Bismillahirrohmanirrohim. Dua dalam satu, begitu ungkapan sebagian orang untuk menyebutkan arti sebuah pernikahan. Namun pada hakikatnya, pernikahan tidak dapat dipandang hanya dengan kata 'melebur' atau 'menyatu', tetapi lebih tepat dinilai sebagai 'berpadu'. Seperti saat harus memadu madankan pakaian, tidak harus atasan dan bawahan berwarna senada. Atau menciptakan sebuah orkestra, tidak harus semuanya memainkan viola. Perbedaan, menjadi sebuah seni, menjadi sebuah keindahan, manakala dapat diramu dengan sempurna. Berpadu dalam laju, beriring untuk terus maju.
Isteri-isterimu adalah pakaian buatmu, dan engkau adalah pakaian buat mereka
Sementara itu, Pak Arifin (bukan nama sebenarnya), tengah dirudung nestapa. Kebimbangan dan keresahan menggelayut di ranting pikirannya, bertahun-tahun hidup berumah tangga, dikaruniai empat orang anak yang beranjak dewasa, kini pernikahannya bagai telur di ujung tanduk. Isterinya, yang semula diizinkannya bekerja, demi membantu kehidupan rumah tangga, kini memiliki karir cemerlang dan penghasilan yang lebih dari cukup, sungguh membanggakan. Tetapi, dunia kerja di luar ternyata membuat sang isteri tak lagi menghormati suaminya, Pak Arifin dianggap sebelah mata hanya karena berpenghasilan lebih rendah darinya. Sudah dua tahun terakhir, bahkan sang isteri tak mau lagi melayani suaminya, hidup satu rumah tapi tak saling bertegur sapa. Telah cukup alasan bagi Pak Arifin sebenarnya untuk mentalak sang isteri. Tetapi, demi mengingat kebersamaan yang telah lama terjalin, kebaikan-kebaikan sang isteri, anak-anak, dan juga perasaan cinta dan sayangnya kepada sang belahan jiwanya itu, membuat Pak Arifin memilih untuk tetap bertahan, meski berat. Membuatnya tetap berkubang dalam gelisah berkepanjangan saat tawaran untuk menikah lagi itu datang.
Bercerai kita runtuh, bersatu kita gaduh
Sore itu, langit Tideng Pale masih terang, terik mentari urung pergi dari peraduan hamparan awan yang memerah, selepas sembayang Ashar, seorang perempuan paruh baya, menghampiri saya. Ia mengajak saya bersalaman, cukup erat, airmatanya tak berhenti tumpah.
Cinta tidak sepenuhnya milik kita...
Isteri-isterimu adalah pakaian buatmu, dan engkau adalah pakaian buat mereka
Ketika bersepakat lalu mengucap akad, seketika itu pula terdapat konsekuensi dimana masing-masing tidak lagi dapat memikirkan tentang dirinya saja, dimana masing-masing tidak dapat memprioritaskan 'ego' nya saja, atau hanya menuntut haknya saja. Sang laki-laki yang kemudian menjadi imam, adalah pakaian untuk isterinya. Sementara, sang wanita, dengan anggun dan cantiknya adalah pakaian untuk sang imam. Pakaian, dalam arti sebenarnya, adalah secarik kain yang melekat pada badan, berfungsi melindungi, menutupi, dan menghiasi. Maka, siapapun, dari keduanya, yang begitu senang membuka aib atau keburukan pasangan, adalah seperti menyingkapkan pakaiannya di hadapan khalayak, memalukan. Kemudian, siapapun, dari keduanya, yang begitu mudah mencela, menyalahkan dan menyakiti, adalah seperti seseorang yang menjatuhkan noda atau kotoran di atas pakaiannya sendiri, menjijikkan. Suami-isteri, seperti gambaran
manusia dengan pakaiannya. Selayaknya menyulam kekurangan jika suatu waktu
sebagian kainnya sobek, mencucinya saat pakaiannya kotor, menyetrika, merapikan
dan merawatnya. Pada kenyataannya, hal
demikian membawa sepasang suami-isteri untuk dapat saling menghargai,
menghormati, kemudian memuliakan pasangannya.
Pernikahan, juga bukanlah lembaga yang dengan serta merta menyatukan segala hal, selera, sudut pandang, pendapat ataupun kemauan. Pernikahan juga bukanlah tempat untuk memecahkan rekor merubah pasangannya ke arah yang diinginkan. Sekali lagi, pernikahan adalah soal memadukan, bukan hanya sekedar menyatukan. Bersepakat dalam satupun, sejatinya adalah proses dimana salah satu mufakat, menerima dan sadar tentang kebaikan yang terkandung didalamnya, bukan semata karena setuju, atau memiliki selera yang satu.
Saling menghargai, lebih penting dari rasa itu sendiri
Mbak Arini (bukan nama sebenarnya), suatu ketika mengisahkan kehidupannya pada saya:
"Kalau sudah begini. Saya jadi teringat waktu saya masih bekerja. Dengan segenap kekurangan yang saya miliki, saya berhenti bekerja agar saya dapat mengurus keluarga dengan lebih baik lagi. Melayani suami dengan lebih baik lagi. Tetapi, semua itu ternyata belum memuaskan untuknya. Saya masih dianggap tidak piawai mengelola rumah tangga"
Dalam perjalanannya, cinta yang
demikian menggebu, menggelora dan membuncah, bisa saja berfluktuasi menjadi sebuah rutinitas semu, terbiasa karena sudah biasa. Mbak Arini memilih mengalah, dalam diam. Kelelahannya, bekerja, menyiapkan segala sesuatunya, untuk suami dan keluarganya, seolah tak ada artinya. Sang suami, yang seharusnya mengucap terima kasih, bersyukur dalam setiap suapan hidangan, dalam setiap jengkal rumah yang tak berdebu, dalam tumpukan pakaian bersih, dalam kelimpungan dan kerja keras dari jam ke jam, mencelanya.
"Kamu kan enak, kerjanya di rumah saja, tahunya hanya menghabiskan uang", begitu kata suaminya seringkali.
"Saya pernah bekerja. Jadi saya tahu, di tempat kerja, tidak sepenuhnya sibuk, ada waktu, dimana kita bisa bersantai, duduk-duduk mengobrol, sekedar minum atau sembari makan camilan. Tapi, tahu sendirikan? bagaimana pekerjaan rumah tangga? tidak masalah buat saya, membiarkannya beristirahat di rumah sepulang bekerja, tanpa harus membantu saya. Tetapi setidaknya, saya ingin pengorbanan saya dihargai.", kata Mbak Arini pada saya.Ya, tanpa sadar, seringkali para suami alpa, menganggap remeh apa yang dilakukan isteri di rumah. Pekerjaan yang seolah tiada habisnya itu, acapkali tak terlihat, semata-mata hanya karena tak menghasilkan uang. Berterimakasihlah para suami, terhadap isteri-isteri yang dengan ikhlas melayani dan mencukupkan segala keperluanmu. Berterimakasihlah kepada isteri yang dengan ikhlas meninggalkan hingar-bingar kehidupan luar, menahan diri untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, lalu sibuk memikirkan segala hal tentang keperluanmu, di rumah. Bayangkan, saat tiba-tiba engkau sendiri, tanpa isteri. Saat jauh, tak lagi bersama. Sanggupkah?
Sementara itu, Pak Arifin (bukan nama sebenarnya), tengah dirudung nestapa. Kebimbangan dan keresahan menggelayut di ranting pikirannya, bertahun-tahun hidup berumah tangga, dikaruniai empat orang anak yang beranjak dewasa, kini pernikahannya bagai telur di ujung tanduk. Isterinya, yang semula diizinkannya bekerja, demi membantu kehidupan rumah tangga, kini memiliki karir cemerlang dan penghasilan yang lebih dari cukup, sungguh membanggakan. Tetapi, dunia kerja di luar ternyata membuat sang isteri tak lagi menghormati suaminya, Pak Arifin dianggap sebelah mata hanya karena berpenghasilan lebih rendah darinya. Sudah dua tahun terakhir, bahkan sang isteri tak mau lagi melayani suaminya, hidup satu rumah tapi tak saling bertegur sapa. Telah cukup alasan bagi Pak Arifin sebenarnya untuk mentalak sang isteri. Tetapi, demi mengingat kebersamaan yang telah lama terjalin, kebaikan-kebaikan sang isteri, anak-anak, dan juga perasaan cinta dan sayangnya kepada sang belahan jiwanya itu, membuat Pak Arifin memilih untuk tetap bertahan, meski berat. Membuatnya tetap berkubang dalam gelisah berkepanjangan saat tawaran untuk menikah lagi itu datang.
"Kebanyakan perempuan memang begitu. Kalau sudah lebih tinggi dari suami (dalam hal uang), tak lagi hormat", begitu kesimpulan seorang Bapak paruh baya pada saya.Saling menghargai, lebih penting dari rasa itu sendiri. Rasa itu, yang seringkali kita namakan cinta, bukanlah sesuatu yang terus menetap, menempel di dalam hati-hati kita. Dalam perjalanannya, rasa itu bisa saja menjadi hambar di tengah, pahit di tepi, asin di pangkal, atau manis di ujungnya. Bukan rasa yang dapat mengekalkan dan menjamin berpadunya dua insan dalam perjalanan, tetapi bagaimana kita dapat menghargai rasa itu sendiri, bersyukur di setiap fase yang berhasil dilewati. Tidak merasa paling berjasa, tidak merasa paling benar, tidak merasa paling berperan. Saling menghargai, dan saling menghormati.
Bercerai kita runtuh, bersatu kita gaduh
Sore itu, langit Tideng Pale masih terang, terik mentari urung pergi dari peraduan hamparan awan yang memerah, selepas sembayang Ashar, seorang perempuan paruh baya, menghampiri saya. Ia mengajak saya bersalaman, cukup erat, airmatanya tak berhenti tumpah.
"Saya baru dari kantor polisi Bu...", ucapnya pada saya.
"Ibu sedang ada masalah?", tanya saya.
Saya menggenggam tangan Ibu Hayati (bukan nama sebenarnya), yang tak berhenti mengusap air matanya."Suami saya Bu... mengancam akan membunuh saya..."
"... saya sudah tidak tahan Bu, dengan kelakuan suami. Suami ingin menikah lagi, belum juga dilihat orangnya, belum pernah ketemu. Rumah kami yang satu sudah terjual, habis, uangnya dikirim untuk perempuan itu. Setiap dapat uang, sering dikirimkan kesana. Sementara saya, kepikiran anak-anak yang masih kecil-kecil (Bu Hayati memiliki tiga orang anak). Apalagi sekarang, rumah yang saya tempati bersama anak-anak, juga mau diambil"
"Suami Bu Hayati bisa kenal perempuan itu lewat apa?"
"Cuma lihat fotonya lewat handphone..."
"Internetan?"
"Mungkin iya Bu..." Fb? Twitter? Sosialita? Line? Whatsapp? Instagram? Path? Kakaotalk? Google +? Me2day? Weibo? Plurk? Koprol? Skype? Hi5? Netlog? BBM? -tiba-tiba kepala saya penuh dengan deretan macam-macam jejaring sosial.Apapun penyebabnya, ketika berpadu dalam pernikahan tidak lagi teduh, melainkan gaduh, Allah melimpahkan solusi perceraian sebagai sebuah karunia. Bercerai kita runtuh, ada banyak hal dan kenangan yang akan berai, tercecer, dan mungkin saja tak meninggalkan bekas. Perceraian, bisa jadi menjadi solusi yang terbaik, tetapi bisa saja sebaliknya. Pilihan untuk mengakhiri, adalah proses panjang yang harus difikirkan secara matang. Apapun itu, setiap pilihan, mengandung kebaikan dan resiko yang harus siap dijalani.
Cinta tidak sepenuhnya milik kita...
Karena itu, tak baik bagi kita menuhankan cinta. Melabrak serangkaian aturan Tuhan tentang bagaimana menempatkan cinta. Namun demikian, cinta adalah sebuah titik episentrum yang menjadi nafas kehidupan. Ia bagaikan tetumbuhan di lahan yang gersang. Perlu dibasahi, perlu dipupuki, perlu dirawat, perlu dijaga, agar bersemai indah menjadi bunga-bunga, dan bukan belukar semata.
Selayaknya seorang manusia dengan pakaiannya. Kualitas seseorang akan sangat memengaruhi kualitas pakaiannya. Seorang Raja tidak patut menggunakan pakaian compang-camping saat berada disinggasana, sebaliknya, seorang puteri tak layak menggunakan pakaian buruk rupa saat berada di istana. Dalam perjalanannya, cinta selalu akan bersesuaian, cinta selalu akan memadukan. Maka, tak perlu berharap, pakaian kita sebagus pakaian sang raja, jika kualitas kita hanya sepadan menggunakan pakaian kaos semata. Maka, jangan banyak menuntut pasangan untuk berubah menjadi seperti yang diinginkan, tetapi perbaiki kualitas diri agar layak menyandang pakaian sang raja.
Cinta, tidak sepenuhnya milik kita, ia bersenyawa dengan jiwa, merasuk lembut dan tersimpan di dalam dada. Karenanya, cinta selalu menginginkan jiwa-jiwa yang bersih, jiwa-jiwa yang mulia, seperti halnya oksigen di dalam tubuh yang hanya berkenan memeluk sel darah yang sehat.
Dalam perjalanannya, pernikahan yang digawangi oleh cinta, juga membutuhkan hati-hati yang bersih, jiwa-jiwa yang mulia. Apapun permasalahannya, jiwa yang senantiasa terasuki nilai-nilai ilahi selalu mampu kembali, selalu berhasil merajut tatanan benang yang kusut, selalu mampu menjadi solusi untuk memperbaiki.
Karenanya, cinta bukan hanya sekedar rasa, cinta adalah satu bentuk kata,
kata kerja...
Wallohu a'lam bish showab,
Maret 2013
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar