Inspirasi

-261- Berkunjung Kembali Ke Ponpes Anak, YPI Masyitoh Ngoro Mojokerto

Monday, October 23, 2017

Abah, Ibu dan Gubernur NTB pada acara silaturahim Gubernur NTB ke YPI Masyitoh. Credit Foto: Neng Saadah Abadiyah. 
Bismillahirrahmanirrahim.

Siang beranjak, azan dzuhur berkumandang. Saya tiba bersama rombongan setelah putar-memutar tanpa tahu arah 😅 karena saya pangling dengan bangunan Pondok Pesantren yang semakin luas dan besar. 😊.

Bangunan lama yang saya kenali, seketika mengingatkan saya pada masa saat Abah (KH. Abdul Wahid Razak, pengasuh Ponpes) memanggil nama saya dengan berbinar dan senyuman mengembang dari kejauhan, "Lia, ada surat dataaaang. Ini dari Bapak."

Oh ya, nama panggilan saya Lia, kenalkan. 😊. Di rumah, di Jawa, saya dipanggil Lia. Sejak kembali ke Kalimantan dan bersekolah SLTP, teman-teman sepakat memanggil saya dengan nama depan, Nurin. Betapa merepotkan karena pemilik nama Lia ada belasan. Teman-teman saya benar dengan prediksinya, di masa depan, sampai saat ini, tidak banyak pemilik nama Nurin, apalagi yang persis sama dengan nama lengkap saya, sehingga nama saya mudah diingat karena keunikannya. 😄.

Abah sepertinya tahu hari idaman yang saya tunggu-tunggu adalah hari di mana surat dari Bapak-Ibu saya datang. Dan ya, itu memang benar. Wajah teduh Abah saat membawakan surat terpatri dalam dalam benak ingatan. Momen berharga yang akan selalu terkenang. Dulu, alat komunikasi yang masih sangat diandalkan adalah surat menyurat. Saya selalu menunggu surat balasan saya datang. Saya bisa bercerita apa saja di dalam surat, menggantikan momen bercerita yang saya lewatkan setiap harinya, jauh dari orang tua, menciptakan kedekatan emosi dan perasaan.

Sampai suatu hari, pertanyaan Abah mengagetkan saya, Duh itu kan isi surat saya untuk Bapak Ibu, kok Abah bisa tahu. 😂. Dari situ saya mulai menaruh sedikit curiga, jangan-jangan surat saya dibaca ya, lalu amplopnya ditutup lagi. 😅. Dan ternyata, sepertinya demikianlah kenyataannya, haha. 🙈. Ya wajar saja, Abah sebagai pengasuh tetap harus memantau. Jadi ada masa, di mana saya tidak begitu bersemangat membuka surat yang datang, hei i am not the first one dan tidak menceritakan semua isi hati ke dalam surat kiriman, malu ah takut ketahuan. 😂. Meski setiap surat datang, mimik wajah Abah selalu teduh, menyenangkan, bergelora, penuh semangat. Seolah ingin selalu menyenangkan saya dan membuat saya riang gembira. 😃

Di sisi bangunan lain, mengingatkan saya pada Ibu (Hj, Hafidzah, pengasuh Ponpes), ada malam-malam di mana beliau menemani kami belajar sembari memberikan satu dua kalimat, ringan, tetapi membekas. Satu kalimat yang saya ingat, suatu malam, saat sedang belajar di teras masjid, bintang berkerlipan di langit.
"Bintangnya indah ya Nak?"
"Lia, kalau memandang langit, lihat bintang-bintang yang indah, bulan yang cantik, ucapkan MasyaAllah."

Membekas sekali. Saya mudah tersentuh dengan langit malam. Setiap kali menyaksikan langit malam dan bintang-bintang saya selalu ingat momen kebersamaan bersama adik. Usia saya terpaut tiga tahun darinya. Di rumah, ketika malam menjelang, kami biasa berbaring di teras, berlomba menghitung bintang, mencoba menerka gambar apa yang ada di rembulan. Dulu kami percaya, ada putri cantik di sana. 😊. Ada saat, saya merasa merindukan momen bermain bersamanya. Menginjak dewasa, saat saya membaca halaman blognya, ada hal-hal yang baru saya ketahui dari membaca cerita-ceritanya. 

"Kok Mbak gak tahu Dek kamu pernah ngalamin beginian? kamu pernah diginiin sama temen?."

"Mbak kan sibuk dengan dunia Mbak sendiri. Aku sendiri Mbak, gak ada temen cerita." Maksudnya saya sibuk di Pesantren.

Saya juga ingat protes kerasnya waktu kecil yang enggan menyanyikan lagu ulang tahun, "...panjang umurnya..panjang umurnya serta mu-lia.."

Lalu digantinya dengan, "panjang umurnya...panjang umurnya serta mu..nila.. sertamu..nila.. sertamu..nila.", kenalkan nama adik saya Nila. 😅.

Tidak ada kebiasaan merayakan ulang tahun di keluarga kami. Tapi karena saya jauh, tiga tahun tidak dijenguk orang tua. Bapak Ibu mengganti rasa rindu dengan syukuran plus ulang tahun mengundang teman-teman. Saya dikirimi foto ulang tahun, berikut semua kado ulang tahun. Siapa lagi yang mewakili meniup lilin dan semuanya kalau bukan Nila?.

Dia pasti sebal sekali waktu itu. Sudahlah diminta mewakili saya, lagunya nyebutin nama saya, eh semua kadonya dikirimin ke saya juga. 😂.
"Huuuh, apa-apa Mbak Lia. Apa-apa Mbak Lia." Kalau saya di posisinya saya pasti mengerti benar bagaimana perasaannya. 😄

Ada bangunan yang mengingatkan saya pada momen saat berlarian, berkejaran bersama teman-teman pondok. Bermain, iseng, belajar. Juga tidak lupa, korban penjahilan. 😅. Dulu saya sering jadi korban usil bin jahil. Beberapa kali saya di ajak jalan-jalan oleh Ibu karena kejahilan teman-teman (dengan maksud menghibur saya tentunya). Tapi barangkali karena saya sering diajak jalan, saya makin sering diusilin atau sebaliknya ya, haha. 

Suatu ketika, saya pernah diajak ke undangan. Kuenya enak-enak tapi karena kenyang, kuenya gak saya makan. Ya sudah, kata Ibu, di bawa pulang ke pondok saja, nanti dimakan, kotak kue saya ditambahin kue-kue lagi sampai penuh oleh Ibu. Kebayang, ini pasti enak banget, batin saya dalam hati. Ntar dimakan ah bareng temen-temen. 😊

Sampai di pondok, saya lelah, ngantuk sekali, sekotak kue saya simpan dalam lemari, lamat-lamat rasanya seperti mimpi.
Diantara setengah sadar, saya mendengar Kakak-kakak pengasuh (jadi di pondok kami punya pengasuh), sambil cekikikan buka lemari saya,
"Wah kuenya enak-enak. Yuk yuk kita makan."

"Jangan. Tunggu Lianya bangun dulu."

"Alaaah, palingan dia udah makan-makan enak di sana, diundangan, ntar disisain aja Lia."

Begitu deh intinya. Mereka lagi pro-kontra 😅. Dan apakah yang terjadi? waktu saya buka lemari, kue saya habis-ludes, dan saya disisain sebungkus keciiiil kuping gajah. 😭. (eta terangkanlah... eta terangkanlah..dung tak dung.. dung tak dung..ide jahaph siapa itu.), saking sedihnya jadi pengen nyanyiik. 😂. Ini momen tersedih yang saya rasakan. 😭 karena kuenya beneran saya sayang-sayang, eman-eman, satu bijik aja belum diicip. 😭. Trus? cuma KUPING GAJAH? yang bener aja Kak. 😭. Pas tahu, langsung saya lempar itu seiprit kuping gajah, mangkel, 😅 lalu saya ke kamar mandi, nyalain kran, nangis sejadi-jadinya. Ada hal-hal yang saya simpan sendiri dan banyak saya tumpahkan di
.
.
.
KAMAR MANDI PONDOK. 😂

Trus satu dari Kakak pengasuh Pondok yang masih baik hatinya, sepertinya tahu gelagat kemarahan saya, beliau menunggu saya dari kamar mandi, bergegas bertanya,
"Lia marah ya kuenya dihabisin?"

"Engg...gaaak. Enggaak."

"Itu kuping gajahnya kenapa dibuang?"

"Oh itu jatuh Mbak. (((Jatuh))" 😂

Lalu saya melengos cepet-cepet ngambil lagi si Kuping Gajah, dikunyah sampai habis. *terangkanlah...terangkanlah...backsound lagu Opick pliiis pliis 😅

Nila benar tentang satu hal, masing-masing kami tidak punya teman bercerita yang sebaya, yang sedunia, yang nyaman dan terpercaya. Seperti ada kepingan puzzle yang tercecer, tidak utuh, kami kehilangan momen-momen kedekatan yang penting, yang semestinya terbangun dan terjalin kuat saat itu.

Jadi jika ada yang bertanya kepada saya, bagaimana rasanya mondok waktu kecil? atau pertanyaan yang baru saya terima, "Mbak, kira-kira anak saya udah cocok belum ya dimasukkan pesantren?"

"Bagus gak Mbak mondokkan anak sedini mungkin?"

Saya hanya dapat memberi saran, dipertimbangkan lagi plus minusnya, dan dilihat bagaimana kesiapan anaknya. 

Menurut saya, tidak ada sistim pendidikan yang paling baik. Semua ada plus minusnya. Dan masing-masing keluarga paling tahu hal terbaik apa yang akan diberikan kepada anak.

Ini sama saja seperti membandingkan sekolah formal atau homeschooling, ibu bekerja atau ibu rumah tangga. Ibu ASI vs Ibu Sufor. Ada kelebihan, ada kekurangan.

Pesantren anak adalah salah satu dari sistim pendidikan. Faktor keberhasilan mendidik anak punya banyak indikator. Pesantren anak bisa jadi salah satu penyumbang keberhasilan tetapi bukan satu-satunya penentu.

Oh ya, sebelum jauh, santri yang saya bahas dalam postingan ini ialah santri cilik yakni santri yang mondok di usia SD/MI sederajat atau kurang dari itu.

Berdasarkan pengalaman saya, (tentu saja ini bukan hasil penelitian yang sudah diuji coba secara empiris ya), kelebihan menyekolahkan anak di Pesantren Anak adalah, anak mudah dibentuk, mandiri, semua hal pelajaran mudah diingat, hafalan lengket merasuk, pembentukan karakter, nilai-nilai islami tertanam dengan kuat.

Memasukkan pesantren saat anak masih berusia (belum remaja) tentu jauh akan lebih mudah, sebab di usia ini bargaining orang tua cenderung lebih dominan dibandingkan dengan anak. Anak belum memiliki pandangan sendiri tentang pilihan hidupnya secara mandiri. Anak-anak juga masih mudah diarahkan dan menuruti kemauan pilihan orang tuanya. 

Bapak saya dulu, anti sekali menyekolahkan anak-anaknya di sekolah selain embel-embel Negeri. Pokmen mesti ada NEGERI-nya. SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri sampai dewasa dan akhirnya saya menjadi Pegawai Negeri. Bapak bersikap demikian, tentu punya alasan dan latar belakang. Menurut saya yang waktu itu masih kecil, pandangan Bapak itu tidak sesuai lagi dengan zamannya. Tapi ya karena anak-anak, saya easy going saja yang penting main-main dan bisa main. :). Ikut saja apa maunya Bapak. Life is easy. :)

Jadi, apapun pilihan untuk model pendidikan anak, pastikan kita sebagai orang tua melangkah dengan yakin meskipun berbeda. BERANI BEDA. Jadikan pendapat para pakar, atau pengalaman orang lain sebatas saran masukan. Karena kita sendiri yang dapat mengukur seberapa jauh, seberapa pantas dan seberapa perlu melakukan sesuatu untuk anak. Yang penting, nawaitunya. Diniatkan lillah. 

Sementara kekurangannya (berdasarkan pengalaman saya) ialah kehilangan momen kebersamaan. Kedekatan bersama ayah bunda, kakak adik atau saudara, kedekatan emosional, pelukan hangat, waktu bercerita, waktu bermain bersama, hubungan personal. Di mana masa-masa ini ialah masa yang tidak akan terulang, momen spesial pada tumbuh kembang anak.

Ini juga pendapat yang disampaikan oleh Abah Ihsan Baihaqi, seorang pakar parenting. Waktu itu saya mengikuti pelatihan parenting bersama beliau selama tiga hari penuh. Saya bertanya pendapat beliau tentang memasukkan anak ke boarding school di usia SD/ kurang dari itu. Dan pendapat Abah Ihsan sangat tidak setuju, beliau lebih mementingkan kedekatan emosional dan sentuhan orang tua di usia-usia semasa itu. Tetapi, sekali lagi, ini pendapat ya. :)

Jadi, apa saja yang perlu disiapkan ketika hendak memutuskan memasukkan anak ke Pesantren Anak untuk menjadi santri cilik?

  1. Kesiapan Anak. Faktor kesiapan anak ini menjadi yang utama. Sebisa mungkin ajak anak berkomunikasi dan perhatikan situasi psikologis anak. Saya dulu, tipikal anak yang 'gampangan' di bawa orang. :D. Gak gampang kangen, ditinggal ya biasa aja. Easy going kali ya anaknya. Sejak balita sudah diasuh oleh Mbah. Jadi waktu saya ditanya, "Nak, nanti ditinggal di Jawa ya, masuk pondok, mau?." Saya langsung jawab, "mau...mau..." Bayangan saya, masuk pondok itu seperti petualangan seru gitu. Waw waw waw seru seru seru!. (betapa polosnya saya). Hal ini tidak diperlakukan sama ke adik saya, Nila. Dia mah dari kecil kudu harus lihat muka ibu. Ditinggal sebentar keluar rumah aja udah jejeritan. Jadi sejak kecil dia gak pernah pisah sama Bapak dan Ibu. Mental dan psikologisnya berbeda. 
  2. Kesiapan Orang Tua. Ini juga penting. Karena kesiapan orang tua (psikis dan batin) akan sangat mempengaruhi anak yang jauh di sana. 
  3. Memilih Pesantren yang Bagus, Bersih dan Sesuai Untuk Anak. Ini tiga hal yang penting. Bagus secara kurikulum saja tidak cukup, faktor kebersihan juga menurut saya penting dan mendasar. Karena yang akan kita titipkan di pondok pesantren masih berusia anak-anak, belum mandiri secara utuh. Kita harus memastikan anak-anak terurus dengan baik. Sehat tempat, sehat pakaian, sehat makanan. Tempat juga harus sesuai untuk anak, nyaman, dan hak-hak anak terpenuhi dengan baik. 
Tiga kriteria ini, Bagus, Bersih dan Sesuai adalah tiga hal pokok yang dahulu dijadikan dasar Bapak dan Ibu memasukkan saya ke YPI Masyitoh Ngoro Mojokerto. 

Bagaimana suasana YPI Masyitoh dan aktivitasnya untuk Santri Cilik? 

InshaAllah akan saya bahas di postingan berikutnya ya. :)


Tulisan ini diikutsertakan dalam program ODOP (One Day One Post) Blogger Muslimah Indonesia. 
#ODOPOKT12

Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2017. 




You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



6 komentar

  1. Salut sama ortunya Mbak Nurin, sudah lepasin putrinya mondok umur sebelia itu...
    Ya, memang perlu banyak pertimbangan sebelum memutuskan..:)

    ReplyDelete
  2. Kalau anaknya masih beli kesiapan ortu terutama ibunya ya yg penting mbak. Saya sendiri kangenan sma anak hehe.
    TFS cerita dan ulasannya ttg pesantren :)

    ReplyDelete
  3. Kalau boleh tau kakak alumni thn berapa ?

    ReplyDelete
  4. Nemu tulisan ini ketika anak saya mondok di masyithoh. Bener banget kesiapan anak lebih utama dn kesiapan orangtua sbg pendukung, itu yg saya rasakan ketika anak prtama kali masuk pondok dn anak beneran tdk menangis tdk rewel dn siap bgt bahkan betah dsna.

    ReplyDelete