Cinta

-169- Berjodoh

Tuesday, July 28, 2015


Bismillahirrohmanirrohim.

Namanya Harum. Perempuan berwajah cantik, oriental. Lisannya sangat fasih berbicara, menarik, meski usianya tak lagi muda.  

"Maaf Bu, saya gak bisa ikutan datang, maaf ya, suamiku nunggu, mau nyiapin makannya dulu, udah kangen eh", katanya pada saya siang itu sembari tersipu malu, menghaturkan permohonan maaf tidak bisa menghadiri undangan yang saya berikan.

"Kan cuma sebentar Bu, emang suaminya kerja di mana? pulang jam berapa?"

"Bu Harum suaminya kerja di sekitaran sini aja kok Mbak, siang pulang makan siang, sore juga nanti sudah di rumah", timpal ibu-ibu yang lain. 

"Lah tapi gimana ya Bu... aduh.. sayang banget kalau gak bisa ketemu makan bareng suami, sudah kangen berat..", senyum di wajah Bu Harum merekah, pipinya bersemu merah, kedua telapak tangannya tertelangkup, menutup mulut, malu. 

Saya ingin tertawa, terkekeh, tapi hanya cukup tertahan, sehingga hanya menanggalkan senyuman. 
"Bu Harum seperti abege saja, maunya lengket terus...", kata saya menggoda. 


"Maklum Bu, suami kesayangan, tak eman-eman pokoke suamiku yang ini...", ucapnya dengan logat jawa yang kental. 

Namanya Harum, perempuan hampir setengah abad. Wajahnya cantik, oriental. Di masa mudanya, ia telah melewati berbagai fase masa muda yang indah. Ketertarikan, jatuh cinta, lalu menikah muda. Afandi, nama pemuda itu. Satu nama diantara sekian pemuda yang memperebutkan cinta di hatinya.   Rajutan mimpinya tentang surga dunia dalam balutan pernikahan telah menemukan wujudnya. Tetapi, di masa itu, Harum dan Afandi seperti dua ikan kecil yang hidup di samudera. Usia, pengalaman hidup, ilmu, belum cukup memberikan pondasi yang kuat bagi pernikahan muda mereka. Tidak ada cengkerama mesra sambil menikmati senja, atau kecupan hangat di pagi hari seusai berdoa. Harum dan Afandi sibuk berjuang untuk kehidupan mereka yang sulit, perekonomian keluarga yang menghimpit. Hingga di tahun kedua pernikahan, Afandi meninggalkan Harum dan buah hati pertama mereka. Afandi pergi, begitu saja, dan tak pernah kembali. 

Selang berapa tahun kemudian, setelah kenyataan pahit yang ditorehkan Afandi, Harum mengenal sosok lelaki yang baru. Win nama lelaki itu. Meski tak menjanjikan banyak hal, Harum kemudian menerima Win, sebagai sahabat hidupnya yang baru. Ada kebahagiaan di hatinya saat membersamai Win. Meski kehidupan perekonomian rumah tangganya tak lebih baik dibanding sebelumnya, kenyataannya Win adalah lelaki penyayang yang baik hati, yang mampu membuat Harum tidur dengan nyaman di sampingnya, semalaman, hingga fajar. Harum kembali merajut mimpinya, mimpi indah tentang sebuah pernikahan. Tetapi sekali lagi, seperti petir yang datang di terik siang matahari, Win pergi, meninggalkannya, selamanya. Saat cinta itu mulai terbangun, tumbuh, ada kehendak lain yang harus diterimanya. Win meninggal dunia, seperti sebelumnya, di tahun kedua pernikahannya. Harum ambruk, kehilangan kendali, tak punya lagi nyali, bahkan hanya untuk menatap matahari. Harum benar-benar sakit waktu itu, setengah hidup, setengah mati. Tetapi itulah garis kehidupan yang telah diberikan penguasa langit dan bumi untuknya. Butuh waktu, sampai kemudian dengan perlahan namun pasti ia mulai merajut kehidupannya kembali. 

Cukup satu detik untuk jatuh cinta, tetapi tak cukup seribu tahun waktu untuk melupakan. Mungkin itu kalimat yang tepat bagi saya untuk menggambarkan perasaan Harum. Sebab, saat ia menceritakannya kisahnya kembali pada saya, ia bersimbah air mata, mengenang kembali Win. Tak mudah, sungguh tak mudah melepaskan kenangan. 

Satu tahun, dua tahun, sekira sepuluh tahun kemudian, keberaniannya untuk hidup mulai tertata kembali. Harum dengan dua anaknya, satu dari Afandi, dan satu dari Win harus hidup dengan baik. Bagaimanapun sulitnya menghilangkan trauma dalam pernikahannya yang lalu, ia tetap saja perempuan. Perempuan yang ingin disukai, dicintai, disayangi. Tak dinyana, ia kemudian bertemu sosok yang baru. Lelaki muda yang tampan, terpaut jauh jika dibandingkan dengan usia Harum saat itu. Lelaki yang memiliki trauma serupa atas pernikahan mereka di masa lalu. Abbas nama lelaki itu. Seorang duda beranak satu, sembilan tahun lebih muda dibanding Harum, yang ditinggal pergi begitu saja oleh isterinya. Atas dasar kecocokan. Mungkin juga bukan karena itu, seringkali ada banyak hal di luar nalar dan kendali manusia yang tak dapat dibendung. Harum dan Abbas kemudian akhirnya menikah. 

Harum, perempuan berwajah cantik, oriental. Perempuan yang selalu bersemu merah saat berkisah tentang Abbas. Saya seperti menyaksikan dua orang remaja yang baru jatuh cinta, dan saya mulai mengerti alasan kenapa Harum menolak undangan pertemuan waktu itu. Itu saya ketahui saat saya berkunjung ke rumah Harum. Saya bertemu keduanya, Harum dan Abbas. Saya dan mungkin siapa saja yang pernah bertemu mereka berdua, akan merasakan getaran perasaan antara Harum dan Abbas. Mereka dua manusia yang sedang jatuh cinta, mereka saling mensyukuri satu sama lain, Harum bersyukur bertemu dengan Abbas karena baru kali inilah ia bisa merasakan nikmatnya sebuah pernikahan. Abbas bersyukur bertemu dengan Harum karena baru kali inilah ia dapat merasakan nikmatnya sebuah pernikahan. Saya tersenyum dalam hati, secara lahiriah, mereka hampir menyerupai pasangan kakek-nenek, tapi benar-benar terlihat seperti abege yang baru mengenal cinta dalam pandang pertama. Dan itu, terlihat sangat indah. Mereka, dua orang yang pernah merasai kehilangan, seakan tak ingin kehilangan waktu kembali untuk menikmati segala yang indah di tahun kedua pernikahan mereka ini. Bulan madu sepanjang hari. 

Hanya orang-orang yang kehilangan kesempatan yang benar-benar dapat mensyukuri sesuatu dengan sempurna. Seperti seorang buta yang kemudian tiba-tiba dapat melihat lagi, tingkat kesyukurannya akan sangat berbeda dengan seorang yang tidak pernah merasakan kebutaan. Harum dan Abbas adalah contoh dua manusia yang sebelumnya kehilangan kesempatan merasai nikmatnya jatuh cinta, nikmatnya hidup berdua, nikmatnya pernikahan.
Menyaksikan kehidupan Abbas dan Harum, membuat banyak senyuman di wajah saya. Oh Allah, betapa luarbiasa nikmat cinta diantara lelaki dan perempuan yang engkau turunkan sebagai sebuah fitrah. Tak peduli pautan usia ataupun waktu. Betapa indahnya, mencintai dan dicintai itu. Betapa nikmatnya, jika cinta itu terbalut dalam sebuah kehidupan pernikahan yang dirahmati, diridloi yang sering di definisikan sebagai jodoh.
Tetapi apakah setiap pernikahan adalah pertemuan jodoh? . 
Bukankah jodoh adalah sesuatu yang samar, rahasia dan mengejutkan? Saya yakin, orang-orang yang masih dengan kesendiriannya, belum tentu tak berjodoh. Sehingga tak perlu kita usil menanyai seseorang dengan pertanyaan mengganggu, "kapan menikah?" "kapan undangan?", sebab jawabannya seringkali gelap, segelap pengetahuan manusia tentang kematian. Sebaliknya, di dalam setiap pernikahan ada kemungkinan bisa jadi dua orang di dalamnya belum berjodoh.  Itu sebabnya sebuah pernikahan, selalu membutuhkan pembaharuan. Pembaharuan dalam pembelajaran untuk semakin mendewasa, bijak, sabar, saling mengerti, saling memahami, saling menguatkan, saling menyatu, saling berpadu, saling membantu. Rasa sayang perlu di pupuk, rasa cinta terus dipelihara. Seperti juga cinta yang harus diupayakan, saya fikir pernikahan juga adalah hal yang harus diupayakan, diperjuangkan, dalam bingkai ikhtiar dan doa. Ah iya, dan jangan lupa untuk senantiasa menikmati dan mensyukuri segala limpahan nikmat yang Allah beri, terutama nikmatnya pernikahan. Ada banyak orang yang dahulu seperti Abbas dan Harum yang baru bisa merasai sebenar-benar pernikahan setelah melalui proses sakit dan kegagalan.
Sehingga seperti harapan setiap orang, kita dapat sama-sama merasai nikmatnya kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah warohmah. Bertemu jodoh, hidup membersamainya, di dunia, hingga akhirat. Amin.

***














You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar