Celoteh

-44- Cuma Jempol Kaki!

Monday, March 26, 2012

"Kalau batuk pilek, minum obat ini aja...", kata Ibu saya sambil menyerahkan dua bungkus kecil obat 'mejiku'. Saya menyebutnya mejiku karena obat-obatan seperti ini berwarna-warni mulai dari warna merah, hijau, kuning dan putih. Bentuknya juga bermacam-macam, ada yang bulat dengan diameter 0,1 mm sampai 0,5 mm, ada juga yang berbentuk bulat lonjong memanjang.

"Kalau kamu ke Puskesmas, paling-paling juga dikasih obat yang kayak gini nih, ntar kalau ada campur panas dingin, tinggal tambah sama yang ini ..," Ibu masih melanjutkan kalimatnya sambil memberikan panduan obat apa yang harus saya minum. Heran, Ibu udah kayak mantri aja, bisa hafal jenis obat-obatan. Barangkali saking seringnya pergi ke Puskesmas dan pulang membawa obat 'mejiku', Ibu berubah menjadi sosok separuh dokter yang punya sekotak obat lengkap dengan berbagai macam jenis keluhan sekaligus hafal kegunaan masing-masing obat.

Saya pun jadi teringat suatu waktu saat jempol kaki saya sakit. Cuma jempol kaki!. Salah saya juga, saking pengennya punya kuku-kuku bersih, saya memotong kuku jempol kaki saya sampai terlalu dalam. Hasilnya.... tebak saja sendiri, infeksi!!.
Jujur saja, saya telah mencoba beberapa eksperimen untuk pertolongan pertama bagi jempol kaki saya tersayang ini. Sok menjadi dokter-dokteran dengan beberapa alat seadanya. Hasilnya... makin parah...dan makin bengkak. 

Akhirnya, setelah hampir dua minggu berjalan tidak memijak bumi (ah, lebay ya..) saya pun memutuskan pergi ke Puskesmas. Setelah begitu lama tidak mendatangi Puskesmas Tanjung Selor. Seingat saya, saya mendatangi Puskesmas ini terakhir kali pada tahun 2010. Gedungnya sekarang bertambah besar dan luas, saya juga sempat bertanya sendiri dalam hati "wah, ini Puskesmas makanannya apa ya tiap hari, kok bisa segendut ini sekarang? padahal kan baru satu tahun tidak berjumpa..." -ini adegan tambahan saja, yang benar Puskesmas Tanjung Selor sekarang sudah berubah menjadi Puskesmas Rawat Inap-. 

"Sudah pernah kesini mbak?"
"Ehhmmm... sudah, tapi kartunya hilang bu.."
"Oh ya deh, buat baru lagi saja, mau daftar ke dokter mana mbak?". Pengennya sih ke dokter spesialis, tapi berhubung belum ada dokter spesialis jempol kaki, baiklah saya dengan ikhlas hati ikut antrian masuk ke dokter umum. 

Setelah menunggu antrian cukup lama, akhirnya sampai juga saya di sebuah kursi pengadilan. Saya menyebutnya seperti itu karena biasanya dokter akan banyak bertanya seperti seorang hakim, lalu ia akan mengambil sebuah palu yang akan diketokkan di sebuah kertas kosong, saat diketukkan tiba-tiba muncul sederet tulisan cacing yang harus dibawa ke ruang apotik untuk ditukarkan menjadi obat 'mejiku', seperti yang saya alami hari itu....

Dokter:   "Keluhannya apa bu?"
Saya  :   "Ini dok, jempol kaki saya sakit, sudah lebih dari dua minggu belum sembuh-sembuh juga..", sembari  memperlihatkan bagian mana yang sakit. Herannya, sang Dokter tidak melakukan apapun terhadap jempol kaki saya, hanya dengan pengamatan mata beberapa kali saja. Berdasarkan ilmu statistik yang saya peroleh, pengamatan mata hanya dapat digunakan untuk membuat kesimpulan jika dan hanya jika tidak ada cara yang dapat ditempuh selain dengan metode itu, dan Dokterpun memberikan kesimpulan hasil pengamatan matanya...
Dokter :  " Oh, ini namanya xxxxxx  (saya lupa mencatat istilah kedokteran untuk kasus penyakit seperti ini, yang pasti namanya asing dan belum pernah saya dengar sebelumnya), biasanya ini hanya karena kesalahan dalam memotong kuku. Cuma kalau infeksi parah seperti ini bisa-bisa nanti ditangani dokter bedah, bisa jadi nanti kukunya dibuka keseluruhan atau dipotong sebagian"
Saya   : "Sampai separah itu ya Dok?",
Dokter: "Begini saja, nanti saya kasih resep untuk ibu, ibu minum dulu sampai habis. Setelah itu kontrol kembali, nanti kita lihat perlu atau tidaknya saya rujuk ke dokter bedah". 

Saya pun pulang dengan membawa sekantung obat 'mejiku'. Bedanya, sepertinya kali ini lebih banyak dari biasanya, ada lebih dari lima jenis obat. Hmm...lebih tepatnya ini obat 'mejikuhibiniu'. 

Kata-kata dokter masih terngiang-ngiang di benak saya, bisa separah itu juga ya? saya sempat agak linglung beberapa saat, seolah baru saja mendapat vonis dokter tinggal dua minggu lagi waktumu, bukankah obat 'mejikuhibiniu' ini akan segera habis dalam waktu dua minggu?

Akhirnya, setelah menimbang dan seterusnya.... memutuskan dan seterusnya...menetapkan dan seterusnya....sayapun segera membuang sekantung obat pemberian Dokter ke dalam tong sampah dan berjanji tidak akan meminumnya. Ini cuma jempol kaki! saya tidak ingin hidup saya terkungkung dengan doktrinasi semu bahwa jempol kaki saya akan menjadi semakin parah, lalu bertemu kembali dengan Dokter yang sama hanya untuk menerima surat rujukan. Tiiiiiiidaaaaak!!! (berteriak seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk). Baiklah, saya bisa sembuh sendiri, jempol kaki saya akan baik-baik saja, sehat wal-afiat, insyaalloh....

Hari-hari pun berlalu. Saya pun mulai belajar memijakkan kaki di atas bumi dengan perlahan (yang ini lebay juga ya!) dan kembali melakukan operasi kecil-kecilan sok dokter-dokteran sambil tak lupa memberi mantra pada si jempol kaki....sembuhlah....sembuhlah...sembuhlah....ditambah doa pagi-petang Allohumma a'fini fi badani, allohumma afini fi sam'i, allohumma a'fini fi bashori... karena kelihatannya lucu kalau saya berdoa allohumma afini fi jempol kaki dengan bilingual yang mungkin bisa salah kaprah maka cukup dengan menambatkan doa..."ya Alloh sehatkanlah jempol kakiku"

Alhamdulillah, kurang dari dua minggu kemudian, jempol kaki saya benar-benar waras, sembuh, sehat-wal afiat seperti sedia kala dan sayapun bisa berjalan dengan normal, bahkan berlari juga dengan normal.

Cuma jempol kaki! ya, kini saya menggunakan peristiwa mengharukan ini sebagai motivasi bagi diri saya sendiri. Saat mendapati bahwa ternyata saya tidak bisa memaksakan kehendak agar semua orang menyenangi saya atau bahkan sangat ingin batang hidung saya lenyap dari hadapan batang hidungnya, dulu saya sering merasa frustasi, kecewa bahkan bertanya-tanya "apa salah saya padanya?", "saya tidak pernah mengganggunya, kenapa harus sedemikian rupa tidak eloknya memperlakukan saya?". Kini saya hanya cukup berkata "Cuma jempol kaki! tidak perlu repot dan sibuk diurusi, saya masih punya tangan kaki, mulut dan anggota badan lain yang lebih penting untuk diperhatikan. Cuma jempol kaki! itu sudah sunnatulloh, lumrah, di dunia ini pasti ada yang suka dan tidak suka. Maka, saya cukup berfokus pada orang-orang yang memberikan energi positif pada saya lalu kemudian berusaha sebaik-baiknya memberikan umpan balik energi positif yang lebih banyak dan melimpah. Dengan itu, saya berharap bisa memberikan banyak, tidak hanya pada satu, tapi pada seluruh.

Pun, ketika pada suatu hari yang semi cerah, tidak hujan dan tidak juga terlalu panas, blog ini tiba-tiba terhapus dengan sendirinya. Saya mencoba meneriakkan kalimat ini "Cuma jempol kaki!, saya masih bisa membuat blog baru lagi, dua, tiga atau bahkan lima blog lagi kalau mampu", tapi sayangnya kalimat itu tidak sepenuhnya jujur, yang benar, saya tetap berusaha semaksimal mungkin agar blog ini kembali lagi, seperti sedia kala. By the way, alhamdulillah ini adalah tulisan saya yang pertama kali setelah blog ini sempat terhapus beberapa minggu. Dampak positif dari peristiwa ini: sekarang saya mengetahui tentang pentingnya menyimpan file-fle tulisan saya, bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini bukan hak milik, hanya hak pakai, sewaktu-waktu bisa pergi dan kembali pada sang Maha Pemilik, siapa lagi jika bukan Tuhan kita yang Satu, Alloh Swt.


Oh ya, saya melupakan satu kesimpulan penting dan serius dari tulisan panjang saya ini.

"Berhati-hatilah saat memotong kuku..jangan terlalu dalam memotongnya...."




Gambar dipinjam dari: http://www.fotosearch.com

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. I-itu namanya cantengan. :D

    Sinung juga sering cantengan gara-gara kakinya sensitif banget sama yang kotor-kotor. Motong kuku kelewat dalem dikit, cantengan. Kuku gak dipotong, cantengan. Halah, serba salah. Sekarang sih udah gak pake berobat. Kalo cantengannya dateng, remdem aja pake aer panas plus-plus: plus garem, plus rivanol. Ntar juga sembuh ndiri. :D

    ReplyDelete
  2. @Catatan Ingatan
    Nah itu dia mbak, namanya cantengan. Baru inget aku. Iya tuh pak dokter gak menganggap seringan itu...jadi lebay deh...

    ReplyDelete