Tabrakan maut yang merenggut sembilan nyawa dan beberapa korban luka-luka di Tugu Tani hari minggu, 22 Januari lalu mengingatkan saya betapa kematian tidaklah dapat disangka-sangka. Bahkan saat sedang berjalan kaki di jalur yang benar pun, siapa yang sangka bisa celaka. Batas usia adalah hal misterius yang memang tidak akan pernah bisa ditembus oleh siapapun. Kita bisa saja tiba-tiba meninggal dunia saat sedang makan, minum, tidur, duduk, berdiri, berjalan, berlari, tertawa atau saat sedang diam. Duhai alangkah ngerinya jika saat kita meregang nyawa kita tidak juga menunaikan janji untuk hidup bersama Al-Quran, untuk melafalkannya di setiap tarikan nafas, untuk menghafalkannya hingga terjaga di luar kepala, untuk mempelajarinya dan mengamalkannya di setiap langkah kehidupan.
“Ana ngerasa berat ukh, ana merasa terpaksa sekali setiap kali masuk kelas untuk menghafal, ana mau berhenti dulu, insyaalloh semester depan ana mau mulai lagi”. Seorang sahabat saya di kelas tahfidz ketika di Jakarta tiba-tiba mengundurkan diri di tengah perjalanan. Saya membujuknya berkali-kali dengan meyakinkan bahwa target dari ustadzah adalah sebagai bentuk motivasi untuk kita, jikapun kita belum cinta seratus persen pada Al-Quran, maka harus memaksakan diri untuk cinta. Walaupun terpaksa, lanjutkan saja dulu, lingkungan yang mendukung, komunitas yang mendukung, semuanya akan memaksa kita untuk cinta.

Seorang anak kecil diminta ibunya pergi berbelanja ke warung di sebelah rumah.
pemilik warung : "mau beli apa dek?"
anak : "saya disuruh mamak utang beras dua kilo sama minyak tanah 1 liter om..."
pemilik warung : sambil sibuk menyiapkan pesanan bertanya kembali, "ada lagi ndak?"
anak : "emmm...kata mamak kembaliannya kasih permen aja om..."
pemilik warung : ??????
Saya tertawa mendengar Kak menceritakan ini. Entah bagi yang membaca kisah ini versi tulisan saya bisa tertawa seperti saya atau tidak. Yang pasti sampai seharian, jika mengingat cerita ini saya jadi tertawa. Seperti biasa, Kak bisa saja membuat saya tertawa dengan caranya sendiri.
"Kak, sekali-kali belajar romantis dong...", seringkali saya mengatakan ini padanya saat ia melepaskan tangan saya saat saya menggenggam jemarinya.
"Yah lihat-lihat juga dong tempatnya, ini kan di pinggir jalan"
"Eh, tapi kita kan sudah halal"
Saya merindukan sahabat saya. Seorang sahabat dekat yang kini entah dimana keberadaannya. Bukan sebab karena saya tak punya no handphonenya atau tak tahu bagaimana cara menghubunginya, tapi saya enggan, enggan yang bercampur sedih, mengapa tidak Melati saja yang menghubungi saya. Apakah dia tidak merindukan saya? Ataukah saya telah terlupakan?. Hhhh…
Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil
akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan senantiasa mentaati
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab;
Bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara,
Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
Bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu
yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
Bahwa saya, akan bekerja dengan jujur,
tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara
Saya rasa pembantu yang paling dimuliakan itu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Lho, kok bisa?
Parenting
-27- Untuk Ibu-Ibuku, Sungguh, Aku Bangga Menjadi Anakmu...
Thursday, December 22, 2011 Beri komentar![]() |
Masa kecil bersama adik-adikku. Dari kiri kekanan: Aku, dek Milha, dek Jauhar, dek Nila |
Mendekati awal tahun, saya selalu deg-degan mengingat semakin bertambahnya tahun pernikahan saya. Tapi jika tidak diberi anugerah seperti ini, selamanya mungkin saya tidak pernah bisa merasakan bagaimana perasaan ibu saya dulu, saat berharap dengan cemas dari tahun ke tahun akan kelahiran seorang anak. Saya pun mungkin tidak bisa merasakan bagaimana kerasnya usaha dan perjuangan orangtua untuk bisa memiliki anak. Dan ternyata, subhanalloh seperti ini rasanya. Tidak seperti perempuan pada umumnya, ibu memang terlambat memiliki anak, entah ada hubungannya atau tidak, ternyata saya juga turut merasakan bagaimana rasanya berada dalam penantian dan ikhtiar. Hal ini membuat saya sadar akan arti seorang ibu, bagaimana perjuangannya, mulai dari usahanya mendapatkan saya, saat hamil, saat melahirkan, saat harus mendidik saya, menemani masa remaja saya, dan saat harus melepas saya ke jenjang pernikahan.
Quran
-26- 17 Motivasi Berinteraksi dengan Al-Quran Karya Abdul Azis Abdur Rauf, Al-Hafidz, Lc
Friday, December 16, 2011 Beri komentar
Jika Allah berkehendak apa yang mustahil bagi-Nya. Demikian pula dengan kehendak Allah atas diri manusia, tiada daya upaya yang mampu mengalahkannya. Yang terbayangkan ketika membaca judul di atas “berinteraksi” berarti terdapat hubungan timbal balik antara Al-qur’an dengan diri kita. Sederhananya, ketika melihatnya kita tertarik untuk membacanya, ketika membacanya kita tertarik untuk memahaminya, ketika memahaminya kita tertarik untuk mengamalkannya. Demikianlah ketika interaksi yang intens dibangun terhadap Al-qur’an semua perbuatan, pola pikir, dan semua aktivitas keseharian kita tidak akan lepas dari koridor yang ditentukan. Seperti bus trans jakarta yang tak keluar dari jalur yang ditentukan.
Membangun “interkasi” dengan Al-qur’an tidak cukup dengan “niat” saja, tapi berawal dari niat inilah semua amalan kita dihisap kelak. Jadi untuk membiarkan diri kita memulai dengan interaksi ini diperlukan niat, walalupun awalnya terpaksa lama-lama jadi terbiasa juga.
Membangun “interkasi” dengan Al-qur’an tidak cukup dengan “niat” saja, tapi berawal dari niat inilah semua amalan kita dihisap kelak. Jadi untuk membiarkan diri kita memulai dengan interaksi ini diperlukan niat, walalupun awalnya terpaksa lama-lama jadi terbiasa juga.
Saat saya hendak memasuki rumah, seorang perempuan dengan sepeda santai meluncur sampai tepat dihadapan saya. Mbak Nira (sebut saja demikian), dengan sedikit gugup bertanya apa saya punya waktu untuk menerimanya. Saya pun mempersilahkannya masuk dan berbincang di dalam. Setelah cukup lama berbasa-basi, saya melihat ada kegelisahan luarbiasa dari matanya. Benar saja, mata memang tidak bisa berdusta.
“Iya Mbak, saya memang lagi banyak pikiran, saya bingung juga bimbang,” Mbak Nira, sahabat baru saya yang usianya terpaut tiga tahun di atas saya, tampak tersenyum malu-malu dengan gamang.
“Ada apa Mbak, Mbak mau nikah ya?”
“Iya Mbak, saya memang sudah mau cepat-cepat nikah, sudah berumur juga, itulah masalahnya….. idiih…Mbak kok tahu aja….”, Mbak Nira menertawakan tebakan saya.
Suatu malam, Rahmat, anak tetangga kami yang baru saja duduk di kelas 1 Sekolah Dasar datang kerumah sembari membawa buku-buku pelajaran sekolahnya.
Rahmat : “Bu, Rahmat ada PR…banyaaaaaaak betul bu, wuih….”
Saya : “Coba dikeluarkan bukunya, ibu lihat dulu mana PR nya…”
Rahmat pun berusaha memberitahukan pekerjaan rumahnya pada saya. Ada tiga PR yang harus dikerjakannya di malam itu. PR Bahasa Indonesia, PR Matematika dan PR Penjaskes. Rahmat, termasuk anak yang belum terlalu terampil menulis dan membaca. Beban tugas menulis yang terlalu banyak membuatnya kewalahan, ditambah lagi Rahmat termasuk anak yang belum bisa mengontrol konsentrasinya. Baru selesai menulis satu huruf, ia lebih senang mengajak saya mengobrol atau bermain. Menulis satu baris saja bisa memakan waktu lebih dari 15 menit, butuh banyak kesabaran membimbingnya menulis jawaban dari soal-soal PR yang diberikan.
Di Jakarta, waktuku seringkali habis di jalan. Bagaimana tidak, Jakarta adalah kota macet yang parah. Lalu lintas disini seringkali tidak bersahabat. Kopaja yang ugal-ugalan, bus yang garang, kereta api yang penuh sesak dan lebih mirip tempat pemanggangan manusia. Disini, aku dipaksa untuk bisa berjalan dengan cepat, sigap dan tangkas. Bilamana kita ingin bepergian menggunakan bus, kadangkala kita harus berlari-lari kecil bahkan berlari cepat untuk mengejarnya. Bilamana kita bepergian menggunakan kopaja, kita harus bersiap dengan hati-hati saat melangkahkan kaki untuk turun, tidak ada supir kopaja yang benar-benar berhenti ketika menurunkan penumpang. Aku pernah hampir terpelanting saat melangkahkan kaki turun di awal-awal kenal dengan kopaja. Satu hal yang kuketahui setelah peristiwa itu adalah ‘gunakanlah kaki kiri terlebih dahulu ketika ingin turun dari kopaja yang sedang melaju’. Kereta api pun demikian, terlebih kereta api listrik ekonomi seharga 1000 rupiah, kita harus berjuang hebat untuk dapat masuk ke dalamnya dengan berdesak-desakan dan dorong-mendorong yang kuat. Sampai di dalam, kita masih harus berjuang menjaga barang bawaan, dan berjuang di tengah himpitan manusia, termasuk berjuang untuk mendapatkan udara serta memperhatikan secara seksama stasiun yang telah di lewati agar dapat berhenti di stasiun yang di tuju.
Ini adalah sepenggal pengalaman saya saat sedang tertatih belajar Al-Quran. Sungguh begitu banyak pelajaran dan hikmah dari petunjuk yang Alloh turunkan pada kita melalui satu kitab-Nya ini.
Sepulang PKL, setelah lama tidak menyetorkan hafalan, tiba saatnya bertemu dengan ustadzah Nelvi, alhamdulillah hafalanku sudah masuk juz 3 suroh Al-Baqoroh. Ustadzah Nelvi memintaku mengulang kembali dari juz 3 awal. Bagiku, bagian awal adalah bagian favorit karena sebagian besarnya adalah ayat kursi, ayat alquran yang selalu ku baca menjelang tidur, insyaalloh lancar, begitu batinku dalam hati….
Review
-20- Kisah Zaid bin Haritsah, Anak Luar Biasa Didikan Rosululloh
Tuesday, November 15, 2011 1 komentar
Saya mengenal Zaid, ketika saya membaca kisah cintanya dengan Zainab binti Jahsyi. Zainab, yang kemudian menjadi satu-satunya istri Rosululloh yang dipinang langsung oleh Alloh, semata-mata karena pinangan itu diabadikan dengan turunnya sebuah ayat yang memperbolehkan seorang ayah menikahi mantan istri dari anak angkatnya. Hanya itu saja, dan tidak lebih. Sabtu lalu, saya mendapatkan sebuah buku, oleh-oleh dari kak yang baru saja pulang dari Jakarta, dinas luar kota. Buku yang di beli seharga Rp 35.000 ini berjudul ‘Super Teacher Super Student, 7 Jalan Mukjizat Menciptakan Pendidikan Super’. Buku yang tidak terlalu tebal dengan nama pengarang Rina Novia yang juga baru pertama kali saya dengar adalah buku yang langsung menarik perhatian saya diantara puluhan buku yang kak beli. Salah satu bagian yang saya suka adalah kisah Zaid dan bagaimana pendidikan super ala Rosul telah menjadikan seorang Zaid bin Haritsah menjadi pemuda hebat di zamannya kala itu. Berikut saya kisahkan kembali sesuai kisah asli yang terdapat dalam buku. Mari bersama-sama kita petik pelajarannya….^_^.
****
Ini kisah tentang Ainiyah, bukan Aini yah.. Nur Aini apalagi Nurin Aini...:P.
Ainiyah, seorang perempuan yang memiliki dua mata yang indah. Kedua mata yang sejuk dipandang, menyenangkan saat di tatap, bersinar terang seperti rembulan, indah….benar-benar indah, itu saja yang dapat aku jelaskan tentang kedua matanya.
![]() |
Bintang Kelas |
![]() |
Pak Beye |
“Jadi bagaimana bagusnya kita menarik anggota? Apa seperti cara pak harto dengan menculik diam-diam? Atau cara pak Beye, pake acara panggil satu-satu ke Cikeas?”
Satu kalimat yang terlontar dari mulut seorang mahasiswi saat saya dan beberapa rekan mahasiswi Universitas Kalimantan Utara (Kaltara) berdialog tentang bagaimana memulai membangun kegiatan jurnalistik di kampus sore tadi, tak pelak berlanjut menjadi perbincangan semi serius kami berdua menjelang tidur. Kalau mengingat seloroh ide tentang bagaimana cara efektif merekrut anggota, sampai saya menuliskan ini pun, saya masih bisa tertawa dibuatnya.
***
Aku pernah menemui seorang responden yang belum 6 bulan ditinggal istrinya, dan kini telah beristri lagi. Untuk mendapatkan data kematian, ku ajukan pertanyaan,
Aku : “Pak, istri bapak kemarin meninggal bulan berapa?”, bapak yang ada dihadapanku termenung cukup lama. Agak tidak enak juga, aku takut menyinggung perasaannya.
Bapak: “kayaknya akhir tahun 2009 mbak”, jawab sang bapak sedikit ragu.
Tidak berapa lama kemudian, anak pertama sang bapak datang dan langsung menimpali. Anak: “gak mbak, udah masuk 2010, kan belum lama waktu bapak nikah…,”.
Aku: “Oh, waktu meninggal umurnya berapa ya pak?”
Bapak: “dek..dek.. tolong ambilkan kartu keluarga, lihatkan tanggal lahir mama, maaf ya mbak saya lupa …”,
Aku pernah menemui seorang responden yang belum 6 bulan ditinggal istrinya, dan kini telah beristri lagi. Untuk mendapatkan data kematian, ku ajukan pertanyaan,
Aku : “Pak, istri bapak kemarin meninggal bulan berapa?”, bapak yang ada dihadapanku termenung cukup lama. Agak tidak enak juga, aku takut menyinggung perasaannya.
Bapak: “kayaknya akhir tahun 2009 mbak”, jawab sang bapak sedikit ragu.
Tidak berapa lama kemudian, anak pertama sang bapak datang dan langsung menimpali. Anak: “gak mbak, udah masuk 2010, kan belum lama waktu bapak nikah…,”.
Aku: “Oh, waktu meninggal umurnya berapa ya pak?”
Bapak: “dek..dek.. tolong ambilkan kartu keluarga, lihatkan tanggal lahir mama, maaf ya mbak saya lupa …”,