Cinta

-233- Mendedah Rasa, Memaknai Cinta

Thursday, March 16, 2017


Bismillahirrahmanirrahim,

"Jadi kamu sudah cinta kan sama suami? sudah kan?", ini pertanyaan berulang yang hampir selalu saya terima dari tahun ke tahun. 

Dan biasanya saya menjawabnya dengan biasa, ala kadarnya, sekedar bercanda. 

Tapi pertanyaan kali ini entah bagaimana terasa berbeda. 

Delapan tahun pernikahan. 

Maret ini tepat delapan tahun rentang pernikahan. Tidak ada perayaan, tidak ada. Kami tidak terbiasa merayakan hari spesial apapun, termasuk hari pernikahan. Jauh-jauh sebelum hari H, sejak bulan Desember, hati saya selalu saja tidak karuan. Selalu begitu, dari tahun ke tahun. 

Itu alasan mengapa di bulan-bulan Januari, Februari sampai Maret biasanya saya menjadi lebih pendiam. Baik lisan maupun tulisan. Dan blog ini tentu saja, mendapatkan imbasannya. 😊

Tapi setidaknya, tahun ini saya memiliki alasan yang lebih manusiawi untuk mengosongkan blog ini beberapa minggu, demi menyelesaikan sebuah project yang tidak disengaja: menulis buku. 

"Jika cinta didefinisikan sebagai sebuah perasaan menggila yang meletup-letup, membuat jantung berdegup, seperti yang terkisah pada roman-roman romantika, maka saya rasa saya tidak memiliki cinta, sebab perasaan saya tidaklah demikian", jawab saya. 

"Jika cinta didefinisikan sebagai ini....bla...bla... maka saya rasa saya tidaklah punya cinta, karena saya tidak merasakan itu", saya terus saja mengoceh mencoba menerjemahkan arti pertanyaannya tentang cinta kepada saya. 

Sampai pada satu titik. 

"Saya rasa, saya tidak tahu apa-apa tentang bagaimana mendefinisikan cinta"

Kemudian sang penanya itu menjawab, 

"Bagiku, semua yang kamu rasakan, dan segala rupa perjuangan dan ikhtiarmu bersamanya. Itulah cintamu. Cinta sejatimu. Tabarakallah". 

Saya berfikir dalam sekali terhadap closing statement yang ia berikan kepada saya. Dalam sekali. Karena...karena entah saya merasa masa depan, -termasuk pernikahan- ini sesuatu yang tidak dapat diprediksi bagaimana nanti akhirnya.   

Tidak ada yang tahu, bahwa seorang kiyai muda, rujukan tempat bertanya, yang membawa nasihat kepada saya, banyak sekali tentang pernikahan, bahkan menjadi pemberi nasihat pernikahan seusai akad terucap, saat ini pernikahannya sedang diuji, diambang keretakan. Apalah saya jika dibandingkan seorang lulusan Pesantren Langitan dari segi ilmu agama? sehingga kepadanya, saya selipkan doa, agar sesuai nasihat pernikahannya kepada saya, ujian untuknya terlewati, kemudian sakinah mawaddah warahmah meliputi. 

Tidak ada yang tahu, jika pernikahan dua orang kawan saya, yang dahulu demikian agung dan 'sempurna' di mata saya. Sama-sama rupawan, sama-sama saling cinta, pasangan berwajah serupa dan sungguh serasi, tidak berapa lama datang kepada saya, dan mengabarkan rencana perpisahan. 

Sungguhpun saya tidak menyangka, sepasang sejoli yang cocok sekali dalam sebuah pernikahan -kelihatannya-, sama-sama paham agama, diberkahi banyak anak yang lucu nan menggemaskan, rumah nyaman, kendaraan, kecukupan, datang kepada saya, menceritakan behind the scene, cerita dibalik pernikahan mereka. Dengan banyak kesukaran, cekcok, pertikaian, dan kabar terakhir yang sangat mengejutkan: perceraian.

Sesungguhnya, itulah yang saya takutkan dalam perjalanan saya, suatu hari. Entah, saya takut kalau-kalau menghadapi kenyataan, bahwa masa depan kelak tak seelok cerita-cerita manis saya dalam lembaran foto. Saya juga mulai khawatir pada perasaan yang sejujurnya, bukanlah segala-galanya dan panglima dalam membangun sebuah hubungan.

Sampai pada suatu ketika, saya tersadar ketika -dalam waktu bersamaan- seseorang menghubungi saya, untuk bertanya lebih jauh kepada saya -tentang perasaan, cinta dan pernikahan-, lalu seorang lagi menghubungi saya untuk meminta pertolongan agar saya membantu pernikahan sahabatnya yang tengah berada di ujung ambang perpisahan.

Pada detik itu, saya kemudian sadar, bahwa satu bentuk rasa yang terkejawantahkan dalam bingkai satu kalimat indah yang bernama; cinta, adalah sepaket perasaan, bukan hanya tentang kebahagiaan. Cinta mewakili satu paket perasaan di mana di dalamnya bukan hanya tentang tertawa tetapi juga lengkap dengan sedih dan dukanya. Bukan hanya tentang perasaan berbunga-bunganya, dan tertawan lantaran jatuh cintanya, tetapi sudah sepaket dengan kesiapan hati untuk merasakan patah hatinya.

Sebagaimana penciptaan siang dan malam, matahari dan rembulan, laki-laki dan perempuan. Tuhan Yang Maha Besar telah menciptakan kesemuanya secara berpasang-pasangan. Dan cinta itu, ialah sepasang perasaan, ia mewakili marah dan sayang, benci dan rindu, nestapa dan bahagia, sengsara dan kaya.

Dan dalam suatu hubungan dalam sebuah pernikahan, cinta mewakili sepaket perasaan yang lebih kompleks. Definisinya kemudian menjadi meluas dan beragam rupa pada setiap pasangan yang menjalani pernikahan.

Dan entahlah, seusai perbincangan panjang saya tentang memaknai cinta dan banyak lagi tentang perasaan. Saya menjadi lebih berani dan menerima kenyataan bahwa demikianlah cinta.

Bukan hanya tentang perasaan tersiksa saya saat berjauhan dengan suami, sebab tidak ada lagi lelaki dengan senyuman termanis yang pernah ada untuk saya, yang menawarkan membuatkan segelas minuman hangat. Tidak akan pernah ada aktivitas minum segelas teh atau kopi hangat di setiap pagi jika tidak ada beliau di sisi saya. Tidak ada sarapan dan makan yang benar-benar nikmat di lidah saya jika sedang berjauhan karena bagi saya, makanan ternikmat adalah saat makan sepiring berdua dengannya. Itu kebiasaan yang acapkali kami lakukan berdua.

Bukan hanya tentang rindu yang tak terelakkan saat lama tak bersitatap dan berjumpa. Bukan hanya tentang kenikmatan jalan-jalan berdua dan menikmati keindahan purnama.

Bukan tentang itu. Tapi juga tentang bagaimana belajar meredam konflik, bagaimana berupaya menghadapi uji dan coba, bagaimana meramu perselisihan, bagaimana menerima perbedaan, bagaimana belajar untuk saling mendewasa, saling melapangkan, saling menguatkan, saling menyayangi dan bertumbuh dalam jutaan perbedaan dan peluang pertengkaran.

Saya juga mulai berani dengan kenyataan, bahwa ya, wajar, jika pernikahan itu tidak melulu tentang romantika dan manis-manisan saja. Sakinah juga bukan bermakna tidak ada aral dan ganjalan di dalamnya.

Ini senja di tahun ke delapan di mana saya menggenggam tangannya lebih erat lalu berkata, "berat ya menikah dengan saya?", dan ia berbalik sejenak, mengalihkan pandangan sekilas, lantas menatap dinding jendela sembari menarik nafas, mengeratkan genggaman, tersenyum kemudian berkata, "ya, sudah saya maafkan". 

Dalam perjalanannya, dari tahun ke tahun, selalu ada sesuatu yang baru, tantangan baru, problematika baru, dan kini saya sadar, bahwa saya tidak perlu takut akan hal itu -hal yang saya takutkan selama ini ketika bertambah tahun-, karena itu adalah sepaket cinta yang semestinya saya rasai.

Semestinya yang saya takutkan ialah berkurangnya rasa syukur dan perasaan jumawa bahwa pernikahan saya -baik-baik saja- karena semata usaha dan perjuangan kami saja.

Atau perasaan merasa lebih baik dari rupa pernikahan manusia yang lainnya.

Sungguh, apalah daya seorang manusia lemah dengan seonggok tulang ini.

Sungguh, tidak ada sesuatu yang dapat mensakinahkan sebuah pernikahan, tidak rupa, tidak harta, tidak juga keilmuan, bukan pula popularitas, bukan pula banyaknya anak dan keturunan. Kesemuanya bukan penjamin kebahagiaan, bukan penjamin ketenangan, bukan penjamin kesakinahan, mawaddah wa rahmah dalam sebuah rumah tangga.

Saya kemudian menyadari, bahwa dari tahun ke tahun yang terlewati, begitu banyak tangan-tangan tak menyegaja, lisan-lisan yang seperti dikirimkan kepada saya tiba-tiba, untuk berbagi kisah, berbagi cerita, berbagi kesedihan, nestapa, bahagia, yang mana dari kisah-kisah itulah adanya yang menguatkan hubungan kami.

"Saya sangat menyukai tema cinta, juga tema pernikahan. Dan pernikahan kami bertumbuh, menguat, mengakar, dari curhatan", saya menyampaikan ini dalam sebuah training pra nikah yang saya isi belum lama di bulan Maret ini.

Dan sekarang saya memiliki kekuatan untuk berkata bahwa ya, pernikahan ini bertumbuh tidak semata karena saya. Bahwa ya, pernikahan ini menguat bukan semata karena saya dan suami. Ada kekuatan besar di baliknya, yang secara halus menyokong dan memapah, membantu dan memberi jalan keluar.

Ada sebuah kekuatan besar yang mengirimkan orang-orang berhati mulia yang tak segan berbagi.

Saya ingat sekali, dalam sebuah perjalanan, di mana kami melakukan perjalanan berdua, demi memperbaiki hubungan yang sedang kurang begitu baik. Telepon saya berbunyi, suara di seberang terisak,
"Rin, ada waktu?"
"Ya Mbak?"
"Rin... Sudah dua tahun aku gak digauli suami".
"Oh ya Mbak? Kenapa baru cerita sekarang?", lalu entah bagaimana saya menjadi sibuk memikirkan prahara orang lain dan menjadi lebih jernih melihat permasalahan saya, yang jauh tidak ada apa-apanya.

Dan itu berlangsung tidak hanya sekali, dua kali, berkali-kali bahkan puluhan kali. Sesekali curhatan itu menjadi bahan diskusi kami tanpa perlu saya menyebutkan identitas di depan suami. Curhatan-curhatan yang datang itu kemudian tanpa disadari, menguatkan dan menumbuhkan hubungan saya sendiri. Karena sejatinya, saya menjadi lebih sibuk memikirkan hubungan orang lain, lebih sibuk memikirkan jalan keluar orang lain, dan lebih sibuk mengintrospeksi dan belajar lebih tentang makna kesyukuran dan bagaimana meramu dengan benar makna sebuah cinta, sejatinya. Sebab seringkali saya sendiri tidak tahu harus memberi nasihat apa, harus menguatkan dengan cara bagaimana. Tetapi yang pasti, selalu dan selalu, setelahnya, saya selalu dapat mensyukuri apa yang telah terlampaui dalam pernikahan saya sendiri.

Saya juga selalu mengenang ucapan seorang dokter, saat saya merasa terpuruk benar-benar, dan merasa inilah ujian terberat dalam fase pernikahan saya,
"Tuhan sayang kalian. Tuhan sayang -dokter menyebutkan nama kami-. Karena kalaupun jadi, peluang terbesar secara medis adalah pasti bayi akan mengalami kecacatan. Tuhan sayang kalian". Jika mengingat ucapan dokter ini, saya selalu mampu menangis. Membayangkan bagaimana situasi yang saya alami saat itu. Puncak jenuh, puncak putus asa, puncak kesedihan, jatuh, tersungkur. Mungkin akan berbeda ceritanya jika saat di ruang observasi dokter memberikan vonis dengan kalimat yang berbeda. Tetapi kalimat yang keluar darinya justru kalimat langit, kalimat yang bahkan tidak terbersit di pikiran saya yang sedang kacau.

Delapan tahun pernikahan. Saya kini sadar, bahwa curhatan-curhatan yang datang kepada saya bukanlah curhatan biasa. Biarkan saya menyebutnya dengan curhatan langit. Kalimat-kalimat yang datang kepada kami -seringkali- juga bukan kalimat biasa, biarkan kami menyebutnya dengan kalimat langit. Semua celotehan, cerita yang datang, dengan tanpa disengaja justru menguatkan. Kami bertumbuh, mengakar, dari itu semua. Dan siapalah yang dapat menghadirkan suguhan 'langit' jika bukan sang Maha pemilik langit, Maha di atas Maha.

Untuk pernikahan ini, untuk delapan tahun perjalanan, la haula wala quwwata illa billah, satu-satunya kalimat yang tepat untuk mengungkapkannya. Dan tidak ada terimakasih terbesar yang pantas diucap kecuali kepada-Nya.

Terimakasih selanjutnya ialah kepada siapapun yang tanpa menyengaja, tergerak hatinya untuk berbagi cerita, sesekali mengurangi waktu tidur saya, seringkali menguras waktu kebersamaan kami, betapa mahalnya sebuah kisah. Betapa bermaknnya sebuah curhatan. Layaklah kami berterimakasih untuk itu.

***
Cinta tidak sempit dalam satu definisi. Maknanya meluas dalam pelbagai rupa. Untuk saya, demikianlah wujud cinta saya.

Untukmu, untuk kalian. Cinta kalian, dengan segenap perjuangan, ikhtiar, sepaket perasaan yang kalian rasakan, itulah cinta kalian. Tabarakallah. Semoga Allah senantiasa ridho dalam setiap langkah yang mendendang berkah. Dan semoga cinta Allah senantiasa melingkupi, merahmati, melindungi, hingga kalian benar-benar tercerahkan dan mendapatkan makna sejati dari hakikat cinta mencintai.

***

Salam sepenuh cinta. 😊


Tulisan ini diikutsertakan dalam blogger muslimah sisterhood oleh Blogger Muslimah Indonesia












You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



38 komentar

  1. Menyentuh sekali tulisannya sampai ke hati..smoga suatu saat bs menulis sperti mba nurin 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. tulisannyaaaa... bikin melo. Mana bacanya malem2 lagi.

      Kadang ya, Mba. Aku suka ga peka sama sahabat sendiri, pikiran mah dia baik2 aja. Ngobrol ngalor ngidul, tau2 kaget pas dia punya masalah. Hiks...

      Delete
    2. Iya Mbak Angga, kadang kita gak tahu dan gak peka dengan kondisi orang lain ya, nanti tahu-tahu eh ternyata....:(

      Delete
  2. Tulisannya romannntisss abiiss, heu kalau aku napa ya susah buat nulis tulisan romantis kek gini, padahal suka pengen, apalagi mau ultah pernikahan huhu

    ReplyDelete
  3. Kayaknya kita sama dalam masalah perasaan terhadap suami :D
    Dan alhamdulillah dengan perasaan itu kita bisa mempertahankan keutuhan keluarga sampai sekarang dan semoga sampai akhir nanti.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apaan Mbak Rien? yang mana yang samaan? :D :D.

      Yang penting berkahnya ya Mbak.

      Delete
  4. Barakallah Mba Nurin dan suami..
    Sepertinya aku pun sama Mba.. Kadang muncul pertanyaan : sebenarnya aku cinta ga sih sama suamiku, dan dia cinta ga ya sama aku?
    Tapi hal2 seperti itu sering terjawab dg peristiwa kecil atau pillowtalk kami 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasi Mbak Arina. :)

      Makin lama nikah kita jadi ngerasa bukti nyata lebih dibutuhkan ya Mbak lebih dari sekedar kata-kata.

      Delete
  5. hua...... aku bacanya sampai berkaca-kaca. Aku baru 11 bulan menikah ada aja seru2annya. Seneng-senengan, berantem-beranteman sempet mau pisah juga karena masih sama-sama ego. Paling sering nngalah biasanya aku, tapi ganti-gantian. Ternyata never ending study yah. Mba Nurin juga sudah 8 tahun masih terus belajar saling memahami dan mengalah (The important thing).

    ReplyDelete
    Replies
    1. masih unyu-unyu mah itu Mbak delapan bulan, masih panjaaaang perjalanannya. Semoga selalu sakinah, mawaddah wa rahmah ya Mbak. :)

      Delete
  6. Kata-katanya menyentuh banget. SangT inspiratif dan bikin hati meleleh ����

    ReplyDelete
    Replies
    1. nulisnya juga dengan hati yang meleleh leleh ini Mbak. ;)

      Delete
  7. Makna cinta setelah bertahun menikah memang semakin luas. Segala kejadian yg ada dlm suatu hubungan pernikahan seharusnya bisa membuat kita semakin dewasa dalam menyikapi segala permasalahan ya mba....

    ReplyDelete
  8. aduh mbak bergetar membacanya
    tersentuh sampai ke kalbu
    aku juga selalu takut kalau suatu saat hubungan harmonis bisa kandas karena tak tahan ujian rumah tangga
    ah, smoga rumah tangga kita senantiasa berkah ya

    ReplyDelete
  9. Cinta itu ketika ingin menayangi dengan atau tanpa alasan

    ReplyDelete
  10. Meskipun gak pernah ngrayain segala macam perayaan yang mungkin dianggap garing sama orang lain, ternyata rasa Cinta kayak gini itu enak. Saya berpikir bukan karena lupa gak ngasih ucapan ini itu cinta yang banyak digembar gemborkan, jadi.. gak ada permasalahan seremeh itu buat diseriusin, cuma satu contoh sih. Dan... sampai sekarang nampaknya saya juga memiliki cerita yang sama #malah curhat#.

    Dan memang, hubungan pernikahan itu bukan cuma antara aku dan kamu, itu hanya bagian kecil. Malah kalau ditanya arti cinta dan seberaapa banyak, jawabannya gak ada saking banyaknya hahahhaa.. lhoh kok jadi curhat lagi. Semoga pernikahannya tetap membawa banyak keberkahan ya Mbak.. Aamiin, InsyaAllah.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. amiiin Mbak. Iya Mbak kadang dalam satu titik kita malah gak bisa mendefinisikan cinta dengan satu kalimat lugas ya Mbak. :)

      Delete
  11. Barakallahu fiik, Mbak. Semoga semakin kuat dan kuat.

    ReplyDelete
  12. AAmiin YRA, semoga bisa terus mengarungi cinta dalam suka dukanya ya mbak. Btw itu ada yang 2 tahun ga digauli duh duh ikutan sedih bacanya. Semoga segera ada jalan terang ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Mbak. Amiiin. Sekarang sudah jauh lebih baik hubungan mereka Mbak.

      Delete
  13. Huhuhuhu terasa tertampar baca tulisannya. Kadang kita merasa kurang bersyukur atas pasangan yang dikirim Allah. Aku sempat berada di ujung jurang pernikahan akibat kesalahan besar yang aku perbuat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak Wian. Semoga pernikahan Mbak Wian diliput sakinah, mawaddah wa rahmah. Yang berlalu dapat menjadi pelajaran berharga untuk ke depannya ya. 😊

      Delete
  14. menambah wejangan pagi dengan membaca tulisan yang masuk kehati... mantap mbak

    ReplyDelete
  15. Terimakasih mbak Nurin, dengan tulisan ini semakin menambah rasa syukur saya akan semua nikmat yang dianugerahkan Allah, mohon doa dan nasehatnya selalu agar keluarga kami bisa seperti keluarga mbak yang selalu mampu menjadikan konflik berakhir dengan senyuman bahagia.

    ReplyDelete