Apa definisimu tentang kesuksesan?
Sukses untuk saya adalah ketika saya bahagia. Saat saya dapat merasakan suatu perasaan yang berbunga-bunga hingga bisa lupa pada semua, mungkin itulah puncak kesuksesan. Ya, dan itulah yang saya rasakan ketika menulis. Bayangkanlah sebuah dunia dimana hanya ada engkau disana dan engkau bisa berbuat sesuka, bergerak semaunya. Menentukan bentuk, memilih subjek, membentuk imajinasi nyata, subhanallah, hingga engkaupun akan merasa jika Dunia yang Sesungguhnya seolah membungkuk, mengecup hormat dengan salam....
@@@
Pabila para Pahlawan Pemberani Bersumpah. Suatu hari, atas nama Pedang-Pedang mereka Seraya menghunuskannya: Demi keagungan, demi Kemuliaan,
Cukuplah Pena Penulis.
Sebagai Kemuliaan dan ketinggian Sepanjang masa
Karena Allah telah bersumpah:
Demi Kalam!
(Syair Abu Al Fath Al Busti)
Menulislah, karena dengan begitu, engkaupun akan turut membuat orang lain bahagia. Menulislah, karena menulis adalah berjuang, maka tetaplah berjuang dengan Pena. Menulislah, menulislah sekarang juga....begitulah ungkapan-ungkapan nasihat dari beberapa sahabat kepada saya. Tapi saya tak harus menunggu banyak alasan untuk mau menulis, karena saya sadar betapa agungnya kedudukan seorang Penulis, sebab Allah pun bercerita pada hambanya melalui pena.
”Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan Pena...(Al-Qolam:3-4)”
Jujur saja, tidak mudah memang memulai untuk menulis. Sama seperti kali ini, ketika tiba-tiba dering HP saya berbunyi.... ”ups, permintaan menulis lagi...”. Bingung mau menulis apa.... tidak tahu juga hendak mulai darimana.... ditambah lagi pesan tambahan ”tidak usah panjang-panjang ya...kalau bisa malam ini...”. Uh, lengkaplah sudah!!!!. Kalau sudah begini maka tidak ada jalan lain kecuali, menulis saja....menulis ..... tanpa peduli begitu amburadulnya bentuk tulisan... tanpa peduli begitu tersendat-sendatnya merangkai kata menjadi sebuah bangunan kalimat yang berharga..... ah yang penting tuliskan saja dulu.....
Berawal dari sebuah tekad ingin turut merubah peradaban, maka mulailah saya mengasah kemampuan dalam menulis. Jangan dikira, tulisan-tulisan yang saya buat langsung jadi tanpa hambatan. Sebenarnya, itu adalah hasil dari berkali-kali delete dan Backspace, pusing yang berdentam-dentam karena tidak juga mendapatkan ide, lelah dikejar deadline sementara belum satu paragraph pun tercipta. Sibuk? Kalau yang satu ini tidak bisa dijadikan hujjah, toh semua orangkan juga sibuk. But, the last... bagaimanapun rintangan, hambatan, dan susahnya menulis, saya akan tetap berusaha...emm....mungkin karena saya sudah terlanjur begitu mencintai kata....
Ada perasaan marah, kesal, sedih, ketika menyaksikan betapa semua lini media dikuasai oleh musuh-musuh islam. Bayangkan, disetiap pemberitaan, disepanjang kolom koran, dan dari apa yang kita dengar dari televisi, otak kita diisi dan sedikit-demi sedikit di cekcoki dengan banyak teori. Tidak peduli itu sampah atau informasi, semuanya berduyun-duyun berlomba masuk dalam memori pengingat kita. Maka hal itu pula yang saya sampaikan pada dosen Pancasila saya yang ketika itu menulis surat tanggapan terhadap buletin Lembar Dakwah Ukhuwah.
”Kami hanyalah satu dari sekumpulan orang-orang yang berjuang, sesungguhnya apa-apa yang kami usahakan disana adalah proses, demi sebuah pencapaian visi dan misi.... penyebaran opini..menyelaraskan antara Dakwah Bil Lisan dengan Dakwah Bil Qolam...secara pribadi, saya menuliskan,
”saya sangat amat mencintai kata, dengan kata itu pula saya ingin menyebarkan bagaimana itu nilai-nilai islam yang sesunguhnya, saya belajar memulainya untuk lingkungan kecil yang ada, saya mulai itu pada teman-teman dikampus saya..... dengan kata itu pula saya ingin terus berusaha...
Dosen Pancasila saya namanya pak Bermani, dalam kedalaman fikirnya yang filosofis, ia banyak memberikan saya inspirasi, saya begitu kagum dengan karya-karyanya yang puitis, sejenak mengingatkan saya pada karya-karya seorang Buya Hamka. Saya juga kagum dengan caranya mengajar, laki-laki 60 tahunan dengan paras parlente itu begitu menarik imaji saya dengan indahnya kata-kata yang ia lontarkan. Terus terang, ”saya jatuh cinta pada sosoknya pada pertemuan pertama mata kuliah Pancasila” dan terus terang pula selama bertahun-tahun sekolah, ini juga kali pertama saya benar-benar suka Pancasila. Dari ia pula, saya seolah mendapatkan sebuah kekuatan baru, sebuah pengakuan kuat bahwa toh seorang manusia dhoif seperti saya punya sedikit kafaah di bidang penulisan yang tidak banyak dimiliki orang, tidak tahu apakah karena enggan atau karena kemalasan buat bergerak.
Ceritanya kala itu, ia memberikan tugas untuk membuat sebuah puisi tentang ibu pertiwi, 3 orang yang dianggap baik karyanya akan dipresentasikan, dibahas dan didiskusikan. Tidak disangka, saya termasuk salah satu diantaranya. Kebetulan saya mendapatkan giliran terakhir untuk membaca karya yang saya buat. Pada 2 penampilan sebelumnya, nampaknya biasa saja, teman-teman tidak terlalu memperdulikan, saya perhatikan, banyak juga diantara mereka yang bercuap-cuap, cuek dan tidak memperhatikan. Wah, deg-degan juga, saya jadi takut kalau itu juga berlaku ketika saya maju nanti...”allah, mudahkanlah..., doa saya ketika itu...”.
lalu bagaimanakah akhir dari kisah saya? Subhanallah, tidak pernah disangka, ketika saya mulai membacakan puisi saya, suasana kelas yang pada mulanya ramai menjadi hening seketika, saya lihat dengan setengah tidak percaya, semua mata menyimak, konsentrasi teman-teman tiba-tiba mengarah pada saya, bahkan sebagian ada yang tertunduk dan hendak meneteskan air mata.... dan satu lagi yang tidak mungkin saya lupa, ketika tiba di penghujung baris yang terakhir, saya mendapatkan tepukan riuh dari teman-teman sekelas. Tepukan yang istimewa, tepukan yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya....sebuah penghargaan yang saya rasakan benar-benar spontan dan berasal dari hati yang terdalam. Waktu itu, bahagianya tidak terkira... setelah itu, banyak yang berkomentar, ”nurin, selamat ya puisi kamu bagus banget...”....”Nurin, kok bisa sih buat puisi sebagus itu, aduh, tadi aku sampe mau nangis lho....”...”Nurin, dapet ide darimana sih? Bener-bener bisa buat aku terharu....”..... sejak saat itu, saya sadar bahwa ternyata saya bisa menulis, sesuatu yang saya rasa aneh sebelumnya, karena saya selalu beranggapan bahwa tulisan-tulisan yang sering saya buat tidak bagus dan tidak layak untuk dibaca oleh orang lain... sejak peristiwa itu pulalah, saya semakin dekat dengan kata, hingga saya benar-benar merasa bahwa menulis adalah kehidupan itu sendiri, sama seperti kebutuhan saya akan makan, minum, bernafas, tidur, dan beribadah.
Ternyata saya menemukan sebuah kesimpulan baru, bahwasanya semua manusia pada dasarnya butuh pengakuan. Sedikit berbeda mungkin dengan pengalaman cerpenis Joni Aradinata yang berkali-kali tidak berhasil menembus media, Helvy Tiana Rosa ataupun JK Rowling yang karyanya langsung menembus batas dunia Maka, bisa saya katakan Allah memberikan sebuah jalan yang berbeda. Akhirnya sayapun mengalami proses itu, menjajaki pengakuan demi pengakuan. Sungguh, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri ketika saya kemudian bisa turut bergabung dalam divisi penerbitan Rohis setelah sebelumnya memenangkan lomba penulisan di buletin Lembar Dakwah Ukhuwah dan berjuang bersama merubah peradaban dengan Pena dan Statistika serta lebih memperdalam pengetahuan jurnalistik dalam indahnya kebersamaan di UKM Media Kampus.
Apa saya bilang? Keterpaksaanlah yang pada akhirnya menimbulkan gagasan. Yah, seperti keterpaksaan memenuhi sebuah janji. Rasa tertekan saya ketika mendapatkan tugas untuk menulis membuat saya semakin tertantang, dan pada akhirnya selalu berakhir dengan ”sudahlah, tulis saja yang ada dikepala, biarkan mengalir saja....”. itulah solusi jitu dalam memulai untuk menulis....
Islam membutuhkan generasi-generasi penerus yang hebat. Tidak hanya bermodalkan semangat tapi juga kekuatan dan keberanian mendobrak sebuah langkah nyata. Tidak cukup dengan keberanian dan kecakapan menguasai podium tapi juga keterampilan dalam bertutur lihai melalui tulisan. Seperti kata Bambang Trim dalam bukunya ”Menjadi Powerful Dai dengan Menulis Buku” bahwasanya Semua Ustadz/Ustadzah sama sampai salah satu dari mereka menulis sebuah buku. Jika anda bersepakat dengan saya, maka saya katakan sekali lagi, bahwasanya islam butuh banyak penerus-penerus Ibnul Qayyim, Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Ibnu Taimiyah. Islam juga butuh banyak Ilmuwan yang ahli dibidangnya, penerus Ibnu Khaldun, Jabir bin Hayyan, Alkharizmi, Ibnu Sina dan Ibnu Firnas, maka berkaryalah dengan apa-apa yang engkau punya. Jika AA Navis pernah berkata bahwa sastra islam adalah sesuatu yang utopis saat ini, juga Putu Arya Tirtawirya dalam buku Antologi Esai dan Kritik Sastra (1982) menulis, ”sastra adalah sastra saudaraku, tak perlu dikotak-kotakkan. Tak usah membuat kita pening.”. sebaliknya saya akan mengatakan dengan lantang sebagaimana pula tokoh-tokoh yang lain sekelas Helvy, Abdul Hadi W.M, Taufik Ismail, Kuntowijoyo dan masih banyak lagi, menuliskan bahwasanya sastra Islam itu ada, ia tumbuh tidak dengan mengharuskannya membawa label ”islami” atau berlatar ”Pesantren” , ia juga berkembang, sedikit demi sedikit menutup celah keterbukaan ideologi, arus pemikiran, ia ada untuk menjadi pembela sekaligus penumbang orang-orang yang masih menanyakan Tuhan, juga sebagai pembela ketika banyak pemikir ulung yang menghinakan Alquran atau berdebat riuh mengenai surga neraka atau pula orang-orang yang tak puas dengan mempertanyakan hukum syariat.
Jika anda bersesuaian dengan apa yang ada dalam pemikiran saya. Maka bergabunglah.... bersama-sama meraih surga melalui pena. Tunggu apalagi? mulailah menulis sekarang juga.....
Selamat berkarya!!!!
Puri Alhanan, 17 September 2007
Tidak sengaja menemukan tulisan ini lagi...
gambar dipinjam dari: http://sarikata.com/lomba-menulis-cerita-anak-dongeng-sarikata-com-2011
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar