Statistisi

-296- Memahami Angka Kemiskinan yang Seksi

Tuesday, July 17, 2018

Kemiskinan Indonesia
Ilustrasi: pixabay.com

Bismillahirrahmanirrahim. 

Pada hari Senin, (16/7) kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Berita Resmi Statistik (BRS) Profil Kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret 2018. 

Pada hasil rilis tersebut, disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen), berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen). 

Hasil potret kemiskinan ini tentu saja menggembirakan, terlebih jika menilik tren Kemiskinan Indonesia sejak tahun 1990 yang berada pada angka 23,43 persen, terus mengalami penurunan sampai pada Maret 2018 yang menembus satu digit. 

Tidak menunggu lama, bahasan 'seksi' ini lantas ramai dibincangkan berbagai media daring pada sore harinya. Isu 'Kemiskinan' tentu menjadi menarik untuk diangkat. Selain sensitif, isu penurunan angka kemiskinan adalah salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan, sebagai dasar perencanaan di masa berikutnya, serta sebagai bahan evaluasi program pemerintah.

Dan jangan lupa, salah sedikit saja, angka ini bisa dipelintir, dipolitisasi, dan dimacem-macemin, tergantung dari sudut pandang mana interpreter membaca angkanya.

Memahami Konsep dan Makna

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang konsep dan bagaimana pengukuran kemiskinan dilakukan. 

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari segi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. 

Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan terpisah untuk daerah perkotaam dan perdesaan. 

Garis Kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. 

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi  (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). 

Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 

Sumber data utama yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiskinan Maret 2018 adalah data Susenas bulan Maret 2018. 

Profil Kemiskinan Indonesia 

Pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82 persen) berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12 persen). 

Tentu saja kita tidak dapat hanya melihat jumlah dan persentasenya saja, tetapi melihat pula fakto-faktor yang ada di dalamnya. 

Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2017 sebesar 7,26 persen turun menjadi 7,02 persen pada Maret 2018. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2017 sebesar 13,47 persen turun menjadi 13,20 persen pada Maret 2018. 

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2018 tercatat sebesar 73,48 persen. Angka ini naik dibandingkan kondisi September 2017, yaitu sebesar 73,35 persen. 

Pola konsumsi dan harga akan sangat memengaruhi kalori. Inflasi tidak berhubungan langsung dengan kemiskinan, tetapi dapat menjadi proxy. 

Jenis komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, dan gula pasir. Sedangkan komoditi non makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan di perkotaan maupun perdesaan adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi. 


sumber: www.bps.go.id
Persentase penduduk miskin menurut pulau pada Maret 2018 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin terbesar berada di wilayah Pulau Maluku dan Papua yaitu sebesar 21,20 persen, sementara persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan yaitu sebesar 6,09 persen. Dari sisi jumlah, sebagian besar penduduk miskin masih berada di Pulau Jawa (13,34 juta orang), sedangkan jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan (0,98 juta orang). 

Sementara itu Garis Kemiskinan selama periode September 2017- Maret 2018 naik sebesar 3,63 persen, yaitu dari Rp387.160,- per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp401.220,- per kapita per bulan pada Maret 2018. Garis Kemiskinan Maret 2018 naik sebesar 7,14 persen dari Garis Kemiskinan Maret 2017 yang sebesar Rp374.478,- per kapita per bulan. 

Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap Garis Kemiskinan. Sementara Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. 

Jika dibandingkan antara daerah perkotaan dan perdesaan, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan lebih tinggi daripada daerah perkotaan. Pada Maret 2018, nilai P1 untuk daerah perkotaan sebesar 1,17, sedangkan di daerah perdesaan jauh lebih tinggi yakni mencapai 2,37. Sementara itu, nilai P1 untuk perkotaan adalah 0,29 sedangkan di perdesaan mencapai sebesar 0,63. 



Faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kemiskinan

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan selama periode September 2017 - Maret 2018 antara lain:
  1. Selama periode September 2017-Maret 2018 terjadi inflasi umum sebesar 1,92 persen. 
  2. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan untuk rumah tangga yang berada di 40 persen lapisan terbawah selama periode September 2017-Maret 2018 tumbuh 3,06 persen. 
  3. Bantuan sosial tunai dari pemerintah tumbuh 87,6 persen pada Triwulan I 2018, lebih tinggi dibanding Triwulan I 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen. 
  4. Program Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada Triwulan I telah tersalurkan sesuai jadwal. Berdasarkan data Bulog, realisasi distribusi bantuan sosial Rastra pada Maret 2018 mencapai sebesar 99,62 persen. 
  5. Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2018 berada di atas angka 100, yaitu 101,94.
  6. Kenaikan harga beras yang cukup tinggi, yaitu mencapai 8,57 persen pada periode September 2017-Maret 2018, disinyalir mengakibatkan penurunan kemiskinan menjadi tidak secepat periode Maret 2017-September 2017. Pada masa itu, harga beras relatif tidak berubah. 


Sumber: 

Berita Resmi Statistik (BRS) Badan Pusat Statistik. 


Saya tulis dalam rangka mengikat ilmu. ~~











You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar