Parenting

-152- Traumatik Anak Akibat Perceraian Kedua Orang Tua

Tuesday, July 29, 2014



Bismillahirrohmanirrohim. 
Waktu saya mendengar berita perceraiannya belum lama ini, jujur saya kaget mengingat usia pernikahan mereka yang masih begitu belia. Tapi, setelah itu, semuanya saya anggap lalu saja, toh perceraian artis bukan barang baru di negeri ini, setidaknya dalam kurun waktu  tertentu kita akan mendengar kejadian serupa di hampir seluruh infotainment. Kurangnya komunikasi, padatnya jadwal masing-masing, dan terlalu banyaknya campur baur dalam pergaulan bisa jadi termasuk salah satu penyebabnya, dan untuk itu, saya masih bisa mafhum. Tanpa bermaksud menjudge kehidupan seleb, sejatinya memang kita sulit mengukur tingkat kesuksesan dan kebahagiaan dari apa yang tampak secara kasat mata dari orang lain. Kehidupan yang glamour, melimpahnya harta, melimpahnya sanjungan dan puja-puji, semuanya itu semu, fana, itu hanyalah yang tampak dari layar kamera. In fact? Wallohu a’lam, tidak ada yang tahu, apa yang tersembunyi di belakang layar, behind the scene. Di balik kehidupan sandiwara pura-pura ciamik mereka, sesungguhnya mereka tetaplah sama, manusia biasa. Manusia yang penuh alpa, hina di hadapan Tuhannya, manusia yang juga punya ujian dan cobaan, manusia yang lemah. Lagi pula, ujian serupa juga menimpa manusia-manusia ‘biasa’ lain, masyarakat awam, yang bahkan menopengi wajah secara dzohir saja tak mampu, juga manusia-manusia lugu apa adanya, yang tak dikenali siapapun.

“Dan, segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.
Kemudian apabila Dia telah menghilangkan bencana dari kamu, malah sebagian kamu mempersekutukan Tuhan dengan (yang lain).” Q.S An-Nahl: 53-54.

Satu hal, yang terus menerus saya pelajari, yakni tentang kesyukuran. Bersyukur itu kelihatannya mudah dan menyenangkan. Tetapi saat menerima limpahan nikmat, yang ada, justru kita sering kufur. Bersyukur jauh berbeda dengan bersabar. Bagi saya, barangkali bersabar jauh lebih mudah dilakukan, dipelajari dan dipraktekkan. Saat kita kehilangan, miskin, papa, tak punya apa-apa, hal apa yang hendak kita lakukan selain bersabar? Kita bisa bersedih, marah-marah, mencerca, tetapi setelah itu apa? Apa? Tidak ada, melainkan belajar bersabar. Bandingkan dengan mempelajari kesyukuran. Kita masih saja merasa kurang ini kurang itu kurang segala macam, tanpa mampu melihat ke atas- ke bawah- ke sekeliling. Hari ini kita merasa terluka dengan kehidupan, sendirian, terpuruk, tanpa mampu memandang di sekeliling ada luka-luka menganga yang tak lagi sempat diobati. Hari ini kita merasa tak mampu lagi untuk hidup, tapi tak mampu mensyukuri betapa banyaknya waktu saat kita mampu bertahan dan terus hidup menikmati kemudahan bernafas. Bayangkan di luar sana, badan-badan yang teronggok di ranjang-ranjang besi berselimutkan sprei putih, yang bahkan hanya bisa bernafas satu-satu, sembari menunggu waktu diseru. Sampai pada tingkat kesyukuran sederhana, nikmat sehat, nikmat jasadi, nikmat waktu luang, hingga nikmat iman. Berapa sering dari kita bersyukur atas nikmat kemudahan bernafas? Nikmat sehat? Nikmat iman yang bersemayam di dada? Pernahkah terlintas untuk mensyukurinya? Sedikit sekali, selebihnya kita lupa, selebihnya kita alpa.

Kembali ke berita artis yang tadi, sekira dua atau tiga hari yang lalu, karena penasaran setelah membaca status seorang teman yang menuliskan link sebuah video dimana sang artis telah menanggalkan hijabnya, saya mulai mengubek-ubek berita tentang ybs. Mulai dari masa lalunya, masa kecilnya, membaca blognya, fans page nya, karirnya –yang bahkan baru saya ketahui job terbarunya sebagai seorang motivator- dan saya pun mencoba menonton video-videonya saat berlakon menjadi seorang motivator, juga tak lupa, perusahaan barunya. Bagi saya, saat seseorang memutuskan untuk menjalankan kebaikan dari Allah, tentu karena ada dorongan kuat (nilai) yang kemudian diyakininya, sebaliknya jika seseorang mulai meninggalkannya, maka secara sadar, telah ada nilai yang kemudian diingkarinya. Bisa jadi lagi, keyakinan itu yang sesungguhnya memudar, atau sedari awal memang lemah, atau bisa jadi lagi, Allah cabut keyakinan itu dari dalam hati seseorang. Naudzubillah min dzalik. Tetapi, dari kesemuanya itu, saya tertarik untuk belajar dari kisah hidup yang kemudian ia bagi. Tentang masa kecilnya yang penuh konflik, luka, sakit hati terpendam, keluarga yang kurang harmonis.

Baiklah, mari kita garis bawahi tentang keluarga ini, keluarga secara utuh, ayah-ibu-anak. Dalam sebuah tulisannya, ia menuliskan jati dirinya sebagai produk dari keluarga disfungsi, keluarga yang tak bisa berfungsi secara utuh, ia adalah anak korban dari perceraian. Di usianya yang masih kanak-kanak, ia harus menyaksikan pertengkaran-pertengkaran hebat diantara kedua orangtuanya, dan rupanya hal itu memberi dampak traumatik luar biasa terhadap kepribadiannya, juga di kehidupannya yang akan datang. Saya pernah merasakan kehidupan keluarga yang seperti ini, bukan ayah dan ibu saya, mereka adalah keluarga dekat yang biasanya saya kunjungi semasa liburan sekolah waktu saya SD. Sepasang suami-isteri dan kemudian seorang bayi yang baru berumur beberapa hari. Dalam jangka waktu liburan yang singkat, saya bisa menyaksikan berbagai model pertengkaran yang pemicunya biasanya hanya hal-hal sepele. Saya berada disitu saat sang suami mencoba melempari sang isteri –maaf- dengan parang, dan benda-benda menyakiti lainnya, dan melihat ketakutan luar biasa, sakit hati, depresi dari sang isteri. Saya pernah mendapati sang isteri yang terpekur sendiri, menangis seharian dari pagi-siang-sore-malam.

Saya bersyukur Allah menjaga saya sehingga saya selalu aman ketika berada di sana, saya tidak dapat membayangkan bagaimana mengerikannya pertengkaran mereka saat saya tidak ada di sana. Sebenarnya, bukan pertengkaran dua arah, lebih tepatnya satu arah. Apa ya … definisi yang tepat … suami psikopat, suami berkepribadian ganda… suami emosional tinggi… suami setengah gila… yah semacam itulah. Saya belum pernah menceritakan ini kecuali kepada ibu saya, itu pun diragukan. Sebab di luar, sang suami terlihat sebagai orang yang sangat baik, cerdas, berilmu dan sopan. Selang beberapa tahun, berita perceraian itupun terdengar, sayangnya hak asuh anak jatuh pada sang suami. Saat itu, sang bayi perempuan (kita sebut saja Melani) baru berusia 1 atau 2 tahun.  
Sejak bersama ayahnya, di usia sekecil itu, Melani sering mengalami kekerasan fisik, dan itu tanpa malu dilakukan di depan kami. Di banting, di tenggelamkan di dalam bak, macam-macam perlakuan. Kenyataannya, ia tetap tinggal bersama ayahnya hingga menginjak usia remaja, yang entah berapa ratus kali perlakuan kasar yang telah diterimanya. Pernah di pagi hari yang buta, kami menemukannya tertidur di teras rumah kami, rupanya ia lari dari rumahnya, sehabis menerima perlakuan kasar dari sang ayah. Saat itu, ia sempat tinggal beberapa hari di rumah, menikmati kebebasan.

Ah, sedih, sedih rasanya jikalau harus menceritakan kisah Melani, ia hidup tanpa ibu, tanpa pernah merasakan kasih sayang ibu secara utuh, secara normal, juga tanpa pernah merasakan nikmatnya hidup bersama ayah-ibu secara utuh. Ia kehilangan sentuhan kelembutan ibu, yang tak bisa tergantikan. Mungkin juga kehilangan figur ayah ‘baik’ yang seharusnya. Tetapi, yang cukup mengherankan buat saya, sepedih apapun konflik yang terjadi antara ia dan ayahnya, ia selalu berani kembali, kembali kepada ayahnya. Saya selalu berdoa, semoga batin dan jiwanya selalu kuat, utuh, meski penuh luka. Saya juga selalu bedoa, semoga ia menjadi seorang perempuan soleha, bermanfaat dan kelak dapat berbagi pengalaman hidupnya yang mungkin jika diceritakan langsung olehnya, lebih terasa manfaatnya. Trauma? apakah saya yang sekilas pernah melihat kondisi keluarga disfungsi seperti itu merasakan trauma? iya, saya cukup trauma terhadap sosok lelaki, terutama terhadap sosok ayah Melani. Saya mulai tidak menaruh kepercayaan lagi padanya, trauma itu juga membuat saya tidak mudah menaruh percaya kepada orang lain. Saya tidak mudah percaya dengan casing luar seseorang.  Apakah Melani trauma? saya yakin kejadian-kejadian yang dialaminya meninggalkan bekas, meski dari luar ia tumbuh menjadi gadis kuat yang berpendirian, cerdas berprestasi.

Saya pernah mendapatkan kasus serupa Melani, (sebut saja Anggi) yang berkisah kepada saya bahwasanya ia memiliki traumatik tersendiri terhadap ayahnya. Anggi juga korban perceraian, ia tinggal bersama sang ayah (yang sering berlaku kasar, menyakiti, dan melakukan perbuatan tercela), Anggi yang sendiri, tak punya tempat berbagi, lantas nekat lari dari tempat ayahnya, menyeberangi pulau untuk menemui dan tinggal bersama ibunya. Ia bertanya kepada saya, bagaimana cara ia bisa memaafkan ayahnya, sebab rasanya sulit baginya untuk melupakan dan memaafkan semua perbuatan sang ayah, meski di usia ayahnya yang kini senja dan sakit-sakitan, berulang kali sang ayah meminta maaf karena pernah menyakiti dan melukai hatinya. Ia hidup dengan menggenggam masa lalunya, masa lalu kelam yang pernah ia jalani bersama ayahnya.

Berkebalikan dengan kisah Melani, sang artis tadi, kemudian tinggal bersama ibunya. Dalam masa itu, dimana sang ibu muda harus mencukupi kebutuhan ketiga anaknya, dan bekerja keras sendiri, maka sang anak merasa tidak tercukupi kebutuhan batinnya. Kebutuhan untuk diperhatikan, diberi penghormatan, dimanja, dan semacamnya selayaknya seorang anak seharusnya. Ia merasa ditolak dan tersisih, belum lagi bullying yang diterimanya di sekolah. Kita kemudian bisa melihat jiwanya yang rapuh, emosinya yang labil, dan kesulitan dalam menyelesaikan dan memandang masalah-masalah yang dihadapinya. Hingga akhirnya ia mengalami masa depresi, atau yang ramai diperbincangkan orang-orang, masa ‘stres’. Kemudian masa itu menjadi titik balik kehidupannya hingga kemudian ia menikah, memutuskan berhijab dan memutuskan untuk menjalani hidup dengan lebih baik lagi. Lalu tiba-tiba, kabar perceraiannya terdengar, kemudian selanjutnya, wallohu a’lam.

Dari semua kisah tadi, saya pribadi belajar banyak hal tentang anak. 
Pertama: Bahwa anak, anak adalah ujian. Bahwa anak bukan benda, bukan mainan yang bisa di pakai untuk bersenang-senang dan menjadi sumber tawa juga candaan. Anak bukan pajangan, yang bisa dibawa-bawa untuk kemudian dibangga-banggakan. Anak bukan robot yang bisa sekehendak hati kita remote. Anak bukan tanah liat, yang bisa sekehendak hati kita bentuk sesuai keinginan kita. Anak adalah individu, ia memiliki jiwa, ruh, akal dan batinnnya secara utuh. Anak adalah individu yang mana kita sebagai pendidik, orang tua, individu yang lebih dewasa, seharusnya lebih banyak belajar bagaimana menjalin hubungan dengannya. Bukan menuntut anak mengerti akan kita. Di mana sebagai orang yang lebih dewasa seharusnya kita lebih banyak mempelajari dunianya, sebab kita bisa menjangkau dunia mereka, sementara ia sebagai seorang individu belum mampu merengkuh dunia kita. Anak, selama ini selalu kita anggap sebagai orang yang tidak faham apa-apa, tetapi di lain sisi seringkali pula kita paksa berpikir menggunakan jalan pikiran orang dewasa sehingga tanpa sadar seringkali kita abaikan kebutuhannya. Kita memintanya duduk-diam-tenang seperti saat orang-orang dewasa melakukannya, sementara kita jarang mau bergabung dalam dunia permainan mereka.

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar. Q.S. At-Taghobun: 15.

Kedua: Anak sebagaimana individu juga bisa merasakan luka, sebagaimana kita luka karena disakiti orang lain. Mereka bisa terluka karena bentakan kita, amarah kita, perbuatan tidak adil kita, dan kata-kata menyakitkan dari kita. Rasanya sama, kadarnya sama, tetapi mungkin pengaruhnya berbeda. Apa yang dirasakan anak, bisa membawa pengaruh besar dan membekas hingga ia dewasa. Karena ia masih terlalu kecil dan lugu, seperti seekor ulat yang akan terus tumbuh, berkembang dan berproses menjadi seekor kupu-kupu yang indah.

Ketiga: Saat kita, orang-orang dewasa berkonflik, merasa perlu beradu mulut, jauhkan semua itu dari jangkauannya. Anak, adalah individu yang sangat pandai merekam, berikan ia gambaran yang baik tentang bagaimana seharusnya berhubungan. Berikan ia contoh yang harmonis tentang sebuah keluarga. Jadilah cermin, cermin cantik-mulus-bersih hingga ia mampu melihat pribadinya secara utuh, mampu melihat peluang kesyukuran dan mampu menghargai dirinya sendiri.

Keempat:
Ujian, rintangan, cobaan akan senantiasa membersamai kehidupan manusia. Masalahnya, bukan terletak pada besar atau kecilnya ujian, rintangan yang dihadapi dalam hidup, tetapi bagaimana sudut pandang seseorang dalam menyikapi sebuah masalah. Peran orang tua, pendidik, bukan hanya membesarkan anak, memberinya makan banyak, dan mengukur pertumbuhan tinggi&berat badannya. Ada yang lebih penting dari itu, yakni, membesarkan jiwanya, melapangkan hatinya, membentuk mentalnya, mendidik akhlaknya agar anak-anak kita kelak mampu dan berani menjalani hidup. Bukan anak yang berpikiran pendek, lemah, goyah, mudah tertekan, mudah depresi dan tersulut emosi. Untuk itu, jangan berpuas diri setelah menjadi ibu, jangan berpuas diri setelah menjadi ayah, terus belajar dan terus belajar. Agar mampu menjadi pendidik yang baik untuk generasi anak-anak yang lebih baik.

Kelima:
Rumah adalah tempat pertama yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk anak. Rumah yang senantiasa dzikrullah, in sha Allah akan menjadi tempat terhangat untuk para penghuninya. Karenanya, membiasakan mengenalkan anak kepada Allah sedari kecil, akan menguatkan fondasi mental dan imannya, dan itu semua dimulai dari kedua orangtuanya. 

Keenam: 
Ayah, ibu, jika satu-satunya jalan adalah perceraian. Fikirkan kembali tentang anak-anak. Perceraian sebaik apapun, selalu memberikan dampak terhadap anak-anak. Ia akan kehilangan salah satu sosok dari orangtuanya, atau bisa jadi kehilangan kedua-duanya. Tetapi, jika itu adalah jalan terbaik, tidak perlu berkecil hati. Mari bangkit, dan belajar menjadi orangtua dengan lebih baik setiap harinya. Keluarga disfungsi bisa terjadi bukan hanya karena perceraian, bisa juga karena kematian, bisa jadi juga terjadi kepada keluarga yang utuh. 

Ketujuh:
Untuk kita semua, para orangtua, para pendidik. Mari lihat sekeliling, dan belajar untuk senantiasa bersyukur. Pandang ke sekeliling, dan jangan hanya berfokus pada satu titik. Kita semua bisa menjadi cermin, yang mampu memantulkan pemandangan luar biasa tentang indahnya hidup dan indahnya kehidupan kepada anak-anak. Kita semua bisa menjadi sarana yang terbaik untuk membawanya bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang indah, sosok-sosok hebat dan menghebatkan di masa depan.

Robbi habli minassholihin, robbi habli minassholihin, robbi habli minassholihin…
Robbana hablana min azwajina wadzurriyyatina qurrota a'yun, waj'alna lil muttaqina imamaa..
Semoga anak-anak kita menjadi putera-puteri soleh dan solehah, menjadi penyejuk mata dan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. 
Amin ya robbal alamin.











You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



4 komentar

  1. weeeeeh, dari satu kisah perceraian, jadi pembahasan panjang lebar ya mba :))
    saya seneng baca tentang masalah kesyukuran. saya setuju, di kala terpuruk, sabar memang hal yang lebih mudah dilakukan bila dibandingkan dengan bersyukur.

    ReplyDelete
  2. @Aisyah Al farisi: hehe, itulah... efek lama gak nulis, semua mau ditumpuk jadi satu. :)
    Ya Mbak, semoga kita termasuk golongan orang2 yang pandai bersyukur.. Amiin..

    ReplyDelete
  3. Yang seseartis yang Nurin sebutin di atas itu, bukan cuma depresi (denger cerita dari salah seorang yang dekat dengan keluarga mereka). Tapi memang udah sampai mengalami gangguan kejiwaan. Menjelang dia menikah dulu, sempat dirawat. Mungkin sekarang ini ada pemicu lain yang bikin jiwanya gak stabil lagi. :(((

    Jadi kayaknya, perceraian dan pertengkaran orangtua bukan hanya bikin anak depresi, di titik tertentu, bisa sampai anak mengalami gangguan jiwa. Duh, mudah-mudahan gak ada lagi yang mengalami kasus kayak seseartis itu. :(((

    Udah lama ya, gak komen di blog Nurin. Aku udah pindah ke Pasir Pengiraian, Riau, nih Nuriiiin~

    ReplyDelete