Parenting

-189- Karena Tidak Semua Ibu Bisa Memiliki Anak

Thursday, April 14, 2016





Bismillahirrohmanirrohim, 
Salah satu nikmat yang bisa saya syukuri adalah kesempatan bisa menjemput anak. Saya selalu mengusahakan hadir lima sampai sepuluh menit lebih awal untuk datang ke sekolah. Saya berusaha menghadirkan diri saya sepenuhnya, untuk benar-benar menjemputnya. Tidak seperti orang tua kebanyakan yang biasanya hanya menunggui anaknya di atas kendaraan.  Duduk-duduk di kantin sekolah sambil mengobrol, atau berteduh di bawah pohon, sejak ia masuk TK, saya pastikan saya akan turun, dan datang ke kelasnya, menemui gurunya setelah kelas usai, mengobrol, berbincang sebentar atau bertanya tentang apa saja perkembangan yang sudah didapatkan. Sesekali, saya juga jadi punya kesempatan menyaksikan proses pembelajaran sebelum benar-benar usai.

Seperti hari ini, saat saya menjemputnya, saya juga baru tahu, kalau di hari ini ada penyuluhan untuk semua anak kelas 1 dari kepolisian. Saya datang tepat saat penyuluhan akan segera berakhir, saya masih sempat melihat anak-anak bernyanyi Garuda Pancasila, lalu  terdengar closing statement dari Pak Polisi kepada anak-anak,
“Jadi, anak-anak, jangan coba-coba atau dekat-dekat dengan narkoba ya, karena narkoba itu berbahaya!”,
“Iya Pak...!” anak-anak menjawab dengan serentak. Dalam hati saya membatin, “wah, keren juga sekarang dari kelas satu sudah diberi pemahaman tentang narkoba.


Keluar dari kelas, Fifi terlihat sangat bersamangat,
“Bunda...Bunda... besok-besok aku cita-citanya mau jadi polisi”
“Oh bagus sekali itu!”
“Iya, tadi kami semua jadi polisi tahu!. Fifi juga tadi jadi polisi”
“Oh ya, jadi Nak, tadi diberitahu apa saja sama Pak Polisi?”
“Apa ya?...”
“Itu lho tadi yang Pak Polisi bilang narkoba...”
“Oh itu, jadi Bunda! Kita itu jangan jadi korban!”, dengan mimik muka serius.
“Apa Fi?”
“Iya, kita itu jangan jadi korban, nanti kita bisa gila!”, muka serius, dahi terlipat :). Astaga! Jadi ini hasil penyuluhan narkoba hari ini?, hihi.

Sejak masuk Sekolah Dasar, saya dan suami mulai berbagi tugas. Suami bertugas mengantar, saya yang menjemput. Ini cukup efektif, jadi kami sama-sama bisa mendapatkan gambaran tentang sekolah. Saya juga lebih leluasa berbincang dengan wali kelas yang kebetulan adalah perempuan. Biasanya saat saya menyampaikan kondisi Fifi atau sebaliknya, saya jadi mendapatkan cerita yang lain dari Ibu Guru.

“Ya Bu, saya sedang bingung dengan satu murid saya di kelas”

“Kenapa Bu?”

“Belum bisa apa-apa sama sekali Bu. Mau dinaikkan nanti takut berat di kelas dua, mau tinggal kelas, saya kasihan. Mana orang tuanya sudah saya panggil berkali-kali belum pernah datang”

“Orang tuanya sama-sama kerja ya Bu? Mungkin pada sibuk”, terka saya.

“Gak juga Bu. Dekat dengan sekolah padahal. Saya maunya ada kerja sama di sekolah dan di rumah, supaya anaknya ada kemajuan. Kasihan saya lihat anaknya. Mungkin nanti kalau tiga kali gak datang juga, saya yang ke sana”

“Iya Bu, mungkin begitu saja lebih baik. Apalagi kalau anaknya baik, masuk sekolah terus, kan masih bisa diusahakan”

“Itulah Bu, kasihan kalau anak-anak itu orang tuanya pisah. Jadi seperti tidak terurus”.
Itu cerita tentang Haikal (samaran), salah satu teman sekelas Fifi.

Saya jadi ingat teman Fifi di kelas yang satu lagi, namanya Kinar (samaran). Fifi sering bercerita tentang Kinar. Fifi dan Kinar ini seringkali bermusuhan.

“Fifi tuh gak mau temenan sama Kinar”

“Kenapa?”

“Kinar tuh Bunda, giginya kuning, ada hitam-hitamnya, banyak yang ompong, gak pernah gosok gigi dia”, Fifi ini anak yang cukup memperhatikan penampilan memang. Tapi biasanya tidak sampai segitunya.

“Jangan begitu Fi, Kinar itu gak punya ibu di rumah, kasihan dia. Fifi harus berteman dengan semua”

“Kan Kinar bisa disikat gigiin sama Ayahnya. Ayahnya kan ada..”

“Kan Ayah Kinar masih punya adik kecil, Ayahnya masih urus adiknya yang kecil”

“Pokoknya gak mau”, Fifi terlihat sangat kesal.

“Iya tapi kenapa? Harus ada alasannya. Kalau yang gigi kuning kan teman Fifi banyak yang begitu”.

“Iya, tapi Kinar itu sudah curi pensil Fifi Bunda!..”

Kapan hari Fifi cerita tentang Kinar yang curi uang Nisa, nanti cerita tentang Kinar yang ambil ini, cerita tentang Kinar yang dipukul temannya, nanti cerita tentang Kinar yang dimusuhi banyak teman di kelas, cerita Kinar yang menangis di kelas. Yang kemudian hari saya simpulkan bahwa Kinar ini terlihat seperti hanya mencari perhatian, karena secara fisik saja terlihat tidak begitu diperhatikan di rumah. Jadi saat di sekolah, Kinar seperti menjadi anak yang menyebalkan dan banyak tidak disukai teman, dan yang paling mengkhawatirkan adalah rawan terkena bullying dari teman-temannya. Tapi meski hubungan Fifi dan Kinar tidak begitu baik, belakangan saya mulai jarang mendengar keluhan tentang Kinar, apalagi beberapa kali, pernah, ayah Kinar yang mengantar Fifi pulang sampai rumah.

Saya tidak tahu bagaimana rasanya melewati masa kanak-kanak tanpa seorang Ibu. Awal bulan lalu, saya bertemu dengan kawan semasa SMP, namanya Nurani. Awalnya bertemu kembali di dunia maya, jadi saat mendapatkan kesempatan bertemu langsung, saya jadi sedikit heboh, bertanya banyak. Diantara banyak teman, saya dengan cepat mengingat Nurani. Itu karena Nurani memberikan saya rok biru SMP setelah melihat saya sekolah dengan menggunakan rok biru blontang blonteng akibat kecerdasan saya coba-coba merendam rok biru dengan bayclin :p, waktu itu saya penasaran, kalau bayclin digunakan merendam baju putih, bajunya jadi putih bersih. Kalau biru, jadi apa ya? Haha... konyol sekali, lalu akibatnya saya ke sekolah dengan rok hasil eksperimen itu berminggu-minggu, karena Bapak belum sanggup membelikan rok baru, dan rok biru saya hanya ada satu. :p. Lalu datanglah Nurani menawarkan rok biru bersih meskipun tidak baru, :). Ia datang seperti malaikat yang menolong saya, setelah sekian lama saya harus pura-pura tidak punya muka haha. :)

Saya bertanya pada Nurani kabar tentang teman-teman semasa sekolah, Nurani hampir-hampir tahu semua kabar mereka, bahkan saya juga bertanya padanya,

“Eh dulu aku kelas IPA berapa sih?”, bahkan saya juga sudah lupa saya kelas berapa...:).

“Kamu kan IPA dua Rin”,

“Oh ya ya? Kok dulu kita jarang ketemu ya kayaknya”,

“Ya iyalah, aku gak punya banyak waktu untuk main, kumpul sama teman-teman, lagian kan aku di IPS”

“Memang kamu di mana?”

“Aku kerja Rin, pulang sekolah jadi tukang cuci”,

“Hah? Masak sih? Kok aku gak tahu ya? Aku ke mana ya waktu itu?”, teman macam apaah saya inihh? :p

“Aku tuh udah kerja dari jaman SD Rin, cari uang tambahan”

“Oh ya? Ya ampun Nurani!, jaman-jaman sekolah aku sibuk dengan belajar, sibuk mempersiapkan masa depan :p, aku sama sekali gak tahu kabarmu”

“Iya Rin, yang lain belajar, aku pergi kerja, yang lain kuliah, aku sudah pergi ke mana”.

Karena saya penasaran, saya terus bertanya tentang kehidupan Nurani. Dari situlah saya mendapatkan cerita.
“Aku kan udah ditinggal Ibu sejak SD kelas dua”

“Oh ya? Tapi setelah itu kan kamu punya ibu lagi?”

“Gak terlihat seindah yang dibayangkan. Apalagi Bapak kan punya riwayat nikah-cerai lebih dari satu kali. Sudah sibuk dengan keluarganya sendiri, jadi aku tinggal sama nenek, sudah gitu di sana juga banyak orang, jadi aku gak terlalu diperhatiin”. 

Ada beberapa kisah tentang ibu setelah kematian ibu kandung Nurani yang saya skip. Seperti yang Fifi baru-baru ini katakan, “Bunda, ibu tiri itu jahat lho!”
“Haish, tahu dari mana?”
“Iya, aku nonton di sinetron, begitu Bunda”, kadang di luar dunia sinetron ada banyak kemiripan kisah. :)

“Hal apa yang kamu ingat, paling menyedihkan Nurani?”, saya bertanya padanya dengan hati-hati.

“Dulu, aku sedih kalau lihat anak yang digandeng dua orang tuanya. Yang jalan-jalan sama ibunya, yang bermain sama ayahnya. Tapi hal yang paling menyedihkan adalah saat pengambilan rapot”

“Kenapa?”

“Karena rapotku gak pernah diambilkan Bapak atau Ibuku, sepanjang masa sekolah, aku selalu ambil rapotku sendiri, paling belakangan, ambil sendirian di ruang guru”.

Saya menghela napas panjang, ingin meneteskan air mata. Benar-benar hal di luar dugaan saya. Ternyata, hal yang diinginkan oleh seorang anak, terkadang hal yang sederhana, kita hanya butuh meluangkan waktu, sebentar, dan hadir benar-benar untuknya.

Jadi, bersikap baiklah, dan berkasih sayang pada setiap anak, sebab masa kecil mereka tidak mungkin dapat terulang.

Karena tidak semua anak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu.
Dan tidak semua ibu bisa memiliki anak.







You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



7 komentar

  1. kok ya aku malah fokusnya ke "jangan jadi korban, nanti gila" :D

    ReplyDelete
  2. Hihi, itu dia Milo. Aku aja ketawanya ampe ngakak seharian. :). Hadeuh Pak Polisi ngapa pulak anak kelas satu dikasih tahu narkoba! Hihi..

    ReplyDelete
  3. Mudah-mudahan kinar dan yang bernasib sama bisa kuat menjalani garis tangannya.

    ReplyDelete
  4. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete