November Kelabu, Desember Haru, Januari Baru
Bismillahirrohmanirrohim,
Alhamdulillah, blog ini telah memasuki
usia 4 tahun. Wooo… 4 tahun! (Dengan
capaian mulanya blog remahan rengginang menjadi blog butiran debu intan
berlian, ihihi.) Setelah pada bulan November lalu berada pada bulan yang
paling menentukan, bulan-bulan dimana saya melihat segala sesuatu seolah gelap,
kelabu. Bulan dimana rasanya saya ingin menghilang dari semua peredaran
‘kenarsisan’, haha… menutup semua cerita, dalam satu waktu. Lalu, di bulan
Desember, semuanya berbalik. Desember menjadi bulan haru, dimana saya lebih
banyak menziarahi masa lalu, saya membuka semua catatan harian yang saya
miliki, terutama catatan harian selama di Jakarta, periode 2004 – 2009, dimana
saya memiliki banyak cerita di sana, banyak kegelisahan, banyak perjuangan,
banyak pencarian, banyak kegilaan, rupa-rupa kehidupan. Catatan harian
terbanyak yang pernah saya miliki!, saya sampai takjub sendiri, merasa tak
percaya, dulu saya sebegitu ngenestnya -bukan
iklan film-, ternyata..ehehe.
Maka, di bulan Desember, baiklah, saya
putuskan untuk tetap membuka blog ini, tetap menulis, dan saya pastikan,
setelahnya, saya akan lebih serius, inshaAllah
tidak lagi menjadi penulis senin-kamis. Blogger uring-uringan, hari ini buka,
besok tutup, selama-lamanya. Hahaha…#daleeem.
Tuhan menolong saya
Allah tahu, ribuan kali saya katakan bahwa saya tidak akan menulis lagi, saya hanya berdusta!.
Saya tidak pernah bisa benar-benar melakukannya.
Menulis adalah salah satu sumber kebahagiaan bagi saya.
Dan berbagi menjadi bumbu hingga kebahagiaan itu lebih terasa manis dan lezat.
Bulan Januari, menjadi bulan baru, tepat
satu bulan usia blog dengan domain dan tampilan baru ini, Alhamdulillah. Selama
tahun 2015, saya tidak banyak posting tulisan, errr…karena saya lebih banyak melakukan
pertapaan di pegunungan, berdiam diri di hutan, merenung di pinggir lautan,
duduk diam di tepi jalan. Ahahai, tidak. Saya tidak melakukan itu semua. Tahun 2015
menjadi tahun pembelajaran. Saya menjauh dari sebagian keriuhan, untuk merasapi
apa yang benar-benar saya inginkan, dalam hidup. Semacam mencari definisi dan
filosofi hidup, begitulah.
Cieee,
Jadi ceritanya sudah dapat filosofi hidup
nihh? Belom juga sih ternyata….ahahaha,,,. Jadi elo ngapain aja Ndro selama
2015? :p
Pembelajaran hidup akan terus kita
dapatkan sepanjang kita hidup. Belajar kehidupan itu seumur hidup!, tidak habis
setahun dua tahun. Tetapi, ada beberapa hal yang kemudian ingin saya bagi,
hasil dari bulan-bulan perenungan, selama ini.
1. Melepaskan Masa Lalu dengan Cara yang Benar
Saat saya membuka
lemari dan mencari kumpulan catatan harian saya. Saya menemukan kotak cokelat
yang masih saya simpan, umurnya sudah 9 tahun. Masih awet, plastik pembungkusnya
yang asli juga masih belum rusak. Cokelat Made
In Belgia ini memiliki kenangan yang sulit saya lupakan. Ketika saya
membukanya kembali, saya seolah mengingat betapa nikmat dan enaknya rasa
cokelat yang saya dapatkan pada pertengahan tahun 2006. Dua minggu lalu, saya memesan cokelat Made In Indonesia (penting ya
bok sebut made in :p) yang saya beli secara online dengan harga yang lumayan. Saya tahu, saya tidak lagi
menjadi penyuka cokelat setelah tahun 2006. Cokelat yang saya makan setelah
tahun itu, tidak lagi menjadi enak. Rasanya
pahit, tidak lagi pernah menjadi manis semanis saat itu. Setelah cokelat
pesanan saya tiba, dan saya rasakan, rasanya tidak pahit, tapi juga tidak
manis. Saya mendapatkan kesimpulan bahwa benar saya bukan lagi penyuka cokelat.
Tetapi, rasa cokelatnya telah kembali, sebagaimana rasa cokelat aslinya #belibet ya ngomongnya…:).
Baik, saya memang
penyimpan kenangan. Saya bukan tipe
orang yang jika ingin ‘move on’ dari sesuatu lalu bakar-bakar, atau
kubur-kubur. Saya menyimpannya, pertama: seringkali karena saya sayang
barangnya, terlalu bagus untuk dibuang, terlalu banyak kenangan di dalamnya,
kedua: karena saya selalu berfikir suatu saat saya bisa menjadikannya bahan
untuk menulis, lalu membaginya. Ketiga: menurut saya barangnya gak salah
apa-apa, kenapa harus dicampakkan? Kenapaaaah?
Kenapaaaah? Apa salahnya?. Ok, alasan yang terakhir terlalu lebay, abaikan. :).
Kecuali, memang barang-barang itu terlalu menyakitkan untuk dikenang, untuk
diingat-ingat lagi, saya juga tidak akan berfikir panjang untuk memusnahkannya.
Buku-buku catatan harian saya selama di Jakarta |
Kembali
ke cerita kotak cokelat tadi.
Saya bisa saja kembali
membuka kenangan tentang cokelat ini, kapan saja, tapi hidup saya tidak pernah
terpaku untuk kemudian kembali ke masa itu. Saya mulai bisa berdamai dengan
masa lalu. Masa lalu, biarkan saja, tetap ada, pada tempatnya. Saya tidak
pernah berusaha melupakannya, sebab itu sulit! Sebab itu sakit! Yang saya
lakukan adalah melepaskannya. Berusaha ikhlas bahwa yang pernah terjadi di masa
itu, biarlah terjadi. Dan saya, saya akan hidup di masa yang sekarang, masa
ini. Untuk belajar melepaskan ini, tentu butuh waktu. Saya tahu, tentu ini
tidak mudah. Karena itu, kita butuh waktu, pembelajaran tak pernah mengenal
kata buru-buru. Salah satu cara untuk
belajar melepaskan adalah dengan belajar mengenal Tuhan, mengenal Allah, dengan
cara yang benar.
Tugas Kita Melepaskan, Bukan Melupakan
Saya
punya seorang kenalan yang saat ini sedang belajar berhijab. Dia bukan artis,
bukan selebritis, bukan orang terkenal. Seorang perempuan muda biasa,
sederhana, dengan dandanan yang cukup mencolok, sedikit menor, dan pakaian yang
cukup melekat di badan. Dia berkisah pada saya, bahwa dahulunya dia bercadar!.
Jangan ditanya, tentu saja saya kaget, teramat sangat, bagaimana bisa? Rupanya
kesakitan mendalam akibat kegagalannya dalam pernikahan membuatnya sangat
terpukul. Kekerasan dalam rumah tangga, dikhianati, ditinggal kawin lagi, lalu perceraian. Baginya, semua impian,
harapan, bayangan akan keindahan itu bubar, dunia menjadi sempit, putih
terlihat hitam, bahagia menjadi sendu, riuh menjadi sepi, semuanya pedih,
sakit, nanar. Perubahannya, ia lakukan secara sadar sebagai bentuk pencarian
kebahagiaan, katanya. “aku lakukan semua hal yang aku suka, yang bisa membuat
aku merasa bebas, lepas, bahagia”, Lantas apa? Tidak ada, hanya kehampaan, kebahagiaan
semu, dan pura-pura. Alhamdulillah, Allah masih sayang, Allah berkenan
memberikannya hidayah, petunjuk, yang akhirnya membuat ia kembali. Kembali
belajar untuk mengenal Allah, dengan perlahan. Tetapi, pertanyaannya, bagaimana
jika tidak?
Mengenal Allah,
meyakini bahwa Allah pemilik skenario, bahwa kita ini hidup untuk Allah dan
akan kembali kepada Allah, akan membuat kita lebih ringan menjalani hidup.
Segala kesulitan, kegagalan dan impian yang tak kunjung terwujud tidak akan
menorehkan kesedihan terlalu dalam. Ada Allah, jika pun tak sesuai harapan.
Barangkali karena Allah sayang, karena Allah sayang dan tak menginginkan kita
hidup dengan lelaki yang tak baik, misalnya, sehingga Allah jauhkan. Barangkali
karena Allah sayang, sehingga doa-doa kita belum juga terkabul, sebab ada mudhorot
yang jauh lebih besar jika doa itu mewujud. Dunia ini bukan milik kita, hidup
cuma sebentar, sementara. Manusia hanya berusaha, berikhtiar, takdir bisa
diubah dengan ikhtiar dan doa. Tetapi hasilnya, itu hak Allah. Kita boleh
bersedih, merasakan sakit sesakit-sakitnya, jatuh-sejatuhnya, terpuruk
seterpuruk-puruknya, tetapi ingat kuncinya,
“Allah
pemilik skenario, hidup ini untuk Allah dan akan kembali kepada Allah, manusia
itu tinggal menjalani, mensyukuri dan menikmati”.
Lepaskan, Dengan Cara yang Benar
Waktu saya masih kecil
dulu, tetangga di depan rumah kami, meninggal gantung diri. Saya yang masih
kecil saat itu, tidak pernah mengerti jalan pikiran orang dewasa, kenapa si
Bapak yang punya rumah bagus, berpenghasilan, punya isteri dan anak-anak yang
lucu itu harus meninggal bunuh diri di pintu kamarnya. Seberat apakah persoalan
hidupnya? Sampai ketika dewasa, cerita-cerita tentang bunuh diri lebih banyak
lagi saya dengar. Di televisi lebih sering kita mendengarnya, ada temannya
teman saya yang menenggak racun karena tidak tahan dengan perlakuan suaminya.
Waktu itu saya baca status dari teman saya di social media, banyak sekali yang mendoakan dan bersimpati terhadap
kisah perempuan ini. Tetapi, ketahuilah, cara pelampiasan yang salah tetap saja
salah, tidak bisa dibenarkan. Begitulah, makna dari agama sebagai jalan hidup,
tuntunan. Ada pedoman yang jelas tentang mana salah dan mana benar. Begitupun
dengan cara pelampiasan kenalan saya yang merubah pakaian secara drastis seperti
yang saya ceritakan tadi. Lepas hijab!, meskipun jutaan orang menganggapnya
biasa, cara pelampiasan yang salah tetap saja salah, tidak bisa dibenarkan atau
dianggap benar. Tetapi ingat untuk tidak pernah mengucilkan, mencela,
menjauhkan diri dari orang-orang seperti ini. Kita tahu perbuatannya salah
(mungkin ia sendiri juga sadar akan hal itu), mereka butuh pendampingan, butuh
kawan, dan butuh nasihat-nasihat kebaikan. Syukur, jika Allah membukakan
kembali pintu hatinya melalui kedekatan kita dengannya.
Selama
manusia masih hidup, masalah akan selalu ada. Berat atau ringan tergantung
bagaimana cara kita memandang. Setiap kekecewaan pasti akan melahirkan
pelampiasan. Bentuknya bisa bermacam-macam. Cirinya bisa terlihat dari lonjakan
perubahan drastis pada diri seseorang. Perubahan yang terjadi adalah hal
alamiah, sebagai bentuk resistensi seseorang terhadap masalah yang sedang
dihadapinya. Perubahan-perubahan ini yang sebenarnya dapat dikelola ke arah yang
positif, ke arah yang benar.
2. Hidup di Masa Kini dengan Damai
Setelah dapat melepaskan semua masa
lalu, maka kita baru saja memulai hidup yang baru, hidup di masa kini dengan
damai. Masa lalu, seindah apapun itu, tidak bisa kita kembalikan. Masa lalu,
sepahit apapun itu, tidak bisa berulang, sehingga apapun yang terjadi, di masa
yang telah usang, sudahi, abaikan. Hiduplah di masa kini dengan damai.
Bagi saya, di hari ini, apapun cerita di masa lalu, tamat, the end. Kalaupun nanti pada akhirnya, to be continued, itu soalan lain. Yang saya lakukan, adalah hidup dengan sebaik-baiknya di masa kini, dengan damai. Damai itu dengan cara menghargai diri sepenuhnya, tidak mengukur kesuksesan dan kebahagiaan dengan menggunakan kaca mata orang lain, kaca mata manusia, tetapi mengukurnya dengan parameter Tuhan, bagaimana maunya Allah.
Bagi saya, di hari ini, apapun cerita di masa lalu, tamat, the end. Kalaupun nanti pada akhirnya, to be continued, itu soalan lain. Yang saya lakukan, adalah hidup dengan sebaik-baiknya di masa kini, dengan damai. Damai itu dengan cara menghargai diri sepenuhnya, tidak mengukur kesuksesan dan kebahagiaan dengan menggunakan kaca mata orang lain, kaca mata manusia, tetapi mengukurnya dengan parameter Tuhan, bagaimana maunya Allah.
Masa lalu yang pahit, sesuai janji-Nya pasti akan diganti dengan yang lebih baik |
Untuk
mendapatkan kedamaian, selain mengenal siapa pencipta, juga dengan banyak
menebar kebaikan. Dengan banyak berbagi, memperhatikan orang lain. bergerak,
berbuat, berkarya.
3. Menatap Masa Depan
Bagi saya, masa depan saat ini, tidak
lagi terlihat singkat, sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, tiga puluh
tahun lagi. Itu waktu yang terlalu singkat, terlalu pendek untuk diimpikan.
Bagi saya, masa depan melampaui semua batas waktu itu. Masa depan adalah masa
dimana kita memperoleh tempat kesudahan yang baik, nanti, di akhirat. Dunia
ini, hanya masa lalu dan masa kini. Semua yang kita perjuangkan saat ini,
ataupun saat yang lalu, semuanya hanya akan menjadi sia-sia atau bisa jadi
berbuah petaka, jika pada akhirnya, di masa depan, kita berada pada tempat
kesudahan yang buruk. Karena itu, saya memimpikan surga, masa depan yang paling
sempurna untuk diimpikan, tidak ada yang lain, tidak ada yang lebih baik
melainkan ia.
Setelah saya benar-benar mengetahui hal
yang saya impikan di masa depan, maka saya pun menarik impian itu ke belakang,
ke masa kini. Jadi, kehidupan saya saat ini tidak lagi sama seperti 10 tahun
belakangan. Dulu, saya merinci, mimpi saya detil, detil sekali, tahun depan
saya ingin jadi apa, lima tahun lagi saya ingin jadi apa, sepuluh tahun lagi
ingin mendapatkan apa, begitu seterusnya tapi sekarang menjadi kebalikannya.
Saya sudah tahu masa depan yang ingin saya raih, saya ingin tempat kesudahan
yang baik, saya ingin surga, surga yang tertinggi, bertetangga dengan
Rasulullah di surga, hidup bersama keluarga dan orang-orang sholeh di sana. Impian
itu yang kemudian saya tarik ke belakang, sehingga materi, hal-hal duniawi yang
saya ingin nikmati di masa kini, saya pusatkan menuju ke sana. Dulu juga saya
pusatkan ke sana sih, tapi rasanya berbeda dengan yang sekarang. Dulu, saat saya
ngebet mengejar impian, mungkin saya tidak memperhatikan caranya. Yang penting
dapat, mungkin dulu saya rela tidak tidur, semalaman atau berhari-hari demi
sebuah impian, tapi saya banyak melupakan Allah, saya tidak membawa serta Allah
dalam rencana-rencana saya, saya terlalu ‘pede’ bahwa saya bisa melakukan itu,
doa itu nanti terakhir, sholat juga nanti kalau semua sudah kelar, gak papa terlambat,
yang penting tetep sholat. Dulu,
fokusnya, kerja keras yang penting dapat apa yang diimpikan, sekarang fokusnya
kerja keras yang penting masa depan yang diimpikan dapat. Dengan perbedaan fokus, menjadikan hidup
terasa lebih mendamaikan. Sebab, berhasil ataupun gagal, rasanya sama saja,
yang penting tetap di bawah koridor cita-cita masa depan.
Dengan cara menatap masa depan seperti
ini, juga sangat membantu bagi saya untuk tetap berada dalam koridor kebaikan. Kalau
dulu, saya berpayah-payah mengejar sesuatu, tidak kenal lelah, seolah kehidupan
saya masih lama batasnya. Mungkin saat itu, saya menyakiti orang lain, tetapi
saya tidak peduli. Mungkin juga, saya sudah tidak punya waktu untuk bersimpati
atau berempati lagi. Sekarang, yang saya fikirkan, adalah bagaimana mengisi
waktu dengan sebaik-baiknya perbuatan, berbagi yang baik-baik, menanggalkan
kesan yang baik-baik, sebab saya menginginkan kesudahan yang baik. Dan saya
sendiri tidak tahu, bisa jadi batas waktu saya untuk berusaha meraih impian
masa depan itu, sudah sangat dekat, tidak lama lagi. Berapa banyak kita
mengenal seseorang, kemarin masih sehat-sehat saja, lantas hari ini kita dengar
kabar kematiannya?
Jadi, inilah pemahaman yang saya
dapatkan dari sekian banyak proses yang terjadi dan telah terlewati. Definisi
tentang bagaimana itu memperlakukan masa lalu, tentang bagaimana menjalani masa
kini, dan apa itu masa depan. Di hari ini, saya memahaminya seperti ini, tetapi
mungkin esok lusa lain lagi, karena itu kita harus terus belajar. Jangan bosan
dan jangan lelah untuk saling berbagi kebaikan ya..:)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
12 komentar
Jleb banget tulisannya, sudah mencerahkan saya yang sedang melow. Terimakasih Mba Nurin. Btw, rajin sekali menulis diary, sampai begitu banyak.
ReplyDeleteBlognya tambah cakep Mba, semoga semakin semangat ngeblog.
Makasih Mbak. :). Itu jaman susah dn jaman belum kenal medsos dan blog, sekarang udah gak serajin dulu karena hasrat curcolnya sdh tersalurkan di blog dn status medsos...
DeleteWah, selamat sudah 4 tahun! Btw buku hariannya sama banyak kayak saya! Jahahaha. Benar banget nih mesti melepaskan masa lalu dengan cara yabg benar. Thanks sharingnya :')
ReplyDeleteIhihi.... Tos dulu kita Mbak..:)
Deletewah rajin nulis di diary rupanya :D
ReplyDeleteIya Mbak...duluuuu, :)
Deletewah, diary saya udah pada ngacir kemana-mana :D
ReplyDeletesimpen Mak, kudu disimpen mestinya, dimuseumkan, kan termasuk sejarah hidup itu!, :P
DeleteMak Malia, diary nya bisa dijadiin novel tuh.
ReplyDeletebelum kepikiran Mak, .___________.
DeleteDiari sy masih ada di laci Maak hihihi! Kalo buka2 diari jaman sekolah jadi malu2 gimana gt. Kok bisa curhatnya ga penting dan bahasa kayak gt hahaha upss
ReplyDeletecuek aja kalau saya Mak,,, hehe
Delete