Celoteh

-179- Mencari Makna Filosofi Hidup

Monday, January 04, 2016


November Kelabu, Desember Haru, Januari Baru


Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulillah, blog ini telah memasuki usia 4 tahun. Wooo… 4 tahun! (Dengan capaian mulanya blog remahan rengginang menjadi blog butiran debu intan berlian, ihihi.) Setelah pada bulan November lalu berada pada bulan yang paling menentukan, bulan-bulan dimana saya melihat segala sesuatu seolah gelap, kelabu. Bulan dimana rasanya saya ingin menghilang dari semua peredaran ‘kenarsisan’, haha… menutup semua cerita, dalam satu waktu. Lalu, di bulan Desember, semuanya berbalik. Desember menjadi bulan haru, dimana saya lebih banyak menziarahi masa lalu, saya membuka semua catatan harian yang saya miliki, terutama catatan harian selama di Jakarta, periode 2004 – 2009, dimana saya memiliki banyak cerita di sana, banyak kegelisahan, banyak perjuangan, banyak pencarian, banyak kegilaan, rupa-rupa kehidupan. Catatan harian terbanyak yang pernah saya miliki!, saya sampai takjub sendiri, merasa tak percaya, dulu saya sebegitu ngenestnya -bukan iklan film-, ternyata..ehehe.  


Maka, di bulan Desember, baiklah, saya putuskan untuk tetap membuka blog ini, tetap menulis, dan saya pastikan, setelahnya, saya akan lebih serius, inshaAllah tidak lagi menjadi penulis senin-kamis. Blogger uring-uringan, hari ini buka, besok tutup, selama-lamanya. Hahaha…#daleeem.

Tuhan menolong saya
Allah tahu, ribuan kali saya katakan bahwa saya tidak akan menulis lagi, saya hanya berdusta!.
Saya tidak pernah bisa benar-benar melakukannya.
Menulis adalah salah satu sumber kebahagiaan bagi saya.
Dan berbagi menjadi bumbu hingga kebahagiaan itu lebih terasa manis dan lezat.

Bulan Januari, menjadi bulan baru, tepat satu bulan usia blog dengan domain dan tampilan baru ini, Alhamdulillah. Selama tahun 2015, saya tidak banyak posting tulisan, errr…karena saya lebih banyak melakukan pertapaan di pegunungan, berdiam diri di hutan, merenung di pinggir lautan, duduk diam di tepi jalan. Ahahai, tidak.  Saya tidak melakukan itu semua. Tahun 2015 menjadi tahun pembelajaran. Saya menjauh dari sebagian keriuhan, untuk merasapi apa yang benar-benar saya inginkan, dalam hidup. Semacam mencari definisi dan filosofi hidup, begitulah.

Cieee, Jadi ceritanya sudah dapat filosofi hidup nihh? Belom juga sih ternyata….ahahaha,,,. Jadi elo ngapain aja Ndro selama 2015? :p

Pembelajaran hidup akan terus kita dapatkan sepanjang kita hidup. Belajar kehidupan itu seumur hidup!, tidak habis setahun dua tahun. Tetapi, ada beberapa hal yang kemudian ingin saya bagi, hasil dari bulan-bulan perenungan, selama ini.

               1. Melepaskan Masa Lalu dengan Cara yang Benar


Saat saya membuka lemari dan mencari kumpulan catatan harian saya. Saya menemukan kotak cokelat yang masih saya simpan, umurnya sudah 9 tahun. Masih awet, plastik pembungkusnya yang asli juga masih belum rusak. Cokelat Made In Belgia ini memiliki kenangan yang sulit saya lupakan. Ketika saya membukanya kembali, saya seolah mengingat betapa nikmat dan enaknya rasa cokelat yang saya dapatkan pada pertengahan tahun 2006. Dua minggu lalu, saya memesan cokelat Made In Indonesia (penting ya bok sebut made in :p) yang saya beli secara online dengan harga yang lumayan. Saya tahu, saya tidak lagi menjadi penyuka cokelat setelah tahun 2006. Cokelat yang saya makan setelah tahun itu, tidak lagi menjadi enak.  Rasanya pahit, tidak lagi pernah menjadi manis semanis saat itu. Setelah cokelat pesanan saya tiba, dan saya rasakan, rasanya tidak pahit, tapi juga tidak manis. Saya mendapatkan kesimpulan bahwa benar saya bukan lagi penyuka cokelat. Tetapi, rasa cokelatnya telah kembali, sebagaimana rasa cokelat aslinya #belibet ya ngomongnya…:).


Baik, saya memang penyimpan kenangan.  Saya bukan tipe orang yang jika ingin ‘move on’ dari sesuatu lalu bakar-bakar, atau kubur-kubur. Saya menyimpannya, pertama: seringkali karena saya sayang barangnya, terlalu bagus untuk dibuang, terlalu banyak kenangan di dalamnya, kedua: karena saya selalu berfikir suatu saat saya bisa menjadikannya bahan untuk menulis, lalu membaginya. Ketiga: menurut saya barangnya gak salah apa-apa, kenapa harus dicampakkan? Kenapaaaah? Kenapaaaah? Apa salahnya?. Ok, alasan yang terakhir terlalu lebay, abaikan. :). Kecuali, memang barang-barang itu terlalu menyakitkan untuk dikenang, untuk diingat-ingat lagi, saya juga tidak akan berfikir panjang untuk memusnahkannya.  


Buku-buku catatan harian saya selama di Jakarta

Kembali ke cerita kotak cokelat tadi.

Saya bisa saja kembali membuka kenangan tentang cokelat ini, kapan saja, tapi hidup saya tidak pernah terpaku untuk kemudian kembali ke masa itu. Saya mulai bisa berdamai dengan masa lalu. Masa lalu, biarkan saja, tetap ada, pada tempatnya. Saya tidak pernah berusaha melupakannya, sebab itu sulit! Sebab itu sakit! Yang saya lakukan adalah melepaskannya. Berusaha ikhlas bahwa yang pernah terjadi di masa itu, biarlah terjadi. Dan saya, saya akan hidup di masa yang sekarang, masa ini. Untuk belajar melepaskan ini, tentu butuh waktu. Saya tahu, tentu ini tidak mudah. Karena itu, kita butuh waktu, pembelajaran tak pernah mengenal kata buru-buru. Salah satu cara untuk belajar melepaskan adalah dengan belajar mengenal Tuhan, mengenal Allah, dengan cara yang benar.

Tugas Kita Melepaskan, Bukan Melupakan

Saya punya seorang kenalan yang saat ini sedang belajar berhijab. Dia bukan artis, bukan selebritis, bukan orang terkenal. Seorang perempuan muda biasa, sederhana, dengan dandanan yang cukup mencolok, sedikit menor, dan pakaian yang cukup melekat di badan. Dia berkisah pada saya, bahwa dahulunya dia bercadar!. Jangan ditanya, tentu saja saya kaget, teramat sangat, bagaimana bisa? Rupanya kesakitan mendalam akibat kegagalannya dalam pernikahan membuatnya sangat terpukul. Kekerasan dalam rumah tangga, dikhianati, ditinggal kawin lagi,  lalu perceraian. Baginya, semua impian, harapan, bayangan akan keindahan itu bubar, dunia menjadi sempit, putih terlihat hitam, bahagia menjadi sendu, riuh menjadi sepi, semuanya pedih, sakit, nanar. Perubahannya, ia lakukan secara sadar sebagai bentuk pencarian kebahagiaan, katanya. “aku lakukan semua hal yang aku suka, yang bisa membuat aku merasa bebas, lepas, bahagia”, Lantas apa? Tidak ada, hanya kehampaan, kebahagiaan semu, dan pura-pura. Alhamdulillah, Allah masih sayang, Allah berkenan memberikannya hidayah, petunjuk, yang akhirnya membuat ia kembali. Kembali belajar untuk mengenal Allah, dengan perlahan. Tetapi, pertanyaannya, bagaimana jika tidak?

Mengenal Allah, meyakini bahwa Allah pemilik skenario, bahwa kita ini hidup untuk Allah dan akan kembali kepada Allah, akan membuat kita lebih ringan menjalani hidup. Segala kesulitan, kegagalan dan impian yang tak kunjung terwujud tidak akan menorehkan kesedihan terlalu dalam. Ada Allah, jika pun tak sesuai harapan. Barangkali karena Allah sayang, karena Allah sayang dan tak menginginkan kita hidup dengan lelaki yang tak baik, misalnya, sehingga Allah jauhkan. Barangkali karena Allah sayang, sehingga doa-doa kita belum juga terkabul, sebab ada mudhorot yang jauh lebih besar jika doa itu mewujud. Dunia ini bukan milik kita, hidup cuma sebentar, sementara. Manusia hanya berusaha, berikhtiar, takdir bisa diubah dengan ikhtiar dan doa. Tetapi hasilnya, itu hak Allah. Kita boleh bersedih, merasakan sakit sesakit-sakitnya, jatuh-sejatuhnya, terpuruk seterpuruk-puruknya, tetapi ingat kuncinya,

“Allah pemilik skenario, hidup ini untuk Allah dan akan kembali kepada Allah, manusia itu tinggal menjalani, mensyukuri dan menikmati”.

Lepaskan, Dengan Cara yang Benar


Waktu saya masih kecil dulu, tetangga di depan rumah kami, meninggal gantung diri. Saya yang masih kecil saat itu, tidak pernah mengerti jalan pikiran orang dewasa, kenapa si Bapak yang punya rumah bagus, berpenghasilan, punya isteri dan anak-anak yang lucu itu harus meninggal bunuh diri di pintu kamarnya. Seberat apakah persoalan hidupnya? Sampai ketika dewasa, cerita-cerita tentang bunuh diri lebih banyak lagi saya dengar. Di televisi lebih sering kita mendengarnya, ada temannya teman saya yang menenggak racun karena tidak tahan dengan perlakuan suaminya. Waktu itu saya baca status dari teman saya di social media, banyak sekali yang mendoakan dan bersimpati terhadap kisah perempuan ini. Tetapi, ketahuilah, cara pelampiasan yang salah tetap saja salah, tidak bisa dibenarkan. Begitulah, makna dari agama sebagai jalan hidup, tuntunan. Ada pedoman yang jelas tentang mana salah dan mana benar. Begitupun dengan cara pelampiasan kenalan saya yang merubah pakaian secara drastis seperti yang saya ceritakan tadi. Lepas hijab!, meskipun jutaan orang menganggapnya biasa, cara pelampiasan yang salah tetap saja salah, tidak bisa dibenarkan atau dianggap benar. Tetapi ingat untuk tidak pernah mengucilkan, mencela, menjauhkan diri dari orang-orang seperti ini. Kita tahu perbuatannya salah (mungkin ia sendiri juga sadar akan hal itu), mereka butuh pendampingan, butuh kawan, dan butuh nasihat-nasihat kebaikan. Syukur, jika Allah membukakan kembali pintu hatinya melalui kedekatan kita dengannya.

Selama manusia masih hidup, masalah akan selalu ada. Berat atau ringan tergantung bagaimana cara kita memandang. Setiap kekecewaan pasti akan melahirkan pelampiasan. Bentuknya bisa bermacam-macam. Cirinya bisa terlihat dari lonjakan perubahan drastis pada diri seseorang. Perubahan yang terjadi adalah hal alamiah, sebagai bentuk resistensi seseorang terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Perubahan-perubahan ini yang sebenarnya dapat dikelola ke arah yang positif, ke arah yang benar.

            2. Hidup di Masa Kini dengan Damai


Setelah dapat melepaskan semua masa lalu, maka kita baru saja memulai hidup yang baru, hidup di masa kini dengan damai. Masa lalu, seindah apapun itu, tidak bisa kita kembalikan. Masa lalu, sepahit apapun itu, tidak bisa berulang, sehingga apapun yang terjadi, di masa yang telah usang, sudahi, abaikan. Hiduplah di masa kini dengan damai.

Bagi saya, di hari ini, apapun cerita di masa lalu, tamat, the end. Kalaupun nanti pada akhirnya, to be continued, itu soalan lain. Yang saya lakukan, adalah hidup dengan sebaik-baiknya di masa kini, dengan damai. Damai itu dengan cara menghargai diri sepenuhnya, tidak mengukur kesuksesan dan kebahagiaan dengan menggunakan kaca mata orang lain, kaca mata manusia, tetapi mengukurnya dengan parameter Tuhan, bagaimana maunya Allah. 


Masa lalu yang pahit, sesuai janji-Nya pasti akan diganti dengan yang lebih baik

Untuk mendapatkan kedamaian, selain mengenal siapa pencipta, juga dengan banyak menebar kebaikan. Dengan banyak berbagi, memperhatikan orang lain. bergerak, berbuat, berkarya.

    3. Menatap Masa Depan


Bagi saya, masa depan saat ini, tidak lagi terlihat singkat, sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, tiga puluh tahun lagi. Itu waktu yang terlalu singkat, terlalu pendek untuk diimpikan. Bagi saya, masa depan melampaui semua batas waktu itu. Masa depan adalah masa dimana kita memperoleh tempat kesudahan yang baik, nanti, di akhirat. Dunia ini, hanya masa lalu dan masa kini. Semua yang kita perjuangkan saat ini, ataupun saat yang lalu, semuanya hanya akan menjadi sia-sia atau bisa jadi berbuah petaka, jika pada akhirnya, di masa depan, kita berada pada tempat kesudahan yang buruk. Karena itu, saya memimpikan surga, masa depan yang paling sempurna untuk diimpikan, tidak ada yang lain, tidak ada yang lebih baik melainkan ia.

Setelah saya benar-benar mengetahui hal yang saya impikan di masa depan, maka saya pun menarik impian itu ke belakang, ke masa kini. Jadi, kehidupan saya saat ini tidak lagi sama seperti 10 tahun belakangan. Dulu, saya merinci, mimpi saya detil, detil sekali, tahun depan saya ingin jadi apa, lima tahun lagi saya ingin jadi apa, sepuluh tahun lagi ingin mendapatkan apa, begitu seterusnya tapi sekarang menjadi kebalikannya. Saya sudah tahu masa depan yang ingin saya raih, saya ingin tempat kesudahan yang baik, saya ingin surga, surga yang tertinggi, bertetangga dengan Rasulullah di surga, hidup bersama keluarga dan orang-orang sholeh di sana. Impian itu yang kemudian saya tarik ke belakang, sehingga materi, hal-hal duniawi yang saya ingin nikmati di masa kini, saya pusatkan menuju ke sana. Dulu juga saya pusatkan ke sana sih, tapi rasanya berbeda dengan yang sekarang. Dulu, saat saya ngebet mengejar impian, mungkin saya tidak memperhatikan caranya. Yang penting dapat, mungkin dulu saya rela tidak tidur, semalaman atau berhari-hari demi sebuah impian, tapi saya banyak melupakan Allah, saya tidak membawa serta Allah dalam rencana-rencana saya, saya terlalu ‘pede’ bahwa saya bisa melakukan itu, doa itu nanti terakhir, sholat juga nanti kalau semua sudah kelar, gak papa terlambat, yang penting tetep sholat. Dulu, fokusnya, kerja keras yang penting dapat apa yang diimpikan, sekarang fokusnya kerja keras yang penting masa depan yang diimpikan dapat.  Dengan perbedaan fokus, menjadikan hidup terasa lebih mendamaikan. Sebab, berhasil ataupun gagal, rasanya sama saja, yang penting tetap di bawah koridor cita-cita masa depan.

Dengan cara menatap masa depan seperti ini, juga sangat membantu bagi saya untuk tetap berada dalam koridor kebaikan. Kalau dulu, saya berpayah-payah mengejar sesuatu, tidak kenal lelah, seolah kehidupan saya masih lama batasnya. Mungkin saat itu, saya menyakiti orang lain, tetapi saya tidak peduli. Mungkin juga, saya sudah tidak punya waktu untuk bersimpati atau berempati lagi. Sekarang, yang saya fikirkan, adalah bagaimana mengisi waktu dengan sebaik-baiknya perbuatan, berbagi yang baik-baik, menanggalkan kesan yang baik-baik, sebab saya menginginkan kesudahan yang baik. Dan saya sendiri tidak tahu, bisa jadi batas waktu saya untuk berusaha meraih impian masa depan itu, sudah sangat dekat, tidak lama lagi. Berapa banyak kita mengenal seseorang, kemarin masih sehat-sehat saja, lantas hari ini kita dengar kabar kematiannya?

Jadi, inilah pemahaman yang saya dapatkan dari sekian banyak proses yang terjadi dan telah terlewati. Definisi tentang bagaimana itu memperlakukan masa lalu, tentang bagaimana menjalani masa kini, dan apa itu masa depan. Di hari ini, saya memahaminya seperti ini, tetapi mungkin esok lusa lain lagi, karena itu kita harus terus belajar. Jangan bosan dan jangan lelah untuk saling berbagi kebaikan ya..:)










You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



12 komentar

  1. Jleb banget tulisannya, sudah mencerahkan saya yang sedang melow. Terimakasih Mba Nurin. Btw, rajin sekali menulis diary, sampai begitu banyak.
    Blognya tambah cakep Mba, semoga semakin semangat ngeblog.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mbak. :). Itu jaman susah dn jaman belum kenal medsos dan blog, sekarang udah gak serajin dulu karena hasrat curcolnya sdh tersalurkan di blog dn status medsos...

      Delete
  2. Wah, selamat sudah 4 tahun! Btw buku hariannya sama banyak kayak saya! Jahahaha. Benar banget nih mesti melepaskan masa lalu dengan cara yabg benar. Thanks sharingnya :')

    ReplyDelete
  3. wah, diary saya udah pada ngacir kemana-mana :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. simpen Mak, kudu disimpen mestinya, dimuseumkan, kan termasuk sejarah hidup itu!, :P

      Delete
  4. Mak Malia, diary nya bisa dijadiin novel tuh.

    ReplyDelete
  5. Diari sy masih ada di laci Maak hihihi! Kalo buka2 diari jaman sekolah jadi malu2 gimana gt. Kok bisa curhatnya ga penting dan bahasa kayak gt hahaha upss

    ReplyDelete