Cinta

-85- Sepucuk Surat Pengharapan

Saturday, November 10, 2012



Bismillahirrahmanirrahim,

-----Isi surat Hilyah----
Kepada seorang pemimpin
Yang merindukan kebenaran berdiri
Di atas taman-taman duniawi                                                            

Kepada seorang pemimpin
Yang membangun perjuangan
Lapis demi lapis                                                                                                          
Untuk sebuah kemenangan ukhrowi

Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar dan maha mengetahui dari godaan syeithon yang terkutuk. Dari kejahatan (bisikan) syeithon yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.
___

Hilyah hanya tertunduk, tak ada sepatah katapun keluar, seperti halnya tak ada satu remahpun makanan yang masuk ke dalam. Buliran air matanya jatuh, lebih cepat dari guliran hujan yang tumpah di atas rerumputan. Tak tahu lantaran sebab, rasa iba yang menggelayut dalam hati telah menggoda kedua mata saya untuk turut mengimbuh gerimis.

Hilyah, perempuan periang ini, yang mampu menghibur kami dengan kekuatan kata-katanya. Tidak hanya tulisannya yang menggugah, saya seringkali diam-diam merindukan kalimat demi kalimat yang terlahir dari kedua bibir mungilnya, kalimat indah nan puitis. Hilyah, perempuan muda yang bercita-cita menjadi bagian dari mereka yang disebut sebagai Hamilatul Quran, yang bercita-cita menjadi doktor tafsir Al-Quran, yang bercita-cita menjadi penulis kenamaan. Perempuan muda yang cantik, brilian, cerdas nan aktif ini, kini kehilangan semangat hidup, tak tentu tujuan nan arah perjalanan. Saya hanya mampu memeluknya, seerat mungkin, berharap sebagian duka dan gelisahnya menyublim menjadi segaris manis senyum. Namun tangisannya semakin kuat memendar menggoyah putihnya kanvas langit nirwana.

____


----(Lanjutan surat Hilyah)----

Sungguh beruntung mereka yang bersih hatinya
Yang berani dengan lantang berikrar bahwasanya
“Tiada Illah yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”
Sungguh beruntung siapa saja  yang bisa bersejajar
Dengan mereka yang termaktub sebagai Muqorrobin
Pejuang-pejuang yang rela mengorbankan seluruh jiwa, raga, ruh
dan nyawa hanya untuk Allah semata

Ketika cinta kepada Allah telah berada di atas segala
Ketika ayat-ayatnya telah menggema 
Memenuhi keseluruhan batin dan jiwa

Untuk kesekian kali munajat
 “Ya Allah, jadikanlah Al-Quran ini bagi kami selama di dunia sebagai teman yang selalu bersama kami. Di kubur sebagai pengibur, di hari kiamat sebagai pemberi syafaat, di atas shiroth sebagai cahaya, ke surga sebagai petunjuk dan sahabat, dan dari neraka sebagai penghalang dan penolak”

Maka apakah kita tidak rindu?
Menyegerakan segera bertemu, selayaknya dua insan yang sedang dimabuk asmara

Maka apakah kita tidak malu? Pada hati yang begitu mudah terpesona, oleh banyaknya polesan dunia, hingga kita jatuh ke jurang nista hanya karena buta dengan seonggok raga?

Sungguh beruntung mereka yang bersih hatinya
Yang dengan sangat hati-hati menjaga ‘hati-nya’
Sampai ketika Ia dipertemukan
Dan waktu penggenapan telah tiba
Dengannya, Sang belahan jiwa                                                                     

***
Namanya Hilyah (nama samaran), usianya 21 tahun,  saat saya bertanya padanya kriteria sosok pendamping hidup yang diimpikan seperti apa. Saya melihatnya terdiam seketika, seolah sulit baginya untuk menemukan kata-kata yang pas untuk mendiskripsikan.  Namun rona di matanya berbinar, Ia hanya mampu mengucap, “Ini … seperti yang ada di surat ini”, jawabnya dengan lugu dan tersipu.

Cinta adalah misteri, menemukan cinta, terlebih teman hidup sampai mati juga teka-teki. Kita berbeda dalam banyak hal, tapi kita sepakat bahwa kita menginginkan cinta yang terus hidup, sebesar keinginan kita untuk terus berada dalam kemampuan mencintai hidup. Karena itulah, saya selalu bersemangat saat membicarakan cinta. Saya membayangkan, jika kelak, masing-masing kita akan mengurai kisah yang jauh lebih indah dibanding Qais dan Laila. Masing-masing kita akan memiliki bangunan yang lebih megah dibandingkan Tajmahal. Sebab, bagi saya, dan bagi kita semua, kisah cinta kitalah yang paling indah, paling romantis dan paling menyentuh.

Surat ini, yang tulus ditulis dari lubuk hati yang terdalam, tiba-tiba saja saya mengingat surat seorang muslimah ini saat menyaksikan seorang calon mempelai pria mengucapkan akad, seolah saya kembali mengingat janji yang sama yang diucapkan oleh calon suami saya,
“Qobiltu nikaha bil mahri madzkuro …”, satu kalimat singkat saja, dan halallah sudah.


Saya juga mengingat isak tangis kami yang membahana, saya dan Hilyah pemilik surat itu. Saya mengingat hari dimana ia tergeletak tak berdaya, harinya menjadi kelabu, semangat hidupnya menjadi tak tentu, matanya kuyu, badannya lesu. 

Saya bertanya padanya, "Ada apa? apa sakitmu?". Saya baru saja menemaninya ke dokter, pertanyaan saya kepadanya seolah seperti seorang dosen yang menguji mahasiswinya. 
Sayapun melanjutkan perkataan saya, "penyakit itu hanya dua sebabnya, karena ini (saya menyentuh bagian ubun-ubunnya), atau karena ini (saya menyentuh perutnya). Bagiku, penyakitmu bukan dikarenakan makanan yang masuk ke lambungmu",  
"Surat itu, yang pernah ku perlihatkan padamu Kak, sungguh telah ia sampai pada pemiliknya, pemiliknya yang hak. Hud-hudku telah ku utus untuk menyampaikannya. Namun burung yang pernah menjelajah negeri Saba itu rupanya tak tahu jalan pulang, ia tak pernah kembali. Suratku tak pernah berbalas. Suratku tak sekalipun beroleh jelas. Saat itu kelu rasanya bibirku mengurai panjang sebab ini, pun tak kuasa tanganku menuliskan latar belakang perihal ini."

"Tapi Kak, esok...esok aku akan menikah,,"
Sampai disini habis saya membaca lembaran catatan harian Hilyah, ia memang telah terbiasa meminta saya membaca tulisan-tulisannya, sebab katanya, apa yang hendak di ucap hati lebih mengena jika disemburatkan melalui tulisan. 

"Lantas bagaimana dengan pemilik surat yang hak?"

"Aku berusaha untuk melepasnya. Bertahun-tahun lewat aku telah mempatrikan namanya pada nisan hatiku, tidakkah aku sama gilanya dengan Zainudin yang menggilai Hayati? menjadi nista hanya karena buta dengan seonggok raga?" Tulis Hilyah.

"Aku tak yakin itu mudah bagimu, namun pabila hati itu bersih, Insyaalloh dengan ridlo Allah akan engkau capai tujuanmu yang mulia. Cintamu yang tak lagi bergantung pada makhluk, aku yakin itu!", balas saya. 


Satu minggu, sebelum hari penanggalan itu tiba, saya menyaksikannya tersungkur di atas sajadahnya. Menangisi keikhlasannya yang belum seluruh, mengibai kesabarannya yang belum penuh.
"Aku menyukainya Kak, oleh karena besarnya rasa sukaku yang terlampau itu tak sanggup kuminta ia menjadi pemimpinku, imamku. Tiap-tiap malam aku meminta pada Rabb agar kiranya Ia berkenan memberikannya kecukupan, kebahagiaan dan kebersandingan dengan wanita yang lebih baik dariku. Aku merasa tak pantas, aku merasa rendah dan tak layak sekalipun untuknya ... Inikah kiranya jalan yang telah di restui Tuhan?" 

Saya tak mampu merangkai kalimat lagi untuknya, kecuali himpunan doa, bait-bait nasihat,  tali-temali  kebahagiaan yang menyusur turut pada pernikahannya kelak.
Semoga Hilyah, semoga saja. Sayapun tak tahu pasti, tapi memang benar, semenjak kedatangannya, kondisi Hilyah semakin lama semakin membaik, ia semakin sehat dan bugar. Dan yang lebih membahagiakan, ia mulai kembali kepada peraduan, menjadi Hilyah seperti sedia kala, perlahan pasti dengan kemajuan.
"Ia lah lelaki yang datang padaku tepat di hari dimana aku meminta. Kedatangannya telah berangsur-angsur menyembuhkan dahaga dan sakitku. Ia datang membawa nikmat, ketenangan dan kebahagiaan. Aku yakin lelaki inilah hadiah pemberian Tuhan yang dikirimkannya khusus untukku".

***

Selalu ada kisah yang mengawali kehidupan, selalu ada hikayat yang mengiringi perjalanan. Kadangkala, keindahan kisahnya membawa nikmat pada kesempurnaan hidup. Sebab sudah lumrah adanya, bahwa tidak  akan pernah ada kebahagiaan  melebihi kebahagiaan tercapainya keinginan. Namun laksana siang dan malam, langit dan bumi, panas dan hujan. Tiba saatnya, setelah manusia dilambungkan, ia juga akan dijerembapkan ke bumi, bahkan rasanya seperti benar-benar terperosok jauh di bawah kerak bumi. Tiba saatnya, setelah manusia merasai indahnya jatuh cinta, manusia kelak juga akan merasai sakitnya patah hati.

Sebagaimana Hilyah yang saya kenal, yang diam-diam menyimpan perasaan. Saya selalu ingat bagaimana rona merekah wajahnya, pada suatu siang di pelataran Masjid Al-Hasanah, Jalan Otista Raya Jakarta. Wajahnya yang tersipu malu, duduk di samping lelaki teduh, berpenampilan sederhana. 

Tidak! Mereka tidak sedang berkhalwat. Ada seorang lelaki nan bijak yang menunggui dan merekam semua pembicaraan. Dua manusia berbeda jenis ini, saling tersipu malu menyimpan perasaan suka. Setelah sembilan tahun sejak Hilyah mendefinisikan riak hatinya sebagai cinta pandang pertama. Saya tak habis fikir, bagaimana bisa cinta pandang pertama itu mulai ada sejak kanak-kanak. Ya, lelaki teduh itu, kawan sepermainannya saat kecil.

Selama sembilan tahun, tak saling beroleh kabar dan tak saling tahu menahu rupa, menerima takdir tak disengaja, kembali bertemu, di tempat yang tak biasa, rumah Allah yang mulia.

"Kak, dia sudah menyelesaikan pendidikan Qurannya. Oh aku tak percaya bisa bertemu kembali.", Hilyah tak berhenti menebar senyuman. Menceritakan berulang-ulang lima menit pertemuan tak disengaja itu, tidak kurang dari tiga hari tiga malam.

"Tapi dia terlalu alim. Calon penerus pondok pesantren. Aku tak pantas banyak berkhayal Kak". Lalu tiga hari selanjutnya, panas dingin Hilyah menangisi perasaannya yang tak terkendali. Lamunan-lamunan keindahan penyatuan telah terlampau merajai. Dadanya menjadi sesak, lantaran sebab melawan kendali hati yang mulai terasuki dan tak bersih lagi.

Lalu cerita-cerita bahagia itu berubah rupa menjadi kesenduan. 

Hilyah dan pujaan hatinya itu ternyata belum berjodoh.
"Meski saling memiliki getaran yang sama. Cocok lahiriah. Serasi batiniah. Jodoh tetaplah jodoh. Rahasia tersembunyi yang Allah siapkan sebagai misteri. Pencariannya bisa jadi penuh liku, kisahnya mungkin saja dilalui dengan haru biru penuh paku. Siapa saja yang dikaruniai setitik perasaan cinta, maka ia harus siap menanggung rusuh dan sakitnya jika tak beroleh kesempatan hidup bersama. Karena demikianlah adilnya hidup. Ada tertawa ada menangis, ada bahagia ada sedih, ada jatuh cinta ada patah hati". 


Duhai, demi zat yang menciptakan semua hal berpasang-pasangan.
Ketahuilah, akan ada masa di mana kita merasai malam setelah berjalan di atas siang yang gersang, akan ada masa dimana akan turun hujan deras setelah bumi panas kerontang. Untuk itu, saya seringkali mengingatkan diri sendiri, agar tidak terlalu mengumbar lepas kebahagiaan, karena kebahagiaan yang saya dapat sebagiannya adalah milik orang-orang yang dengan rela hati ataupun mulanya terpaksa mengorbankan hatinya, menyimpan rapat-rapat segenap pengharapannya, dihadiahkannya semua itu, dengan cuma-cuma pada saya. Betapa beruntungnya saya, dan betapa tiada ruginya mereka itu.  Ya, tiada akan rugi karena setelahnya, sang maha Esa akan menghadiahkan sesuatu yang lebih baik lagi, bahkan jauh lebih baik dari hal yang ia tangisi kepergiannya itu. 

Duhai, para pendamba cinta, yang saat ini dengan debar hati menanti kekasih hati. Akan ada masa di mana doa-doa siang malammu mengejawantah, penantianmu berbuah, kesendirian itu akan sirna, kegelisahan itu akan menemukan jawabnya, rasa perih itu akan terobati, dan tidak ada lagi hal yang dapat mengusik hati. 

Maka mari. Kita pelajari perihal cinta ini bersama-sama. Bahwa cinta pada fitrahnya adalah memiliki benarlah adanya. Akibat buncahan perasaan yang menggebu-gebu untuk memiliki itulah, akan selalu ada kemungkinan patah hati. Pandanglah keduanya sebagai hal lumrah yang memang semestinya ada. Sebagaimana terik dan hujan. Siang dan malam. Laki-laki dan perempuan. Berpasang-pasangan. Oleh karena lumrah, dan alamiah, maka engkau tidak pernah akan kehilangan akal sehat -apalagi nyawa- hanya untuk memaksakan cintamu mendapatkan balasan. Sebab ada jenis cinta yang jauh lebih mulia, cinta yang tak sekedar dinisbatkan pada seonggok raga. Cinta yang tak lagi bersandar pada makhluk. Mencintai yang lebih dari sekedar memaksakan kehendak hati untuk memiliki.


Serupa cinta Hilyah.


***
Ramadhan 1437 H akan segera berakhir. Semoga doa-doa di bulan berkah ini terijabah. Teriring doa untuk kawan-kawan dalam masa penantian. Yang dengan rela hati berbagi kisah, semoga dimudahkan dan tahun ini menikah. Amin.

***
Tulisan pada postingan ini saya modifikasi dan tambahkan.
Catatannya aslinya yakni 10 November 2012 tetap tidak boleh dihilangkan. :)


Hari ini, saya menuliskan kisah ini di catatan ini, semata-mata hanya untuk pengingat, lantaran sumringah hati dan bahagia seluruh sendi raga saya menyaksikan penyatuan dua insan hari ini. Tanggal ini mungkin bertepatan dengan hari pahlawan, mungkin berbarengan dengan hari libur, atau mungkin, memang inilah tanggal yang telah ditetapkan Tuhan pencipta langit dan telah tertulis di Arsy sebagai masa pertemuan sekaligus awal menjajaki semerbak harum aroma cinta. Maka, nikmatilah … cicipilah …. Mungkin esok, kita akan saling bertukar episode cinta yang jauh lebih indah.

Barokallohu lakuma wabaroka alaikuma wajama’a bainakuma fi khoiri
*untuk sahabat-sahabatku yang menikah di hari ini


You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



9 komentar

  1. suka banget sama bait pertamanya....
    baguus... :): dan sarat makna

    ReplyDelete
  2. Terima kasih untuk menuliskan ini, Mba. Mindset yang sangat luas :)

    ReplyDelete
  3. Sukaaa sekali dengan ceritanya.. Terimakasih sdh sharing kak.. Sering2 update yaaa :D

    ReplyDelete
  4. Akhirnya selesai juga saya bacanya..
    Mau bilang apa ya? Speechless.. Bagus pokoknya! ^^

    ReplyDelete