Fiksi

-56- From Iran to Damaskus [Edisi Tong Berjalan di Jerman]

Friday, May 25, 2012


Pagi hari, masih bersama buku-buku. Seorang pemuda sedari tadi hilir mudik di depanku. Dengan cekatan, dibukanya tirai biru yang menutupi jendela disampingku. Aku cuek saja, ku tatap lamat-lamat buku panduanku,

Man ob mikhom  artinya: saya mau air.

“Hey, tahu tidak, cara pengucapan bahasa Iran. Man toksi mikhom itu artinya saya mau taksi. Bale..bale.. itu artinya ya. In artinya ini, un artinya itu”. Aku mencoba mengajak sang pemuda yang kini sibuk mengemasi sampah-sampah yang ada disekitaran kami untuk sedikit berkomunikasi.  

Tiba-tiba saja sebuah suara mendarat di telingaku,
“Hey, sekarang lagi dimana?”
“Umm..Saya sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Da-mas-kus”, jawabku pelan.
***

Salju di Eropa
Setelah berhari-hari, akhirnya saya bisa menuliskan catatan perjalanan fantasi ini, From Iran to Damaskus sepertinya judul yang menarik, mirip judul sebuah buku yang pernah saya lihat, kalau tidak salah From Beirut to Libanon. Bukan bermaksud meniru-niru, apalagi mendompleng ketenaran judul buku itu, tapi saya suka dengan judulnya. Hmm, From Iran to Damaskus. Yeah, From Iran to Damaskus, cukup keren bukan?

Setelah sebelumnya, for the first time, saya mencoba sensasi musim dingin di Eropa. Tiba di bandara Internasional Amsterdam pukul 6 pagi, disambut dengan udara minus 9 derajat celcius.
Saya tidak tahu, mengapa banyak teman-teman saya yang begitu mendambakan bersekolah di negeri yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun ini,  barangkali karena Belanda adalah salah satu pintu  gerbang berkeliling benua Eropa. Tapi kali ini saya jauh-jauh menerobos udara yang bisa meretakkan pori-pori kulit muka dan bibir hanya ingin mencari sekotak cokelat Made In Belgia, itu saja.

Okey, dari Amsterdam, dengan berkendara mobil selama satu jam melewati Leiden, tibalah saya di Deen Haag (hanya satu jam di Belanda saya sudah melewati tiga kota sekaligus; betapa mungilnya negeri ini).

Dari sentral stasiun Den Haag, dengan menggunakan kereta api cepat, saya melanjutkan perjalanan ke Brussels, ibu kota Belgia (hanya 1,5 jam sudah sampai di negara lain; sama dengan jarak tempuh dari Tanjung Selor, Bulungan menuju kota Tarakan). Sesampainya disana, saya menyempatkan berkeliling Grand Place yang memang terletak di depan stasiun kereta. Indah sekali, dan seharusnya saya datang kesini saat musim semi, sebab di tengah-tengah Grand Place ini akan dipenuhi bunga-bunga aneka warna. Tak apalah, saya cukup puas berkeliling toko yang menjual cokelat dan pranelin khas Belgia dan menikmati lezatnya Warm Waffle khas Belgia. Dan tak lupa, membeli sekotak dua kotak cokelat yang berlabel Made In Belgia sebagai buah tangan plus foto saya bersama toko, penjaga toko, kasir dan kalau perlu siapa saja yang berwajah bule dan londo. Ini penting, sebagai bukti bahwa saya pernah sampai di negeri ini.

Puas berkeliling di Grand Place, saya membeli tiket untuk melanjutkan perjalanan menuju Jerman, menemui Tintin, seorang sahabat saya sesama penulis yang telah dengan baik hati mengundang saya berkunjung  ke rumahnya. Sedari awal, Tintin telah mewanti-wanti mengenai cuaca ‘dingin’ Jerman. Maka sejak dari Belanda saya yang terbiasa dengan hawa panas Kalimantan, memutuskan menggunakan sebuah jaket tebal berbahan polyester yang didalamnya diisi semacam serat polyester pula. Orang Jerman menyebutnya Stepjacke dan terbukti cukup ampuh menahan dingin.  Ditambah syal, sarung tangan tebal dan topi polyester. Ha..ha.. saya lebih mirip tong berjalan, dan sukses membuat Tintin dan teman-temannya terheran-heran dengan kostum yang saya kenakan, mereka pikir saya sakit. Padahal tadinya, saya begitu bangga dengan pilihan saya ini karena sesampainya di Jerman, saya disambut dengan udara minus 15 derajat celcius. Wusss, dingin sekali, lebih dingin dari freezer di kulkas yang mungkin hanya sampai minus 12 derajat celcius saja. Dengan terbata-bata sambil membaca buku panduan bahasa, saya pun berujar,
“Na ja. Ich komme aus einem tropischen Land. Ich kann die Kalte nicht vertagen!” (saya mencoba mengatakan bahwa saya berasal dari negara tropis dan tidak terbiasa dengan udara dingin). Bukannya diamini, Tintin dan teman-temannya tertawa bersamaan! Mereka takjub saat saya katakan di Indonesia tidak ada musim dingin. Alhasil, mereka semua sepakat agar nanti saya pun berkenan mengundang mereka kerumah saya. What? Rumah saya? Yang rumah kontrakan itu? yang enam bulan lagi habis masa kontraknya itu? oh-no.

Bersama Tintin dan teman-temannya, saya diajak berkeliling sampai puas di negeri Jerman. Diantara tempat yang telah saya kunjungi yakni: Voelkerschlactsdenkmal (memorial of the nation’s battle) di kota Leipzig, Altstadt & Neustadt di kota Dresden, Kastil Heidelberg di kota Heidelberg, pelabuhan tua Landungsbruecken di kota Hamburg, Brandenburger Tor (Branderburger Gate, bagian dari tembok berlin) di kota Berlin, Koelner Dom di kota Koeln, Schloss (Istana) Nympenburg di kota Muenchen (Munich), Pantai Warnemunde di kota Rostock, Palmengarten (taman botani terbesar di Eropa) dan Zoological garden (kebun binatang tertua di dunia) di kota Frankfrut am Main, serta Puri Hohenzollern di kota Stuttgart.

Beberapa hari berada di Jerman, saya juga belajar sedikit mengenai pengucapan bahasa. Seperti ucapan:

Guten Tag (Hallo) yang dibaca ‘GOO-ten tahk’,
Danke, gut (baik, terimakasih) dibaca ‘DAN-keh, goot’
Auf Wiedersehen (sampai jumpa) dibaca ‘owf VEE-der-zay-en’

Lumayan ribet kan? Untuk itu, seperti yang sudah-sudah, sebelum saya berbincang lebih jauh dengan orang Jerman, saya hanya cukup mengeluarkan kata andalan saya:
“Sprechen Sie english?”, apakah anda bisa berbahasa Inggris?

***
Baik, kita kembali ke judul tulisan ini, From Iran to Damaskus. Hmm… sepertinya saya memang belum menuliskan apapun tentang Iran, Damaskus apalagi. Baiklah, tulisan ini memang belum selesai. Saya tidak menyarankan anda membaca catatan perjalanan fantasi saya yang ‘Langka’ ini secara sepotong-sepotong. Dan lagi, saya senantiasa berdoa semoga Alloh memberi saya kekuatan untuk melanjutkannya  Saya harap, anda mengikuti setiap edisinya.







Catatan perjalanan ini adalah fantasi saya bersama buku-buku yang menjadi 'jendela dunia' untuk saya.
Referensi:
1.  AlQuranul Karim
2. Nadia, Asma dkk. Jilbab Traveler. 2009. Depok: Asma Nadia Publishing House:
3. Annida edisi 14 tahun 2003.

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



3 komentar

  1. Baru nyadar keanehan judulnya. Dari ibukota Iran ke Iran?

    ReplyDelete
  2. @Millati Indah Iran kan negeri Iran, ibu kotanya Teheran. Damaskus kan ibu kota negeri Suriah. Aneh ya Mil?

    ReplyDelete