Pukul dua pagi, saya meraba badan Alfath. Suhu tubuhnya meninggi. Kedua bayi kembar saya memang terbiasa bergantian menyusu sembari tidur. Mereka ada di kanan kiri saya, sehingga siapa pun dari mereka yang terbangun dan ingin menyusu, saya menjadi lebih mudah menggapainya.
Saya segera berinisiatif mengambil termometer, lamat saya ingat jika sebulan lalu suhu 38 sudah mampu membuatnya kejang dan tidak sadar diri. Kali ini, suhu panasnya pun mencapai ambang batas itu. Saya segera memberinya penurun panas, lalu melanjutkan proses menyusui untuk menenangkan dan memberinya rasa nyaman.
Selang kurang lebih satu jam, Alfath tiba-tiba terduduk dari tidur, dan "...byur ..." muntah begitu saja di atas kasur.
Panasnya semakin tinggi, muntahnya juga sudah lebih dari sekali. Sejak muntah pertama, saya segera menyampaikan kepada suami untuk lekas membawanya ke IGD, namun karena waktu mendekati Subuh, diputuskan untuk menunggu perkembangan keadaan.
Perasaan saya tidak menentu. Biasanya saya menjadi perempuan yang tahan di dalam situasi apa pun, tetapi kali ini rasanya pertahanan saya luluh.
Entah hendak menangisi apa, tapi rasa-rasanya saya belum siap menghadapi hal yang tak pasti. Mungkin saya lelah karena beberapa malam ini dan "malam kejadian tiba-tiba" ini tidak tidur. Mungkin juga saya terkejut karena bayi saya yang sangat ceria bahkan jelang tidurnya masih bercanda suka cita dengan saudaranya, mendadak dalam keadaan lemah, panas tinggi, muntah dan tangisannya yang menyayat hati.
Saya kemudian mendapati bahwa hati saya sedang tidak baik-baik saja menghadapi hari ini. 🥺
Saya melayangkan tanya pada Allah, "ya Rabb apalagi ini." Getir saya ingin tambahkan tanya tersebut dengan, "belum cukup ya Rabb dua bulan ini berjibaku dengan jarum infus, aroma rumah sakit, obat-obatan, dan harap cemas akan kesehatan bayi-bayi yang silih berganti terganggu."
Saya menangis saat menuliskan ini, saya lemah sekali, saya hamba, yang sedang menuturkan perasaan "tak kuasanya" pada Sang Mahakuasa.
Sungguh, tak kuasa saya menyaksikan putra kami berjuang kembali. Saya tak tega melihatnya sakit lagi.
Seusai Subuh pun, kami bersegera membawanya ke IGD. Beberapa kali Alfath masih muntah. Suhu tubuhnya juga sudah melebihi 39, hampir 40.
Tangisnya jangan ditanya, ia baru akan terdiam saat berada dalam posisi digendong saja.
Sebelum ini, sebulan terakhir saya masih kuat menemaninya berjuang hingga sebelas kali tusukan jarum. Kali ini getir sekali rasanya, "cukup Nak, cukup! Satu kali ini semoga yang terakhir."
Seperti ini mungkin perasaan yang dialami orang tua yang terus berjuang untuk kesehatan putra-putrinya. 🥺
Ya Rabb, sungguh saya tak memiliki kesiapan untuk menghadapi hal yang tak pasti, seperti hari ini. ðŸ˜
Rasanya ingin sekali menghambur ke pelukan ibu. 🥺
Sebuah ucapan doa yang mendarat melalui pesan singkat di gawai saya "semoga lekas pulih ya Mbak" menjadi oase yang menyejukkan, menguatkan di saat-saat seperti ini.
Ada banyak kenalan, ada banyak saudara di perantauan, ada banyak keluarga baru. Diantaranya ada yang dekat, ada yang peduli, ada yang empati. Sungguh keberadaan mereka dengan hanya menanyakan kabar dan mengetikkan doa sangat membantu.
Terima kasih untuk orang-orang baik. Terima kasih untuk yang dua bulan terakhir ini banyak membantu. Yang tanpa diminta datang menjenguk dan menemani.
Sungguh sangat berarti di saat saya membutuhkan teman sebagai penjaga pengganti. Juga kepada semua perawat dan dokter yang sangat tulus melayani. Saya bersaksi atas kebaikan kalian semua.
Saya menuliskan catatan ini sebagai pengingat, ditambah kalimat Teh Febi tadi pagi yang sungguh menyayat, "setiap yang terjadi itu adalah rezeki, syukuri karena kita tidak tahu peristiwa mana yang akan menjadi terakhir kali."
Sembari mengeluarkan semua isi hati, saya haturkan banyak pinta kepada Rabb semesta.
"Duhai Tuhan penggenggam setiap jiwa, jaga anak keturunan kami. Panjangkan usia mereka dalam ketaatan. Dekatkan mereka dengan yang halal. Jauhkan mereka dari yang haram. Sampaikan mereka kepada lingkungan baik yang memberikan limpahan cinta dan kasih sayang. Jadikan anak keturunan kami pewaris, penerus para Nabi. "
Ya Rabb, ampuni kami yang penuh dosa. Berikan kami kekuatan untuk senantiasa percaya dan husnuzan terhadap semua ketetapanMu.
Beri saya hati yang lapang dan kesiapan terhadap semua hal yang tak pasti dan tak mampu kami prediksi.
~
Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.
0 komentar