Quran

-3- Mimpi Untuk Hidup BersamaNya

Thursday, September 08, 2011

              Darul Quran (Episode:1)

Mengingat namanya, mengingatkan saya dengan Midpoint, menurut saya Midpoint adalah gagasan yang benar-benar brilian. Membacanya, sekali lagi juga mengingatkan saya kepada nama sebuah yayasan yang mungkin sudah lama ada sebelum saya memikirkannya, atau kebetulan sama karena saya baru mengetahuinya beberapa hari yang lalu. Tapi yang pasti, Darul Quran adalah cita-cita saya sejak dulu, yang semenjak 7 bulan lalu berubah menjadi cita-cita kami, cita-cita saya dan kak. Sebenarnya tidak ada yang terlalu khusus tentang ‘Darul Quran’, namanya menjadi istimewa karena saya telah meleburkan setiap satu abjadnya ke dalam fikiran alam bawah sadar saya, dan saya akan mewujudkannya ke dalam bentuk yang benar-benar nyata suatu hari. Darul Quran sendiri adalah sebuah konsep membentuk lingkungan Qurani yang bersumber dari ‘rumah’.



              Kami sempat berdiskusi tentang ‘rumah’ itu sendiri cukup lama, karena saya bermimpi ‘rumah’ yang akan saya miliki kelak adalah ‘rumah’ yang senantiasa berdzikir, ‘rumah yang ramai dengan lisan-lisan yang merindukan cahaya Alquran. Tapi kak bilang, ‘rumah’ adalah tempat kita beristirah, tidak ada keramaian karena kita butuh ketenangan disana, tidak ada suara anak-anak karena kita berdua membutuhkan kedamaian sejenak di dalamnya. Masih kata kak, ‘rumah’ kita adalah tempat mengurai lelah dan bercumbu menghadap Al-Illah.

             Saya membalasnya dengan mengatakan bahwa ‘rumah’ impian saya adalah ‘rumah’ yang bertaburkan ilmu. Saya akan memenuhinya dengan bunga-bunga hikmah yang siap saya petik sewaktu-waktu. Ada bunga ‘Takwa’, ada bunga ‘Akhlak’, ada bunga ‘Iman’, dan bermacam bunga lainnya yang akan saya pelihara kemudian. Pilar-pilarnya akan saya bangun dengan kokoh berlandaskan Quran dan As-Sunnah. Setiap sudut ruangnya akan saya hiasi dengan mutiara-mutiara yang selama ini cukup asing dan terlalu mahal untuk saya miliki, ada mutiara ‘hadits’, mutiara ‘tafsir’, mutiara ‘fiqh’ dan mutiara-mutiara antik lainnya. Kak terdiam dan mulai berfikir, “kalau begitu, kita buat sekat saja, batas ini adalah ‘rumah’ kita.” jawab kak sembari mengukur bagian apa yang layak dijadikan ‘rumah’ menurut versinya. “Baiklah, kalau begitu kita buat banyak ‘rumah’ saja, bagaimana?”, tantang saya. Kak terdiam cukup lama. Saya tahu seringkali kak kehabisan kata untuk tidak mengiyakan apa kata saya. Tapi dugaan saya sedikit meleset, tiba2 kak mengulum senyum dengan sebuah kalimat dibelakangnya, “yang pasti, ‘rumah’ kita yang sekarang belum menjadi ‘rumah’ definitif kita, iya kan?”.

“Oh iya…ya… ha…ha.. saya lupa”, jawab saya.
Kak benar, ‘rumah’ yang kami tempati saat ini memang masih jauh kadarnya dari ‘rumah’ yang kami harapkan, selain memang ‘rumah’ ini masih berstatus kontrak.
Saya menulis ini karena tersentuh dengan tulisan seorang sahabat saya, ‘Nur Laila’ tentang Shohibul Quran. Ela, begitu saya memanggilnya adalah kawan semasa kuliah dulu. Ketika bersamanya, kami seringkali mengulas tentang besarnya keirian kami pada Huffadz, dimana setiap waktu yang mereka miliki adalah pertambahan waktu untuk menjadi semakin dekat dengan Alquran. Serta betapa beruntungnya orang-orang yang Alloh takdirkan untuk mengemban amanah mulia itu, hidup bersama Alquran.


Saya tahu tidak hanya saya, saya teringat sebagian teman-teman saya yang juga memiliki mimpi yang sama.

Dan....mimpi ini pun akan dimulai,

Bismillah...

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar