Parenting

-23- Biarkan Anak Hidup Bebas Tanpa PR

Friday, December 02, 2011



Suatu malam, Rahmat, anak tetangga kami yang baru saja duduk di kelas 1 Sekolah Dasar datang kerumah sembari membawa buku-buku pelajaran sekolahnya. 

Rahmat : “Bu, Rahmat ada PR…banyaaaaaaak betul bu, wuih….”
Saya      : “Coba dikeluarkan bukunya, ibu lihat dulu mana PR nya…”

Rahmat pun berusaha memberitahukan pekerjaan rumahnya pada saya. Ada tiga PR yang harus dikerjakannya di malam itu. PR Bahasa Indonesia, PR Matematika dan PR Penjaskes. Rahmat, termasuk anak yang belum terlalu terampil menulis dan membaca. Beban tugas menulis yang terlalu banyak membuatnya kewalahan, ditambah lagi Rahmat termasuk anak yang belum bisa mengontrol konsentrasinya.  Baru selesai menulis satu huruf, ia lebih senang mengajak saya mengobrol atau bermain. Menulis satu baris saja bisa memakan waktu lebih dari 15 menit, butuh banyak kesabaran membimbingnya menulis jawaban dari soal-soal PR yang diberikan.

Tidak terasa tinggallah PR penjaskes, saya membolak-balik buku tulis Rahmat dan tidak menemukan soal atau apapun yang berkaitan dengan PR.

Saya             : “Rahmat, yang ini PR nya mana?”
Rahmat        : “Itu ada di buku paket bu…”
Saya             : “Bukunya mana?”
Rahmat        : “Ada sama bu guru, Rahmat ndak punya…”
Saya             : “Trus ngerjain PR nya gimana?”
Rahmat        : “Ndak tahu, tapi kata bu guru nanti dikerjain di rumah, besok dikumpul”


Saya mencoba berkali-kali menjelaskan pada Rahmat bahwa ia belum bisa mengerjakan PR nya sekarang, sebab saya juga bingung PR mana yang harus dikerjakan. Tapi Rahmat terus merengek dan memaksa saya membantunya menyelesaikan PR nya malam itu juga.

“Nanti besok saya di ke-tek sama bu guru…”, Rahmat merengek hampir menangis. Dike-tek atau disentil telinganya, ternyata hukuman yang membuatnya takut jika tidak mengerjakan PR.

“Ya sudahlah bu, saya minta dulu buku paketnya sama paman, paman punya tuh buku paketnya…”,

“Yah, kenapa Rahmat tidak bilang dari tadi,” batin saya dalam hati.

Sekembalinya Rahmat dari rumahnya, Ia membawa sebuah buku tebal yang cukup berat buat anak seusianya. Saya hampir tertawa ketika Rahmat menyodorkan buku itu pada saya. Rahmat bukan membawa buku paket penjaskes seperti yang saya harapkan, ia malah membawa kamus Inggris-Indonesia. Oalah…. Kasihan sekali Rahmat, bertanya karena sedang tersesat di jalan malah semakin disesatkan di tengah hutan.

Saya   : “Rahmat tahu ndak ini buku apa?”
Rahmat        : “Ndak tahu, tapi kata paman PR saya ada di situ…”.
Saya   : “Ini namanya kamus bahasa Rahmat……”

Dijelaskan sepanjang apapun tetap saja Rahmat kecil tidak paham, matanya mulai berair, saya iba sekaligus bingung. Seperti paman Rahmat yang juga mungkin bingung, dan mungkin saking bingungnya sampai-sampai memberikan kamus tebal pada Rahmat, saya pun menyerah dan melemparkannya pada Kak.

Kak tertawa sumringah mendengar cerita kebingungan saya. “Sini, biar saya urus Rahmat…”, akhirnya Kak mengambil alih tugas saya.

Kak menuliskan beberapa kalimat besar-besar di papan tulis, dan meminta Rahmat menyalinnya. Rahmat kecil, yang polos pun dengan sumringah menyalin tulisan tersebut ke dalam bukunya. Inilah tulisan yang akhirnya disalin oleh Rahmat:

Nama saya Rahmat
Saya tinggal di jalan Manggis Gang Purnabakti
Saya suka berolahraga

***
Kasihan sekali di usia anak-anak seperti Rahmat, harus memikul banyak beban dan tertekan. Tanpa sadar, kita sebagai pendidiklah penyebabnya. Dewasa ini, kecerdasan dan prestasi anak umumnya diukur dari kemampuannya mengerjakan soal, utamanya Matematika dan bahasa asing. Orang tua yang anaknya lemah dalam mata pelajaran di sekolah mulai resah dan mencari banyak cara untuk menaikkan prestasi anak dengan memberikan jam belajar tambahan. Salahnya lagi, umumnya orang dewasa memiliki persepsi yang begitu kaku tentang definisi belajar. Belajar diartikan dengan masuk dalam kamar, duduk diam di atas bangku, membaca buku, mengulang pelajaran atau latihan soal. 

Seperti kisah Santi berikut ini : Santi kecil yang baru menginjak kelas 2 SD, ia tergolong anak yang cerdas, langganan rangking 1 dan tanggap dalam menerima penjelasan guru, tanpa harus banyak berulang-ulang membacanya kembali di rumah. Santi lebih banyak bermain dan senang bergerak, bahkan saat besoknya ulangan, orang tua Santi tidak kunjung melihat Santi ‘belajar’. Malam hari sebelum ujian, Santi malah bermain boneka dan terlihat begitu Santai. Geram melihat Santi yang banyak bermain, ibu Santi pun marah, dan menghardik Santi untuk lekas belajar mempersiapkan ulangannya esok hari. Santi tidak kunjung berhenti dari bermain, ia nampak kebingungan. “Belajar itu apa sih bu?”. Sang ibu pun terdiam, tidak juga menjawab, “ya pokoknya kamu harus belajar, baca buku sana…. Masuk kamar…besok ulangan.. kamu mau nilai kamu rendah….bla…..bla….”, dan sederet omelan khas ibu-ibu..

Tidak tahan diomeli, Santi pun beringsut meninggalkan mainannya, dengan mimik muka kebingungan, Santi pun bertanya kembali, “bu, Santi itu ndak ngerti, belajar itu ngapain sih bu?”…nah, sudahlah tidak bisa menjelaskan apa pengertian kepada anak tentang apa itu belajar, malah menambah beban pada anak untuk mengerjakan sesuatu hal yang tidak ia pahami.

Belajar dalam pikiran orang dewasa adalah proses berpikirnya otak, padahal belajar bagi anak memiliki ruang yang lebih luas daripada itu. Saya sepakat dengan pengertian belajar orang dewasa ketika usia anak sudah matang dan siap untuk itu, tapi saya nampaknya juga masih harus banyak ‘belajar’ (sebab saya bukan pakar pendidikan, bukan pula lulusan bergelar sarjana pendidikan dan juga belum punya anak) tentang apakah perlu memaksakan ‘belajar’ sesuai dengan teori orang dewasa untuk anak-anak seusia Rahmat dan Santi. Terlebih, memberikan tugas yang terlampau banyak dan membebani.

Di satu sisi, betapa menyenangkan sebagai orangtua dan guru menyaksikan anak-anak dapat duduk diam dengan tenang, tidak membuat onar, mudah diatur, dan berprestasi di bidang akademik. Sehingga untuk mewujudkan hal itu, seringkali anak-anak diberi PR yang tidak sedikit, agar nanti dirumah bisa lebih banyak waktu untuk mengulang pelajaran, dan tentu saja cara ini cukup efektif mengurangi jatah bermain anak. Apalagi tuntutan sekolah-sekolah ‘favorit’ yang biasanya menetapkan standar ‘tinggi’ untuk anak-anak calon murid sekolah mereka. Seperti untuk masuk ‘SD Favorit’ seorang anak lulusan TK harus sudah lancar membaca dan menulis. Jadilah para orangtua mulai sibuk mencari les tambahan ini, les tambahan itu, ikut belajar ini, ikut belajar itu. Saya mendapati kekhawatiran ini ketika ada seorang bapak yang ingin mengikutsertakan anaknya masuk ke Bintang Kelas.

Orang tua anak         : “Sebenarnya di sekolah juga ada sih pak, anak saya ini ikut les sama gurunya…”
Kak               : “Kok, dimasukkan les lagi disini?...”. Saya yang kebetulan mendengarkan obrolan sang bapak dengan kak mengharapkan sebuah jawaban cerdas dari bapak ini misalnya, supaya anak saya semakin paham matematika, supaya anak saya jadi senang belajar IPA atau semacamnya. Tapi sang bapak dengan santainya hanya menjawab, “yah, daripada banyak main mbak….”.

          Kembali ke PR anak, menurut saya Pekerjaan Rumah atau biasa disingkat PR dan bermain sama baiknya asal sesuai porsi. Untuk anak seusia Rahmat dan Santi, masih menurut saya alangkah baiknya jika porsi bermain lebih banyak dibanding PR, atau tidak perlulah diberi PR. saya membayangkan jika menjadi Rahmat yang setiap hari mendapat banyak PR, betapa pusingnya!. Hanya dimata masyarakat pada umumnya, mengerjakan banyak PR itu dianggap baik, sedangkan banyak bermain dianggap buruk. Padahal PR dan bermain sama-sama bagian dari belajar, itu…!. 
Tanjung Selor Kota Ibadah, Jumat, 02 Desember 2011. 

Saya selalu kebingungan membuat judul yang relevan dengan isi, tapi mudah-mudahan catatan saya yang asal ini bisa memberi manfaat atau paling tidak memberikan efek pencerahan bagi saya untuk semakin banyak belajar. Ohya, gambar diambil dari koleksi gambar kegiatan BPS Kab Bulungan.

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar