Bismillahirrahmanirrahim.
Sebuah poster iklan penayangan film terpampang besar sesampainya saya di ruang kedatangan Bandara Haluoleo, Kendari. Mata saya langsung tertuju kepada gambar pulau-pulau dengan lautannya yang eksotis. Pulau Labengki yang mendapat julukan "Raja Ampat Versi Kendari." MasyaAllah indah sekali! (Foto-foto di posternya) Saya berdecak kagum. Saya catat benar-benar jadwal penayangan film, 1 Juli 2017, Hollywood Square Kendari. Saya harus menonton film ini, tekad saya dalam hati.
Firasat saya tentang bagusnya film ini memang sudah terendus di hari pertama kedatangan saya ke Kendari waktu itu. Menengok judul filmnya Suara Dari Pesisir saya tahu ini bukan film menye-menye atau semacam film hantu dengan tali pocongnya. Ini film berkualitas, pasti. Ini tema yang tidak biasa, mengangkat tentang Pendidikan, Pariwisata, Kebudayaan dan Konservasi. Hari berikutnya, berbekal rasa penasaran saya mencari tahu tentang di mana itu Labengki, seindah apa, lalu hasil penulusuran saya berbuah manis dengan penemuan trailer Film, epic sekali!.
Lalu tibalah hari yang ditunggu-tunggu itu. Hari menonton film!. Saya membawa serta rombongan adik-adik sekeluarga, sudah pasti saya yang membujuk mereka untuk menonton. Saya memang kelewat antusias! Saya katakan pada mereka, "ayo kita lihat seindah apa Labengki, setelahnya, nanti kita bisa liburan sama-sama ke sana." Sebuah janji manis yang teramat menjanjikan. 😅 Untuk wisata pantai, saya akui, Kendari memang luar biasa 👍. Banyak pantai yang menyuguhkan daya tarik keindahan di sini. Dan saya pun, belum khatam-khatam menjelajahinya. 👌
Film karya Sutradara Susilo Raharjo ini diperankan oleh empat pemeran utama yakni, Bajo (anak suku Bajo dari Labengki), Haseng (Ayah Bajo), Nurul (Ibu Guru) dan Bonco (seorang travel blogger).
Film ini berdurasi singkat, sekira tiga puluh menit saja. Saya bisa merasakan pesan kuat yang diusung oleh film ini, karena saya lahir dan dibesarkan sebagai anak pesisir. Bapak saya seorang guru, ditugaskan di daerah pesisir, dan kebetulan sekali di tengah-tengah suku Bajo. Persis! Mirip!. Bedanya, pulau tempat tugas Bapak dulu tidak seindah Labengki.
Situasi dan kondisi Labengki hampir sama seperti masa kecil saya. Budaya masyarakatnya, suasana perumahan dan desanya. Kebiasaan masyarakat membuang sampah di laut misalnya, cara nelayan menangkap ikan yang merusak lingkungan, listrik yang hanya menyala setengah hari, dan masih adanya penolakan masyarakat tentang pentingnya pendidikan.
Saya tidak percaya, sudah tiga puluh tahun usia saya. Potret seperti ini masih ada di belahan bumi Indonesia.
Dulu Bapak juga mengalami penolakan penolakan seperti ini. Bahkan sampai ada yang datang membawa parang. Anak-anak juga banyak yang putus sekolah. Jika tidak sibuk melaut cari uang, paling banyak adalah dinikahkan. Teman-teman perempuan saya sekolah dulu, rerata menikah di usia kelas lima atau enam Sekolah Dasar. Mau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, belum ada SMP. Ada pun, letaknya di luar pulau. Dan tidak ada cara lain, kecuali menggunakan kapal. Hanya anak-anak yang bertekad kuat, berkemauan dan mendapat dukungan yang dapat melanjutkan jenjang pendidikan.
Film ini merepresentasikan sebagian potret pendidikan di negeri kita, Indonesia. Harus diakui, masih ada. Masih ada banyak tempat di negeri ini yang belum tersentuh edukasi tentang "pentingnya sekolah" dengan baik. Bahkan, fasilitas pun masih jauh panggang dari api.
Pesan kuat ini disampaikan melalui Bajo yang dilarang ayahnya untuk melanjutkan pendidikan.
"Untuk apa dia sekolah? Ujung-ujungnya cari uang toh. Sekarang dia sudah bisa cari uang." Ucap ayah Bajo kepada Bu Guru Nurul.
Saya merasa kekuatan film ini tersentral pada pemeran ayah Bajo. Aktingnya memukau, sangat menjiwai. Kepadanya, penonton mampu dipaksa untuk tertawa melihat tingkahnya, renyah, mencairkan suasana. Tutur kata dan gaya bicara serta sikap, khas sekali representasi dari Suku Bajo.
Pemeran utama lainnya, Bajo, digambarkan, sebagai anak yang bermental baja dan memiliki tekad kuat untuk melanjutkan sekolah dan membawa perubahan untuk lingkungan dan sekitarnya. Bu Nurul, gurunya, adalah seorang guru yang terus menyemangati anak-anak murid dan terus berupaya mengedukasi masyarakat sekitar untuk menjaga kelestarian alam dan tidak merusaknya.
Bonco? Ow, dia travel blogger yang hobi fotografer dan diceritakan sedang berlibur di Labengki.
Saya cukup terkejut seusai menonton, di luar ramai sekali. Tidak disangka, ternyata hari perdana pemutaran film, semua kru dan pemain Suara Dari Pesisir turut serta menonton bersama. Ramai sekali di luar, banyak yang rebutan untuk foto bersama pemain. Heboh. Beberapa diminta testimoni dan ditayangkan di Fans Page KoheoFilm Kendari.
Saya? Saya asyik mengobrol dengan salah satu kru film, bertanya banyak, menggali banyak, ingin tahu banyak. Saya menyampaikan terimakasih atas film yang sangat menginspirasi ini. Saya memang tidak mengerti perkara kualitas musik, koreo dan lain-lain. Saya hanyalah penikmat film-film bagus seperti ini. Sebagai penikmat, saya puas sekali karena film ini bagus sekali, pesan untuk menggugah anak-anak Indonesia untuk terus bersekolah dan membawa perubahan untuk negeri kuat sekali, dan upaya untuk mempromosikan pariwisata juga dapat tersampaikan dengan baik.
Dari bincang-bincang saya dengan salah satu kru, saya tahu, bahwa film ini telah menjalani proses masa yang sangat panjang, satu tahun masa persiapan. Digarap dengan sangat serius, dengan hasil yang membanggakan. Film ini memang berdurasi pendek sebab film ini ditujukan untuk ikut serta dalam ajang perlombaan film pendek.
Saya juga bertanya mengapa tidak disiarkan di seluruh bioskop Indonesia? Ini film yang baik sekali, kualitas film juga sekualitas film bioskop. Jawabnya, kalau sudah masuk seluruh bioskop tidak bisa diikutkan lomba.
Pertanyaan pentingnya lagi adalah, siapakah Haseng? Pemeran ayah Bajo? 😂. Ternyata backgroundnya adalah guru teater di Kendari. Oooo..Pantas saja aktingnya keren, memukau. 👍👍
Bajo? Bajo adalah anak asli dari Labengki. Hasil dari casting pemain. Pemeran utama film ini memang sudah di plot harus asli anak suku Bajo Labengki. Pas sekali pilihannya jatuh pada Erick, berwajah dan perawakan Bajo. Untuk debut pertama bermain film. Erick mampu bermain dengan sangat baik.
Inang yang berperan sebagai Nurul, ibu guru Bajo, juga pemain lokal. Hanya Bonco, yang diperankan oleh Peter, satu-satunya pemeran impor dari Jakarta.
Menonton film ini membuka wawasan kita tentang potret pendidikan di bagian lain negeri ini. Film ini membawa kritik membangun mengenai perlunya pembenahan dan perhatian pada daerah-daerah pesisir yang umumnya belum banyak terjamah oleh pembangunan. Perlu fasilitas yang memadai untuk menampung anak-anak muda generasi bangsa agar mampu menjadi sosok terpelajar dan menjadi agen perubahan bagi lingkungan sekitar, bermanfaat dan berdaya guna untuk bangsa dan negara.
Selebihnya, kita dibuat berdecak kagum oleh keindahan yang ditawarkan oleh Pulau Labengki, Kendari, Sulawesi Tenggara. Semoga ini menjadi pendongkrak sektor pariwisata dan menjadi jalan terperhatikannya akses jalan dan fasilitas umum di sana.
Terimakasih Koheo Films Kendari atas film Suara Dari Pesisir ini. Semoga filmnya sukses dan dapat terus melahirkan film-film inspiratif sebaik ini. Semoga dengan adanya Suara Dari Pesisir mampu menggugah anak-anak muda Indonesia untuk terus gigih meraih cita-cita dan membawa perubahan untuk Indonesia. 🙏
Kredit Foto dan trailer: Koheo Films Kendari.
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
6 komentar
Keren mbak, tulisanmu, blognya juga, semangatnya juga. Salam kenal dari Jogja, ya.
ReplyDeletesoal isi film, hmmm... apa boleh buat? Faktanya masih banyak PR terkait pendidikan yang belum dikerjakan oleh republik ini.
Salam kembali Mbak. ☺. Ya Mbak. Peer kita bersama ya Mbak untuk memajukan pendidikan Indonesia.
DeleteHai mbak...kayaknya aku baru pertama maen di sini. Ha..ha, diriku blogger jarang maen 😀😀
ReplyDeleteFilmnya..ngingetin sama laskar Pelangi. Sinopsisnya dong mba..
Haaaaai. 😘😘 sering-sering maen ya Mbak. 😆. Ini film pendek sekali. Durasi 30 menit. Dan gak tayang di semua bioskop sayangnya.
DeleteAku kok terharu ya Mbak membaca postinganmu. Jadi penasaran sama filmnya.
ReplyDeleteMbak, maaf baru mampir. salam kenal juga ya. Kufollow blognya, folbek ya. Tengkyu...
Salam kenal kembali Mbaaak. ☺
Delete