Celoteh

-172- Gara-gara Jogja

Tuesday, November 24, 2015


Bismillahirrahmanirrahim. 

Saya juga tidak tahu mengapa, perubahan jadwal penerbangan yang saya ajukan ke panitia, diterima, tetapi perubahan maskapainya tidak. Tadinya saya bermaksud menggunakan maskapai penerbangan langsung Jogja-Balikpapan, dengan harapan sore hari saya sudah sampai di Balikpapan. Tapi, karena tiket kepulangan sudah dibelikan dengan rute Jogja-Jakarta-Balikpapan. Ya sudahlah, dijalani saja, hitung-hitung bisa melintas dan singgah di bandara Jakarta, kota kenangan. 

Sejak sebelum lepas landas dari Jogja, banyak orang yang sekilas saya kenali, tapi saya tidak ingat siapa namanya. Saya tidak sempat berbincang, karena saya tiba di bandar udara Adi Sucipto tepat setengah jam sebelum pesawat take off. Jadi, semuanya serba terburu-buru, beruntung saya tidak tertinggal. Sesampainya di Soekarno Hatta, seseorang menyapa saya,

"Siapa ya? siapa ya?"

“Hai Mbak Nurin, apakabar? Tadi mau nyapa takut salah orang, setelah dari dekat baru yakin ini Mbak”.

Saya membalas sapaan dan membuka percakapan, sembari terus berpikir keras siapakah orang yang sedang saya ajak berbincang ini. Saya mengenali wajahnya, tapi saya tidak ingat siapa namanya. Manusia pada dasarnya bersifat pelupa, dan saya, sejak dulu, memiliki kekurangan sulit mengingat nama orang lain, kecuali nama itu unik, atau saya memiliki kedekatan emosional dengan orang tersebut, berteman dekat, pernah satu kegiatan, pernah satu kos-kosan atau yang lainnya. Setelah berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing, saya masih terus berpikir keras, mencoba mengingat, sembari menghitung waktu. Tepat saat saya menunggu bagasi di bandara Aji Sulaiman Balikpapan, saya menemukannya, saya mengingat namanya yang terdiri dari dua suku kata, saya mengingatnya setelah 4 jam berpikir dengan sangat keras. Alhamdulillah, ini prestasi, pencapaian yang luar biasa untuk saya. .

Tingkat keparahan saya dalam mengingat terjadi sekitar dua bulan lalu. Waktu itu saya bertemu seorang perawat di salah satu RS Swasta di Balikpapan, yang tiba-tiba menegur saya.
“Nurin bukan? ”,

“Iya, Mbak siapa ya?”, waktu itu perawat ini sedang menggunakan masker.

“Aku Sasi (samaran), tadi mau negur takut salah orang”, Sasi dengan spontan membuka masker.

Waktu itu saya bener-bener bingung, linglung, gak tahu mau ngomong apa, masalahnya saya bukan hanya lupa namanya, tapi saya juga lupa dengan wajahnya, saya tidak ingat apapun tentang dia.

“SMA 1 kan? Angkatan 2004?” Sasi masih mencoba menguak ingatan saya.

“Iya. Sasi dulu di IPS ya?”

“Aku IPA”. What? Sasi anak IPA? haduh yang mana ya… kok saya benar-benar nge-blank, gak ingat apapun. Waktu saya kelas 3, IPA cuma ada dua kelas, dan itu sebelahan. Tadinya saya berharap Sasi IPS karena jumlah kelasnya lebih banyak, jadi wajarlah ya kalau saya lupa. *pembelaan. 

“Kita gak sekelas kali ya dulu? Aku agak lupa-lupa ingat tadi, soalnya Sasi tambah cantik nih…”, padahal aslinya saya masih gak ingat, .

“Kayaknya kita sekelas deh Rin”, hah? Please! masak guwe lupa sama temen sekelas? parah nih parah

“Gak ah, kayaknya beda kelas deh”, *ngeles mode on, hehe.

Sampai saya menuliskan ini, saya masih mencoba mengingat memori saya tentang Sasi. Dan, saya belum bisa mengingat apapun tentang Sasi. 

Sudah tidak ada harapan bagi saya mencari peluang bahwa Sasi yang sedang salah alamat, karena sejak saya SMP sampai dengan SMA, hanya saya pemilik nama Nurin, belum ada kembarannya. Di keluarga, nama panggilan saya sebenarnya Lia, tetapi saat SMP, ternyata nama Lia itu begitu banyak. Jadi, kawan-kawan sepakat memanggil saya dengan nama depan saya, agar mudah dikenali dan tidak membingungkan, dan ini berlanjut hingga sekarang.
“Jadi kamu gimana, kemarin kamu jadi kuliah di Jogja sama-sama yang lain?”

“Gak Sas, aku kuliahnya di Jakarta”

“Oh gitu…”, obrolanpun berlanjut tentang kuliah, pekerjaan dan keluarga.

Pertanyaan Sasi tentang Jogja menandakan benar bahwa Sasi memang teman SMA saya, haha. Jogja, adalah kota impian saya sejak dulu untuk melanjutkan sekolah. Butuh waktu 12 tahun, sejak saya merencanakan, mencita-citakan, bermimpi tentang Jogja, hingga saya benar-benar bisa datang ke Jogja. Alhamdulillah, itupun berkah dari tugas perjalanan dinas saya ke Solo yang beririsan dengan perjalanan dinas suami ke Jogja. Sebenarnya saya sudah melupakan semua hal tentang Jogja, tetapi demi mengetahui bahwa saya akhirnya bisa berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin dulu hanya ada di benak saja, membuat saya cukup bergembira menyambut perjalanan ini.

Kisah tentang saya dan kota Yogyakarta. 

Saya sudah mulai memimpikan sebuah cita-cita sejak SMP, sejak kelas dua SMA, mulailah saya menentukan tempat dimana saya akan menimba ilmu untuk meraih cita-cita itu. Ya, di Yogyakarta. Waktu itu, mungkin karena keseringan bertemu orang-orang hebat dan pintar, dimana setiap kali saya bertanya,

"lulusan mana Kak?",

"lulusan Jogja"

Jadi, di benak saya, kota Jogja itu hebat, bisa melahirkan orang-orang hebat, dan saya kemudian mulai tertarik untuk pergi ke sana. Tetapi ternyata, jalan menuju ke sana sangatlah berliku, tajam, dan terjal. Kegagalan pertama dalam hidup yang saya rasakan adalah saat saya gagal meraih cita-cita yang saya impikan. Rasanya seperti menyusun buku yang sudah hampir tinggi menjulang hingga ke langit-langit rumah, tinggal menaruh satu buku lagi, tetapi yang terjadi tumpukan buku-buku itu jatuh berserakan dan mengenai saya, rasanya sakit sekali. Jadi, semua yang saya siapkan, saya rencanakan, saya usahakan tak menghasilkan kesuksesan (versi saya).

Ini masih bukan soal Jogja, masih tentang cita-cita. 

Tentang Jogja, sebelas dua belas juga sebenarnya. Dimulai dari saat saya mengajukan diri ikut masuk tanpa tes, PMDK atau PBUD ya waktu itu namanya, dengan pilihan Universitas di Yogyakarta. Intinya, pengajuan saya ditolak oleh guru sekolah dengan alasan yang tidak bisa saya terima. Kalau dulu ya, rasanya sakit hati sekali jika mengingat Bapak Guru yang satu ini, karena menurut saya, seorang guru seharusnya mendukung, menyokong, menampung, semua yang diimpikan oleh anak-anak muridnya dan bukan sebaliknya. Kalau sekarang, sudah tidak lagi. Kalau sekarang, saya sudah bisa melihatnya sebagai salah satu cara Allah saja, bahwa pada akhirnya saya memang tidak bisa meraihnya.

Berikutnya, saya merasa 'dikhianati' sahabat, karena mereka diam-diam mendaftar ikut tes jalur khusus di universitas Jogja tanpa memberitahu dan mengajak saya. Sementara, mereka tahu, betapa besarnya keinginan saya menuju ke sana. Entah saya lupa bagaimana persisnya, akhirnya saya jadi tahu, tapi itupun di detik-detik terakhir pendaftaran, dan saya terlambat mendaftarkan diri. Berikutnya, dan ini cara Allah yang paling cantik menurut saya, di kesempatan terakhir, yakni di SPMB, Allah membuat saya pada akhirnya tidak bisa ikut SPMB di tahun tersebut. Lengkap sudah, tidak ada kesempatan menuju Yogyakarta. 

Ini yang saya ceritakan hanya kejadian yang besar-besar saja, yang kecil-kecil, yang mengganjal lebih banyak.

Saya kira urusan soal Jogja ini sudah selesai, ternyata belum sepenuhnya. Perjalanan ke Jogja kali ini saya rasakan sebagai perjalanan yang tak semenyenangkan seperti ke Derawan atau Makassar. Tadinya saya berfikir, bisa menambah perbendaharaan posting wisata atau kuliner, tapi saya tidak bisa mendapatkan keduanya. Satu hari yang saya kira cukup untuk berwisata, mengelilingi tempat-tempat yang dahulu hanya saya impikan saja, jadi lain cerita. 

Terus terang selama di Jawa, saya mengalami jet lag dengan waktu. Saya merasa pagi datang terlalu cepat, kepagian, tetapi aktivitas perekonomian begitu lambat. Biasanya, jam 6 di tempat saya, masih agak gelap, di sini sudah terang sekali, seperti jam 7 di tempat saya. Tetapi, toko-toko rata-rata baru buka jam 9 atau jam 10 an. Pagi hari, jadi bingung sendiri, mengunjungi beberapa tempat, rata-rata juga masih tutup. Kami sudah memutuskan untuk berbelanja semua titipan dulu, maklum kan ya, orang jauh kalau sudah datang ke kota, banyak titipan..

Jauh-jauh hari sebelum berangkat, teman-teman saya yang asli Jawa sudah wanti-wanti, 
"pokok'e Mbak ojo ketoen wong Kalimantan. Opo-opo kuwi mesti nawar, kudu wani banting harga", 
-pokoknya Mbak jangan kelihatan kalau dari Kalimantan. Apa-apa itu mesti ditawar, harus berani banting harga- Haha, dan ini ternyata yang membuat proses berbelanja jadi sedikit lebih lama dan melelahkan. 
Di Kalimantan, bukan berarti orangnya kaya-kaya ya, tapi seringkali apa yang kita butuhkan sulit didapat. Di tempat saya, orang tidak akan mempermasalahkan harga, selama barangnya ada, biasanya akan di beli. Yang jadi masalah, biasanya barang-barang kebutuhan sulit, tidak ada. Jadi di tempat saya, gak terbiasa nawar-nawar harga sampe segitunya, ada barang, tanya berapa harganya, bisa kurang apa gak, sekali nawar gak dapat, ya sudah, kalau kita memang butuh, oke, bungkus, angkut. 

Akhirnya urusan belanja-belenji ini selesai jam 11 siang. Selanjutnya, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan mobil sewaan, sampai di tempat tujuan pertama, Candi Borobudur, hujan deras melanda. Setiap orang yang saya tanya mengatakan, ini hujan berkah, hujan pertama setelah lama tidak hujan.

Tadinya kalau sesuai rencana, kami bisa lanjut seusai dzuhur, dan mencari kuliner yang enak. Berhubung terjebak hujan deras, dan kami masih di pelataran, belum sampai masuk, daripada kelamaan, akhirnya memutuskan makan mie instan di warung terdekat. Tapi, sampai jam dua kurang, hujan tidak juga berhenti, kami akhirnya memutuskan untuk tetap masuk (sudah jauh-jauh kan ya?), sewa payung, dan ujug-ujug keluar sudah lepas ashar. Mana saya tahu, kalau ternyata, di jalan pulang, berderet penjual oleh-oleh. Meskipun kami sudah saling sikut-menyikut, "pandangan tetep lurus ke depan ya,", eh ada saja salah satu dari kami gantian terjebak untuk lihat-lihat. Padahal yang di beli gak seberapa dibanding yang dilihat.

Hujan masih berlanjut, hari semakin senja. Rata-rata tempat wisata sudah akan tutup, tapi saya masih memaksakan diri, sudah gak papa kalau tutup, tempatnya dilewatin saja, yang penting tahu itu tempatnya. Perjalanan dilanjutkan hanya berkeliling jalanan sampai hampir jam sembilan malam. Perasaan saya sudah tidak karuan, mual, mungkin karena makan makanan yang seadanya, ditambah kedinginan karena kehujanan, jadi sepanjang perjalanan saya tidak terlalu berselera memotret. Lagi pula apa yang hendak dipotret? hari semakin gelap. 

Sebelum sampai di hotel, kami bertanya kuliner mana yang enak pada supir yang membawa kami. Diskripsi Pak Supir sepertinya enak, lezat dan khas sekali, jadi saya mengiyakan. Ternyata, itu makanan mihun yang direbus bercampur telur bebek dan ayam kampung. Dalam hati saya berfikir, "oalah..mie lagi... , selera Om Supir ini mah", haha.

Rencana Allah yang lebih cantik terjadi keesokan harinya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Solo, semua barang titipan yang sudah dibeli sudah di packing dan siap di kirim. Satu kardus besar yang lumayanlah kalau dibawa-bawa. Kalau sudah di kirim barang yang harus saya bawa jadi tidak terlalu banyak dan lebih ringkas. Hari itu hari ahad, dengan menggunakan becak, saya mencari tempat pengiriman, dan yuhuu... tempat pengiriman yang saya cari tutup. Berkeliling cari yang lain, tutup juga. Aneh sekali kota ini, di kota sebesar ini, tutup. Ya sudahlah, karena tiket kereta sudah dibeli, dan kereta akan berangkat sekitar setengah jam lagi, saya kembali ke hotel mengambil barang bawaan yang cukup memenuhi becak yang saya tumpangi.

Di tengah perjalanan menuju stasiun, hujan tiba-tiba datang dengan sangat derasnya. Pernah kan, merasakan hujan tiba-tiba melintas tanpa tanda-tanda?. Dan, becak yang saya tumpangi tidak membawa plastik penutup hujan, belum siap katanya. Bingung antara mau berhenti atau lanjut. Tapi daripada saya harus bingung lagi karena ketinggalan kereta dan menunggu jadwal beikutnya. Sudah kepalang basah, ya sudahlah lanjut saja. Dan apakah yang terjadi? saya basah kusup, termasuk sebagian barang-barang yang saya bawa, yang sudah mirip seperti orang mau mudik saja. Saya tidak punya banyak waktu berfikir, kereta sudah mau berangkat. Sampai di dalam kereta, teman sebangku saya, dengan ekspresi terheran-heran menatap saya,

"Mbak, bener naik kereta ini? gerbong nomor dua kan?"

"Iya, bener", saya langsung buru-buru cari tiket kereta. Haduh jangan sampai salah masuk kereta lagi, bisa apes dua kali. 

"Coba dilihat, bener gak nama keretanya. Ini kereta mau ke Solo lho Mbak.."

"Iya udah bener, saya memang mau ke Solo",

"Oh, saya kira Mbak mau pergi jauh, ke Surabaya atau kemana gitu. Soalnya barang Mbak kok banyak banget..",

"Hahaha...", saya hanya tertawa dalam hati, menertawakan hari yang paling bersejarah ini. Kehujanan lagi, dua hari berturut-turut di Jogja kehujanan terus, kali ini basah kusup pula, kedinginan. Oh Allah, cuma pengen jalan-jalan doang nih, saya sudah move on dari yang dulu-dulu, masak masih gak dikasih kemudahan juga? 

Saat Allah berkehendak terhadap sesuatu yang akan terjadi pada diri kita, seluruh makhluknya, penghuni langit dan bumi akan bertasbih, memudahkan jalan agar kita dapat meraihnya. Sebaliknya, saat Allah tidak berkehendak itu terjadi, seluruh makhluknya, penghuni langit dan bumi, tidak ada yang kuasa memberikan kemudahan jalan. Meski kita benar-benar menginginkannya, benar-benar mengharapkannya, jalan menuju ke sana akan terasa terjal, curam dan sulit.

Jadi, dari Jogja dapat apa? gak dapat banyak, hasil fotonya gak ada yang bagus. Kulinernya gak dapat, jalan-jalannya kenyang angin saja. Tapi soal foto, lumayanlah foto-foto yang koleksi pribadi sebagian ada yang bagus. Bolehlah, buat pembuktian kalau honeymoonnya lancar jaya, gak ngenes-ngenes amat. *pencitraan 

Tapi, dari Jogja, saya bertemu beberapa sahabat lama, ada sebagian yang benar-benar tidak saya kenali karena itu pertemuan pertama saya, tetapi mereka mengenali saya, menyalami saya dengan erat,

"Mbak, aku selalu ikutin blog Mbak...isinya menginspirasi."

Bahkan di Solo, saya bertemu seseorang yang baru saja saya kenal di hari itu *hayuk,,siapa yo namanya? haha...rahasia ah, yang pada akhirnya mengantar kepulangan saya sampai di bandara Jogja,

"Ini Nurin ya, Nurin Ainistikmalia kan ya kalau gak salah"

"Iya Mbak,"

"Aku baca lho isi blognya...seru-seru ya..."

Di Solo, saya bertemu lebih banyak orang, yang mana, sebagian besar saya tidak ingat siapa namanya, tetapi biasanya mereka mengingat saya, mengingat nama saya. Maaf kalau saya keseringan bertanya, "Ayuklah beritahu saya, belum tentu setiap tahun kita bisa bertemu...", dengan sedikit gombalan maut. Sulit bagi saya, kalau harus menyisihkan waktu berjam-jam untuk berfikir keras mengingat nama-nama orang dengan jumlah sebanyak itu. *alesyan...

Diantara yang bertemu saya itu, di hotel, di dalam bus antara Paragon-Sunan, di tempat acara,
"Rin, aku silent readermu lho..."

"Mbak, aku selalu baca... aku ngikutin.."

Terakhir, alhamdulillah, saya masih menemukan satu foto yang bagus nih untuk pencitraan, #penting. Sebagai bukti, saya pernah juga bertandang ke sana. 

Jadi, rencana Allah yang cantik itu berakhir di blog ini. Blog yang saya rencanakan akan saya tutup ini, sebulan terakhir bahkan blog ini sudah tidak bisa diakses lagi. Blog ini saya buka kembali, dan saya seriusin *Serius!, dengan ganti alamat menjadi: www.istikmalia.com. Saya fikir, ada baiknya jika ini masih bermanfaat, tetap saya pertahankan. Hitung-hitung sebagai tabungan amal jariyah jika saya sudah tiada lagi. Saya sangat berterimakasih pada orang-orang yang saya temui di hari itu. Terimakasih telah turut membawa perubahan pada apa yang hendak saya lakukan. Semoga menjadi kebaikan.

Tentang nama, sejak dulu nama saya dibilang unik (aslinya sih suka dibilang nama yang aneh, hihi), saya sering mendapat pertanyaan, itu dari bahasa sanskerta ya? atau dibilang mirip banget ya sama bidang pekerjaannya, bau-bau statistik gitu..*ea..^^. Tapi kemudian, saya bersyukur, dengan keunikan atau keanehan ya? :nama saya jadi mudah diingat dan dikenali. 

Nama saya berasal dari bahasa arab. Istikmalia pemberian dari bapak, tambahannya dari ibu, jadinya Nurin Ainistikmalia. Waktu saya SD, Bapak suka diam-diam menulis di buku saya: Buku ini milik Istikmalia. Waktu masih kecil saja, Bapak dan Ibu masih suka nanya, kamu suka nama Istikmalia atau Nurin Ainistikmalia? anak kecil ditanya, saya sih waktu itu pilih yang paling panjang, karena menurut saya nama itu semakin panjang semakin keren. "Nah tuh, anaknya aja suka kok", biasanya ibu bakalan merasa menang kalau sudah dengar saya memilih nama pemberian ibu. Jadi, kedua namanya saya gunakan. Karena kedua nama tersebut memiliki makna dan pengharapan yang baik.

Mudah-mudahan ke depan blog ini bisa membawa banyak manfaat untuk yang membaca. Amin.

Apa yang terbaik menurut kita belum tentu itu yang benar-benar terbaik menurut Allah. Penting sekali mengikut sertakan Allah dalam setiap urusan. Agar kita tidak terlalu kecewa jika tak bersesuaian, dan agar Allah memudahkan, melapangkan setiap urusan yang ingin kita wujudkan.

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



6 komentar

  1. Tetap semangat berbagi melalui tulisan dengan ngeblog ^^

    ReplyDelete
  2. Jleb banget ini, mba. Jadi inget tadi sore kecewa berat sama suatu hal, sampai curhat ke temen2, meski udah cerita tetap ada rasa gimana gitu. pengin sesuai harapan ternyata Allah kasih yang lain. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seringkali kita baru bisa mengambil hikmah setelah jatuh bangun diberi ujian. Tetep semangat y Mbak Ila...

      Delete
  3. Hehe... Tulisan Nurin ini sungguh menginspirasi... Suka baca blog nya.. 😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yah, Teh Isti nyampek juga ke sini. Maluuuu ... 🙈

      Delete