat seperti yang saya ceritakan tadi, adalah setelah mengingat Tuhan, ialah dengan mengulang kembali pertanyaan,

"Aku melihat keluarga yang lengkap, suami-isteri-anak, hidup rukun dan bahagia. Tak terlihat ada masalah di antara mereka. Apa itu penglihatanku saja. Menurutmu, keluarga yang lengkap. Ayah-ibu-anak, apa mereka tak punya masalah? apa mereka hidup bahagia?"

###

Lanjut membaca seri kisah ini pada: #Mengenai Perempuan Kedua

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



9 komentar