Celoteh

-165- Sahabat Pemimpi

Wednesday, April 29, 2015


Bismillahirrohmanirrohim, 

Beberapa waktu yang lalu, setelah sekian lama, -mungkin setahun atau dua tahun tidak lagi berhubungan- sahabat lama saya menelpon. Saya mulai mengenalnya sejak kira-kira pertengahan tahun 2004, selepas SMA atau sebelum itu ya, saya agak lupa. Yang pasti, sudah lama sekali jika dihitung mundur dari tahun 2015. Uniknya, saat saya mengenalnya, waktu itu saya bertemu di Samarinda, sebagai lulusan SMA yang masih luntang-lantung berusaha mengejar mimpi sebagai anak kuliahan, dia adalah seorang mahasiswi semester awal. Dan, kini saat ia menelpon saya, statusnya juga masih sama. Mahasiswi!. Bukan.. bukan karena ia mahasiswi abadi, yang kuliahnya gak kelar-kelar, kali ini ia sedang menyelesaikan studi doktoralnya. Subhanallah, keren, salut dan bangga tentunya. Waktu di telepon, sahabat saya itu sedang semangat-semangatnya bercerita tentang mimpi terdekatnya, membangun sebuah universitas, saya langsung nyeletuk, "gratisan gak masuk di situ?", "enak aja lu maunya gratisan mulu..", jawabnya.. “makin banyak amal kan makin bagus..”, canda saya. “Iya, ada rencana jangka panjang untuk meringankan yatim piatu”. Subhanallah…


Paling nikmat memang, kalau yang diobrolin tentang yang indah-indah di masa depan. Tentang rencana sekolah, impian pernikahan dan mimpi-mimpi menakjubkan lainnya. Apalagi, jikalau kita turut menyaksikan perubahan kesuksesan seseorang from zero to hero. Luar biasa!. Itu juga yang membuat saya selalu betah bersahabat dengan para pemimpi. Bersahabat dengan mereka, seperti menambah energi baru untuk hidup setiap waktunya, hidup jadi lebih bergairah dan bersemangat. Saya juga baru akhir-akhir ini menyadarinya, bahwa semenyebalkan bagaimanapun bentuk persahabatan saya dengan si tipe pemimpi ini, selalu ada ikatan yang membuat kami tetap dekat, dan membuat rasa persahabatan itu seperti berbeda dengan tipe sahabat yang lain, rasanya lebih berkesan.

Saya pernah punya sahabat semacam ini semasa kuliah, sebut saja namanya Raisa. kami pernah bertengkar sampai-sampai ia pernah menginap di tempat lain dan tidak kembali ke kosan selama lebih dari satu malam. Kami juga sering beradu pendapat, berdebat tidak jelas tentang hal yang kalau saya fikirkan sekarang, itu bukanlah hal prinsipil yang seharusnya didebatkan. Tapi untuknya, kenangan saya selalu terpaut pada malam-malam sebelum tidur (saat kami sedang akur) saat kami mulai berbicara tentang mimpi. Dia seorang pemimpi yang gila!, begitu juga saya. Dimanapun jika ada kesempatan, kami selalu membicarakan tentang hal-hal di masa depan yang kelihatannya saat itu imposibble, omong kosong, atau seperti yang pernah dia teriakkan, “gila lu, mana ada yang seperti itu, semua itu harus dari bawah lah..”, waktu itu saya punya mimpi, saya gak mau jadi penulis yang ngoyo, nulis di sana, nulis di sini, lempar tulisan ke penerbit ini, lempar tulisan ke penerbit itu, saya pikir itu akan begitu repot dan menguras energi, sementara saya ingin energi saya terkuras untuk cita-cita besar saya yang lain. Saya ingin menulis apa yang ingin saya tulis, tanpa tekanan, santai tapi bermakna, punya manfaat. Jadi, waktu itu saya bermimpi suatu ketika saya pasti akan punya buku yang fenomenal, bermanfaat untuk banyak orang, yang akan dicari, awet dikenang puluhan tahun generasi, tapi bukan karena memang saya penulis yang sudah dikenal, dadakan saja gitu, tiba-tiba, tanpa angin tanpa hujan,, haha... 

Untuknya, yang saya kenang adalah saat kami bermimpi mengunjungi semua museum di Jakarta, lalu kami benar-benar datang ke perpustakaan berhari-hari untuk mencatat nama-nama museum (waktu itu kami mahasiswi kere, warnet juga lumayan jauh). Jadi, atas nama kekerean, ups penghematan, datanglah kami ke perpustakaan, dan ternyata mencari nama-nama museum di perpustakaan yang isinya penuh buku statistika itu lumayan capek dan ribet. Tapi waktu itu, rasanya asyik-asyik saja dan semangat. Dan, setelah sudah dapat nama-nama museum plus alamatnya, apakah yang terjadi? Tak satupun museum yang kami datangi. Haha… itu karena kesibukan masing-masing dan jadwal kuliah yang tidak sama. Tapi semua itu terbayarkan dengan realisasi mimpi jalan-jalan ke Bogor dan Bandung, itu terjadi begitu saja, sepulang ujian mid semester, tanpa direncana. Iya sih, mimpinya memang sudah dibicarakan berhari-hari, tapi karena khawatir mimpi tidak terealisasi gara-gara terlalu memperhitungkan waktu, akhirnya waktu itu deal-dealannya, yuk jalan yuk,, kalau gak kapan lagi? Mumpung bisa rame-rame. Susah nih nentuin waktu… tanpa pikir panjang, pulang dari kampus, ganti baju, bawa pakaian secukupnya, uang seadanya, langsung berangkat. Wuih, waktu itu rasanya senang tak terkira. Boro-boro mau ke Bandung, keliling Jakarta saja belum pernah. Exited bangetlah pokoknya. Untuk ukuran mahasiswi seperti saya yang biasa hidup pas-pasan, bisa pergi jauh ke tempat yang diimpikan, luar biasa sekali. Ah ya, kami juga membawa bekal roti dan minum dari rumah, supaya saat bis berhenti di rumah makan, kami bisa tetap makan tanpa perlu keluar uang (teteup ya…). Sepanjang perjalanan, yang kami bicarakan adalah tempat-tempat apa saja yang mau dikunjungi, mencatat nama-nama jalan yang dilewati dan lagi-lagi memperbanyak mimpi (pokoknya mimpi dulu lah).  Masalah realisasi urusan belakangan. Sampai saat bus berjalan, kami (waktu itu berangkat bertiga) sama sekali belum punya rencana  apapun tentang penginapan. Yang pasti, tidak ada rencana untuk menginap di hotel. Dana yang ada dicukup-cukupkan untuk biaya perjalanan dan makan. Jalan terpendek yang terfikirkan adalah, menginap di masjid. Masjid Darut Tauhid, itu adalah masjid pilihan kami. Alasannya, simple, Darut Tauhid menjadi destinasi wisata religi yang sedang naik daun saat itu, di sana juga disediakan penginapan, kami berencana mencari tahu biaya penginapan di sana (tapi sepertinya uang kami memang tidak cukup), jadi rencananya kami akan keliling DT, mengikuti serangkaian kegiatan di sana, kemudian malamnya ikut menginap di masjid, karena perkiraan kami, di masjid DT pasti ada kegiatan Qiyamul Lail bersama, jadi itu bisa menjadi alasan yang cukup untuk menginap. Pagi sampai sore hari berikutnya kami bisa keliling Bandung, malamnya kembali lagi ke DT. Itu rencananya. Di dalam bus, Raisa punya rencana kedua. Daripada nyasar dan tak punya tempat tujuan yang pasti, ia menghubungi teman SMAnya yang kebetulan sedang kuliah di Bandung. Paling tidak, kalau ada teman di sana, ada tempat bertanya, mau naik kendaraan apa, arahnya ke mana pasti tidak akan bingung.  


Voila, Jakarta-Bandung macet total, bus yang kami tumpangi membutuhkan waktu lima jam lebih untuk akhirnya sampai di tempat pemberhentian yang di beritahukan oleh teman Raisa. Hari itu, setelah mendengar rencana aneh kami yang akan menginap di  DT. Teman Raisa hanya tertegun cukup lama sembari mengernyitkan dahi. “Beneran yakin masjidu nginap di sana? Mau ke sana sekarang? Geger Kalong itu jauh dari kota lho? Bakalan repot kalau nginapnya di sana.. sementara tempat-tempat yang ingin kalian kunjungi semuanya di sekitaran kota.”, waktu itu kami juga agak kurang yakin, tapi tiga orang yang menumpang di kosan teman agaknya juga bukanlah ide yang baik. Waktu itu belum bilang ke teman Raisa sih kalau kami mau nginapnya di masjid, tengsin lah ya.. haha. Baiklah, karena kami sampai di Bandung menjelang senja,  kami menuruti ajakan Raisa untuk menginap di kosannya. Ia juga berjanji besok akan mengantar kami ke Darut Tauhid. Esoknya, setelah puas berwisata di DT, dan setelah melihat kondisi di sana, dan tentunya jarak tempuh dari DT ke kota, kamipun akhirnya memutuskan untuk menyetujui tawaran teman Raisa menginap di kosannya sampai kami selesai berkeliling Bandung. Bisa dikatakan kosan teman Raisa ini kosan borju, 360 derajat dibandingkan kos-kosan kami sendiri. Lumayan, kosan rasa hotel. Kos dengan fasilitas lengkap, spring bed, kamar mandi dalam, ac, disediakan makan, bisa mencuci pakai mesin cuci. Dan, itu semua fasilitas itu kami dapatkan gratis selama beberapa hari di sana. Mimpi yang sempurna!. Kami sangat terbantu oleh teman Raisa, sehingga pada akhirnya kami bisa pulang dengan naik kereta eksekutif. Alhamdulillah…

Bisa mewujudkan mimpi bersama seseorang yang dekat dengan kita, itu menjadi kesempatan luar biasa yang Allah berikan, dan itu sangat berkesan. Banyak mimpi yang dulu saya dan Raisa perbincangkan setiap malam, atau di setiap kesempatan jika bisa. Suatu waktu, saking semangatnya, di suatu pagi kami pernah memperbincangkan sesuatu, dari sejak bangun tidur sampai hendak berangkat menuju kampus, saking semangatnya, sesampainya di pintu gerbang kampus, Raisa baru sadar ada yang aneh pada kakinya. Olala!, ternyata kaki kanannya memakai sepatu hak, sementara kaki kirinya dengan sangat cantik menggunakan sandal jepit!, dan kami berdua sama sekali tidak menyadari itu. haha. Mimpi-mimpi yang lain tentang ide bisnis, ide membuat film dokumenter, kami bahkan sudah merencanakan jalan ceritanya, di mana lokasinya, dan banyak lagi sampai tak terhitung. Diantara semua itu, tidak semua memang terwujud. Tapi waktu itu rasanya masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa itu semua adalah kegagalan. Waktu itu, saya sedang diberi kesempatan Allah untuk belajar bermimpi. Salah bermimpi, ya ganti dengan mimpi yang lain. Semacam belajar untuk berani bermimpi. Mimpi dululah, urusan terwujud atau tidak, itu urusan belakangan.

Di tahun ketiga kuliah, hubungan kami mulai berjarak. Selain kesibukan, itu juga karena masing-masing kami memutuskan untuk pindah kosan. Saya memutuskan untuk mencari kos, sedang Raisa memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan bersama teman-teman yang lain. Hubungan menjadi semakin parah di permulaan tahun keempat, Raisa berubah. 180 derajat, sangat fantastis, saya seperti tidak pernah mengenalnya. Saya tidak bisa menggambarkan, apakah itu karena perubahan pemikirannya, atau kadar keimanan, di mana pada usia-usia muda kami saat itu, iman masih seperti gelas setengah isi setengah kosong. Raisa menjadi sangat pendiam, penampilannya berubah, pergaulannya juga berubah.  Kami sempat tidak bertegur sapa lama sekali, meski sesekali bertemu di kampus. Saya merasa ia menjauh. Sampai kemudian di suatu hari, saat sedang berpapasan, ia menyapa saya dengan senyuman yang sangat hangat, dan menyentuh. Pertemuan itu saya abadikan dalam sebuah puisi yang saya buat khusus untuknya, meski tidak pernah saya sampaikan. Sampai akhir kelulusan, persahabatan kemudian menjadi biasa saja. Dan setelah beberapa tahun kemudian, Raisa sempat menghubungi saya, kemudian saya beranikan diri untuk bertanya padanya. Tentang kejadian di tahun ketiga itu, apakah yang sebenarnya terjadi? Lalu Raisa menjawab, “entahlah, mungkin waktu itu aku merasa terguncang, menghadapi masalahku, sementara aku merasa, tidak ada siapa-siapa, aku sendiri”. Rasanya batin saya agak terguncang, iya, kemana kami semua waktu itu, sementara Raisa menghadapi semua tekanan pihak kampus sendirian. “Kenapa diam saja? Kenapa tidak cerita?”, “aku juga gak tahu, harus gimana, gimana mau ceritanya, aku juga bingung”.

Begitulah, kenangan pada salah satu sahabat saya yang berkesan hingga saat ini. Setelah menikah, frekuensi ketergantungan saya terhadap sahabat-sahabat saya tentu jauh berkurang. Saya tidak begitu membutuhkan tempat curhat atau berbagi mimpi di luar, sebab saya sudah memilikinya di rumah, dengan hubungan yang jauh lebih dekat daripada sahabat. Tetapi, sesekali tentu saja, saya masih bersahabat, berhubungan dengan sahabat-sahabat lama atau menjalin persahabatan baru. Sahabat datang silih berganti, ada yang datang cukup saat ia sedang mengalami musibah dan masalah. Ada beberapa yang dekat dengan saya, saat ia sedang terpuruk, belum bertemu jodoh, gagal menikah, masalah rumah tangga, masalah pekerjaan, pertengkaran dan banyak lagi. Kemudian tiba-tiba menghilang dan tidak pernah memberi kabar saat masalah sudah terselesaikan. Sudah bahagia berkeluarga, bahagia bersama suami dan anak-anak, bahagia dengan pekerjaannya dan banyak lagi. Jikapun saya menghubungi lebih dulu, jawaban sapaan hanya sekedarnya saja, “ya, baik, kamu apa kabar?”, titik. Sudah. Seolah tidak ada lagi topik pembicaraan lain. Jadi, biasanya saya memutuskan untuk tidak menghubungi lagi. Saya sudah cukup bahagia, paling tidak, ia saat ini sedang dalam keadaan bahagia, tidak terkena masalah yang rumit lagi. Saya jadi ingat bunyi petikan ayat di dalam Al-Quran yang artinya: manusia itu bersifat keluh kesah saat susah, tetapi kemudian menjadi kikir saat lapang. Jadi, tipe sahabat seperti ini, dia akan datang saat susah kemudian saat senang tak hendak berbagi. Tidak salah memang, hanya saja, nilai persahabatan seperti ini, bagi saya, masih kalah jauh berkesan dengan sahabat-sahabat saya yang masih bersedia berbagi kebahagiaan, berbagi mimpi bersama saya. Seperti yang saya katakan, itu seperti memberikan dorongan energi dan semangat untuk semakin mensyukuri kehidupan. Karena itu, saya hendak berterimakasih kepada mereka. Kepada Raisa dan sahabat-sahabat saya yang lain yang mungkin belum bisa dituliskan satu-satu di sini. Terimakasih pada Allah yang telah mengijinkan pertemuan itu terjadi. Dan semoga kita semua senantiasa berada dalam penjagaan-Nya. Amin.. :)










You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar