Quran

-46- Hati Saya, Hatimu dan Hati Kita

Wednesday, April 04, 2012


     Mengawali awal April ini dengan sebuah senyuman. Berharap dapat menabur remah-remah kebaikan pada setiap menit yang dilalui, setelah hampir satu bulan menikmati gonjang-ganjing ketidakpastian akan nasib bangsa ini. Ada harga mahal yang harus ditanggung pemerintah berikut seluruh jajaran rakyatnya atas issu kenaikan BBM. Gejolak parpol yang berebut mengambil hati rakyat, imbas kenaikan harga sayur-mayur dan beberapa bahan pokok di pasar yang pada akhirnya memicu kenaikan inflasi sejak Maret lalu. Bayangkan saja, di pasar tempat saya dan kawan-kawan BPS mencatat harga-harga barang setiap bulan, bahan pangan bahkan sudah mulai naik sejak pertengahan Maret lalu. Bayam yang satu ikat biasanya dua ribu rupiah mendadak menjadi barang mewah yang naik dua kali lipat menjadi empat ribu rupiah per ikat. Hal ini akhirnya berimbas pada harga makanan jadi yang juga menimpa saya saat suatu pagi membeli satu bungkus nasi pecel untuk sarapan

“Mbak, nasinya sekarang naik seribu ya. Bayam sama kacang panjang sekarang mahal mbak…”




Hmm… terlanjur naiknya harga pangan ini rasanya masih sulit untuk diturunkan paling tidak di awal April ini, meski ketuk palu DPR menyatakan kenaikan BBM ditunda.

Di sisi lain, kelangkaan BBM pun menjadi suatu hal yang tak terelakkan di beberapa tempat akibat ulah para spekulan yang mulai melakukan penimbunan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya saat BBM benar-benar mengalami kenaikan.

Dan satu harga mahal yang harus sama-sama ditanggung adalah dampak akibat ‘unjuk rasa’. Berdasarkan data yang bersumber dari Indonesia Police Watch (IPW) selama 26-31 Maret 2012, unjuk rasa menentang kenaikan harga BBM terjadi di 44 kota, massa membakar 16 kantor/pos polisi, empat mobil patroli dan satu mobil polisi. Sebanyak 523 demonstran dan 210 polisi terluka. Sebanyak 750 demonstran ditangkap namun sebagian besar dilepas polisi setelah diperiksa. 
Mengawali awal April ini dengan sebuah senyuman. Berharap kondisi negeri ini semakin kondusif di bulan ini. Saya tidak akan berbicara panjang lebar lagi tentang BBM, rasanya hanya seperti mengulang apa yang telah didengungkan oleh banyak koran dan televisi juga para politisi. Cukup mereka saja, sebab saya punya keresahan lain yang ingin saya bagi. Ya, saya ingin berbicara tentang hati. Hati saya, hatimu dan hati kita yang mungkin masih mudah tersulut emosi. Hati saya, hatimu dan hati kita yang masih begitu mudah terprovokasi. Hati saya, hatimu dan hati kita yang masih senang menebar benci, iri dan dengki. Keresahan inipun membuat saya bermimpi, ah andai ‘hati-hati’ para demonstran yang katanya membela aspirasi rakyat itu benar-benar sebuah hati yang bersih, mungkin tidak akan ada harga yang jauh lebih mahal dari isu kenaikan BBM yang kini harus kita tanggung bersama.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (Q.S Asy-Syams: 9).

“Beruntunglah orang-orang yang senantiasa mensucikan jiwa dan hatinya dari berbagai macam akhlak tercela. Sesungguhnya, lisan anda adalah proyektor hati. Bagaimana cara anda berbicara dengan orang lain, bagaimana cara anda tersenyum, bagaimana cara anda menghormati orang lain dengan tuturkata yang lembut dan santun, itu semua menunjukkan bagaimana wujud hati anda”. Kalimat demi kalimat terus meluncur dari ibu paruh baya yang juga seorang pemimpin sebuah instansi saat saya menemuinya untuk meminta beliau menjadi narasumber dalam sebuah seminar.

“Tidak peduli bagaimana cantiknya seorang wanita dan mahalnya pakaiannya, jika ia berhati kotor tetap saja tidak akan cantik. Saya mulai pelan-pelan membangun itu dari sini, di kantor saya. Setiap pagi setelah selesai apel pagi, saya mengajak mereka semua berdoa: Ya Alloh terimakasih atas nikmat pagimu hari ini, Ya Alloh yang menguasai seluruh langit dan bumi, jagalah hati-hati kami agar niat kami dalam bekerja dari pagi hingga sore ini semata-mata karena beribadah kepada engkau..”. Tentu saja saya tidak begitu hafal dengan kalimat Bunda (seluruh pegawai di kantor ini memanggilnya demikian), namun kira-kira seperti itu. Bunda berusaha dengan baik mengajak seluruh pegawai yang dipimpinnya agar senantiasa membersihkan hati dari segala macam penyakit hati yang akan berdampak buruk pada pekerjaan.

Hari itu, selama hampir satu jam saya pun mendapatkan pencerahan tentang hati. Dan dari sebuah buku yang baru saja saya baca semalam setelah diliputi kesedihan karena tidak tahan menahan emosi, sebuah buku terjemahan ‘Kitaabul Arba’iin Fi Ushuliddin’ karya Imam Al-Ghazali tentang bagaimana membersihkan hati dari beberapa akhlak tercela.
 “Duhai zat pemilik hati, ternyata tidak mudah menjaga sebuah hati…”
**
Sebab lisan adalah cermin dari hati. Maka, mudah saja bagi kita menilai orang lain dari lisannya. Namun tentu saja, kali ini kita tidak perlu berpayah-payah belajar bagaimana menilai lisan orang lain, alangkah eloknya jika kita memulai mengintrospeksi kualitas lisan kita terlebih dahulu.  

Dalam sebuah pengantar fasal pertama mengenai mengendalikan lidah pada kitab Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya Ulumuddin Imam Ghazali yang disusun ulang oleh Said Hawwa pada halaman 462 dituliskan bahwasanya diantara perkataan ada yang buruk dan ada yang lebih buruk, ada yang keji dan ada yang lebih keji, ada yang baik dan ada yang lebih baik. Alloh menganjurkan kita mengucapkan perkataan yang lebih baik. Alloh berfirman:

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan yang lebih baik. Sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka.” (Al-Isra:53).

Sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka merupakan penjelasan bagi masalah ini, yang berarti jika perkataan kita tidak mencapai tingkatan kualitas yang tinggi maka akan memberi peluang kepada syeithan untuk menimbulkan perselisihan diantara kita. Renungkanlah hal ini dan perhatikanlah keadaan kebanyakan manusia dimana perkataan mereka masih berada pada kategori ‘yang buruk’ dan ‘lebih buruk’ atau ‘yang keji’ dan ‘lebih keji’ atau ‘mubah’. Jarang sekali orang yang bisa meningkat ke kategori ‘lebih baik’. Padahal perkataan ‘yang baik’ saja masih bisa member peluang kepada syeithan menimbulkan perselisihan di kalangan manusia, selagi mereka tidak meningkatkan perkataan mereka kepada kategori ‘lebih baik’. Betapa sulit maqom ini.

Bahaya Lidah dan Keutamaan Diam
Karena saya seorang perempuan yang kadangkala tidak dapat mengontrol lisan, setiap kali ingin berucap dengan lisan saat suasana hati sedang emosi kepada orang lain, seringkali saya berkonsultasi pada Kak terlebih dahulu. Bagaimana jika saya mengatakan ini, bagaimana jika saya mengatakan itu. Suatu waktu, saya pernah mendapatkan sebuah nasihat dari Kak yang bunyinya kira-kira seperti ini:

“Jangan engkau fikirkan orang-orang yang menyakiti hatimu dengan lisannya, fikirkan bagaimana lisanmu terhadap mereka. Biarkan saja mereka berkata buruk kepadamu, asal engkau tidak berlaku buruk kepada mereka dan tidak menyakiti mereka dengan lisanmu.”

“Bagaimana jika perkataan itu membekas di hati saya?”, tanya saya berkilah.

“Ingatlah kebaikan-kebaikan yang telah ia perbuat kepadamu. Ketika ia memberimu makanan, ketika ia membagimu ilmu, saat ia tersenyum kepadamu dan semua hal baik yang ada padanya.”

“Tapi saya seringkali enggan menyapanya sebab saya takut perkataannya akan menyakiti saya kembali”, tanya saya kembali.

“Berkatalah jika perlu, dan diam itu lebih baik bagimu.” Tapi tetap saja, bagi saya itu semua teori yang cukup sulit untuk dipraktekkan. Meminta wanita untuk lebih banyak diam, seperti menerjang takdir wanita yang secara kodrati lebih senang berbicara, bahkan untuk hal-hal yang tidak berguna dan sia-sia. Saya kembali menekuri halaman demi halaman dari buku yang sedang saya baca, barangkali jika mendapat peringatan langsung dari Rasulullah akan memberi efek yang berbeda pada hati saya.

Rasululloh pernah ditanya mengenai faktor apa yang banyak menyebabkan orang masuk neraka, beliau menjawab: “Yaitu dua lubang, mulut (lisan) dan kemaluan” (diriwayatkan oleh Tirmidzi, dia menshahihkannya, dan Ibnu Majah). Bisa jadi yang dimaksud dengan mulut adalah penyakit-penyakit lidah karena ia menjadi tempatnya, dan bisa juga yang dimaksudnya adalah perut karena ia merupakan tempat lewatnya. 
Muadz bin Jabal berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?” Nabi Saw bersabda: “Bagaimana kamu ini wahai Ibnu Jabal, tidaklah manusia dicampakkan ke dalam api neraka kecuali karena akibat lidah mereka” (diriwayatkan oleh Tirmidzi, ia menshahihkannya, Ibnu Majah dan Al-Hakim; dia berkata: shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim).

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra melihat Abu Bakar ra sedang menarik lidahnya dengan tangannya, lalu Umar bertanya kepadanya, “Apa yang engkau perbuat wahai khalifah Rasulullah Saw? Abu Bakar ra menjawab: “inilah yang menyeretku kedalam kehancuran, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:

“Tidak satupun dari jasad manusia kecuali pasti akan mengadukan lidah kepada Allah atas ketajamannya” (diriwayatkan oleh Ibnu Abu Dunya. Daruquthni berkata: hadits ini diriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim dari Abu Bakar, dan tidak ada cacat baginya).

Nabi SAW pun pernah bersabda: “Barangsiapa diam, ia akan selamat” (diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan sanad mengandung kelemahan; dia berkata: Gharib. Riwayat ini disisi Thabrani dengan sanad Jayyid).

Diriwayatkan bahwa Muadz berkata: “Wahai Rasulullah, amal perbuatan apakah yang paling utama?” Nabi lalu mengeluarkan lidahnya dan meletakkan tangan diatasnya seraya bersabda: “Sesungguhnya sebagian besar dosa manusia bersumber dari lisannya” (diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Abu Dunya).

Berkata kotor merupakan akhlak tercela yang harus dihentikan. Karena setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh seluruh anggota tubuh dapat berpengaruh di dalam hati. Khususnya pengaruh lisan, karena apa yang diungkapkan lisan itu merupakan proyektor bagi hati. Maka setiap kata akan menorehkan goresan yang membekas di dalam hati. Bila lisan berkata dusta, maka di dalam hati akan tergores gambaran dusta dan karenanya wajah hati menjadi bengkok. Bila lisan berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna, maka wajah hati menjadi hitam dan kelam. Oleh sebab itu banyak membual pada gilirannya akan membuat hati menjadi mati. 

Mengenai batas perkataan yang tidak perlu ialah perkataan yang bila ditinggalkan, maka ia tidak kehilangan pahala dan tidak menimbulkan sesuatu yang mendesak. Barangsiapa membatasi ucapannya pada ukuran ini, tentu ia sedikit bicara. Jika ada yang bertanya, apa sebabnya diam memiliki keutamaan demikian besar? Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah karena banyaknya penyakit lidah seperti salah ucap, dusta, ghibah, namimah, riya’, nifaq, berkata keji, debat, terlibat dalam kebatilan, bertengkar, ikut campur urusan orang, memalsukan, menambah, mengurangi, menyakiti makhluk dan menyingkap berbagai aurat. Penyakit yang banyak ini sangat mudah dan ringan meluncur dari lidah, terasa manis di dalam hati, dan memiliki berbagai dorongan dari tabiat dan syaithan; bahkan orang yang melibatkan diri di dalamnya jarang sekali mampu menahan lidahnya. Keterlibatan dalam berbagai penyakit lidah ini sangat berbahaya sedangkan diam adalah jalan keselamatan, oleh sebab itu keutamaan diam sangatlah besar. Disamping bahwa di dalam diam itu terkandung kewibawaan, konsentrasi untuk berfikir, dzikir dan ibadah. Di dalam diam juga terkandung keselamatan dari berbagai tanggung jawab perkataan di dunia dan hisabnya di akhirat. Allah berfirman:

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf:18)

Afatul Lisan (Bahaya-bahaya Lidah)
1.     Bahaya Berdusta
Ini termasuk dosa yang amat buruk dan aib yang keji. Ismail bin Wasith berkata, aku mendengar Abu Bakar Ash-Shiddiq ra berkhutbah setelah wafat Rasulullah saw. Ia berkata, “Rasulullah saw pernah berdiri ditempatku ini pada tahun pertama ---kemudian Abu Bakar menangis---seraya bersabda:

“Sesungguhnya dusta membawa kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan menyeret ke neraka, dan seseorang berdusta hingga ditulis disisi Allah sebagai pendusta” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Ibnu Mas’ud berkata, Nabi Saw bersabda: “seorang hamba senantiasa berdusta dan terus menerus berusaha dusta hingga ditulis disisi Alloh sebagai pendusta” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Nabi Saw juga bersabda: “Celakalah bagi orang yang sedang berbicara, lalu berdusta supaya orang-orang menertawakannya. Celaka dia, celaka dia” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, ia menghasankannya dan Nasa’i).

Suatu ketika seorang wanita berkata kepada anaknya yang masih kecil: “Mari kesini nak, nanti kuberi sesuatu!”. Mendengar itu, Rasululloh bertanya kepadanya: “Apa yang akan kau berikan kepadanya jika ia menghampirimu?” wanita itu menjawab: “sebuah kurma.” Kemudian Rasululloh bersabda: “seandainya kamu tidak memberinya, maka kamu dicatat telah melakukan suatu dusta” (diriwayatkan oleh Muslim).

Lalu bagaimana dengan para ibu yang tanpa sadar berucap pada anaknya, “awas, jangan main disana nak, ada kodoknya, hii…ngeri”. Atau menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu yang menyeramkan, “jangan main kesana lho ya, nanti ditangkap pak polisi”, “gak usah main di hutan, disana banyak hantunya.”

2.     Bahaya Ghibah (Menggunjing)
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang diantara kamu suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya” (QS. Al-Hujurat: 12).

Ghibah juga meliputi kehormatan, dan Allah telah menghimpun antara kehormatan, harta dan darah. Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, dan janganlah kalian saling membuat makar. Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “pada malam ketika aku melakukan perjalanan malam (isra’), aku melewati suatu kaum yang mencakar wajah mereka dengan kuku-kuku mereka sendiri. Aku bertanya, ‘wahai jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, ‘mereka adalah orang-orang yang menggunjing dan mencela kehormatan orang lain” (diriwayatkan oleh Abu Dawud secara musnad dan mursal, sedangkan yang musnad lebib shahih).

Al-Hasan berkata, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu tidak akan mencapai hakikat iman sehingga kamu tidak akan mencela orang dengan cela yang juga ada pada dirimu. Juga hingga kamu mulai memperbaiki cela tersebut lalu kamu memperbaiki cela dirimu sendiri. Bila kamu telah melakukan hal tersebut berarti kamu telah sibuk dengan dirimu sendiri. Hamba yang paling dicintai Allah adalah hamba yang seperti ini.”

Batasan ghibah sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw adalah bila kita mengatakan sesuatu mengenai orang lain dan ia tidak senang bila perkataan itu sampai padanya, meskipun kita berkata realitas yang sebenarnya. Pembicaraan yang dimaksudkan mencakup kekurangannya, akalnya, bajunya, perbuatannya, ucapannya, rumahnya, keturunannya, hewan piaraannya maupun hal yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan sekalipun kita hanya berkata: “lengan bajunya terlalu besar.” Atau “bagian bawah bajunya terlalu panjang.”

Ketika ada seorang laki-laki dibicarakan di dekat Rasululloh Saw dengan dikatakan: “Alangkah lemahnya dia.” Maka Nabi Saw langsung bersabda: “Kalian telah menggunjingnya.”Demikian juga halnya bagi orang yang mendengarkan gunjingan, yang kadang-kadang justru menampakkan kekaguman terhadap ucapan si penggunjing, sehingga semakin bersemangat dalam menggunjing. Padahal pendengar gunjingan adalah salah satu diantara dua penggunjing. Naudzubillah…lalu bagaimanakah dengan kebiasaan kita yang demikian gemar menggunjingkan orang lain, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Mulai dari ucapan langsung sampai corat-coret di wall atau nge-tweet?

3.     Perdebatan yang Konfrontatif
Rasululloh Saw bersabda:
Barangsiapa meninggalkan perdebatan, padahal ia di pihak yang benar, maka akan dibangun untuknya sebuah rumah di surga tertinggi. Dan barang siapa yang meninggalkan perdebatan dan ia memang di pihak yang salah, maka akan dibangun untuknya sebuah rumah di tepi surge” (diriwayatkan oleh Tirmidzi dari hadits Abu Umamah; dia menshahihkannya dan menambahkan: “setelah mendapat petunjuk yang diperolehnya”). Demikian itu karena meninggalkan perdebatan terasa lebih sulit bagi orang yang merasa di pihak yang benar.

Rasululloh Saw juga bersabda: Hakikat iman seorang hamba tidak akan dapat mencapai kesempurnaan, hingga ia mau meninggalkan perdebatan, padahal ia di pihak yang benar.

Maksud dari perdebatan ialah menyanggah perkataan orang lain untuk melumpuhkannya dengan menunjukkan kekurangannya, baik dari segi kata-kata maupun maknanya. Perdebatan adakalanya didorong adanya keinginan menunjukkan kelebihan yang dimilikinya. Sedang latar belakang debat kusir adakalanya karena kelancangan yang busuk atau perangai kebinatangan yang cenderung meremehkan orang lain dan mendiskriditkannya.

4.     Senda Gurau
Asalnya tercela dan dilarang kecuali dalam kadar sedikit. Rasulullah Saw bersabda:
“Janganlah berbantah-bantahan dengan saudaramu dan jangan bersenda gurau dengannya” (diriwayatkan oleh Tirmidzi).

Senda gurau merupakan upaya untuk menciptakan suasana baik yang di dalamnya terdapat keramahan dan kebaikan. Namun, senda gurau yang berlebihan atau terus menerus berarti sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia. Permainan memang diperbolehkan tetapi terus menerus melakukannya adalah tercela. Sedangkan senda gurau yang melampaui batas kewajaran akan menimbulkan gelak tawa secara berlebihan dan berakibat mematikan hati, menimbulkan permusuhan, merontokkan kewibawaan dan kehormatan. Senda gurau yang terbebas dari hal-hal tersebut tidak tercela, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku bersenda gurau tetapi aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”
Rasulullah bersabda: "Orang yang berbicara untuk membuat teman-teman dalam satu majelisnya tertawa-tawa akan jatuh lebih jauh dari jatuhnya bintang Tsurayya."

Umar ra berkata, “siapa yang banyak tertawa maka sedikit kewibawaannya, siapa yang bersenda gurau maka akan dianggap enteng, dan siapa yang sedikit wara’nya maka telah mati hatinya.” Disamping itu, juga karena banyak tertawa menjadi tanda kelalaian dari akhirat. Nabi Saw bersabda: “sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

5.     Pujian
Siapa yang tidak senang dengan pujian? hati saya, hatimu dan hati kita sangat menyukai pujian. Bahkan seringkali berbuat sesuatu yang berlebihan agar mendapatkan pujian. Namun pujian pun terkadang membawa hati menjadi sombong dan bangga. Pujian atau sanjungan dapat tersusupi oleh enam penyakit; empat diantaranya terdapat pada orang yang menyanjung, sedangkan dua diantaranya terdapat pada orang yang disanjung. Penyakit yang terdapat pada orang yang menyanjung ialah:
1.      Berlebih-lebihan dalam berbicara sehingga sampai pada kebohongan.
2.      Tersusupi oleh riya’, karena dengan menyanjung ia menampakkan kecintaan. Dan bisa jadi ia tidak menyembunyikan kecintaan itu dan tidak meyakini semua yang diucapkannya sehingga dengan  demikian ia menjadi orang yang pamrih dan munafik.
3.      Kadang-kadang ia mengatakan hal yang bukan sebenarnya dan hal yang tidak dapat dilihat.
4.      Bisa jadi ia membuat senang orang yang disanjung padahal dia orang yang dzalim atau fasiq; sedangkan hal ini tidak dibolehkan.

Sedangkan bagi orang yang disanjung, sanjungan membahayakannya dari dua sisi yakni:
1.      Kesombongan dan ujub.
2.      Jika disanjung dengan kebaikan maka ia menyenangi sanjungan dan merasa puas kepada dirinya. Siapa yang merasa ujub kepada dirinya pasti berkurang semangatnya, karena orang akan bersemangat beramal jika merasa kurang. Jika lidah-lidah sudah meluncurkan sanjungan pada dirinya maka ia akan mengira telah mencapai kesempurnaan.
 Sebagaimana sabda Rasulullah "Andaikan seseorang berjalan menghampiri menuju orang lain dengan membawa pisau tajam, maka itu lebih baik baginya daripada memuji di depannya."



**
Sore, menjelang malam. Masih banyak intisari yang sebenarnya ingin saya bagi dari buku ini. Tapi baiklah, sedikit dulu tidak apa-apa sebab bahasan dari bagian lisan saja sudah terlampau berat untuk dijalankan oleh hati saya. Setelah membaca buku ini, emosi saya yang rasanya sudah hampir meledak menjadi semakin mencair. Ah, tak ada gunanya marah pada orang yang telah memarahi saya. Meskipun saya merasa berada di pihak yang benar (itukan hanya perasaan saya saja). Beberapa kalimat pada bab amarah pada halaman 275 nampaknya layak saya cantumkan juga di akhir tulisan saya ini.
***
Seperti telah diketahui bahwa tidak berhak memegang kepemimpinan kecuali orang yang penyantun dan bahwa marah bukan pada tempatnya bisa mengakibatkan timpangnya kehidupan sosial atau merusak berbagai hubungan. Untuk mengetahui masalah ini manusia tidak memerlukan pemikiran yang panjang, karena satu kemarahan saja kadang bisa merusak hubungan antara tetangga dan tetangga; antara suami dan istri; antara kawan dan kawan; antara saudara dan saudara.

Satu kemarahan saja kadang bisa merusak jamaah secara keseluruhan lalu menimbulkan perpecahan barisannya, menghalangi berbagai aktivitasnya atau menghambat pertumbuhannya.

Satu kemarahan juga kadang bisa merusak hubungan antara satu Negara dengan Negara lain bahkan terkadang bisa mengakibatkan timbulnya peperangan. Jika amarah telah menjadi bagian dari kehidupan manusia maka pada saat itulah ia menjadi hal yang banyak merusak ketimbang memperbaiki bahkan terkadang menghancurkan tanpa membangun. Oleh sebab itu, harus ada pengendalian terhadap amarah untuk kepentingan dunia dan akhirat. Amarah bisa jadi mengakibatkan pelakunya masuk neraka dan terkadang bisa merusak urusan dunianya. ***
Bukankah seseorang baru bisa menuntaskan kemiskinan jika ia tahu bagaimana rasanya menjadi miskin. Seorang pemimpin dapat berlaku adil jika ia pernah diperlakukan semena-mena. Begitupun, seseorang baru dapat bertutur dengan baik jika ia sempat merasakan bagaimana rasanya diperlakukan dengan tutur kata yang kasar. 

Wallohu a'lam bish showab

Tanjung Selor Kota Ibadah


Saya intisarikan kembali dari buku terjemahan Intisari Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali “Mensucikan Jiwa” yang diseleksi dan disusun ulang oleh Said Hawa.

Daftar Pustaka:
1.      Al-Quranul Karim
2.      Hawa, Sa’id. 1998.Mensucikan Jiwa. Jakarta: Rabbani Pers.
3.     Al-Ghazali, Imam. 2003. Membersihkan Hati Dari Akhlak Tercela (Terjemah Kitaabul Arba’iin Fii Ushuluddin). Surabaya: Penerbit Ampel Mulia.
  


Gambar  dipinjam dari 



You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Nasihat yang mantap. Lebih mantap lagi kalo hadits-nya disebutkan riwayat siapa.

    Eh, kok, gak dijelasin bahaya mengumpat? Akhir2 ini aku sering emosi jadi sering ngomong yang "sadis" T___T

    ReplyDelete
  2. @Millati Indah sudah tak perbaiki Mil, terimakasih atas sarannya. Di buku pertama yang aku baca memang sama sekali gak dicantumin riwayatnya, ini sudah tak lengka[i dari referensi yang lain. Sebenarnya ada 20 bahaya lidah, tapi tanganku belum sanggup menuliskan semua. Tak ambil lima saja, kayaknya mengumpat masuk di bab perkataan yang tidak berguna. Lebih lanjut, baca bukunya saja ya...:)

    ReplyDelete