Celoteh

-129- Berkorban Setulus Ibrahim

Wednesday, October 16, 2013


Bismillahirrohmanirrohim,


Ada sesuatu yang berbeda ketika menyebutkan Nabi Ibrahim. Nabi, yang namanya disebutkan puluhan kali di dalam Al-Quran. Nabi dengan segudang keistimewaan, kemuliaan dan keteladanan. Diantara keistimewaan yang diberikan kepada Nabi Ibrahim a.s ialah dijadikannya keturunan Nabi Ibrahim sebagai pewaris para Nabi. Hingga kita temukan bahwa nabi-nabi setelah Nabi Ibrahim adalah anak dan cucu dari Nabi Ibrahim. 

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".Q.S Al-Baqoroh: 124. 


Keteladanan lain juga dapat kita petik dari kisah bagaimana Nabi Ibrahim bersikap terhadap ayahnya (diantara mufasir ada yang berpendapat kata 'abihi' di dalam Al-Quran merujuk pada arti 'pamannya') yang notabene-nya seorang pembuat patung, kita belajar bagaimana bakti seorang anak terhadap orangtua, bagaimana cara Nabi Ibrahim tetap dengan adab dan hormatnya, mendakwahkan Islam kepada ayahnya. Perjalanan Ibrahim mencari Tuhan-Nya, kisah Nabi Ibrahim merusak berhala, kisah Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup, berlanjut pada kisah penantian Nabi Ibrahim untuk memperoleh seorang anak, hingga sampailah kepada kisah pengorbanan seorang ayah, yang di kemudian hari menjadi sebuah tuntunan dalam Islam, yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali, di Bulan Dzulhijjah, yakni Idul Qurban.

"Maka kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!' Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! lakukanlah apa yang Dia perintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar"

"Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, "Wahai Ibrahim! sungguh engaku telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, "Selamat sejahtera bagi Ibrahim". Q.S As-Saffat: 101-109.

Sesungguhnya, ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Bagaimana tidak! mengorbankan sesuatu yang amat berharga, sesuatu yang telah lama dinanti-nantikan, bukan dalam hitungan satu, dua, lima atau sepuluh tahun, tetapi Nabi Ibrahim telah menantikannya puluhan tahun. Di usianya yang ke-86 tahun (berdasarkan tafsir Ibnu Katsir) barulah lahir Ismail dari rahim Hajar. Mungkin kita tidak dapat melukiskan bagaimana berharganya 'nyawa' seorang anak? melebihi harta dan mungkin seluruh isi dunia yang ada. Dalam konteks apapun, dan kondisi bagaimanapun, kita akan mendapati betapa banyak orangtua yang berusaha sedemikian keras untuk mendapatkan keturunan, rela bersusah-payah demi membahagiakan kehidupan anaknya, menjaga anak-anak mereka sedemikian rupa, memberikan mereka segala macam fasilitas yang ada, juga memastikan keberlangsungan hidup mereka, agar terus sehat dan tumbuh dengan baik. Tetapi bagaimana, jika dengan itu, Allah meminta kita untuk mengorbankannya?

Sungguh, saya tidak dapat membayangkannya kecuali dengan satu kata --Berat--, sungguh amat berat.


Namun, demikianlah, Allah memberikan peristiwa kurban Ismail sebagai contoh sebuah pengorbanan besar atas sesuatu yang paling dicintai Nabi Ibrahim, agar menjadikan kita -manusia yang hidup sesudahnya-, mengambil tauladan tentang bagaimana meletakkan secara proporsional rasa 'cinta' di dalam hati, kita belajar bagaimana Allah men-nol-kan (saya kesulitan mencari padanan kata yang tepat) hati Nabi Ibrahim kembali, setelah bertahun-tahun doanya untuk mendapatkan keturunan diijabah oleh Allah. Kita kemudian dapat belajar tentang makna 'kehilangan'. Barangkali, tanpa kita sadari, rasa kehilangan kita atas apa yang telah Allah ambil dari penitipan sementara di tangan kita, adalah bentuk rasa sayang Allah terhadap kita, adalah bentuk pen-nol-an kembali, adalah bentuk penyadaran diri, agar tidak sekalipun ada sesuatu yang pantas menetap di hati kita, kecuali kecintaan kita yang menyeluruh kepada Allah.

Lantas kemudian kita dapat belajar tentang hukum matematika Allah, bahwa satu dikurangi satu bukanlah nol, tetapi bisa menjadi dua, tiga atau berlipat-lipat ganda. Ini adalah hitung-hitungan sedekah. Sebagaimana ketika Nabi Ibrahim diminta untuk mengurbankan Nabi Ismail. Dengan itu, bukan berarti Nabi Ibrahim tidak punya anak, karena kemudian Allah kembali menganugerahkan kepadanya Ishak, selanjutnya menganugerahkan anak keturunan dari keduanya sebagai pewaris para nabi.

Dan yang tak kalah pentingnya, kita dapat belajar bagaimana membentuk keikhlasan serta ketulusan memberikan apapun -sekalipun itu adalah hal yang paling kita cintai- untuk Allah, sang Maha pemilik jiwa dan raga. Kita juga dapat belajar tentang keikhlasan serta ketulusan menjalankan perintah Allah -meskipun itu sungguhlah berat untuk dijalankan-. Keikhlasan serta ketulusan, senantiasa dibutuhkan dalam sebuah pengorbanan. Apalah artinya sebuah pengorbanan, tanpa ada keduanya, kecuali hanya membawa kesia-siaan. 

Idul Adha, sejatinya adalah secuil pembelajaran kecil tentang itu semua. Belajar mengorbankan sebagian harta, mengorbankan salah satu dari sekian hal yang paling dicintai manusia, belajar mengorbankan sesuatu yang baik,  belajar menjadi manusiawi dengan berbagi. 

Dalam persahabatan, persaudaraan, rumah tangga, dunia kerja dan dalam aspek kehidupan yang lain selalu saja diperlukan kerelaan untuk berkorban, tentunya dalam bentuk dan kadar yang berbeda-beda.

Pertanyaan berikutnya, hal apa yang paling kita cintai saat ini? pasangan hidup, anak, kekayaan, jabatan, pangkat, pakaian, rumah, kendaraan ataukah kehidupan itu sendiri?

Sudah sanggupkah kita mengorbankannya?

Atau sudah siapkah jika Allah merenggutnya kembali?




Wallohu a'lam bish-showab. 


Selamat Hari Raya Idul Adha 1434 H, 
Semoga kita senantiasa dapat memetik hikmah, tauladan dan belajar dari Nabi Ibrahim a.s.






You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Semoga pengorbanan Nabi Ibrahim, menjadi cerminan kita dlm beribadah kepada Allah SWT. Aamiin.

    ReplyDelete