Cinta

-174- Cintaku Jauh di Mata, Berat di Biaya

Friday, December 04, 2015


Mencintai selalu butuh konsekuensi, pembuktian. Seseorang yang mencintai Tuhannya, membuktikannya dengan kedekatannya kepada Tuhan, kepemilikannya, harapannya, dan keinginannya ia gantungkan hanya kepada-Nya saja. Seorang pencinta buku, membuktikan cintanya dengan kepemilikannya terhadap buku. 
Tidaklah seorang pencinta bunga dikatakan pencinta bunga jika ia tidak memiliki bunga, tidaklah seorang pencinta kucing dikatakan pencinta kucing jika ia tidak memelihara kucing. Seorang pencinta selalu dekat dengan apa yang ia cintai. Sebab cinta menumbuhkan beribu keinginan untuk memiliki. Cinta itu, pada dasarnya memiliki. 
-Istikmalia- 

Bismillahirrohmanirrohim,

Beberapa hari yang lalu, di timeline FB saya berseliweran dengan sebuah status yang di share banyak orang. Isi statusnya membahas tentang Long Distance Marriage (LDR), menurut sang pembuat status, sebenarnya apapun persoalannya (sekolah lagi, pekerjaan atau apapun) semuanya bisa disiasati tanpa harus memilih hubungan jarak jauh. Saya sependapat dengan status ini, secara saya termasuk orang yang tidak tahan jika harus lama-lama berpisah dengan kekasih hati, #tsah, seminggu saja rasanya sudah sangat tersiksa #apa sih, :). Karenanya waktu saya bertemu seorang sahabat lama, saya katakan padanya, 


"Aku bersyukur banget tahun ini gak ada diantara kami yang harus diklat, sekolah jauh, seminggu jauhan aja udah gak tahan," sahabat saya itu langsung mencubit tangan saya sembari menimpali, 

"Ah, kamu mah, lebai...,"  lebai yak? :)

Iya beneran, saya gak tahu sejak kapan ya, tiba-tiba aja gitu muncul mellownya kalau sudah berjauhan, makan tak enak, tidur tak nyenyak, pengennya cepet-cepet ketemu, dan kalau sudah waktunya ketemu, kerinduannya beda gitu dari hari-hari biasa, lebih apa ya, lebih membuncah, lebih indah, lebih heboh, lebih hangat, lebih manis. Jadi, diam-diam saya bersyukur juga jika diberi kesempatan bisa merasakan LDM-an meski tidak lama, cukuplah seminggu dua minggu sebagai penguat rasa, please jangan lama-lama :). 

Jadi, karena saya juga termasuk yang anti LDM garis keras :), dalam perjalanan pernikahan, masing-masing dari kami mulai belajar menurunkan ego, yang intinya, daripada untuk mendapatkan sesuatu itu harus mengorbankan waktu kebersamaan, maka keinginan itu yang diturunkan sedikit, jadi cari celah dan cara agar bagaimana keinginan itu dapat terwujud tanpa harus mengorbankan kebersamaan. Di status Pak Adi Darmawan (sang pembuat status yang saya ceritakan di awal) mengisahkan kisah yang menurut saya menginspirasi, ternyata semua bisa dilakukan tanpa harus menjalani LDM. 

Jadi ingat waktu ambil kuliah S2 sekitar 15 tahun lalu. Meski hanya 21 bulan dan jarak Yogja – Semarang dekat, yang secara teknis bisa dijalani dengan bolak balik Yogya Semarang dalam dua kali sepekan, saya dan istri lebih memilih untuk boyongan ke Jogja. Alhamdulillah, kuliah lebih optimal dan selama S2, anak kami bertambah 2 orang. 
Terus waktu ambil S3 di Australia, saya nekad bawa 7 anak. Alhamdulillah 3 tahun terlewati dan bisa selesai PhD. -sebagian isi statusnya yang saya kutip-
Tetapi, saya juga tidak ingin menafikkan kenyataan, karena saya sendiri hidup bersama pasangan-pasangan yang menjalani LDM dengan beragam latar belakang. Ada yang karena faktor tugas negara, faktor pekerjaan, faktor ekonomi, faktor pendidikan, sekolah anak-anak, dan banyak lagi. Sehingga, menurut saya, tidak semua LDM itu tidak baik, adakalanya itu adalah sebuah pengorbanan besar dari pasangan suami isteri untuk mendapatkan sesuatu yang meningkatkan derajat pencapaian bagi keduanya. Pernikahan adalah tentang kesepakatan kedua belah pihak, dan sesuatu yang besar biasanya sebanding dengan perjuangan serta pengorbanan yang besar pula. Atau ada pula karena faktor kondisi yang belum memungkinkan, hambatan tertentu, dan banyak lagi.
Pada sesuatu yang besar, terdapat sebuah pengorbanan yang besar pula
Idealnya, sebuah rumah tangga dijalani dalam satu atap, satu jarak, satu tempat. Tetapi dalam kondisi tidak idealpun, inshaAllah keeratan hubungan, suami-isteri, ayah-anak, ibu-anak, tetap dapat terjaga, terawat, dengan berkualitas. Ini dicontohkan oleh bentuk rumah tangga Ibrahim-Hajar-Ismail. Bukan main jauh jarak antara Nabi Ibrahim dan anak isterinya, belum ada transportasi yang memadai yang memungkinkan bisa saling jenguk sepekan sekali, sebulan sekali, dua bulan sekali. Belum ada alat komunikasi canggih yang memungkinkan untuk saling menanyakan kabar, chattingan, skype-an, bertukar video dan banyak lagi. Tetapi, ini pelajaran, karena selanjutnya, saat tiba waktu pertemuan setelah bertahun-tahun terpisah, Nabi Ibrahim datang, menemui isteri dan anaknya, Hajar dan Ismail dengan membawa perintah. Ingat kembali percakapan antara Ibrahim dan Ismail.

"Maka ketika anak itu (Ismail) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku!, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!"
Dia (Ismail) menjawab,"Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, inshaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar". QS. As-Saffat: 102.

Itu percakapan yang luar biasa antara seorang ayah dan anak, ada hikmah besar yang ingin Allah berikan pada kita untuk dapat dijadikan pelajaran. Bahwa sebenarnya bukanlah intensitas pertemuan, intensitas sentuhan, belaian, satu-satunya kunci dalam keberhasilan mendidik anak.

Tapi kan itu nabi? Manusia pilihan?

Justru karena nabi, karenanya kita patut mempelajari. Itulah hikmah mengapa nabi diciptakan dari golongan manusia, bukan dari malaikat ataupun jin. Agar kita, dapat mengambil hikmah, pelajaran, suri tauladan, mencontoh, mencontek, menjiplak segala yang melekat pada mereka. Sikap, kehidupan, cara pandang dan semuanya. Karena nabi diciptakan dari golongan manusia, sama-sama butuh makan, sama-sama berkehidupan, berkeluarga, merasakan senang, sedih, tertawa, mengalami ujian, masalah, cobaan. Tidak ada bedanya dengan kita. Yang membedakan, mereka adalah manusia pilihan, manusia yang seluruh kehidupannya dapat menjadi pelajaran untuk manusia yang lainnya.

Juga, kita diingatkan kembali, jauh sebelum peristiwa percakapan ayah dan anak ini, tentang bagaimana percakapan seorang suami kepada isterinya saat akan berjauhan. Hajar yang gundah, ditinggalkan di tempat yang sepi, gurun pasir, tidak ada kehidupan, tidak ada pepohonan, tidak ada air, hanya dibekali sedikit kurma dan air, resah bertanya hingga berulang kali:


"Apakah ini perintah Allah engkau meninggalkanku di sini?"
"Apakah ini perintah Allah?"

Cukup sebuah jawaban yang ringkas, kalimat yang sederhana (bukan puisi yang mendayu-dayu atau berpanjang lebar), sederhana sekali, "Ya, ini perintah Allah." Berakhirlah semua resah dan gundah.

Kita belajar bahwa bukanlah bekal harta yang melimpah dari suami kepada isterinya yang akan menguatkannya pada kehidupan jarak jauh, sebab jika begitu tentu nabi Ibrahim akan membawakan bekal yang cukup untuk berbulan-bulan makan dan minum, atau membuatkannya rumah atau yang lainnya. Tetapi bekal ketakwaan itulah yang utama, itulah dasarnya, fondasinya. Dari sini kita belajar tentang pentingnya seorang suami mendidik isterinya tentang keyakinan, kebergantungan hanya kepada Alllah. Sehingga dalam kondisi apapun, dalam kondisi berjauhan misalnya, isteri tetap dalam keadaan bersyukur, tidak mengeluh, kuat batin, tahan jiwa.

Bukanlah harta benda yang melimpah atau kecukupan materi semata yang akan menguatkan seorang isteri saat jauh dari suaminya, tetapi bekal ketakwaan itulan yang utama, itulah dasarnya, itulah fondasinya

Dan satu hal, yang sangat penting, yang menjadi "clue", tips atau trik dalam pola hubungan, juga pendidikan yang dapat kita petik seorang Ibrahim. Apa sih? Apa rahasia Ibrahim? Apa yang dilakukannya saat menjalani hubungan jarak jauh dengan keluarganya sehingga kita bisa mencontohnya?

Doa. Itu yang dilakukan Nabi Ibrahim dan menjadi salah satu kekuatan atas hubungan keeratan keluarga.

Tentang anak sholeh, nabi Ibrahim sudah melakukan itu jauh sebelumnya, dengan doa yang senantiasa diulang, "Ya tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang yang soleh", QS. As-Saffat:100, panjatan doa yang senantiasa ditambatkan, tanpa lelah, berulang, bukan sehari dua hari.

Ah, cuma doa. Cuma doa. Tapi lihat efeknya, doa ini kemudian dikabulkan. Allah jawab doanya:

"Maka kami beri kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang anak yang sangat sabar, yakni Ismail", QS. As-Saffat:101.

Selesai. Beres. Setengah dari pencapaian pola asuh anak dengan mendapatkan anak yang sholeh sudah lebih dari cukup sebagai modal. Kalau sudah begini, sudah dapat modal anak yang sholeh, baik, mendidiknya pun mudah. InshaAllah. Ini pelajaran.

Kemudian apa bekal yang ditinggalkan Ibrahim kepada Hajar dan Ismail?

Doa

"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah nenempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah engkau (baitullah) yang dihormati, ya tuhan yang demikian itu agar mereka melaksanakan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." QS. Ibrahim:37.

"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Mekah ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala." QS. Ibrahim:36.

Selesai, Allah jawab doanya, Allah yang berjanji akan mengabulkan doa setiap hambanya yang meminta, menjawab doa ini kemudian dengan peristiwa zam-zam, dilanjutkan dengan kedatangan beberapa orang dari kafilah suku jurhum, seterusnya hingga menjadi kota Mekah seramai seperti saat ini.

Ini pelajaran. Ini pelajaran bahwa saat berjauhan, doakan isteri dan anak, doakan suami. Saling mendoakan, gantungkan harapan, sandaran hanya kepada Allah, inshaAllah Allah yang maha mencukupkan. Isi doanya juga menjadi pelajaran. Minta pada Allah sesuatu yang sangat amat penting, melebihi apapun yang sifatnya materi, duniawi. Minta anak-anak yang sholeh, minta anak keturunan yang menjaga sholat. Sebab ini yang nantinya akan membahagiakan, menenangkan hati, menentramkan jiwa.

Saat mata tak lagi dapat leluasa melempar pandang, 
bibir tak dapat dengan mudah bertukar senyum, 
jadikan doa sebagai pengerat, penguat dan obat di kala rindu semakin berkarat.

Pelajaran berikutnya adalah kesyukuran. Banyaklah berdoa mensyukuri nikmat, bukan mengeluh karena sengsaranya hidup berjauhan.

"Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tuaku, Ismail dan Ishak. Sungguh, Tuhanku maha mendengar, memperkenankan doa". QS. Ibrahim:39.
Ini pelajaran. Pelajaran.

Kebahagiaan diperoleh dengan banyak bersyukur, kesengsaraan didapatkan dari banyaknya mengeluh. Syukuri apa yang sudah ada, jangan keluhkan yang belum dimiliki. 

Terakhir, doakan orang lain, jangan egois, hanya memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri.

"Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan solat. Ya Tuhan kami, perkenanlah doaku."

"Ya Tuhanku, ampunilah aku, kedua ibu bapakku dan semua orang beriman pada hari diadakan perhitungan (kiamat).". QS. Ibrahim:41

Sungguh, ini pelajaran. Pelajaran yang sangat berharga, dahulukan Allah, dahulukan Allah, minta kepada Allah, doa kepada Allah, kemudian ikhtiar. Dengan doa, Allah mudahkan ikhtiar, Allah bukakan jalan, Allah berkahi kehidupan. Dengan doa, tanpa ikhtiar pun, Allah yang nantinya akan selesaikan, Allah yang akan bereskan segala urusan. Allah tempat meminta, dan Allah pula sebaik-baik pemberi. 

Tidak ada yang dapat menggantikan nikmatnya kebersamaan sepasang kekasih. Saling candanya menjadi candu, saling marahnya menjadi bumbu. 

Tetapi, tidak satupun seseorang yang dapat menjamin, 
bahwasanya kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh dengan penyatuan, kebersatuan. Kebahagiaan bukan soal tempat, bukan soal jarak, bukan soal atap. Cinta itu bukan soal gombalan, bukan soal rayuan, bukan soal sentuhan. Kebahagiaan dan Cinta itu ada di hati, di hati para pemilik kesyukuran. Bersyukurlah, untuk ia, yang senantiasa setia menungguimu pulang. 

-Istikmalia-



Jadi, mari sama-sama belajar, dan saling mendoakan. Baik yang kini sedang berjauhan, sudah bersama-sama, atau yang sedang berusaha agar bisa bersama-sama. ^^




*status pengulangan dengan banyak tambalan dan editan. :), 

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



20 komentar

  1. Saya suka judulnya mba.. Berat di biaya.. Hiks..

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Mbak, mau nyebut berat di ongkos kagak cocok juga soalnya...hukz..

      Delete
  2. Saling belajar dan saling mendoakan kebaikan ya mbak... kami sempat LDR 5 tahunan dan bersyukur akhirnya toh bersama juga. :-) Thanks for sharing :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. LDR 5 thun? lama juga y Mak, iya, mari kita saling belajar dn mendoakan. :),'smg apapun bentuk rumah tangganya, kt tetap bahagia ya.

      Delete
  3. Selalu salut sama mereka yang sanggup LDR an dengan baik. Makasih untuk sharingnya Mba.

    ReplyDelete
  4. Saya termasuk yg ga kuat LDR dan ga pernah mengerti bagaimana yg lainnya bisa kuat. waktu awal menikah demi tidak LDR salah satu di antara kami pindah kerja agar tinggal satu kota. meski bgitu saya sering menemukan perempuan2 tangguh yg tinggal sendiri dan membesar2kan anak2 sendiri tersebab LDR. Xixixi jd bikin artikel lagi nih di kotak komen.

    Salut luar biasa sama mereka skaligus tak habis pikir kenapa jalan itu yg dipilih. Saya percaya hakikat pernikahan adalah saling berbagi... :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. toss dulu kita Mak, hehe. yang lain itu kuat pertama krn harus kuat, kedua mngkin krn kondisinya mmmg hrus demikian, ketiga mngkin ada sesuatu yg mmg hrus diperjuangkn dgn LDR, dn byk lagi. tapi kl sy pribadi lbh baik kyk Mak Ira pindah kerja atau kl perlu resign atau kl perlu bgini bgitu....demi ttep bersama, (kl saya mah bgitu), :)

      Delete
  5. Saya termasuk yg ga kuat LDR dan ga pernah mengerti bagaimana yg lainnya bisa kuat. waktu awal menikah demi tidak LDR salah satu di antara kami pindah kerja agar tinggal satu kota. meski bgitu saya sering menemukan perempuan2 tangguh yg tinggal sendiri dan membesar2kan anak2 sendiri tersebab LDR. Xixixi jd bikin artikel lagi nih di kotak komen.

    Salut luar biasa sama mereka skaligus tak habis pikir kenapa jalan itu yg dipilih. Saya percaya hakikat pernikahan adalah saling berbagi... :-)

    ReplyDelete
  6. LDR? Duh, saya sudah kapok! Sudah berkali-kali LDR dan selalu gagal :D :')

    ReplyDelete
  7. Ya ampun judulnyaaa...

    Emang susah yah kalau ldr. Kita maunya kumpul terus sama anggota keluarga

    ReplyDelete
  8. Sy pelaku LDR, Mbak. Suami sy bekerja di bidang migas. Kalau tidak ada keluarga yang rela ditinggalkan bekerja oleh para pekerja di bidang migas mungkin kita tidak bisa menikmati tetesan bbm untuk melajukan kendaraan dan gas untuk menyalakan kompor di rumah :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak,,, inshaAllah tidak semua LDR itu tidak baik, segala sesuatunya selalu ada kemanfaatannya...:)

      Delete
  9. jujur aja, aku ga bakal mw kalo harus LDR lagi mba... Pengalaman LDR dengan suami pertama, sukses bikin kita cerai krn dianya ga setia ... sejak itu, ga ada lg deh kamus LDR.. mndingan akunya yg berhenti kerja dan ikut suami kalo hrs LDR an.. untungnya dgn suami yg skr, kita 1 kantor, jd kemungknnan LDR g ada :) .. Aku tau sih ga semua pasangan LDR bakal selingkuh... tergantung org nya memang... tp krn dari awal ngerasain LDR udh sakit ati, kyknya aku bkl kapok

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah ya Mbak, jadi bisa belajar dari pengalaman,,mudah-mudahan ke depan rumah tangganya bisa mewujud sakinah, mawaddah warohmah. amin...

      Delete
  10. Aku langsung ngerasakan LDM jeng cintaku juga berat dibiaya kalau R kan pacaran kalau suami istri yang berjauhan ini yang susah, sudah halal tapi berjauhan hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, biasanya ada yang namain LDM juga Mbak, semoga bisa sabar yak, :)

      Delete