Quran

-88- Menjadi Hafidz-Hafidzoh Al-Qur'an

Monday, November 26, 2012



“Sebagaimana bagian luar kulit mushaf dan kertasnya dijaga dari bagian luar kulit penyentuhnya kecuali jika dalam keadaan suci, demikian pula bagian dalam maknanya –sesuai kemuliaan-Nya- juga terhalang dari hati kecuali jika dalam keadaan suci dari segala najis dan diterangi  cahaya pengagungan dan pemuliaan. Sebagaimana tidak semua tangan bisa menyentuh kulit mushaf, demikian pula tidak semua lisan bisa membaca huruf-hurufnya, dan tidak semua hati bisa memperoleh makna-maknanya”1

Bismillahirrohmanirrohim.
Al-Quran itu mukjizat, Al-Quran itu ruh, Al-Quran itu pedoman dan petunjuk hidup. Sudah, sampai disitu saja nampaknya pengertian kita tentang Al-Quran. Lantas selanjutnya, kita terus hidup tanpa berusaha membawa diri berada di bawah cahaya keagungan-Nya, interaksi kita baru sekedar membaca ayat-ayatnya tanpa ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk bisa memahami dan mengamalkannya.

Kita memercayai Al-Quran, namun di saat yang sama, kita pun ragu apakah Al-Quran ini satu-satunya falsafah yang harus menjadi pedoman? Kita membacanya, mungkin hanya sekedar memenuhi wajibat, target harian. Atau lebih parah lagi, kita membacanya sepenggal-sepenggal, mengambil yang sesuai, lalu meninggalkan yang tak sesuai dengan realita kehidupan. Seperti sebagian kaum perempuan kita yang begitu fasih membaca Al-Quran, yang rajin hadir di majelis pengajian. Coba sesekali tanyakan, apa alasan dibalik kerudung cantiknya yang hanya digunakan sekenanya, sekedar untuk menghadiri taklim, setelah itu hilanglah kewajiban menggunakan. Atau kaum bapak-bapak, setelah berulangkali khatam, mengapa tidak juga melangkahkan kakinya untuk berjamaah di Masjid?


Atau barangkali, pertanyaan itu pantas dilayangkan pada masing-masing diri kita. Mengapakah Al-Quran ini tak terasa istimewa di hati? mengapa Al-Quran ini terasa berat saat dilafalkan, namun terasa ringan saat ditinggalkan? Mengapa belum juga kita rasakan lezatnya berinteraksi dengan Al-Quran?

Jawabannya, karena kita ragu. Ya, karena kita masih ragu terhadap Al-Quran. 
"Inilah kitab, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Petunjuk bagi mereka yang bertakwa" (Q.S Albaqoroh:2).
Dalam suroh Al-Baqoroh, Allah mengawali kalimatnya dengan sebuah kalimat indah di ayat kedua setelah alif-laaf-miim. Satu kalimat ini, barangkali dapat sedikit memberikan pemahaman tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan Al-Quran. Lafadz La roiba pada ayat ini mengandung arti bahwa tidak ada keraguan di dalamnya. Sebagian ulama mengatakan ini merupakan kalimat berita yang mengandung arti larangan, artinya "janganlah kalian meragukannya". Setelah La roiba, barulah dikatakan, Hudan (petunjuk). 
Dengan kata lain, untuk mendapatkan petunjuk dari Al-Quran kita tidak boleh meragukan Al-Quran. Sebaliknya, saat kita terus bersikap ragu terhadap Al-Quran, maka kita tidak akan pernah bisa mendapatkan petunjuk dari Al-Quran.Wallohu a'lam.

Apa Itu Ragu?

Ragu adalah kondisi pertengahan. Ragu menempatkan diri kita pada setengah percaya dan setengah tidak. Hal demikian samahalnya dengan kondisi dimana kita percaya pada Allah, namun diwaktu yang sama bisa jadi kita tidak percaya bahwa Allahlah yang menurunkan rizqi, Allahlah yang menyembuhkan dan Allahlah yang berhak atas setiap peristiwa yang kita alami. Itu sebabnya, masih banyak diantara kita yang mengaku beriman (percaya pada Allah) namun masih menggantungkan kesembuhan pada dukun yang syirik. Atau melalaikan sholat karena tidak rela meninggalkan dagangan. 

Begitupun keraguan kita yang masih sangat besar terhadap Al-Quran. Kita membacanya, mengamalkan sebagian suroh-suroh utamanya, akan tetapi di waktu yang sama, kita ragu bahwa Al-Quran ini benar-benar petunjuk, bahwa Al-Qur'an ini mukjizat yang nyata, bahwa Al-Quran penyembuh hati, bahwa Al-Quran ini mulia. Maka, bisakah hati-hati yang penuh dengan keragu-raguan berkumpul dengan Al-Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya? jiwa-jiwa yang tak tentu bersemayam bersama kitab yang benar-benar diturunkan dari Allah? seperti halnya, bisakah seorang yang mengikuti lomba akan memenangkan pertandingan saat ia begitu meragukan kemampuannya?

Tulisan ini, yang saya beri judul Menjadi Hafidz-Hafidzoh Al-Quran adalah janji saya kepada beberapa sahabat yang meminta saya sedikit berceloteh tentang bahasan ini. Selain itu, juga sebagai upaya untuk memotivasi diri saya sendiri, semoga dan mudah-mudahan Allah berkenan menjadikan kita bagian dari Ahlul Quran. Amin. Saya bukanlah seorang ahli di bidang Al-Quran atau semacamnya, saya yang dhoif ini hanyalah sebagian dari manusia yang berusaha untuk dapat meraih kemuliaan dari Al-Quran. Untuk itu, sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya memohon maaf jika masih terdapat banyak sekali kekurangan atau pembahasan yang kurang tepat, saya berharap kita dapat melanjutkannya menjadi sebuah diskusi yang mengasyikkan.

Apakah Menjadi Hafidz-Hafidzoh Atau Penghafal Al-Quran Itu Penting?

Tidak, sama sekali tidak penting. Catat kalimat saya barusan. Bahwa ya, jika anda memberikan pertanyaan tersebut pada saya, saya akan menjawabnya dengan jelas, bahwa menjadi penghafal Al-Quran itu sama sekali tidak penting. Sebab Al-Quran memiliki tujuan yang lebih tinggi dibandingkan hanya sekedar dihafalkan.

Bagaimana bisa demikian?

Begini, pertanyaan tersebut sama halnya jika saya kiaskan dengan pertanyaan, "Apakah menjadi penulis itu penting?", jawabannya tentu saja tidak penting. Kita akan memiliki seribu alasan untuk mengatakan bahwa menjadi penulis itu sama sekali tidak penting. Pernyataan klise pertama yang akan muncul adalah, "saya tidak bisa menulis". Pernyataan klise kedua yang biasanya menyertai adalah "saya sibuk, saya tidak memiliki waktu". Selanjutnya adalah alasan yang dibuat-buat seperti "saya tidak berbakat", "saya malas" dan lain sebagainya. Padahal, seperti sudah kita ketahui, menulis adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk menjadi orang yang berpengetahuan. Seorang penulis secara otomatis akan banyak membaca buku, ia akan dengan sendirinya baik secara terpaksa atau secara sadar memaksakan dirinya untuk terus belajar. Interaksinya terhadap buku bacaan lambat laun akan menjadi kegiatan yang menyenangkan dan bukan lagi kewajiban. Jadi kesimpulannya, seorang penulis adalah seseorang yang gemar membaca. Sebaliknya, seseorang yang gemar membaca belum tentu seorang penulis. Tentu saja, seseorang yang berada di posisi pertama berada beberapa tingkat lebih tinggi dibandingkan posisi kedua.

Begitupun dengan Al-Quran, menjadi penghafal Al-Quran adalah salah satu cara terbaik untuk berinteraksi dengan Al-Quran. Dengan menghafal, semakin banyak bacaan yang diulang, itu artinya semakin sering Al-Quran dibaca dan semakin intens pertemuan kita dengan Al-Quran. Karenanya, seorang penghafal Al-Quran adalah seseorang yang mencintai Al-Quran. Sebaliknya, seseorang yang mencintai Al-Quran belum tentu adalah seorang penghafal Al-Quran.

Apakah Ada Cara Lain Untuk Memahami Al-Quran Selain Dengan Menghafalkannya?

Oh, tentu saja ada. Banyak sekali cara untuk mendapatkan pemahaman intisari Al-Quran.

Apakah Ada Cara Lain Selain Menulis?
Saya kembali mengiaskan pertanyaan di atas dengan kiasan menulis tadi. Oh, tentu saja ada. Tidak perlu menjadi penulis, asal anda mencintai buku, gemar membaca, memiliki niat sungguh-sungguh dan keyakinan penuh, itu saja sudah cukup menjadi jalan yang mudah bagi anda untuk meraup ilmu.

Lantas, Mengapa Harus Menjadi Penulis?
Pertama: karena menjadi penulis itu Keren. Anda tidak dapat memberikan sanggahan bukan? jika saya mengatakan bahwa menjadi penulis itu Keren? apalagi jika sang penulis telah menghasilkan banyak buku yang anda baca sampai habis air mata, buku yang membuat anda tidak berhenti mengikik tertawa, buku yang mencerahkan. Jangankan sang penulis dengan puluhan bukunya, seorang penulis amatiran pun yang tulisannya mampu menggugah dan memperkaya hati anda, anda pasti sepakatkan dan mengatakan bahwa menjadi penulis itu benar-benar Keren?

Jadi, demikianlah. Salah satu alasan mengapa harus menjadi Hafidz-Hafidzoh atau penghafal Al-Quran  adalah karena menjadi penghafal Al-Quran itu Keren. Tidak ada yang dapat menyanggah bahwa menjadi Hafidz-Hafidzoh itu Keren bukan? Allah menjanjikan banyak kemuliaan pada penghafal Al-Quran, Allah menjanjikan banyak rahmat dan sakinah, Allah melebihkan derajat para penghafal dibandingkan yang lain. 

Pertanyaannya kini, apa kita bisa memercayainya? apakah kita benar-benar bisa meyakininya?

Mereka yang tidak mau menulis itu bukanlah karena tidak bisa menulis. Bukan juga semata-mata karena malas atau tidak mau. Mereka hanya ragu, mereka hanya tidak yakin, tidak percaya. Bahwasanya dengan menulis mereka akan mampu menguasai dunia, bahwasanya dengan menulis mereka mampu memberikan manfaat pada sesama. 

Mereka yang tidak bersegera menjadikan dirinya Hafidz-Hafidzoh Al-Quran bukanlah karena mereka tidak bisa menghafalkan Al-Quran. Bukan juga semata-mata karena malas atau tidak mau. Mereka hanya ragu, hanya tidak yakin, tidak percaya. Bukan hanya ragu terhadap Al-Quran, mereka juga ragu bahwasanya dengan menjadi Hafidz-Hafidzoh Al-Quran itu sebuah kemuliaan, bahwasanya dengan menjadi Hafidz-Hafidzoh Al-Quran itu adalah sebuah jalan agung menuju cahaya Al-Quran. 

Sebab, apapun yang anda yakini akan menjadi kenyataan bagi anda.







Keterangan:

1. Said Hawa dalam bukunya, Tazkiyatun Nafs, fasal kelima, Tilawah Al-Quran hlm 87. 



Silahkan melanjutkan bacaan ini menuju Menjadi Hafidz-Hafidzoh Al-Quran [2]

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. OOT yak. *gak tahu Nurin buka blog atau Facebook, jadi jawabnya di sini aja*

    Dari beberapa hari ini recent comment-ku juga error. Kayaknya bawaan dari blogspot-nya.

    ReplyDelete
  2. @Millati Indah Sama berarti ya. Tapi Milo, punya Eny kok kagak Eror yah? sama-sama blogspot bukannya ya?

    ReplyDelete