![]() |
![]() |
Gambar diambil dari: Sini |
Bismillahirrohmanirrohim,
Setiap orang pernah bersedih, pernah menangis, saya juga. Dan, di sela-sela tangisan saya itu, saya tak pernah menyangka, Kak akan menepuk pundak saya, dan berkata:
"Sudah, makan dulu sana... ada mie ayam spesial tuh!"
Haha ... gak lah ya ... waktu itu saya menangis cuma gara-gara buku. Buku-buku saya -waktu itu berjumlah ratusan- terserak begitu saja dilantai, tanpa rak. Sebelumnya, kami memang mendapatkan pinjaman rak, dan saat itu sang pemilik mengambil kembali raknya. Bagi saya, itu hal yang sangat menyedihkan (halah, lebay).
"Sudah, tenang saja, nanti saya buatkan lemari buku untukmu... ", inilah kalimat yang Kak ucapkan pada saya waktu itu.
Tidak berapa lama, Kak benar-benar membeli beberapa kayu, dan membuatkan sebuah lemari buku, untuk saya, ehm, itu romantis sekali, (meskipun saya tidak pernah berhenti menagih kapan lemari buku saya jadi, rasanya laaaama sekali, maklum tukang kayu dadakan ^^ ).
Tin ... tin ... tin … tin … “Sialan!”,
seorang supir bus kota mendengus kesal sembari mengelap keringat yang terus
mengucur di dahinya.
“Jakarta ini kota
besar. Saking besarnya sampai-sampai tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Lihat! Masalah macet saja tidak rampung-rampung. Sama itu, kalau kamu punya
badan gendut, susah ngurusnya, ya toh?”
“Iya Pak, tapi tinggal
di kota besar seperti ini lebih enak Pak, apa-apa serba ada. Lah, kalau tinggal
di kampung, apalagi seperti di kampung saya, ampun deh Pak, listrik aja belum
masuk”. Dua orang penumpang angkot sedang begitu serius memperbincangkan Jakarta,
sambil terus menutup hidung, menghindari bau Ciliwung yang menyengat.
Bismillahirrohmanirrohim,
Melanjutkan postingan sebelumnya.
Setiap ingin menulis, selain writer'sblock, seringkali saya menunda melakukannya karena memikirkan banyak hal, seperti, apakah tulisan saya sudah cukup berguna atau hanya sekedar sampah? atau jangan-jangan saya menuliskan sesuatu yang saya pun belum dapat melakukannya, jangan-jangan kaburo maqtan. Atau, tulisan saya hanya berisi sesumbar tidak penting, penuh pamer tentang kesuksesan yang mana pembaca belum tentu suka, atau lebih dari itu, pembaca tidak mendapat manfaat apa-apa kecuali deheman panjang "oooh...". Atau kadangkala saya juga memikirkan tentang niat dibalik menulis, tetapi lebih sering, saya selalu menunggu menulis di saat kondisi hati dan fikiran saya sedang baik.
Bismillahirrohmanirrohim.
Pernahkah anda menyaksikan, seorang yang
berjalan di tengah derasnya hujan, sementara ditangannya, ia menggenggam sebuah
payung?
Atau melihat seorang lagi yang lebih
memilih berjalan menuntun motornya, sementara seharusnya ia sudah dapat sampai
di tempat tujuan dengan segera jika menaikinya?
Begitulah, secuplik gambaran kita
terhadap kitab suci yang kita miliki, Al-Quran. Dua perumpamaan tadi, seperti
dua orang bodoh yang membiarkan dirinya kesusahan, membiarkan dirinya berada
dalam kepayahan, sementara ia seharusnya dapat tertolong, sementara ia
seharusnya dapat terhindar dari hujan dan kelelahan. Seharusnya, kita tak perlu
kehujanan, seharusnya pula, kita tak perlu kelelahan. Tetapi sebagian besar
dari kita, kenyataannya, hanya seperti orang yang membawa Al-Quran, namun tak
memberi manfaat apapun bagi dirinya maupun bagi kehidupannya.
###
Sang Narapidana |
Bismillahirrohmanirrohim.
"Bunda..." suara parau Fifi saat memanggil saya di pagi hari saat ia bangun pagi, dan pelukan hangatnya sambil berucap "Fifi sayang Bunda... Fifi sayang Ayah..." menjadi hal yang paling saya rindukan saat saya meninggalkannya untuk bekerja. Ditengah-tengah kerinduan itu, saya akhirnya mengubrak-abrik isi kamera saya yang beberapa waktu terakhir tidak saya gunakan. Saya tertawa geli saat melihat begitu banyak jepretan Fifi. Anak-anak memang paling suka meniru. Fifi yang sering melihat saya memotret, jadi mulai ikut-ikutan ingin melakukan hal yang sama. Saya mengajarinya cara menyalakan kamera, memotret sederhana, dan cara melihat hasil foto. Ada beberapa yang terlihat eksotis -untuk anak seusianya-, ada beberapa yang kabur, dan ada juga beberapa yang lucu. Kali ini saya memilih beberapa foto yang menurut saya mampu bercerita dengan baik.
Mari Pulang ... Marilah Pulang... Marilah Pulang, Bersama-sama... |
Saat melihat foto para bebek ini, saya tersenyum geli. Fifi sampai harus setengah berlari untuk menyamai kecepatan langkah sekawanan bebek ini.
Bismillahirrohmanirrohim.
Alhamdulillah, rasanya ingin sujud syukur, setelah lama sekali berjibaku dengan banyak pekerjaan kantor -yang tidak berkesudahan-, akhirnya saya bisa kembali menulis di blog ini. Seperti yang sudah-sudah, terlalu lama tidak ngeblog, membuat saya kikuk dan mati ide. Karena itu, iseng saya BW dan akhirnya menemukan sebuah blog yang sepertinya sedang heboh mengadakan GA, kesenengan lah saya ceritanya. Sebenarnya, saya sedang ngantuk berat, tetapi setelah menimbang dan seterusnya, memikirkan dan seterusnya, akhirnya saya memutuskan untuk menulis saja. Lagipula, menulis itu sudah menjadi bagian dari hidup saya, jadi ya... kalau lama tidak menulis, apalagi saya sudah lama tidak ngeblog, itu rasanya seperti seharian belum makan -bukan karena puasa lho ya-. Seperti ada bagian tubuh saya entah itu tangan, akal, otak atau entahlah bagian yang mana yang sepertinya terlalu lapar untuk menulis. Nah, karena tema GA ini menarik di hati, terutama hadiahnya, saya paling suka dengan hadiah buku-buku. Bersemangatlah saya untuk pada akhirnya membuat artikel, apalagi sang pemilik GA ini bukan orang yang asing buat saya. Rencananya, saya mau sekalian memohon untuk dimenangkan di GA yang sedang diadakannya, sekalian kalau boleh milih hadiah bukunya. Top banget dah!
Suatu ketika, saya menemukan sepenggal tulisan saya -tidak banyak memang, kira-kira 1 paragraf- muncul dalam kalimat pembuka- sebuah buletin. Remuk, redam, hancur hati rasanya setelah mendengar sendiri dari penulis di buletin tersebut yang dengan jelas dan terang benderang mengaku bahwa kalimat-kalimat itu adalah hasil pemikirannya. Saya bahkan sempat bertanya berulangkali untuk memastikan, dan jawabannya tetap sama. Barangkali ada yang merasa heran, saya sampai sebegitunya. Jika hanya berupa tulisan biasa, saya mungkin tidak akan terlalu menggubris. Tetapi, tulisan tersebut adalah hasil perenungan ditambah bergadang semalaman, karena itu saya hafal betul bagaimana bentuk tulisan tersebut. Dan lagi, tulisan tersebut adalah sepenggal isi surat yang saya berikan kepada seorang kawan (yang notabenenya juga kawan sang penulis buletin) saat acara perpisahan kelas.
Bismillahirrohmanirrohim,
Nah, kali ini saya akan menuliskan resep masakan selera saya. -botok tahu tempe- ^^.
Makanan ini biasa dijadikan sebagai teman pendamping nasi saat makan, variasi tahu-tempe daripada hanya sekedar digoreng atau dicampur dengan sayur.
Bahan yang diperlukan:
1. 1 bungkus tahu
2. 1 bungkus tempe (kalau ingin rasa lebih enak, gunakan tempe yang agak busuk)
3. Kelapa muda parut 1 biji
4. Daun pisang sebagai pembungkus
5. Daun kemangi secukupnya (ambil daunnya)
6. Belimbing wuluh (iris horizontal)
7. Garam secukupnya
8. Gula putih secukupnya
[Lagi-lagi] saya menuliskan resep makanan khas Sulawesi Selatan. ^^
Ini tergolong kue yang cukup terkenal bagi masyarakat Sulsel dan sekitarnya, dan menjadi salah satu makanan kesukaan suami. Konon kue barongko ini pada zamannya termasuk kue mewah yang hanya disajikan untuk para raja-raja di acara tertentu. Beruntung, cara pembuatan kue ini termasuk sangat mudah dan praktis.
Bahan-bahan yang diperlukan:
1. Pisang kepok yang sudah masak 1 sisir
2. Santan kental 1/2 butir kelapa
3. Gula 1/2 kg
4. Telur 5 butir
5. Garam secukupnya
6. Daun pisang sebagai pembungkus
Cinta
-106- Perjalanan Cinta, Mengarungi Samudera Rumah Tangga
Tuesday, March 05, 2013 Beri komentar
Bismillahirrohmanirrohim. Dua dalam satu, begitu ungkapan sebagian orang untuk menyebutkan arti sebuah pernikahan. Namun pada hakikatnya, pernikahan tidak dapat dipandang hanya dengan kata 'melebur' atau 'menyatu', tetapi lebih tepat dinilai sebagai 'berpadu'. Seperti saat harus memadu madankan pakaian, tidak harus atasan dan bawahan berwarna senada. Atau menciptakan sebuah orkestra, tidak harus semuanya memainkan viola. Perbedaan, menjadi sebuah seni, menjadi sebuah keindahan, manakala dapat diramu dengan sempurna. Berpadu dalam laju, beriring untuk terus maju.
Isteri-isterimu adalah pakaian buatmu, dan engkau adalah pakaian buat mereka
Isteri-isterimu adalah pakaian buatmu, dan engkau adalah pakaian buat mereka
Ketika bersepakat lalu mengucap akad, seketika itu pula terdapat konsekuensi dimana masing-masing tidak lagi dapat memikirkan tentang dirinya saja, dimana masing-masing tidak dapat memprioritaskan 'ego' nya saja, atau hanya menuntut haknya saja. Sang laki-laki yang kemudian menjadi imam, adalah pakaian untuk isterinya. Sementara, sang wanita, dengan anggun dan cantiknya adalah pakaian untuk sang imam. Pakaian, dalam arti sebenarnya, adalah secarik kain yang melekat pada badan, berfungsi melindungi, menutupi, dan menghiasi. Maka, siapapun, dari keduanya, yang begitu senang membuka aib atau keburukan pasangan, adalah seperti menyingkapkan pakaiannya di hadapan khalayak, memalukan. Kemudian, siapapun, dari keduanya, yang begitu mudah mencela, menyalahkan dan menyakiti, adalah seperti seseorang yang menjatuhkan noda atau kotoran di atas pakaiannya sendiri, menjijikkan. Suami-isteri, seperti gambaran
manusia dengan pakaiannya. Selayaknya menyulam kekurangan jika suatu waktu
sebagian kainnya sobek, mencucinya saat pakaiannya kotor, menyetrika, merapikan
dan merawatnya. Pada kenyataannya, hal
demikian membawa sepasang suami-isteri untuk dapat saling menghargai,
menghormati, kemudian memuliakan pasangannya.
Bismillahirrohmanirrohim,
Ini resep yang sederhana sekali. Biasanya saya membuatnya saat butuh waktu memasak express, seperti saat sarapan misalnya. Atau saat sedang bosan telur ceplok/dadar, cocok juga buat anak kost.
1. Bawang merah 2 siung
2. Bawang putih 1 siung
3. Lombok besar 1 buah (bisa ditambah jika menyukai 'pedas')
4. Tomat 2 buah
![]() |
Sumber gambar: http://www.soniazone.wordpress.com/ |
Bismillahirrohmanirrohim.
Bersosialisasi merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai makhluk sosial. Apalagi, ketika kita hidup bertetangga. Tetangga-tetangga kami, rata-rata pegawai. Bertemu pagi saat hendak berangkat ke kantor, bertemu sebentar siang saat makan siang, bertemu sore sepulang dari kantor. Butuh waktu beberapa hari untuk sekedar saling sapa, maklum, di pagi hari, masing-masing bergegas berangkat ke kantor, sore hari, masing-masing sudah sama-sama lelah. Hari libur, biasanya setiap keluarga memiliki acara sendiri-sendiri. Lagipula, kebanyakan tetangga adalah pendatang dari kabupaten lain, di hari libur, biasanya mereka pulang ke rumahnya untuk berkumpul bersama keluarga.
Tetapi, dalam beberapa kesempatan, kamipun sempat berkenalan dan berbincang. Sebut saja ada Mbak Wati, Mbak Erna dan Mbak Santi. Kami semua, berstatus PNS dan sama-sama berstatus kontaktor (pengontrak rumah).
Ibu Wati sepanjang pengamatan saya, adalah ibu dengan satu orang anak berumur lima tahun. Setiap akhir pekan saya tidak pernah melihatnya berada di rumah.
Bismillahirrohmanirrohim,
Setelah saya menerima satu buah paket buku dari Mbak Nimas dan menamatkannya dalam sekali duduk, hal pertama yang saya tanyakan padanya adalah:
"Penulisan buku ini sudah lama ya?"
"2011 Dek..."
Saya merasa perlu bertanya tentang itu padanya, sebab menurut saya akhir-akhir ini kualitas tulisan Mbak Nimas sepanjang saya mengikutinya, telah melesat menjadi jauh lebih baik. Tetapi, mengingat latar belakang kejadian yang mendasari penulisan buku ini di tahun 2011 itu, meyakinkan saya bahwa untuk menghasilkan sebuah karya yang baik adalah dengan 'menderita'. Itu juga yang dikatakan Pak Dahlan saat meluncurkan sekuel novel 'Surat Dahlan', Minggu, 10 Februari lalu.
"Khrisna bisa menulis novel hebat karena dia tidak punya uang. Ketika novel pertama laris dan ada kemungkinan dia akan punya banyak uang, saya meminta kepada penerbit jangan beri honor dulu. Supaya dia menderita dan bisa membuat buku bagus lagi", ujar Pak Dahlan tentang Khrisna, sang penulis Novelnya.Begitulah, perlu menderita. Mudahnya, untuk menghasilkan sesuatu yang cetar membahana badai, kita memang perlu 'menderita'. Dan buku ini, adalah salah satu karya Mbak Nimas yang terpampang nyata hasil dari menderita itu. :)
Setelah
menikah, saya dan suami ditugaskan di BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten
Bulungan, Kalimantan Timur. Hal pertama yang cukup mengganggu adalah mencari
tempat hunian. Maklum, kala itu honor kami selama lima bulan belum dibayarkan.
Maka, dengan berbekal uang pinjaman, kami bersepakat mencari hunian sementara
dengan harga paling terjangkau. Setelah satu minggu berkeliling, pilihan kami
jatuh pada sebuah rumah couple panggung
terbuat dari kayu di pinggiran sungai Kayan. Meski terletak di dalam sebuah
gang sempit padat hunian, saya merasa senang bisa melihat hamparan indah sungai
Kayan setiap saat sampai puas, tempat ini juga pas untuk memenuhi hasrat hobi
Kak (suami saya) yang gemar memancing.
Sebagai orang baru, bersilaturrohim dengan tetangga
adalah hal wajib nomor satu yang harus kami lakukan. Tetangga sebelah saya yang
masih satu bangunan, adalah anak pemilik kontrakan. Sama seperti kami, mereka
adalah pasangan muda yang baru memiliki satu anak. Di depan rumah kami, adalah
tempat hunian sekaligus salon rias pengantin, di sebelah kanannya lagi saya
biasa menyebutnya ‘Ibu Dangdut’. Ibu Dangdut berasal dari Sulawesi ini suka
sekali memutar musik dangdut keras-keras, tidak peduli pagi-siang-sore-malam.
Sampai bludrek rasanya telinga. Apalagi, saat maghrib tiba. Saat adzan
berkumandang, eh, Ibu Dangdut malah asyik
berkarauke ria. Dan dibelakang
kami, seorang nenek tinggal bersama anak dan cucunya. Sang nenek adalah buruh
pencuci pakaian, anak laki-lakinya seorang pengangguran, sedang satu dari tiga
cucunya masih bersekolah.
![]() |
Rumah Bayang-bayang, Sungai Sesayap |
*** Sungai Terpanjang
Sungai
Sesayap yang membelah Tideng Pale sebagai ibukota Kabupaten Tana Tidung,
termasuk juga dalam kelompok sungai terpanjang dan terbesar di Kalimantan Timur
yang melintasi dua wilayah (kabupaten Malinau dan Tana Tidung).
Bismillahirrohmanirrohim.
What
a wonderful day!. Cuaca cerah, matahari naik sepenggalah.
After break off writing, I decided to
take my pocket camera and walked around the city. Menunggu pekerjaan selesai,
kemudian menulis, seperti menunggu waktu yang tepat untuk menggenggam angin.
Tak sampai-sampai, dan hanya ada dalam panjangnya angan-angan. Pekerjaan selalu
ada dan bertambah tiap waktu, ketika anda ingin mengerjakan ‘ini’ jika ‘itu’
selesai, itu hanya akan menambah daftar panjangnya penguluran waktu. Believe me, if you want to receive great
thing, you don’t need to wait too much in your spare time to begin it.
Waktu senggang atau
waktu kosong hanya akan membuat anda mengulur-ngulur kesempatan dan bersantai
dalam penundaan. Percayalah, jika kita memang membutuhkan kesibukan untuk
menyelesaikan semua pekerjaan dan mimpi. Tentu, kita pun sama-sama tahu, bahwa
para penulis buku-buku best seller
itu, bukanlah orang-orang yang memiliki banyak waktu bersantai. Mereka sibuk. Para CEO di
perusahaan-perusahaan terkemuka yang memiliki milyaran
pundi-pundi, juga bukanlah orang-orang yang memiliki banyak waktu
bersenang-senang, bahkan hanya untuk sekedar menikmati secangkir kopi di atas
balkon rumah. Mereka terburu-buru, mereka
sibuk. Para ilmuwan dan alim ulama’, yang seringkali kita jadikan objek
‘iri’ karena ketinggian ilmu dan keunggulan pekertinya, mereka juga sama.
Mereka sibuk. They are busy, we are busy
too.
Gemericik air menari di depan mataku. Kulihat semburat jingga hendak keluar menyembul, turut menyaksikan sebuah pertunjukan yang dihidupkan hujan siang ini. Jam menunjukkan pukul 11 lewat 35 menit. Persis sama dengan waktu ketika pertama kali kami sampai di Jakarta, dan berhujan-hujan ria menuju gerobak mie ayam di depan BRI. Hampir sama persis dengan waktu, ketika untuk pertama kalinya kami dapat bercengkerama dengan mesra di bawah putaran angin. “Aku suka sekali dengan hujan”, ucapku waktu itu. Dan benar saja, sesaat kemudian hujan menjadi sedemikian deras dan angin berputar dengan kencang.
Hujan kali ini juga
mengisyaratkan sesuatu,
Tentang rahasia alam yang mampu
mengubah lahar menjadi embun,
Tentang ‘kata kunci’ yang dapat merubah batu menjadi pasir,
Tentang aku, dia dan apa yang
telah terjadi antara kami,
Tentang setitik rasa yang mulai
bermitosis menjadi cinta,
“Jadi, mau berkelana?”
“Ya, asalkan …”, jawabku dengan tegas.
“Kamu ini wanita atau bukan sih?”, ia langsung menghentikan gerak lincah garpu, dan mendaratkannya dengan bebas, di atas kumpulan mie ayam yang tinggal separuh, sambil sedikit tertawa, renyah.
“Memangnya aku terlihat seperti kakek-kakek?”, aku merajuk.
“Setidaknya berpura-puralah malu. Seharusnya wanita seperti itu. Kamu ini lucu. Hmm… baiklah. Asalkan apa?”