Cinta

Menjaga Keharmonisan Sepanjang Sepuluh Tahun Pernikahan

Sunday, January 27, 2019

Menjaga keharmonisan sepanjang sepuluh tahun pernikahan, atau bahkan hingga menua bersama, adalah sebuah dambaan dan tujuan setiap rumah tangga.

Bismillahirrahmanirrahim. 


Ada banyak yang mengatakan, bahwa cinta ialah satu-satunya sumber kebahagiaan yang dicari. 

Nyatanya cinta itu perlu, namun bukan satu-satunya faktor penentu. 😊

Cinta memiliki sifat yang tidak tetap, sehingga perlu dirawat, dijaga dan dipelihara. 

Adalah penting bagi setiap pasangan untuk senantiasa berupaya meremajakan cinta. 

Seperti yang pernah saya tuliskan sebelumnya di sini:

Meremajakan Cinta Hingga Menua Bersama

Dalam kesempatan kali ini, sebagai wujud kesyukuran atas pernikahan kami insyaallah yang ke sepuluh, saya akan berbagi, apa saja hal-hal yang telah kami pelajari dalam perjalanan ini yang semoga dapat bermakna dan memberi kemanfaatan. 😊🙏

Ada banyaaaak sekali nilai yang kami pelajari, namun tidak semua hal dapat saya tumpahkan di sini. Saya memilih hal-hal mendasar yang terpenting dari semua yang penting. Semoga berkenan ya!. 😉



1. Jangan Menerima Apa Adanya

Kedengarannya, ini seperti judul-judul sub tema buku Mark Manson ya? 😅. Ya, saya memang sedikit terinspirasi dari cara Mark menerjemahkan suatu nilai.

Jangan Menerima Apa Adanya, Karena Kita Berhak Mendapat Lebih.

Di awal-awal pernikahan, sekira satu sampai dengan 4 tahun, adalah masa adaptasi, pengenalan yang cukup berat. 

Dua orang yang berbeda latar belakang bertemu. Dua orang yang berbeda, tidak hanya jenis kelaminnya, tapi sekaligus lengkap dengan kebiasaan, hobi, sikap, sifat, karakter dan lainnya.

Di masa ini, kata-kata "menerima pasangan apa adanya" tampak sangat kami junjung dengan setinggi-tingginya.

Di masa adaptasi ini, yang pasangan suami-isteri lakukan sebaiknya adalah, banyak mengenali karakter pasangan, memafhumkan perbedaan, dan saling menghormati.

Boleh baca: Mengenali Karakter Pasangan, (Suami-Isteri, Langit dan Bumi). 



Menginjak ke fase berikutnya, di tahun ke lima hingga sepuluh (5-10 tahun), setelah sudah lebih saling kenal dan memiliki sedikit pemahaman (ya, sedikit, karena proses mengenali pasangan itu berlangsung sepanjang pernikahan). 

Saya tetap mencoba menerima apapun dari pasangan, begitu juga, sebaliknya. Saya menerima kekurangannya, kelebihannya, dan apapun yang berkaitan darinya, meski itu rasanya mengganggu, rasanya ada beberapa yang kurang cocok dengan apa yang saya harapkan.

Masing-masing dari kami terus memegang prinsip penerimaan itu, sampai kemudian sadar, ternyata menerima apa adanya juga tidak memuaskan. Juga, sama sekali tidak meniadakan konflik.

Ini terjadi karena, sebelum pernikahan ini tercipta, atau sejalan masa pengenalan, baik saya, maupun pasangan, memiliki gambaran ideal tentang seseorang sebagai teman hidup.

Dan, di sinilah biasanya muncul konflik baru.

Di satu sisi, kita berupaya dengan sangat keras menerima "pasangan yang benar-benar apa adanya". Di sisi lain, kita tidak bisa membohongi diri bahwa kita tidak bisa menerimanya, dan mulai mengkhayal pasangan ideal sesuai selera. Kita bahkan bisa memiliki gambaran nyata tentang sosok itu di luar sana.

Ini terjadi misalnya, saat tiba-tiba suami menyampaikan kepada saya, "Kamu bisa gak? diem, anggun, gak banyak bicara, gak cair sama teman pria, ngomong yang penting-penting aja kayak Azlia (nama samaran)?." 😀

Waktu itu saya sempat terkejut, dan SEDIKIT PANIK. 😂 Karena Azlia adalah rekan kantor kami, dan sosoknya nyata, dan tentu saja, selalu berinteraksi dengan saya dan suami.

Cilaka 45! batin saya. Ternyata sosok anggun, pendiam, gak banyak tingkah, seperti Azlia yang masuk selera suami saya. Apalah saya, yang kadang kalau sudah ketemu gengs buibuk ketawanya ngikik sampe kedengaran seruangan?. 🙈

Nah, kami juga sempat berada di masa seperti itu. Masa, terlalu menginginkan pasangan sesuai harapan, impian dan selera masing-masing.

Saya mengatur suami, agar begini begitu, sesuai yang saya inginkan. Suami juga demikian, mengatur saya agar begini begitu. 

Namun ternyata, itu juga tidak berhasil. Saya merasa tidak nyaman karena merasa tidak menjadi diri saya seutuhnya. Pihak suami juga demikian. 

Ingat bahwa! pernikahan bukan ajang atau lembaga untuk mengubah pribadi seseorang.

Memang, akan demikian sulit mengubah pribadi seseorang, secara instan. 

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa sayang, kemauan untuk terus memupuk cinta, tanpa disadari, masing-masing pasangan akan berupaya untuk menyenangkan pasangannya. 

Dan akhirnya, antara proses "menerima apa adanya" dan "harapan" akan menemukan muaranya. 😊 

Karena apa? karena secara alamiah, baik suami ataupun isteri, selalu punya pandangan dan selera yang berbeda tentang sosok pasangannya. Sudah secara alamiah pula, baik suami ataupun isteri menginginkan sosok ideal seperti apa yang ada digambaran benaknya. Jadi ini tidak akan pernah bisa dihilangkan begitu saja. ALAMIAH.


Kunci Pernikahan: SABAR ... SABAR ... SABAR ... dalam menjalani setiap prosesnya. Karena Pengenalan itu sepanjang waktu. Tidak perlu diburu-buru. 
 
Misalnya lagi, ketika kami sedang berada di Masjid. Dan suami saya gak berkedip melihat segerombolan (((akhwat))) melintas. *Monmaap Paksu, saya pakai jadi contoh terus yah* 😂. 

"Ih apaan sik ngelihat akhwat segitu amat."

"Aku suka, perempuan yang pakaiannya kayak gitu."

"Apaaah? yang jilbabnya selutut? warnanya gelap-gelap gitu? bercadar?."

"Iya ..." haduh-haduh, kepriben ik 🙈

Ini alamiah lo, gak salah. 

Sealamiah buibuk yang ngebayangin seneng punya suami tampan, tajir melintir, suka ngajak belanja, rapi, wangi, body keker kayak pemeran pelem-pelem India.

Senormal itu

Sehingga, setelah bertahun-tahun berproses, pada akhirnya saya menyimpulkan, bahwa konsep PENERIMAAN itu tidak bisa diterima begitu saja.

Karena kita, seperti yang saya sampaikan, BERHAK MENDAPATKAN LEBIH.

Perkara, mengharapkan pasangan menjadi begini, begitu, sesuai bayangan dan selera, adalah hal yang LUMRAH, ALAMIAH. Bukan merupakan kesalahan, atau bahkan dianggap bukan bagian dari kesyukuran. Tidak!, bukan demikian.

Sebagaimana pesan Allah pada Q.S Ar-Rum ayat 21, "... agar kamu merasa cenderung dan tenteram kepadanya ...." Bagaimana mau cenderung dan tenteram, kalau tidak nyaman dipandang.

Begitupun yang dimaksudkan dengan ciri isteri salehah, yakni enak dipandang, ini mengandung gambaran seperti ini.

Nyaman dipandang ini bisa diartikan sesuai dengan keinginan, selera, gambaran, dan sebagainya. 



Yang perlu dilakukan oleh suami dan isteri adalah mengenali tabiat ini.

Suami harus tahu, apa yang disukai isterinya, apa harapannya, apa yang diinginkannya, baju apa yang kira-kira disukai oleh isteri saat memandang suami, sikap yang bagaimana yang disukai isteri, sifat seperti apa yang diinginkan oleh isteri, gambaran sosok suami ideal seperti apa yang dimimpikan isteri. SEMUANYA, secara detail.

Begitupun dengan isteri. Isteri harus tahu, bagaimana selera suami, sampai ke hal yang kelihatannya sangat receh seperti, suami suka perempuan rambut panjang atau rambut pendek, suami suka kita dasteran atau piyamaan ketika di rumah, suami suka kita no make up, make up tipis atau make up menor (ketika di rumah). Suami suka warna jilbab apa, suami suka jilbab ukuran berapa, suami suka tipe perempuan pendiam apa yang rame.

Jadi bukan saling menerima apa adanya, tapi bertumbuh bersama, memperjuangkan cinta bersama. Saling menyenangkan dan menentramkan pasangannya. Dengan bertumbuh bersama, ditambah kemauan untuk bekerja keras saling menumbuhkan cinta, pada akhirnya, proses penerimaan dengan harapan pasangan akan menemukan titik tengah yang saling memuaskan kedua pihak -suami dan isteri-. 😊

Misalnya, saya tidak harus persis mirip berperilaku seperti Azlia, namun nilai-nilai Azlia kemudian saya pelajari. Dan akhirnya saya menjadi sosok yang mendekati gambaran suami dengan cita rasa saya. Saya tidak merasa ini sebagai sebuah paksaan atau saya tekanan. Justru saya merasa bahagia bisa menyenangkan pandangan suami, saya melakukannya dengan penuh kesadaran untuk menumbuhkan cinta. Di sisi sebaliknya, suami pun berupaya memupuk cinta, akhirnya tersadar, bahwa saya punya nilai lebih yang berbeda yang sangat pantas untuk diterima.

Seiring proses kedua pihak yang berupaya, bertemulah kedua kutub ini dan akhirnya muncullah kesepakatan baru dalam pendefinisian Cinta yang Meremaja.




2. Komunikasi Adalah Kunci

Komunikasi merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam interaksi kita terhadap orang lain. 

Di dalam pernikahan, komunikasi adalah kunci. PENTING SEKALI, TIDAK BISA DIREMEHKAN.

Pasangan kita bukan cenayang yang 24 jam paham apa yang kita rasakan dan inginkan. Jadi, ungkapkan, bicarakan, sampaikan. 

Boleh baca: Membangun Komunikasi Efektif Bersama Pasangan.

Selalu luangkan waktu khusus "prime talk" bersama pasangan, SETIAP HARI. Entah itu, hanya dua jam, tiga puluh menit, atau hanya sepuluh menit. Suami isteri -apalagi jika menetap dalam satu atap- harus saling bicara. 

Dalam teknik komunikasi dengan pasangan pun ada hal yang perlu dikuasai, yakni kemampuan untuk mendengar. 

Terkadang, kita hanya pandai dalam menyampaikan, namun tidak pandai menjadi pendengar. 

Ada waktu di mana kita tidak harus menyela pembicaraan, namun cukup mendengarkan. 

Sesuaikan pula frekuensinya. Saat pasangan sedang "tegangan tinggi", maka sebaiknya kita mengimbanginya dengan banyak diam dan mengalah. Tidak ikut-ikutan terbawa emosi juga. 

Nah, demikian pula saat-saat tertentu, misal ketika perempuan sedang PMS, hamil, kelelahan mengurus rumah, capai dengan tingkah anak-anak, sebaiknya sampaikan saja kepada pasangan bagaimana kondisi emosi sebenarnya, karena mungkin tidak semua kelabilan isteri diketahui dan dimengerti oleh suami. Agar tidak salah paham, ungkapkan saja dan beri pengertian kepada suami.

Termasuk pada poin sebelumnya. Jangan pernah menyimpan suatu masalah, Jangan menganggap "ketidaksesuian harapan" itu adalah hal biasa. Bicarakan. Diskusikan.

Semua harus dikomunikasikan, sampai kepada urusan kepuasan batin. Tidak perlu menyimpan perasaan malu terhadap pasangan untuk mengungkapkan di bagian mana yang kita sukai, apa yang kita inginkan dari pasangan dan hal-hal intim lainnya.




3. Pentingnya Keintiman Tanpa Kemaksiatan

Sudah banyak jurnal penelitian yang mengungkapkan bahwa barometer "kepuasan ranjang" mencerminkan keharmonisan hubungan pernikahan suami dan isteri. 😊

Adalah hal yang wajar juga dalam hubungan suami-isteri, jika suatu hari dihinggapi rasa bosan terhadap pasangan. Apalagi jika sudah bertahun-tahun.

Jenuh ya, kok keintiman dalam meraih kepuasan batin, begitu-begitu saja modelnya, rumah juga suasananya tidak mendukung, gairah juga menurun. 

Jika ini terjadi, perlu mempelajari TEKNIK VARIASI. Mungkin di gaya berhubungan, atau perlu sesekali staycation di luar, jalan-jalan ke tempat romantis, makan malam mewah, atau apapun. 

Nah, semua hal yang diperbolehkan agama, boleh dilakukan, untuk mendukung ini. Namun ingat, jangan dicampur dengan kemaksiatan. 

Misalnya? menonton film porno untuk meningkatkan gairah. *Ah, kan nontonnya bareng pasangan halal ini*, hai jangan lo ya, ini haram, maksiat!. 

Mengapa perlu menghindari maksiat? sebab indera yang terbiasa dengan hal-hal yang haram, akan menghilangkan nikmat pada yang halal, ini kuncinya. 

Akibatnya, kita jadi kehilangan gairah dan nikmat terhadap pasangan halal. 

Begitupun, adalah hal alamiah, selama menjadi manusia yang dibekali nafsu, jika dalam perjalanan pernikahan, baik suami ataupun isteri, menyukai, mengagumi atau bahkan maaf -merasa jatuh cinta lagi- pada sosok orang lain di luar sana.

Apalagi jika ditambah masalah, komunikasi yang memburuk, lalu menemukan sosok yang dirasa lebih ideal di luar, duh klop deh, pintu-pintu syaitan bisa masuk melalui jalur perselingkuhan.

Rasa suka -di luar pasangan halal- adalah hal wajar, namun yang perlu dijaga adalah menahan perasaan dan tidak memperturutkan kehendak nafsu. Jika kebetulan godaan datang saat berada di luar, segera pulang dan datangi pasangan halal! demikianlah pesan Rasulullah.

Untuk itu, poin 1,2 yang saya sampaikan mengenai memuaskan dan menentramkan pandangan pasangan begitupun dengan komunikasi adalah sangat penting. 



4. Cemburu Itu Perlu

Siapa bilang cemburu itu tabu? 

Untuk sebuah pernikahan, cemburu itu perlu. 😊

Sebagai suami atau isteri, kita adalah orang yang paling berhak mencumburui pasangan. 

Rasa cemburu ini bisa merefleksikan betapa pasangan kita itu penting buat kita, sekaligus menjaga muruah/kehormatannya. 

Laki-laki yang mencemburui isteri yang memamerkan auratnya di hadapan non mahram, ini perlu!. Sementara perempuan yang mencemburui suami yang terlalu dekat dengan rekan kerja wanitanya, ini juga dibutuhkan. 

Rasa cemburu akan melahirkan sikap saling menjaga, saling mengingatkan, saling merekatkan, menambah rasa sayang serta menguatkan ikatan.

Nah, yang perlu dijaga, adalah pengelolaan rasa cemburunya. Jangan berlebihan dan jangan kelewatan.

Tentang cemburu, sudah saya rangkumkan di sini, silakan dibaca: 

Mengelola Rasa Cemburu Pada Pasangan




5. LDM, Sebuah Pilihan

Kami bukan pelaku LDM, jadi tidak tahu bagaimana rasanya. 😊 

Namun setidaknya, jika ini menjadi sebuah pilihan, pastikan keputusan ini diambil dengan proses istikharah panjang, melibatkan Allah, dan diskusi dengan pasangan. 

LDM bukan merupakan pilihan yang ringan, tentu ada konsekuensi tersendiri yang harus dihadapi. Sehingga perlu persiapan yang matang, perencanaan, teknik pengelolaan rumah tangga tersendiri, metode pengasuhan anak, kesabaran, keikhlasan. Juga menghadapi, bagaimana jika kerinduan sewaktu-waktu datang.  

Saya pernah mengulas sedikit tentang LDM nya Nabi Ibrahim dan Hajar di sini: Cintaku Jauh di Mata, Berat di Biaya. 
 

6. Keuangan

Pengelolaan keuangan dalam rumah tangga adalah hal yang cukup krusial. 

Permasalahan ekonomi juga banyak menjadi penyebab kericuhan dalam rumah tangga. 


Suami memang bertanggung jawab penuh atas pencarian nafkah keluarga, namun tidak ada salahnya jika seorang isteri juga punya kemandirian secara finansial. 


Tidak harus bekerja di luar rumah. Di dalam rumah pun, seorang isteri masih memungkinkan untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan. 😊


Selain membawa manfaat untuk membantu keuangan rumah tangga sewaktu-waktu, juga memperbesar peluang isteri untuk bersedekah lebih banyak. Berbuat dan berkarya lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan sosial dan kemasyarakatan. 



8. Spiritual Ialah Fondasi

Dari semua hal yang saya bincangkan, fondasi penguat dalam sebuah pernikahan adalah faktor kedekatan dengan Allah. 

Apapun ujian, cobaan yang menerpa rumah tangga, jika ibadah kita baik, salat kita baik, ngaji terjaga, insyaallah memunculkan ketenangan dan jalan keluar.

Untuk itu juga, penting bagi sebuah keluarga, suami-isteri-anak memperbanyak kajian ilmu, rajin mendatangi majelis-majelis ilmu dan senantiasa mau untuk terus belajar.


---



Semoga ke delapan nilai ini, dapat memberi masukan baru untuk teman-teman semua dalam menjaga keharmonisan rumah tangga ya. 


Semoga sakinah, mawaddah warahmah dapat meliputi setiap pernikahan kita. Amin. 


Semoga artikel kali ini bermanfaat untuk teman-teman semua. 😊🙏




Catatan: semua ilustrasi gambar, diambil dari pixabay.com



 

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



3 komentar

  1. Mungkin Tulus juga terinspirasi dari Mark Manson ya. Jangan cintai aku apa adanya :) Semoga langgeng ya mbak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kali ya Mak. 🙈 Amin.. Amin ... Makasih Mbak doanya. 🙏

      Delete
  2. Masyaa Alloh, jadi bertambah ilmu, terimakasih mba Nurin, relate banget dengan kondisi saat ini

    ReplyDelete