Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah tahapan terakhir yang harus saya lewati, tahapan wawancara.
Tidak ada persiapan yang begitu berarti, jelang hari H saya bahkan didera pelbagai ujian hidup, :p salah satunya, apalagi jika bukan laptop yang bermasalah.
Kau harus tahu Dinda! seorang penulis tanpa laptop itu seperti sikat gigi tanpa pasta, hambar, tiada rasa. :D
Lalu entah, pada detik-detik terakhir, saya malah disibukkan dengan begitu banyak tenggat pekerjaan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Saya kelabakan, tetapi di hadapan orang-orang, saya harus terlihat tenang, jauh dari kesusahan, hahaha. :D Sosok saya harus terlihat matang di luar, meski kacau di dalam, :).
Saya harus mampu menguasai keadaan! pikir saya, :). Jauh-jauh hari, berulang kali saya bahkan diingatkan oleh Kak, "jadi bagaimana, sudah kelar proposalmu?," yang hanya mampu saya jawab dengan anggukan halus tanda mengiyakan, padahal sampai menjelang batas pengumpulan secara daring, tidak satu kalimatpun saya ketikkan. :D.
Mungkin saking sebalnya, proposal itupun kelar dalam sekejap, dikerjakan oleh Kak, tanpa sepengetahuan saya. Dan, ketika saya lihat?
"Hah? seperti ini hasilnya? aduh malu aku mempertanggung jawabkan proposal seperti ini," kata saya tanpa ba-bi-bu, nyaris tiada kata terima kasih. :p
Menjelang detik wawancara, akhirnya saya usaikan dalam waktu kurang lebih dua malam, sebuah proposal tesis, tanpa perencanaan matang, tanpa melihat banyak rujukan, tanpa dipelajari lebih dalam. Memang tidak asal-asalan, hanya sedikit serampangan. :D
Sebuah proposal serius yang saya kembangkan dari tulisan opini yang pernah saya buat.
Dan tahu, apa kata penguji di dalam sebuah ruangan bertuliskan ruangan Profesor Doktor xxxx ketika saya masuk menghadap beliau?
"Haduh, ini sih sederhana sekali, sudah banyak yang bahas, metodologinya juga, kamu pasti sudah kuasai sekali." *Iya Pak, kalau tidak saya kuasai tidak berani saya tuliskan. :D, ampun prof, saya memang kurang persiapan. :(.
Alih-alih mengatakan bahwa proposal saya j*lek dan tidak layak, :D, beliau beralih dan mengulik masa lalu saya, *asal jangan soal mantan saja, lol, :p.
Sambil mengeja perlahan, penguji saya segera mengatakan, "skripsi kamu sudah bagus nih, bagus malah ini temanya. Kenapa kamu gak lanjutin penelitian tentang ini saja?."
Hah, gimana Prof? *belagak innocent. :p
"Coba coba kamu ceritakan gimana skripsi kamu." *Saya berharap Bapak penguji tidak menanyai saya soal metodologi, tolong Pak, saya sudah lupa urusan hitungan rincinya, :)*.
Lalu saya pun bercerita bahwa pengerjaan skripsi ini cukup ribet, saya dan tim (kebetulan pengerjaan tema skripsi saya dikerjakan 3 orang) membuat desain survei, menyusun kuesionernya, dan menggandeng 60 relawan untuk menjadi tukang survei alias pencacah lapangannya. Yes, Anda tidak salah baca! enam puluh relawan yang dibayar dengan ucapan "terima kasih, terima kasih, terima kasih" banyak-banyak. Gils, pasti butuh duit banyak!.
"Pasti butuh banyak uang ya? kalau survei data primer gitu kan pendanaannya yang berat," sudah saya tebak beliau akan menyampaikan itu.
*Iya, butuh banyak dana, dan bahkan kami harus petantang petenteng masuk keluar perusahaan juga BUMN demi mencari mitra, dan sumber dana, yang ujungnya berhasil mendapatkan suntikan dana 5 juta dari Pertamina* -Terima kasih Pertamina, dulu sudah turut membantu- :).
"Menarik lo ini temanya. Kamu gak cuma berhenti sampai di sini saja kan? kamu masih ingin lanjut sekolah lagi kan nantinya? bikin penelitian yang spesifik. Lanjutkan tema kamu ini, kalau S2 bisa sejalan dengan sebelumnya, lebih bagus tuh...."
Saya hanya diam, mendengarkan, lebih tepatnya, mungkin saya tidak tahu harus bicara apa, lah urusan topik saja saya belum punya gambaran. :D. Lanjut sekolah lagi? wah jauh dari bayangan, sebenarnya.
"Kamu tahu, tema ini sedang menjadi isu dunia akhir-akhir ini. Profesor di sebelah bahkan baru saja membuat tulisan jurnal soal itu. Akan bagus sekali nanti jika kamu mengajukan proposal beasiswa ke Luar Negeri, Swedia misalnya, kamu akan mempunyai nilai tambah karena penelitianmu sejalan sejak dulu. bla.. bla.. bla."
Saya meresapi kata-kata Bapak penguji dengan seksama. Aduhai! saya tiada pernah berpikir sampai sejauh itu. Melanjutkan ke jenjang Strata dua saja saya anggap sebagai "kecelakaan" yang kebetulan menyenangkan dari Allah. Lalu beralihlah sesi wawancara menjadi sesi seperti seorang mahasiswi dengan dosen bimbingan, saya minta petunjuk! haha, :).
Keluar dari ruangan, dengan sedikit panas-dingin, terlebih sebelumnya Profesor penguji wawancara kali itu mengeluarkan secarik kertas penilaian, "coba lihat, berapa nilai yang cocok saya berikan untuk kamu kalau proposalmu saja seperti itu?" :D. *Pasrah dan tawakkal saya Prof, saya merasa memiliki satu kekuatan baru.
Kalimat, "kamu pasti gak hanya berhenti sampai di sini kan? kamu masih ingin lanjut sekolah lagi kan nanti? ... " seakan terngiang-ngiang di kepala saya. Akhirnya saya merasa punya cita-cita yang patut untuk diperjuangkan, teriak batin saya. :).
Pengalaman wawancara yang ternyata tidak cukup menegangkan itu, memberi kesan mendalam kepada saya tentang, KEKUATAN KATA DAN ORANG-ORANG YANG BERJASA.
Alih-alih melihat kekurangan yang saya miliki, atas izin Allah, saya dipertemukan dengan beberapa orang yang mampu mengabaikan titik kekurangan dan menilai saya pada sisi baik, meski itu sebenarnya tidak terlalu berharga.
Saya ingat ucapan seorang pimpinan di institusi tempat saya bekerja, yang waktu itu dengan mata yang sangat teduh dan gesture tubuh hangat menyampaikan di hadapan saya, "saya tahu, saya tahu kamu berbeda," kata beliau. "Kamu bisa menulis dengan rasa. Dan tidak semua orang bisa melakukannya."
Ringan diucapkan namun membekas sangat mendalam. Atas kata-kata itu, semangat saya terpompa dalam level di atas maksimal setelah turun jatuh di kedalaman palung yang paling dalam. Saya bangkit hanya karena ucapan tulus ringan tanpa perlu berpanjang-panjang.
Pada masa nun jauh ke belakang, saya bisa mengingat peristiwa tentang PUISI FENOMENAL.
Saya sebut sedemikian untuk terus mengingatkan saya pada kenangan kejadian tersebut.
Ceritanya, waktu itu dosen PKN saya membuat tugas pembuatan puisi dengan tema Ibu Pertiwi di kelas. Tak dinyana, puisi saya termasuk ke dalam tiga puisi pilihan beliau, dan secara spontan pemilik puisi pilihan diminta maju ke depan untuk membacakannya.
Tentu saja tidak ada persiapan!, mana sempat berolah vokal dan berimprovisasi! :D. Saya ingat sekali, saat pembacaan puisi sebelumnya, suasana sedikit riuh dan teman-teman sebagian acuh tak memperhatikan. Tapi saya selalu ingat, bahwa setelah sesaat saya maju, dan membacakan beberapa penggal kalimat, suasana kelas tiba-tiba mendadak hening, semua mata tertuju pada saya, dan setelah saya selesai membaca, kompak tanpa aba-aba, semua memberikan tepuk tangan sebagai penghormatan.
Beberapa kawanpun turut berseloroh, "puisi kamu bagus sekali, aku sampai merinding mendengarnya."
Jelas sekali itu awal yang tidak biasa, karena setelahnya minat saya terhadap puisi semakin menjadi-jadi, meski semakin ke sini saya tak lagi mampu mengikuti ataupun mengolah kata sebaik para pujangga, saya masih memutuskan untuk menjadi penikmat sajak saja!. :)
Beberapa tahun setelahnya, sebuah surat dari kakak kelas sampai di tangan saya. Bukan! bukan surat cinta! :p surat yang dibuat rapi dari Pak Dosen PKN di awal perkuliahan.
"Titipan dari Bapak," pesan kakak kelas saya itu.
Dan saya takjub, ternyata isi surat itu memang ditujukan untuk saya, tertulis Ananda Nurin Ainistikmalia. Waktu itu pekerjaan sok sibuk dan sok idealis saya adalah menulis dan menulis, :p. Salah satunya adalah mengurus majalah dan buletin. Dan entah bagaimana buletin di mana saya sebagai redakturnya dibaca oleh beliau.
Yang saya ingat, kami berbalas surat. Surat beliau diketik sangat rapi, dan isinya sangat menyentuh hati. Banyak saran, masukan yang diberikan kepada saya, salah satu kalimat yang paling melekat yang bisa saya ingat adalah kata beliau, "boleh-boleh saja mengikuti bahasa membumi, tapi sebagai seorang penulis, saudari punya (iya gaya bahasa Bapak memang gaya bahasa lampau) kewajiban menjaga bahasa. Bahasa kita ini diperjuangkan oleh para pendahulu dengan darah dan air mata."
Satu kalimat sederhana, yang demikian membekas sampai saat ini. :)
***
Kadang kita tidak tahu, ucapan apa yang keluar dari lisan ini yang dapat memberikan nilai dampak luar biasa kepada orang lain. Saya anggap, semua kata-kata baik yang demikian membekas dan memberi pengaruh kepada saya adalah buah ketulusan dari kekuatan kata-kata.
Dan mereka, yang memberikan kata-kata itu ialah orang-orang yang sangat berjasa.
Seperti baru-baru ini yang disampaikan Oma saat saya menghadiri pernikahan adik ipar. Tepat menjelang akad dimulai, Oma yang duduk tepat di samping saya, sibuk memberi ceramah pernikahan kepada saya.
Kata Oma, "jangan pernah menyerah. Allah tidak suka orang-orang yang menyerah. Ingat selalu janji Allah, uduini astajib lakum ..." demikian panjang pesan beliau, tetapi itu yang sangat membekas.
Hampir-hampir saya ingin menangis mendengar pesan Oma, tetapi segera saya urungkan.
Lalu saya putuskan untuk tidak akan menangis atas semua peristiwa yang telah terjadi. Toh, semua telah digariskan, saya hanya hamba yang harus menjalankan.
Bahkan saya tidak menangis, sedikitpun, saat sepekan lalu, saya dan suami memutuskan sesuatu yang besar untuk hidup.
Lalu hujan entah, semakin menderas mengiringi keputusan besar yang telah kami ijabkan.
"Hujan masih deras, mari kita berteduh," kata saya pada Kak siang itu, guntur juga menggelegar, sesekali.
"Tidak, kita harus selesaikan ini."
Dan bukan berhenti, sepeda motor kami terus melaju, entah berapa kilometer jauhnya kami menabrak hujan, dari baju yang mulanya kering, lalu basah, menjadi setengah kering dan sampai kering kembali.
Saya duduk di boncengan dengan tersenyum, setengah tertawa, tanpa menangis. Saya tidak bersembunyi di balik tahi angin. Saya tidak bersembunyi di bawah guyuran rinai hujan. Saya mengamini sabda Tuhan. Saya mengiyakan takdir pemilik alam. Saya bersyukur atas semua ketetapan dan kejadian.
Ya Rabb, saya merelakan semua.
Saya pikir, sebelumnya, kehilangan itu adalah bentuk yang paling menyakitkan.
Tapi di hari itu, saya ternyata dapat sedemikian tenang mengikhlaskan.
Lalu kalimat Oma seolah terngiang kembali, "jangan pernah menyerah, jangan, Allah tidak menyukai orang-orang yang menyerah."
Saya memulainya, dengan belajar untuk selesai dengan diri sendiri.
Saya harus selesai, agar saya dapat beranjak keluar, memberi sebanyak-banyaknya, kepada yang lainnya.
Terima kasih Allah.
Terima kasih kepada siapa saja yang hadir atas seizinNya, memberikan penguat kata, kalian semua orang-orang berjasa!. :)
25 Juni 2018, saat hujan menderas dan susah sekali berhenti. :)
Dan saat ini, saya kena batunya, badan saya sedikit meriang disertai kepala pusing, hahaha, saya menulis semelantur ini demi agar tidak merasakan sakitnya!, :). Doakan saya, semoga segera waras!. Terima kasih. :)
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
1 komentar
Jadi ingat, dulu waktu skripsi curhat sama temen karena ketemu masalah, eh dibilang sama temen "Menemukan masalah itu sudah setengah dari solusi."
ReplyDeleteJadi lumayan semangat lagi.