Cinta

-137- Astaga! Akhirnya Aku Menikah Dengan Dia

Monday, January 20, 2014



Apa kita pernah bertemu, sebelum ini?

Siang itu, saya berjalan terburu, sepatu kuda yang saya gunakan (saya menyebutnya sepatu kuda, karena sepatu hak ini kalau dipakai berjalan, rusuh dan berbunyi, mirip nyanyian ‘pada hari minggu’ tuk-tik-tak-tik-tuk, sayangnya, sepatu ini wajib digunakan, berikut seragam plus jemblem khas Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) pada umumnya) turut sibuk bersenandung, hingga sampailah saya ke sebuah kelas. Tujuan saya hanya satu, menemui sang ketua kelas, menyelesaikan SPJ keuangan, tugas sebagai bendahara kegiatan PKL (Praktik Kerja Lapangan) dengan menggunakan dana APBN 500 juta, cukup menguras fikiran.  

Mungkin doaku kala itu telah menembus langit,
Lalu doamu, membuatnya kembali
Memantul ke bumi

“Tolong ya, teman-teman semuanya, diminta tanda tangani ini, kalau bisa hari ini serahkan kembali ke saya”



Saya ingat, itu di tahun ketiga masa kuliah. Untuk pertamakalinya [barangkali] kita benar-benar bertemu, dan bercakap. Waktu seakan berhenti berputar, beberapa menit, oh-tidak! Mungkin beberapa detik, hingga saya menggebrak meja (saya benar-benar galak waktu itu!),

“Hei, kok melamun sih? Ini kertasnya tolong segera diedarkan ya!”

Kamu terkejut. Entah apa yang ada difikiranmu.
Satu yang pasti, saat putaran waktu berhenti itu,
“Astaga! Saya tidak akan mau menikah dengan orang seperti Dia”
Itulah… itulah yang ada difikiranku.

***
Tidak tahu dengan alasan apa, sepertinya tidak ada satu alasan yang layak membuat saya berfikir dan berdoa sejauh itu. Reflek, ucapan di dalam hati itu, tiba-tiba saja terucap. Kenapa pula, tiba-tiba saya berfikir tentang pernikahan? Sampai berfikir tidak akan pernah mau menikah dengan orang seperti Dia? Wallohua’lam.

Lalu kurang lebih, dua tahun berikutnya, saya pun menikah dengan Dia. Ya, Dia. Itu Dia orangnya, sesederhana itu saja. Cerita pertemuan perdana ini belum pernah saya ceritakan sebelumnya, kepada siapapun. Lucu! Bagi saya kejadian itu adalah hal lucu yang pernah kami alami.

“Saya tidak pernah bermimpi, bisa memegang tangan seorang Istikmalia”, itu ucapannya setelah akad, saking tidak percayanya dengan apa yang kemudian terjadi.

“Yeah, apalagi guwe…”, kamipun tertawa berbarengan. Seperti misteri kehidupan. Maka di malam , seusai akad, yang kami lakukan adalah menguak kisah, membedah jalan cerita, hingga hampir pagi. Sesuatu yang sangat amat tidak popular untuk sepasang pengantin baru di malam pertama. Lalu keesokannya, kami hanya dapat menyudahi dengan satu kata ‘wallohua’lam’.

Cerita di hari-hari berikutnya, belakangan lebih banyak membuat kami tertawa jika mengenangnya.
Kami melakukan banyak sandiwara!, sesekali saya sutradaranya, sesekali ia sutradaranya.

“aku harus pegang apa nih?”
“pegang saja tanganku”,

“masak gitu-gitu aja gayanya?”
“ya, udah peluk aja kalau gitu” haha, itu sandiwara saat foto bersama para tamu undangan di acara resepsi.

“Lho, pengantin baru, kok makannya sendiri-sendiri?”, hampir keselek waktu tiba-tiba kami dikagetkan dengan ucapan seperti itu.

Akhirnya, di hari-hari pertama, karena masih berkumpul bersama keluarga besar, kami pun melakukan sandiwara ‘mesra-mesraan’, makan satu piring, duduk deket-deketan, yeah, something like that!

Lalu tibalah ke sandiwara kelas berat,
“Kamu panggil aku ‘yang’, aku panggil kamu ‘say’ ya”
“Gak ah, aku kan belum sayang sama kamu”, dooohai,, #tepokjidat

“Ya udah, kamu panggil aku ‘ayah’, aku panggil ‘kamu’ bunda”
“Gak ah, memangnya aku bundamu?”

Saya lupa, berapa belas panggilan yang diajukannya, sampai kemudian,

“Ya sudah, kamu panggil aku ‘kak’, aku panggil kamu ‘dik’ ya”. 
“Okeh, sepakat!”, #jabat tangan plus tanda tangan memorandum dulu,,,qiqiqi

Ingat ya, kalau di depan orang-orang, jangan sampai lupa!.
Ahahai, padahal aslinya, kalau berdua saja, waktu itu kami saling memanggil dengan sebutan
“Hei,, hei kamu”, macam memanggil penjaja gorengan saja.

Hingga kini, sebutan hasil sandiwara itu telah melekat, erat. Bingung mau ganti-ganti sama yang lebih kece. Pernah coba dengan sebutan lain yang kedengarannya keren. Seperti panggilan saya jadi ‘hurun-in’ (bidadari bermata indah). Susah manggilnya, huuur…huuur (jadi mirip kayak manggil ayam), iin….iin… (kedengaran ganjil benar!). Jadi ya sudahlah, panggilan penuh cinta kan gak perlu muluk-muluk, aneh-aneh, macam-macam rupa, yang terpenting, nyaman untuk keduanya, dan penuh makna. Lagipula, panggilan kami itu penuh dengan cerita, haha.

Dua minggu kemudian, kami kembali ke Jakarta, mengingat status sebagai pegawai magang di BPS RI, seolah tak pernah terjadi apa-apa, kami pun melenggang dengan anggun, kembali ke kandang masing-masing (ups, maksudnya ke kos masing-masing), lalu menjalani ritual keseharian seperti biasa.

Cinta itu tumbuh,
Bukan hanya dari perkenalan,
Atau sekedar witing tresno jalaran soko kulino,
Tetapi karena kita mengusahakannya!
Cinta itu upaya…

Ya, seperti sepasang anak muda standar pada umumnya! Kak menjemput saya di kos, lalu kami keluar, jalan-jalan, makan malam, lalu pulang. Begitu sampai hampir beberapa minggu! saya juga tidak ingat berapa orang yang terkaget-kaget saat bertemu kami yang sedang asyik berduaan di luar. Terlebih untuk adik-adik tingkat se-almamater, yang tak tahu hal mengenai kabar pernikahan kami. “Aktivis, kok pacaran!”, haha, semacam itulah yang mungkin terlintas dibenak mereka, haha. Prosesnya memang singkat, proses setelah saya berkata “ya, saya bersedia” dan menuju pelaminan, dua minggu saja, meminjam istilah kakak sepupu saya yang juga punya pengalaman proses singkat, “mungkin saja kamu kena gundam!”, hihi #abaikan.

**
Dalam seucap katamu,
Aku terpesona,

Saya tidak akan pernah bisa berbohong, bahwa saya tidak pernah mengenal Kak, sebelumnya. Kami satu almamater, satu angkatan, tentu saja saya tahu, setidaknya,  diantara ratusan kawan saya, ada Kak disana. Di tahun pertama kuliah, saya tahu tentang sosoknya, karena teman sekamar saya yang notabene sekelas dengannya hampir setiap malam bercerita tentang situasi terkini di kelasnya. Suatu waktu yang saya ingat dari ucapannya adalah, “dia anak yang vokal, berani, dan cukup cerdas”, sudah sampai disitu saja. Tahun-tahun berikutnya, kami memang tidak pernah bertemu, beda kelas, beda jurusan, beda gedung, beda aktivitas, tidak pernah sekalipun berada dalam satu kepengurusan, tidak pernah punya suatu urusan, dan memang tidak pernah!, sampai peristiwa pertemuan yang saya ceritakan di awal tadi.

Saat akhirnya kami dipertemukan, dalam prosesnya, di masa kami harus bercakap lebih panjang dan lebih lebar (tentunya tetap dalam tuntunan syariat, tidak ikhtilat!), saya terpesona pada suaranya!. Ya, pernah mendengar suara Rhoma Irama?
Yup, suaranya lebih cempreng dari Rhoma Irama, sama sekali tidak mirip!, tapi saya tahu, saya menyukainya. Ada muara ketegasan disana, ada hal lain yang cukup memikat di dalamnya, dari itu saya tahu, bahwa ia seorang yang ‘hidup’. Hidup dalam artian bukan sekedar ‘hidup’, ia penggenggam visi, sekaligus penggerak misi. Ah, saya tidak bisa menceritakan lebih detail, yang pasti, ia adalah seseorang yang begitu sejuk buat saya, menenangkan hati, bahkan di saat saya baru mendapatkan kabar kedatangannya.

Bagai setetes embun,
Yang jatuh,
Mengenai ubun-ubunku,

Ya, seperti itu, kala seorang Ustadzah, memberikan kabar kepada saya,
“Ada seseorang yang hendak bertaaruf denganmu”, rasanya hati saya seketika menjadi tenang, seperti sedang berada di bawah guyuran air terjun, sejuk.

Luluh sudah sumpah palapa saya waktu itu, bahwa saya tidak pernah mau berjodoh dengan kawan sejawat, satu kampus, satu pekerjaan. Duhai! Rasanya sempit sekali dunia saya!. Ah ya, satu lagi! Saya juga tidak mau dengan orang Sulawesi.
Saya akhirnya mengangguk, tanda setuju. Tidak seperti biasanya, yang langsung antipati dan menolak, kalau sudah tidak sesuai dengan kriteria.
“Baiklah, saya coba”

“Siapa dia, nanti dilihat di rumah saja, sembari difikirkan”. Begitu pesan Ustadzah, sambil memasukkan sebuah amplop cokelat (yang saya tahu, mungkin disitu saya akan mendapatkan namanya) ke dalam tas saya.

Sesederhana itu saja,
Jikalau Allah telah berkenan,
Kun fayakun!

Kun fayakun Allah bisa lewat siapa saja, salah satunya, kita mengenalnya dengan nama Mak-Comblang. Dia, lelaki sederhana, yang sejak tadi saya bicarakan, di hari itu, seusai kajian yang diikutinya, tiba-tiba ditanya kembali oleh sang Ustad,
“Bagaimana, sudah punya calon?”,
Padahal pertanyaan ini sudah ditanyakan beberapa waktu sebelumnya, dan sudah dijawab “saya masih belum siap menikah Ustadz, in sha Allah, target dua tahun lagi”.
Entah apakah sang Ustadz lupa atau hanya sekedar bercanda, bertanya kembali seperti itu.

Dia, diam saja, dengan dada yang bergemuruh, dan degup jantung yang tak karuan, akhirnya berkata,
“In sha Allah Ustad”
“Yang mana itu?”, kalau bisa saya bantu proseskan.
Dia, masih dengan gugup, membolak-balik buku angkatan, lalu menunjukkan foto seorang perempuan, dengan pasti,
“yang ini”.

Ah, ada banyak hal diluar jangkauan nalar yang seringkali menimpa kita. Seperti kejadian menemukan jodoh, kadangkala begitu abstrak. Beberapa hari sebelumnya, Kak bermimpi sedang sholat, menurutnya, di mimpi itu ia sedang sholat sendirian, tetapi ketika mengucap salam ke kiri, Kak terkaget-kaget, melihat saya dibelakang, tengah menjadi makmumnya. Setelah mimpi itu, sebenarnya Kak juga tak terlalu ambil pusing, namanya juga mimpi, jadi seperti angin lalu saja. Lalu tiba-tiba datanglah sang Ustad, menanyainya. Sebenarnya ia juga tak tahu, seperti ada dorongan yang tiba-tiba memaksanya, untuk menjawab demikian.

Lalu saya, di hari-hari sebelumnya, saya bermimpi, bertemu dengan seorang pemuda bercahaya. Pemuda itu tak begitu elok, saya bertemu dengannya di sebuah perjalanan, di sebuah bus, pemuda itu duduk sendirian, sedang menatap keluar jendela. Cahayanya yang memikat dan menyilaukan, membuat saya menyapanya, saya mendatanginya, kamipun berbincang, cukup lama. Perbincangan sederhana namun sangatlah amat berkesan. Pemuda yang nampaknya bersahaja itu sungguh menenangkan hati, nyaman sekali. Setelah mimpi itu, hati saya menjadi begitu tenang, sampai berhari-hari.

Lalu, ketika Ustadzah menyampaikan kabar kepada saya, saya merasakan ketenangan yang sama, aura yang sama seperti di dalam mimpi saya, hingga mendorong saya mengatakan,
“Baiklah, saya coba”, meski saya sudah diberitahu bahwa ia masih satu almamater dengan saya. Meski saya, juga benar-benar tidak tahu siapakah dia yang dimaksud. 

Selanjutnya, sang Ustad menghubungi Ustadzah saya, lalu Ustadzah memberitahu saya, dalam hitungan hari, tidak dalam hitungan bulan ataupun tahun. Prosespun terlaksana, sesederhana itu saja,

Qobiltu nikahaha bil mahri madzkuro…!

Ijab-kabul pun terucap, maka halallah sudah, Allohu Akbar!.

Saya yakin, setiap doa pasti diijabah (abaikan soal sumpah palapa saya yang ternyata tidak diijabah, hehe), maka doa saya selama pencarian jodoh adalah, “Allah, berikan pendamping dari golongan manusia yang engkau cintai, engkau ridloi”. “Berikan saya seseorang, yang terbaik menurut Engkau”.

Alhamdulillah, memasuki tahun kelima pernikahan, kami telah belajar banyak untuk memaknai cinta. Kisah ini hanya secuil dari proses pertemuan, panjang jika ingin dikisahkan lebih detil. Apalagi jika ingin berbagi lika-liku proses perjalanan perkawinan. Bukan main! Bisa jadi satu novel!. Saya tidak hendak mengatakan bahwa pernikahan itu suatu hal yang ringan, atau berat, karena keduanya silih berganti mengisi hari-hari di dalamnya.

Satu hal, saat bersama, saat sedang damai, satu dalam pendapat, kami selalu merayakannya!, tidak dengan hal yang mewah atau yang muluk-muluk!.
Mengecat rumah ternyata bisa menjadi hal yang menyenangkan untuk dikerjakan bersama (#curhat,,, haha),
Duduk bersama di pinggiran sungai, memandangi bintang dan rembulan, di tengah malam, Atau sekedar berkeliling dengan motor (itu juga hal-hal romantis yang hemaaaattt kawan-kawan! dan asyik-mengasyikkan). Saya tidak akan menyarankan untuk pergi ke bioskop, candle light dinner atau semacam itu, sebab di tempat saya, semua fasilitas itu tidak ada, disini masih alami (baca:hutan belantara), hehe.

Tetapi, hal yang paling mengena, dan mungkin kami sukai, adalah menghadiri undangan akad nikah, bersama-sama. Saat menyaksikan proses ijab Kabul, saya seolah mengingat kembali, bagaimana proses kami bertemu, yang tentu saja tidak mudah, ada pengorbanan, perjuangan (termasuk pula dua liter air mata yang menganak sungai, hehe), kegalauan yang seru (membuat keputusan besar untuk hidup jangka panjang sungguh tidak mudah, bagi saya, dan tentunya juga bagi Kak), saya ingat betapa kelamnya tulisan-tulisan curhatan saya di detik-detik menjelang pernikahan, bagaimana pertemuan itu telah melibatkan banyak orang, me-riweuhkan banyak orang. Dan betapa sakralnya sebuah akad saat diucapkan. Mengenang kembali janji, mengingat sebuah Mitsaqoon Gholizon, membuat kami selalu mampu memastikan, bahwa sepulang dari itu,
Genggaman jemari kami,
Akan semakin lebih erat,


Wallohu a’lam bish showab











You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



6 komentar

  1. Suka, suka sekali. Inilah perjalanan terindah, hihiii Mba, arungan waktu lima tahun... sama denganku juga.

    ReplyDelete
  2. @Astin Astanti: iya,, kita sama-sama ikutan GA ini yak,,, :). Okeh,, saya ke tkp Mbak dulu ----> hihi

    ReplyDelete
  3. usia 5 tahun, sedang imut-imutnya :)
    Semoga langgeng selalu yaaa ..

    ReplyDelete
  4. @Lianny Hendrawati:, iya Mbak Lianny,, masih imut-imut nih,,, amin.. terimakasih doanya,,,:)

    ReplyDelete
  5. Ceritanya membuat saya larut. Terimakasih sudah berbagi ya :-)

    ReplyDelete
  6. @Leyla Hana Menulis: iya Mbak, semoga Mbak Leyla juga larut untuk memilih dan memenangkan saya, :)

    ReplyDelete