Parenting

-247- Menjadi Sahabat Anak Saat Ia Remaja dan Dewasa

Friday, September 22, 2017


Bismillahirrahmanirrahim.

Sepucuk surat. Harum sekali baunya. Saya terima sepulang sekolah, dari salah seorang teman perempuan saya. Kami terbiasa berangkat sekolah dan pulang ke rumah bersama-sama. Waktu itu saya masih SMP. Sepanjang perjalanan, ia dan teman perempuan saya yang satu lagi, tertawa dengan penuh arti.
"Cieeee....", goda mereka.

Wajah saya bersemu merah bercampur malu. 🙈

Sampai di rumah, saya langsung menemui ibu dan bercerita.

"Ibu... aku dapat surat. Aku di ajak jalan hari Minggu besok." Semangat sekali saya bercerita seusai dari sekolah siang itu.

"Ibu, dia itu cowok terganteng deh Bu di MTS nya. Yang biasa pake vespa itu lo Bu. Yang keren itu... yang pinter main basketnya...yang..." saya terus saja nyerocos gak karuan saking kegirangannya. (Duh, saya dulu pernah ng4l4y dan ababil juga waktu remaja. 😂).

Panas dingin saya cerita ke Ibu.
"Ibu, dia bilang dia suka sama aku ibu di suratnya."

"Duh, aku harus gimana ya Bu nanti kalau diajak jalan..." 😅

Perasaan saya waktu itu girang sekali. Disukai seorang cowok keren, tampan, idola banyak perempuan. Suatu keberuntungan besar. (((Keberuntungan))). 😁

Karena saya heboh sesiang itu, Bapak jadi ikut nimbrung dan akhirnya Bapak, Ibu dan saya terlibat perbincangan seru.

"Jadi gimana Pak, nanti kalau jadi ketemuan, aku harus ngomong apa, malu nih Pak deg-degan." Tanya saya dengan hati yang berbunga-bunga.

Saya ingat jawaban Bapak Ibu waktu itu.

"Biasa saja. Ngobrol aja biasa. Kamu tanya, dia rumahnya di mana, Bapak Ibunya siapa, orang tua kerja di mana, hobinya apa, sukanya apa, saudaranya berapa."

"Trus nanti kalau dia tanya gini, aku jawab apa Pak?"

"Suratnya dibalas gak Pak? entar kalau gini gimana, kalau gitu gimana, aku dibolehin jalan gak Pak?"

Heboh deh pokoknya. Hebring banget daaah. 😹

Meski akhirnya saya gak jadi ketemuan. Gak jadi panas dingin deg-degan di hari Minggu. Karena ternyataaah itu temen perempuan saya ngerjain saya. Padahal sayanya udah kegeeran aja. 😂

"Aku bikin surat itu sampai tengah malam tahu. Habis hampir setengah botol parfum supaya kertas suratnya sewangi itu..hahaha..." Puas sekali dia tertawa sepanjang perjalanan pekan berikutnya. (Minta ditimpuk dua puluh sendal ni anak emang 😜).

Sedekat ini hubungan saya dengan Bapak Ibu saat remaja. Rumah menjadi tempat paling nyaman tidak hanya sebagai tempat untuk tidur dan makan. Tetapi juga untuk berbagi perasaan.

Saya menulis tentang ini karena tertarik dengan artikel Mbak Inna Riana pemilik blog www.emakriweuh.com  yang tayang di web Kumpulan Emak Blogger berjudul Belajar Parenting Dari Sekitar Kita. Di dalam artikel tersebut Mbak Inna menceritakan bahwa salah satu tempat belajar parenting adalah dari orang tua sendiri.

Saya jadi ingat bagaimana orang tua saya mendidik saya saat remaja. Terlebih, menemani saat masa-masa puber dan mulai mengenal lawan jenis. Ini masa yang cukup penting sekaligus 'genting' menurut saya. Masa remaja menjadi dasar peralihan dan dasar penting yang menjadi landasan sekaligus fondasi bagaimana dan akan menjadi apa seorang anak nanti di kemudian hari.

Menghargai Perasaan Anak

Ini yang sangat saya rasakan dan melekat benar. Saya merasa dihargai. Perasaan saya diamini. Ketika saya merasa berbunga-bunga karena 'merasa disukai', orang tua saya menghargai perasaan saya. Mereka menjadi sahabat baik saya untuk berbagi perasaan, tempat bertanya, tempat curhat dan apapun itu namanya. Bicara kepada keduanya membuat saya nyaman dan membuat saya merasa; saya dipercaya.

Seorang pakar pengasuhan anak, Abah Ihsan Baihaqi mengatakan bahwa terhadap seorang remaja, jadilah teman bicara untuknya bukan menjadikannya sebagai obyek pembicaraan. Ajak ia ngomong, jangan diomongin. Jadilah teman bicara untuk anak, bukan malah banyak memberinya nasihat dan malah menyudutkan. Nasihat itu perlu tetapi jangan kebanyakan nasihat. Jika anak diomongin terus dari pagi sampai pagi lagi misalnya, ia akan menjadi bosan dan secara naluriah akan menjauh dari orang tua. Lalu lambat laun akan mencari tempat pelarian. Ke teman-temannya. Mereka akan mencari komunitas di mana di sana kehadiran mereka, perasaan mereka, dihargai. Demikian, ucap Abah Ihsan dalam sebuah wawancara.

Menjadi Sahabat Anak

Untuk urusan perasaan. Saya cukup dekat dengan Bapak. Adik lelaki saya dekat sekali dengan ibu. Ibu tahu siapa-siapa saja yang sedang disukai adik, siapa saja teman-teman perempuannya dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, karena adik lelaki saya sepertinya nyaman berbincang ke ibu.

Saya? saya belajar banyak dari Bapak. Dulu saya risih sekali dengan teman-teman lelaki yang suka 'mengejar-ngejar' (ngajak jadian). Saya takut melewati jalan tertentu karena di sana biasanya ada banyak komplotan remaja lelaki yang suka usil bersiul-siul.

Kata Bapak, "gak papa Nak. Laki-laki suka ke perempuan itu wajar. Biasa itu. Jadikan teman saja."

"Oh biasa itu kalau ada cowok-cowok usil yang suka nyiulin cewek. Itu cuma iseng. Nanti kamu begini... kalau digituin kamu tuh begini...."

Saya belajar menghargai perasaan orang lain dari Bapak. Saya belajar mengutarakan ekspresi dari Bapak. Bapak adalah lelaki pertama sebelum suami yang tidak pernah malu untuk menangis di depan saya saat mengutarakan isi hatinya. "Perasaan itu harus diekspresikan"', kata Bapak. Apalagi di depan orang-orang yang kita sayangi.

Begitupun dengan ibu. Saya merasakan kehadiran mereka berdua, dan mereka adalah sahabat baik dalam tumbuh kembang saya saat remaja.

Saya membuka surat-surat cinta yang datang bersama Bapak dan Ibu. Membuka kiriman hadiah bersama mereka. Asyik berbincang dan tertawa dengan beliau berdua.

"Pak, si A nembak tadi. Masak aku dibicarain guru, gara-gara dia. Disangka kebanyakan pacaran. Sebel banget kan. Padahal aku gak ada ngapa-ngapain." Seringan ini bicara saya kepada Bapak.

Sebagaimana yang sering disampaikan Bu Elly Risman, "Kembalikan Ayah ke rumah." Janganlah berayah ada tetapi seperti berayah tiada. Ayah dibutuhkan perannya dalam pengasuhan anak. Ayah harus punya waktu untuk bicara kepada anak-anaknya.

Bahkan tidak hanya kehadirannya, saya merasakan kehangatan beliau dan ketauladanan yang beliau ajarkan. Ini hal kedua yang saya pelajari dari pola pengasuhan kedua orang tua saat remaja, menjadi sahabat yang hangat, lembut, dan penuh tauladan. 

Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak

Ini hal ketiga yang agak sulit saya terapkan sendiri dalam hal pengasuhan anak. Kenapa? karena dulu Bapak dan Ibu saya sepenuhnya percaya dengan anak. Tidak ada pengasuhan otoriter atau paksaan kehendak dari orang tua. Beliau berdua memberi kebebasan kepada anak-anak dalam hal pembuatan keputusan, diberi kebebasan bermain, mencoba ini itu selama itu masih positif. 

Saya bersyukur di saat remaja dulu, saya merasakan semua hal yang semestinya bisa saya rasakan di masa itu. Saya diizinkan pergi ke luar kota, dipercaya menginap bermalam-malam untuk urusan organisasi luar sekolah. Diizinkan ikut jelajah hutan dari malam sampai pagi hari, diizinkan merasakan semua kegiatan terkait hobi. Saya bicara seperti ini, karena tidak semua kawan sebaya saya diizinkan menjalani hal seperti saya. 

Dalam hal lainnya, batasan pergaulan misalnya, saya tidak dididik secara keras ini halal, ini haram. Saya diajak berfikir untuk pada akhirnya tumbuh secara alamiah, ini baik ini tidak. Saya tidak dididik dengan kalimat, "jangan pacaran! pacaran itu haram", misalnya. Saya dididik dengan pemahaman, dengan penanaman. Hasilnya, saya menjadi paham batasan pergaulan tanpa paksaan. 

Kepercayaan penuh dari orang tua menumbuhkan rasa percaya diri. 
Saya menjadi terbiasa memutuskan apapun sendiri, mandiri secara pikiran dan menjadi terbuka.

Selain tiga hal di atas yang saya ceritakan, saya belajar bahwa keharmonisan ayah bunda dan kesamaan visi misi dalam hal pengasuhan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anak.

Seperti kata Bapak, "anak itu dikuatkan dari rumah. Fondasinya dari rumah. Peran bapak ibunya yang penting. Sekolah, lembaga luar dan lain-lain itu hanya sarana yang membantu. Anak sukses itu bermula dari rumah."

Nasihat itu mengingatkan saya pada pernyataan Abah Ihsan Baihaqi lagi, kata beliau, "anak-anak yang bermasalah itu sebenarnya bukan dari lingkungan. Saya bisa jamin bahwa kesalahan terbesar ada pada cara pengasuhan ayah dan ibunya."

Saya belajar banyak sekali dari Bapak Ibu. Mereka idola dan menginspirasi saya dalam banyak hal. Semoga kelak saya pun dapat menjadi sahabat baik untuk anak saat remaja dan menemaninya mendewasa.



You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



6 komentar

  1. betul banget. waktu kecil ortu kurang peka sehingga aku sempet tumbuh jadi anak yg ga pede. dari situ belajar lagi agar tidak terulang kesalahan yg sama pada anak2ku nanti

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, mari kita ambil yang baik-baik saja dari ortu kita. :)

      Delete
  2. Ortunya asyik ya mba.. Bisa deket bnget secara psikologis ke anak. Sayang ortuku dulu nggak..

    Nggak tau. Mungkin krn umurnya terpaut jauh. Saya bungsu, sementara jarak usia saya dengan 2 kakak cowok, jauh.

    Jd sejak kecil saya sering dianggap kecil terus. Klo ada apa2 saya curhatnya ke tmn.

    *malah curhat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak apa Mbak, boleh kok curhat. Saya yang minta maaf, mbalesnya hampir dua tahun kemudian. :D.

      Delete
  3. Mbak, you are ultimately blessed. Orang tua Mbak asyik sekali, and they raise you well, menghargai perasaan, bisa jadi sahabat, bisa menumbuhkan rasa percaya diri.

    ReplyDelete