Review

-103- Celoteh Tentang Love & Life Undercover

Friday, February 15, 2013

i

Bismillahirrohmanirrohim,

Setelah saya menerima satu buah paket buku dari Mbak Nimas dan menamatkannya dalam sekali duduk, hal pertama yang saya tanyakan padanya adalah: 
"Penulisan buku ini sudah lama ya?"
"2011 Dek..." 
Saya merasa perlu bertanya tentang itu padanya, sebab menurut saya akhir-akhir ini kualitas tulisan Mbak Nimas sepanjang saya mengikutinya, telah melesat menjadi jauh lebih baik. Tetapi, mengingat latar belakang kejadian yang mendasari penulisan buku ini di tahun 2011 itu, meyakinkan saya bahwa untuk menghasilkan sebuah karya yang baik adalah dengan 'menderita'. Itu juga yang dikatakan Pak Dahlan saat meluncurkan sekuel novel 'Surat Dahlan', Minggu, 10 Februari lalu. 
 "Khrisna bisa menulis novel hebat karena dia tidak punya uang. Ketika novel pertama laris dan ada kemungkinan dia akan punya banyak uang, saya meminta kepada penerbit jangan beri honor dulu. Supaya dia menderita dan bisa membuat buku bagus lagi", ujar Pak Dahlan tentang Khrisna, sang penulis Novelnya.
Begitulah, perlu menderita. Mudahnya, untuk menghasilkan sesuatu yang cetar membahana badai, kita memang perlu 'menderita'.  Dan buku ini, adalah salah satu karya Mbak Nimas yang terpampang nyata hasil dari menderita itu. :)


Tentang Mbak Nimas sendiri, alhamdulillah setelah sekian tahun berlalu, kami bertatap muka kembali di tahun 2011. Saat itu, kami berkesempatan bersilaturrohim ke Kediri, kediaman Mbak Nimas (sepupu satu kali saya) menghadiri sebuah acara keluarga. Kala itu, saya tidak menaruh curiga sedikitpun, sampai saat sesi pemotretan, saat masing-masing pasangan berpose membawa serta keluarganya, saya hanya melihat Mbak Nimas bersama Zahra anaknya. Waktu itu, saya hanya membatin saja, pun tidak bertanya, sebab masing-masing sedang sibuk dengan acara dan keluarganya masing-masing. Di perjalanan pulang, barulah saya mengetahui status Mbak Ririn (nama asli Mbak Nimas).

Selanjutnya, persahabatan kami makin intens. Maklum, usia yang terpaut agak jauh dan kediaman Mbak Nimas yang berjarak dari kediaman Mbah di Nganjuk, membuat saat kecil dulu kami tidak terlalu dekat. Mungkin juga, waktu saya belajar di PP Masyithoh Mojokerto semasa SD, saya kira Mbak Nimas waktu itu juga tengah nyantri di Paciran.
"Saya tidak pernah menyangka Mbak berani mengungkapkan semua ini dalam sebuah buku"
Berani. Begitulah, ungkapan yang pantas saya sampaikan pada Mbak Nimas, penulis buku ini. Alasan pertama yang membuat saya sangat mengapresiasi karyanya ini, adalah karena keberaniannya. Menyatakan diri sebagai seorang janda, lalu dibaca dan diketahui oleh banyak orang seluruh Indonesia, bagi saya hampir sama dengan seorang wanita berumur yang tak kunjung menikah lalu sesumbar tentang curahan hatinya kepada khalayak atau sama halnya dengan pasangan yang berpuluh-puluh tahun belum dikaruniai anak kemudian bersedia berbagi. Hal demikian, tentu membutuhkan keberanian yang sangat besar. Sedangkan, seringkali pada umumnya, seseorang cenderung tertutup, dan tak bersedia berbagi, apalagi jika itu, menyangkut masa lalunya.

Ketika saya terpikir untuk menulis buku ini, saya sadar saya akan mengungkapkan hampir dari semua yang saya sembuyikan selama ini. Tak apa bagi saya. Mungkin ini saatnya keluar dari tempurung kelapa yang membelenggu saya, dan bicara pada dunia tentang siapa saya. Bagaimanapun orang akan menilai, entah positif ataupun negatif, sama sekali tidak akan mampu saya bendung... (Sisi Biru, Hal: 109)

Buku ini, seperti yang saya duga, tak sepenuhnya berisi curhat tentang kondisi dan pengalaman Mbak Nimas sendiri. Tentunya, tujuan buku ini juga bukanlah untuk sesumbar aib, kesedihan ataupun air mata belaka. Saya percaya, Mbak Nimas telah cukup bijak memilah apa saja yang pantas untuk ditularkan, dan apa saja yang harus ditutupi. Bagaimanapun, ia tetap harus menjaga norma, dan tentu saja nama baik, dari siapapun yang pernah bersinggungan dengannya. Terutama tentunya, dengan ayah Zahra. Saya juga yakin, bahwa mereka, bagaimanapun bentuknya, juga memiliki kenangan-kenangan manis dan indah tentang pernikahan.
Betapa tampan dan cantiknya mengenakan busana pengantin elok yang gemerlap menyilaukan pandang. Semua mata akan tertuju pada mereka seolah mereka adalah Rama Wijaya dan Dewi Sinta yang baru saja direbut kembali dari cengkeraman tangan Rahwana. Pesta yang meriah bertabur makanan lezat beraneka ragam, janur kuning yang melengkung menghiasi singgasana yang telah siap untuk diduduki sang pengantin, serta alunan musik bertema cinta turut meramaikan suasana. Sinar mata penuh cinta berbaur senyum bahagia senantiasa mengembang menyambut ucapan selamat dari kerabat dan para sahabat. (Mawar Hitam Pernikahan, hal: 22)
Sebaliknya, Mbak Nimas sendiri lebih banyak membagikan tentang kekuatan, bangkit dari keterpurukan, dan terus hidup dibawah tekanan, cacian, gunjingan dan kenyataan yang jauh dari harapan. Dan semua itu, tergambar pada sesosok makhluk kuat yang bernama wanita.
Menjadi janda adalah bayangan menakutkan bagi seorang wanita. Tapi bagaimana ketika kenyataan memaksa wanita harus memilih antara menjadi janda ataukah tidak?.
Kadang, saya berfikir, kemana perginya cinta saat dua orang yang awalnya saling mencinta, bahkan berjanji bersama selamanya harus mengakhiri hubungan mereka di Pengadilan Agama. Saya pun bertanya pada diri saya sendiri, kemana cinta saya saat saya memutuskan untuk memilih menjadi janda?
Bagaimana dengan cinta? kemanakah menguapnya rasa cinta? Cinta, sebenarnya dia tidak kemana-kemana. Cinta itu tetap ada di dalam hati. Namun kesadaran bahwa cinta saja tidak mampu membendung kuatnya perbedaan membuat cinta seolah tenggelam di dasar jurang. Cinta yang semula sebuah rasa putih itupun menjadi kelam tertutup oleh debu konflik yang beterbangan dan kehilangan warna pelanginya.  (Ketika Janda Menjadi Pilihan, hal: 45)
Saat Mbak Nimas berceloteh tentang cinta, saya pun turut gemetar. Tak ada seorangpun yang menginginkan prahara dalam rumah tangganya, meski setiap pernikahan tak akan pernah bebas dari pertengkaran. Dan tak ada seorang wanita pun yang menginginkan cintanya beterbangan dan kehilangan warna pelanginya. Saya kemudian turut membayangkan kemelut batin Mbak Nimas yang bahkan masih terus bertanya, "bagaimana dengan cinta? kemana cinta saya?", lalu menjawabnya sendiri dengan mengatakan "Cinta tidak kemana-kemana. Cinta itu tetap ada di dalam hati", bagi saya, itu berat sekali. 
Analoginya, tak seorangpun ingin hidupnya miskin. Tapi bukan berarti orang yang miskin adalah orang yang tidak mau bekerja. Begitu banyak pekerja  keras yang hidupnya tetap pas-pasan.
Begitupun dengan janda. Tidak ada seorang wanita pun yang menginginkan memperoleh 'kesempatan' mendapat predikat janda dalam hidupnya. Tetapi bukan berarti mereka tidak berusaha mempertahankan keluarganya sebelum mereka mendapatkan selembar akta cerai. 
Ibarat mimpi buruk, tak ada seorang wanitapun yang menginginkan menjadi janda sebagai bagian dari episode hidupnya. Tapi bukankah kita tak pernah bisa memesan mimpin indah seperti apa yang kita ingin Tuhan kirimkan nanti malam? hal:56. 
Bahasa sederhana yang digunakan Mbak Nimas, bercampur dengan kiasan-kiasan indah nan puitis khas gaya penulisnya membuat buku ini tidak membosankan saat dibaca. Cara Mbak Nimas bertutur, dengan banyak kiasan, perumpamaan dan kisah-kisah nyata adalah apresiasi kedua yang dapat saya berikan untuk buku ini. Dengan berkisah, selain lebih mudah dimengerti dan sampai kepada pembaca, juga lebih memudahkan bagi penulis untuk menyelipkan 'kisah'nya sendiri. Mbak Nimas banyak berkisah tentang kemelut rumah tangga si A, si B, si C dan lainnya. Bagi saya, hal demikian sangat bijak, sebab kebanyakan pembaca seperti saya membutuhkan hikmah dalam kisah, dan bukan ingin mengetahui siapa, dimana, dan kapan peristiwa itu terjadi. Pembaca juga tidak perlu dibubuhi bumbu-bumbu tidak sedap dengan mengisahkan kisah penulis secara gamblang dan terang-terangan. Untuk itu, setelah mengungkapkan perasaannya sendiri, Mbak Nimas acapkali membelokkannya dengan bertutur tentang kisah nyata kehidupan orang lain. Tentu saja, sekali lagi, dengan tetap menjaga adab dan nama baik dari semua pelaku dalam kisah tersebut.
"I still wanna be with you, honey"
Ah, alangkah indah dunia terasa jika saja pada detik-detik akhir itu suami atau isteri yang masih dicintai tiba-tiba mengucapkan kata itu untuk rujuk kembali.
(Pengadilan Agama Laksana Surga, hal:58)
Begitulah, nanar rasa yang Mbak Nimas ungkapkan saat berada di Pengadilan Agama. Apresiasi ketiga untuk buku ini adalah karena buku ini ditulis oleh seorang yang telah mengalami, bukan orang luar yang sekedar menerka-nerka atau pihak pengamat, maka seluruh tumpahan rasa yang ditumpahkan menjadi benar-benar menggigit dan terasa. Bagi saya, pada bab 'Pengadilan Agama Laksana Surga' memberi saya kesan tersendiri tentang bagaimana memahami perasaan orang-orang yang berada di dalamnya untuk mengurus perceraian.
Setelah saya mendaftarkan perceraian saya, saya diberi sebuah kertas yang berisi jadwal sidang pertama saya. Jari-jari saya gemetar menerimanya. Rasanya antara percaya dan tidak akhirnya saya harus bercerai... (Hal: 60)
Selanjutnya, Mbak Nimas lantas berkisah bagaimana menjadi janda 'heroik' yang harus segera bangkit, terutama untuk mencari nafkah menyambung hidup dan membesarkan anak. Seperti yang tertulis di cover belakang buku ini, melalui buku ini, Mbak Nimas ingin mengajak pembaca berpikir proporsional menyikapi eksistensi janda. Bahkan akan mengapresiasi, karena seringkali seorang janda justru telah menorehkan sisi perjuangan hidup yang mengagumkan. Penulis juga ingin memberikan wacana kepada pembaca bahwa janda bukanlah wanita kelas dua seperti yang selama ini akrab dalam pola pikir masyarakat. Meski pada kenyataannya janda mendapatkan posisi sebagai 'terdakwa' dalam banyak persepsi, sejatinya status janda tidak berbeda dengan status bukan janda. Jika ada wanita bukan janda yang baik, maka ada juga janda yang baik. Demikian juga sebaliknya. 
Mbak Nimas (jilbab hitam) saat menyampaikan materi di acara Perempuan Menulis, Pena Ananda Club, Tulungagung. Sumber: http://lovelifeundercover.wordpress.com
“Saya berani dan bangga mengatakan kalau saya adalah janda. Bukan karena saya tidak ingin menikah dan memiliki keluarga, tapi saya ingin masyarakat tahu bagaimana perasaan dan kehidupan perempuan akibat stigma yang diberikan kepada seorang janda. Kita tidak menutup mata ada janda yang memang melakukan hal negatif, tapi mengapa harus disamaratakan?” ungkapnya yang membungkus gusar dengan kebahagiaan. 
Judul: Love & LIFE UNDERCOVER: Curahan Hati Seorang Janda Tentang Cinta, Pernikahan dan Makna Kehidupan.
Penulis: Nimas Kinanthi
Tebal: 183 hlm
Cetakan: Ke-1, Desember 2012
ISBN: 978-602-7645-03-5
Harga buku: Rp 37.500,-

Akhir kata, hari ini saya ingin berbagi, dan membagikan kisah tentang buku ini. Saya merekomendasikan buku ini, dan berharap banyak perempuan-perempuan lain yang mendapatkan manfaat dari kehadiran buku ini. 

“Love & Life Undercover. Ditulis dengan agak sedikit ‘meledak-ledak’, dengan gaya bercerita yang sederhana, langsung, dan ‘tumpah’. Tidak banyak orang yang mau membuka lembaran masa lalunya, apalagi jika menyangkut hati dan perasaan. Tetapi Mbak Nimas Kinanthi mau berbagi itu semua dan mengisahkan perasaan pahit, manis, lika-liku menjadi seorang janda, saya rasa itu sungguh ‘luar biasa’ dan patut diapresiasi.” (Nurin Ainistikmalia, PNS di Badan Pusat Statistik Kab. Tana Tidung, Kalimantan Utara)
[Testimoni saya yang dimuat di: http://lovelifeundercover.wordpress.com.]

Wallohu a'lam bish showab. 

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. suka kutipan kalimat ini>> "Begitulah, perlu menderita. Mudahnya, untuk menghasilkan sesuatu yang cetar membahana badai, kita memang perlu 'menderita'. "

    betewe...asiknyaaa dapet kiriman buku :)

    ReplyDelete
  2. @Ina Rakhmawati sama-sama Mbak Ina, iya, itu buku memang sudah dijanjiin. Ayuk Mbak ikut beli bukunya,,,:)

    ReplyDelete