Cinta

-57- Kisah Mereka yang Tengah Menanti Hadirnya Si Buah Hati

Monday, May 28, 2012


Bismillahirrohmanirrohim.

Menikah Untuk Berpisah


Seperti Sandiwara Langit, yang diperankan oleh Rizqaan dan Halimah dalam sebuah novel Abu Umar Basyier, Irfan tak pernah menyangka bahwasanya pernikahannya juga akan mengalami kisah yang hampir serupa. Beberapa hari lalu, ibunya menelpon,

“Ibu belajar dari pengalaman Nak, lihat pamanmu, baru berpisah setelah masing-masing sudah berumur. Lihat hasilnya. Tantemu bisa hamil. Dan pamanmu, meski terbilang terlambat, sekarang juga sudah punya anak. Ah, andaikan itu bisa dilakukan lebih awal dan dipersiapkan sejak dini”

“Tapi Irfan menikahinya bukan untuk berpisah Bu!”

“Memang tidak, ibu juga tidak menginginkan seperti itu. Ibu hanya meminta kalian mempertimbangkan saran ibu, mumpung kalian masih sama-sama muda. Buatlah kesepakatan waktu, 6 tahun, 8 tahun atau 10 tahun. Jika memang ternyata belum berbuah hasil juga, kalian bisa berpisah secara baik-baik. Beri Anna kesempatan untuk memilih pasangan hidup yang lebih baik dari kamu”

Irfan menangis, ada bagian dari hatinya yang terluka. Jika saja yang mengatakannya bukan ibunya, barangkali Irfan tak akan sesakit ini. Bagaimanapun, ibunya adalah sosok yang sangat ia hormati, tak pernah sekalipun ia membantah perkataan ibunya. Tidak juga untuk permintaannya yang ini … Irfan hanya bisa diam, khusyuk mendengarkan nasihat ibunya, dan mencoba menahan suara tangisnya.

###
“Mas Irfan, sebenarnya ada apa?”, nanar ditatapnya Anna. Kekasih hidup yang begitu dicintainya, yang hampir empat tahun ini menyerahkan sepenuhnya pengabdian dan cinta kasih padanya. Anna memang wanita sederhana, wajahnya tidak terlalu cantik, ia juga bahkan tidak terlalu pandai, hanya tamatan SMA. Itu sebabnya seringkali pembicaraan mereka tidak nyambung, saat Irfan begitu antusias berbicara tentang kenaikan BBM, inflasi, atau betapa parahnya korupsi di negeri ini, Anna malah sibuk mengupas bawang dan mengiris lombok. 

“Mas …” Irfan masih diam. Sudah empat hari ini, Irfan lebih banyak mendiamkan Anna. Setiap melihat Anna, Irfan tak berdaya. Ia kembali mengingat masa-masa saat harus memperjuangkan pernikahan mereka yang mulanya tidak direstui. Ia mengingat bagaimana kuatnya perjuangan untuk bisa menyeimbangkan begitu dalamnya perbedaan antara ia dan Anna. Ia mengingat bagaimana usaha mereka untuk tetap saling menguatkan, tetap memegang janji untuk hidup bersama, di atas banyak uji dan coba, mencoba tetap bertahan meski tidak mudah.

Anna … Anna …


“Mas, tahu gak, ibu-ibu pada ngeluh, harga bawang naik, lombok juga, sekarang lagi mahal-mahalnya nih, kira-kira Mas tahu gak apa sebabnya?”

Ya ela. Padahal sedari tadi Irfan sedang menjelaskan panjang lebar mengenai inflasi, dampak penghematan APBN, kebijakan ekspor-impor pemerintah yang akhirnya berimbas pada kenaikan harga barang sembilan bahan pokok di pasaran.

Anna… Anna, wanita pilihannya, yang kini sedang mempersiapkan hidangan makan malam untuknya. Seperti biasa, sepulang kerja, Anna selalu membasuh kakinya dengan air hangat. Bertanya padanya apakah ingin mandi dulu atau makan dulu. Mempersiapkan pakaian ganti, bahkan memijat badannya tanpa diminta. Anna memang tidak cerdas, tapi ia wanita sempurna untuk selalu dirindukan Irfan, ialah satu-satunya alasan baginya untuk segera pulang ke rumah. Anna sangat pandai memasak, mengatur menu masakan hingga Irfan merasa tak pernah bosan. Anna juga pandai menata ruangan, Anna paling tahu dimana seharusnya lemari buku diletakkan, dimana tempat kursi, menyimpan pakaian, juga menaruh bunga-bunga segar yang memenuhi ruangan kamar sehingga mampu membuat malam-malam Irfan senantisa penuh gairah.

Bruuk, sebuah suara membuyarkan lamunan Irfan.

“Mas … tolongin Anna berdiri”, nanar ditatapnya Anna, dadanya semakin sesak. Didapatinya Anna terjatuh saat harus mengambil sayur di atas kompor. Tiba-tiba saja, ia seolah kembali mengingat perkataan ayahnya empat tahun silam,

“kamu itu sarjana, ganteng, mapan, kamu bisa dapetin wanita manapun yang kamu inginkan. Bisa apa sih, wanita pincang seperti Anna?”. 

Kemudian diingatnya bagaimana Anna selalu berusaha menyejajarkan kecepatan langkah saat harus berjalan dengannya, bagaimana Anna selalu berusaha menenteng seember cucian sendirian meski Irfan berkali-kali melarangnya, bahkan Anna juga seringkali diam-diam mencoba mengangkat galon berisi air ke atas dispenser juga bagaimana saat Anna harus merawat Irfan di rumah sakit yang mengharuskannya naik turun tangga berulang kali untuk mengurus semua keperluan Irfan. Kedua mata Irfan semakin berkaca. Irfan tertunduk, ia telungkupkan kepalanya di atas pangkuan Anna, mencari kehangatan. Dan tangisnya pun tumpah, ia menangis, mulanya hanya terisak, sesenggukan yang pelan, kemudian menjadi ratapan yang semakin lama semakin kencang. Irfan menangis, 

“Robbi, ia memang tidak sempurna, benar-benar tidak sempurna, tapi aku tidak pernah berfikir untuk hidup bersamanya lalu membuat janji untuk berpisah, tidak pernah …”



Kisah ini dan kisah-kisah selanjutnya yang akan saya ceritakan, meski dengan tokoh yang saya buat sendiri, benar-benar pernah terjadi. Kisah nyata Irfan dan Anna inilah yang pada mulanya menyadarkan saya, betapa ketidakhadiran seorang anak dalam sebuah pernikahan suatu ketika bisa menjadi prahara. Anak memang merupakan sumber kebahagiaan. Namun kebahagiaan dalam sebuah pernikahan tidak selalu identik dengan anak. Buktinya, banyak pasangan yang akhirnya bercerai meski telah memiliki anak. Dan kenyataannya, ada saja pasangan yang tetap utuh membina rumah tangga sampai tuwek, sampai elek, sampai kakek-nenek meski tanpa dikaruniai anak. Saya tidak ingin mengatakan keberadaan anak tidak penting, sama sekali tidak!. Barangkali, bukan lagi saat yang tepat untuk mengeluh apalagi menghujat mengapa ada sebagian dari kita yang masih harus ‘menunggu’ kehadiran seorang anak. Barangkali, inilah saatnya kita harus bertanya “untuk apa Alloh membuat saya harus menunggu?”. Ya, untuk apa ya?

Belajar untuk Ikhlas


“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia-Nya. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu”. Qs: An-Nisa’: 32.

Handphone Yanti bergetar, sebuah pesan masuk:
Seingat Yanti, ini adalah kali pertama ia mengucapkan kata selamat dengan ikhlas. Ikhlas dalam artian ia bisa menerima itu, ia tidak khawatir, ia benar-benar turut bergembira dalam kegembiraan orang lain, dan hatinya tidak lagi tergetar. Jujur saja, selama ini setiap kali mendengar berita kehamilan ataupun kelahiran, hatinya bergetar, entah mengapa ia juga bisa bersedih lalu tiba-tiba terdiam dan mendadak murung. Biasanya, Rafii, suami Yanti akan bertanya ketika tiba-tiba Yanti menjadi pemurung dan lebih banyak melamun.

“Alhamdulillah, ku dah isi Mbak … doanya ya!!!!”
Yanti pun membalasnya,
“Alhamdulillah senang sekali dengernya 

Tak doakan semoga kandungannya sehat selalu, amin”.

“Denok Mas, yang nikah barengan sama kita waktu itu, barusan lahiran anak ketiga”
Atau,

“Dini Mas, adek kelasku yang baru nikah dua bulan lalu, sekarang sudah hamil”

“Masih banyak yang bisa kita lakukan Yanti, kita masih bisa melakukan banyak hal bermanfaat untuk sesama. Sungguh, mengemban amanah seorang anak itu tidaklah mudah”.

Iya, dan Yanti baru menyadari itu. Selama ini, banyak dari kawan-kawan Yanti yang kini sibuk mengurusi anak merasa iri dengan kemajuan yang didapatkan Yanti. Di usia belum genap tiga puluh tahun, Yanti dan suaminya sudah naik haji, setahun lalu mereka berdua juga baru saja menamatkan studi S-2. Selain itu, mereka kini juga sibuk mengurusi sebuah yayasan anak yatim, belum lagi baru-baru ini mereka baru saja me-launching sekolah gratis sistem asrama untuk anak-anak kaum dhuafa. Rafii dikenal sebagai pengusaha sukses, bahkan ia memberikan sebuah rumah mewah pada Yanti sebagai hadiah ulang tahun perkawinan mereka tiga tahun lalu.

“Aduh Yanti, mana sempat aku ngurus diri sendiri, anak-anak mulai tambah nakal. Dani sekarang tambah rewel, gak bisa ditinggal. Sania, sifat irinya makin menjadi-jadi, sebentar-sebentar ngambek, sebentar-sebentar ngacak-ngacak barang, apalagi kalau pas lagi ngamuk, duh… seisi rumah bisa jadi kayak gudang, hancur berantakan”
“Wah, kamu beruntung sekali ya Yan … bisa membangun gedung sekolahan sebesar ini, dulu ini cita-citaku juga. Tapi semenjak sibuk mengurus Kimmy, semuanya jadi terbengkalai”

Hal Terbaik Dalam Hidup Adalah Terus Berusaha Untuk Hidup


“Mbak, pernah denger Amenore Primer?”

“Belum Dek. Apaan sih?”

“Ehm, itu semacam bawaan genetik mbak, dimana seorang perempuan belum juga mendapatkan haid”

“Memangnya kenapa Dek?”

“Hal itu sekarang menimpa saya Mbak. Sudah lama saya ingin menceritakan masalah saya ini kepada Mbak. Dokter mengatakan, bahwa ini bukan penyakit mbak, tapi memang kelainan. Dan kemungkinan sembuhnya, mungkin hanya menunggu mukjizat”.

Hening, Prasasti hanya bisa terdiam mendengarkan kisah Aini, seorang remaja tanggung yang sehari-hari membantu pekerjaan rumahnya. Aini yang kini menginjak 22 tahun adalah sosok yang begitu bersemangat di mata Prasasti, ia juga termasuk remaja yang aktif mengikuti pengajian dan beberapa organisasi. Gadis ini, diusianya bahkan Prasasti telah menikah. Dan kini, Prasasti sedang berada diambang keterpurukan, seolah dunia menjadi semakin tak berarti lagi baginya. Ia mulai menyalahkan takdirnya, yang sampai delapan tahun pernikahan tak juga kunjung memiliki anak. Lalu, apalah artinya dunia ini bagi Aini? Gadis dihadapan Prasasti ini bahkan mungkin tidak berani bermimpi tentang sebuah perkawinan. Lalu ia sendiri? Dokter menyatakan rahimnya sehat, tidak ada masalah pada kandungannya, haidnya pun teratur dan tidak ada vonis dokter. Prasasti bahkan masih memiliki harapan.

“Aini, apa ada laki-laki yang sekarang sedang engkau sukai?”

“Iya Mbak, ada” mata Aini berbinar, mata seorang gadis yang sedang jatuh cinta, Aini begitu berani. Ia berani mencintai, ia berani hidup, meski dimata Prasasti hal itu nyaris tanpa harapan.

Siapakah aku Tuhan? Lirih bibir Prasasti berucap. “La ila ha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minadhdholimin”, Tidak ada tuhan selain Engkau, maha suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang dholim. (Al-An-biya: 87).

Pasrah


Usia mereka tidak lagi muda. Sang suami kini telah memasuki 90 tahun. Sedang sang istri adalah seorang perempuan mandul. Beruntung mereka masih memiliki seorang bayi perempuan, keponakan mereka yang kini mereka asuh dan mereka anggap sebagai anak kandung sendiri. Akan tetapi, itu tak menghentikan keinginan mereka untuk memiliki keturunan hingga mereka tidak henti-hentinya bermunajat dan berdoa.

Pada suatu malam yang telah larut, Zakaria sang suami, duduk di mihrabnya mengheningkan cipta kepada Allah dan bermunajat serta berdoa dengan khusyuk dan yakin. Dengan suara yang lemah lembut dia berdoa: 
"Ya Tuhanku, berikanlah aku seorang putera yang akan mewarisiku dan mewarisi sebahagian dari keluarga Ya'qub, yang akan meneruskan pimpinan dan tuntunanku kepada Bani Isra'il. Aku cemas sepeninggalku nanti anggota-anggota keluargaku akan rusak kembali aqidah dan imannya bila aku tinggalkan tanpa seorang pemimpin yang akan menggantikanku. Ya Tuhanku, tulangku telah menjadi lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, sedang isteriku adalah seorang perempuan mandul. Namun kekuasaanmu tidak terbatas, dan aku berdoa Engkau berkenan mengkaruniakan seorang anak yang shaleh dan Engkau ridhoi padaku"
Kemudian Allah menjawab doa Zakaria dan berfirman : 
“Wahai Zakaria, kami sampaikan kabar gembira padamu, kamu akan mendapatkan seorang anak laki-laki bernama Yahya yang shaleh dan membenarkan kitab-kitab Allah, menjadi pemimpin yang dianut, menahan diri dari nafsu dan godaan syaitan, dan kelak akan menjadi seorang Nabi.” Kemudian Zakaria berkata: “Ya Allah, bagaimana aku dapat memperoleh keturunan sedang istriku seorang yang mandul dan akupun sudah lanjut usia.” Allah berfirman: “Hal demikian itu adalah mudah bagi-Ku. Tidakkah telah Ku-ciptakan kamu, sedangkan waktu itu kamu tidak ada sama sekali.”
Kisah nabi Zakaria termaktub dalam Al-Qur'an. Memasrahkan segalanya pada Alloh, sang Maha kuasa atas segala sesuatu seringkali terlupakan. Kita mengaku bertuhan, namun begitu jarang melibatkan Tuhan dalam setiap kehidupan. Kita melibatkan teman, sanak keluarga, dokter, tukang urut, tukang obat dan terapis, namun seringkali kita lupa melibatkan Tuhan. Maka, bacalah apa yang telah tertulis dalam suroh Al-Anbiya': 89-90:

"Dan ingatlah kisah Zakaria ketika dia berdoa kepada Tuhan-Nya, "Ya Tuhanku, janganlah engkau biarkan aku hidup seorang diri tanpa keturunan. Dan engkaulah ahli waris yang terbaik"

"Maka kami kabulkan doanya. Dan kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan kami jadikan istrinya dapat mengandung. Sungguh, mereka selalu bersegera dalam kebaikan dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang Khusyuk kepada kami".


Ya, seringkali kita lupa melibatkan Tuhan ...


###






You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



14 komentar

  1. Tetanggaku ada yang sampai tua belum punya anak. Mereka kayaknya seumuran ibuku. Tapi, biarpun nggak punya anak, mereka tetap langgeng (dan semoga akan terus langgeng).

    ReplyDelete
  2. Subhanallah,saya jadi merasa sangat kurang bersyukur, mewek mba, inget anak.

    ReplyDelete
  3. terima kasih sudah mengingatkan.. :)

    ReplyDelete
  4. duh aku baru tau klo ada yg kayak gitu, masak berpisah dulu biar bisa punya anak. Ujian memang beda-beda ya, semoga saja setiap kita mampu melalui ujian dengan baik. aamiin.

    ReplyDelete
  5. Cerita-ceritanya bagus. Anak memang sesuatu yang didamba oleh pasutri namun kehadiran anak bukanlah satu-satunya tujuan pernikahan. Sebab, tujuan pernikahan sejatinya adalah samara sampai surga.

    ReplyDelete