Parenting

-235- Ibu Bekerja, Anak Diasuh Oleh Siapa?

Saturday, April 01, 2017


Bismillahirrahmanirrahim. 

Sudah sejak lama pengen nulis soal keresahan tentang ini. Soal gimana saya sepanjang bekerja sekaligus diamanahi anak selalu hampir galau-galau melow 😅 perkara 'titip menitip ini'. 

"Anak kok dititip? emang dia barang?" 😩

Iya ya, kata 'menitip' ini kesannya memang agak gak ngenakin. Meski dalam keseharian, bahasa yang kita gunakan seringkali adalah kata 'titip'.

"Anak kamu dititip sama siapa kalau kamu kerja?", begitu kan ya biasanya.

Awalnya juga saya ingin menuliskan judul dengan pilihan kata titip sampai saya ngubek-ngubek KBBI, lalu nemu ini: 

asuh v, mengasuh/meng·a·suh/ v 1 menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil: tidak ada yang ~ anakku kalau aku bekerja di kantor; 2 ki membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri (tentang orang atau negeri): sudah beberapa tahun lamanya ia ~ penjaja koran itu; 3 ki memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) suatu badan kelembagaan: kaum nasionalis yang berjuang di lapangan pendidikan telah ~ perguruan Taman Siswa

Jadi saya rasa, kata 'mengasuh' menjadi lebih tepat. :).

"Mengasuh anak buat seorang ibu itu wajib. Bekerja itu sunnah. 
Wajib selalu didahulukan di atas sunnah. 
Terus kamu ngapain delapan jam kerja di luar? sementara anak diasuh sama orang?

Saya pernah mendapati kalimat ini secara tidak sengaja. Weeew rasanya pengen saya unyel-unyel pake ulekan sambel juga ini nanti kalau diajak nyinyir-nyinyiran soal bekerja vs full rumah tangga. 😎 😆

Boleh baca celoteh saya tentang Bekerja Atau Ibu Rumah Tangga?

Tetapi  ini kalimat ada benarnya. Gak usah dinyinyirin juga, naluri seorang ibu itu pasti menginginkan mengasuh dan mendidik anak dengan cara yang terbaik dan sempurna. Saya sering berbincang dengan teman-teman sesama pekerja, kalau boleh disimpulkan secara statistik, 9 dari 10 perempuan yang saya ajak bicara, selalu risau dan membayangkan ingin resign seketika jika mengingat anak. Jadi pilihan bekerja atau full di rumah saja ini memang akan selalu menjadi bahasan debatable. Tapi untuk kali ini saya tidak ingin membahas ini. 😙

Sungguh, ada banyak alasan mengapa seorang bunda bekerja, salah satunya bisa karena faktor ekonomi selebihnya bisa jadi karena pengabdian untuk bangsa dan negara, memperjuangkan nilai atau ukuran jihadi yang lainnya.

Saya ingat sekali, bulan Februari tahun 2016 lalu, hari Jumat malam ba'da isya kami mendapatkan kabar dari Provinsi, untuk berangkat mengikuti pendidikan di Jakarta selama hampir dua bulan lamanya.

"Senin sudah harus sampai di Jakarta ya, karena jadwal sudah akan dimulai hari Selasa". Demikian pesannya.

Banyak pertimbangan yang akhirnya membuat kami memutuskan untuk mengiyakan permintaan ini. Selebihnya, kami sudah sibuk dengan persiapan yang jauh lebih penting, yakni, menitipkan pengasuhan puteri kami, Fifi.

Jangan ditanya bagaimana riewehnya, selain harus mempersiapkan banyak persyaratan untuk mengikuti pendidikan, Sabtu keesokannya, saya langsung mengurus surat pindah sementara untuk sekolah Fifi, mempersiapkan semua bajunya, mainan dan tentu saja, mempersiapkan kondisi anaknya. Dan ini yang barangkali tidak sempat saya matangkan. :(.

Diasuh Bersama Kakek Nenek

Kalau mengingat tahun lalu, rasanya masih sedih. :(. Saya tidak sempat melihat sekolah 'sementara' Fifi, tidak sempat bertemu guru-gurunya, tidak sempat mematangkan psikologinya, semuanya diurus oleh kakeknya. Tahun lalu, Fifi masih kelas satu, masih masa peralihan dari fase TK menuju Sekolah Dasar. Belum mandiri dan masih suka menangis histeris kalau saya tinggalkan. Jadi kebayangkan bagaimana suasana waktu saya akan ke Jakarta. :(

Saya memantau lewat telepon ke wali kelasnya, dan walinya bercerita kalau Fifi sering menangis di kelas,
"Bundaku gak ada..., Bundaku gak ada...", whuaaaa langsung pengen mewek lagi. :(.

Waktu itu juga kondisi belajarnya belum matang. Fifi masih belum mampu membaca dan menulis dengan baik. Sementara sistim pendidikan di sekolah baru sudah melesat jauh melampaui sekolah Fifi di tempat sebelumnya. Saya tahu, ini anak kemungkinan terkena tekanan batin. Tempat baru, teman baru, cara belajar baru, guru baru, semuanya serba dadakan. Dan hasil ulangannya waktu itu ketika saya menerima laporan, satu pun tidak ada yang tuntas. Meski ini bukanlah kerisauan yang utama, sebab saya termasuk tipikal orang tua yang tidak terlalu mendewakan prestasi anak secara angka.

Begitulah, dari sekian banyak tempat pengasuhan. Mempercayakan pengasuhan kepada Kakek Nenek saat ibu sedang bekerja, menurut saya adalah pilihan yang paling nyaman dan terpercaya sekaligus mampu diandalkan. Saya melakukan pilihan ini (pilihan yang saya anggap terbaik dari pilihan yang lainnya) saat harus menjalankan tugas negara di tahun lalu.

Tetapi, tentu saja, rasanya tidak enak, kalau sampai sebesar ini dan telah berkeluarga, apa-apa masih merepotkan orang tua. Rasanya tidak enak, kalau masih saja meminta mereka berdua yang sudah waktunya banyak beristirahat kemudian direpotkan lagi urusan pengasuhan cucu. Lagi pula, belum tentu tempat tinggal kita dekat dengan orang tua ya. Seperti saya, yang letaknya berjauhan dan harus menggunakan transportasi udara.

Perlu difikir matang-matang, jika Bunda bekerja kemudian harus mempercayakan pengasuhan anak kepada Kakek Nenek. Selain pertimbangan di atas, sudah pasti pola pengasuhan Kakek Nenek biasanya akan berbeda dengan pola pengasuhan Ayah Bunda di rumah. Perlu diskusi dan menyepakati hal-hal tertentu dengan Kakek Nenek agar pencapaian pengasuhan bisa tercapai dan sejalan.


Tempat Penitipan Anak

Ini pilihan yang banyak sekali digunakan oleh Bunda pekerja. Tempat Penitipan Anak (TPA), Day Care, dan sejenisnya. Untuk wilayah perkotaan, dalam kurun waktu terakhir, telah banyak TPA berkurikulum yang isinya berupa beragam aktifitas motorik non motorik terjadwal yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Jadi tidak sekedar anak dititipkan saja di sana. Untuk biaya, tentu saja beragam. Dari harga yang ramah terjangkau sampai dengan di atasnya. Semuanya biasanya tergantung dari tempat, suasana, dan pola pengasuhan di TPA.

Boleh baca informasi dari Ummu Hana tentang rekomendasi Tempat Penitipan Anak/Day Care di Depok.

Saya pernah mempercayakan pengasuhan anak ke TPA saat usia Fifi Balita, dan hanya cukup berlangsung beberapa bulan saja. Karena saya tidak tega melihat kondisi TPA nya yang masih minim prasarana dan tidak ada aktivitas apa pun di dalamnya, anak-anak dibiarkan begitu saja oleh pengasuhnya. :(. Yah dimaklumi, karena di tempat saya belum banyak pilihan TPA, baru ada satu, itupun sudah bersyukur sekali ada. :D.

Ikut Bunda Ke Kantor

Ini hal yang pernah saya lakukan. Membawa Fifi ke kantor. Saya juga pernah mengajaknya ikut dalam tugas lapangan, saat ada pendataan. :)

Membawa anak ikut Bunda ke kantor, ini juga menjadi pilihan yang nyaman sekali untuk Ayah dan Bunda. Karena akan lebih mudah mengawasi anak dan mengasuhnya. Terlebih saat anak juga merasa senang dan bisa bermain di kantor. Dan tentunya, butuh pengertian dari kawan-kawan kantor yang lain, karena kantor ya kantor, tempat bekerja. Bunda dapat menyiasati kebosanan anak dengan membawa sebagian mainannya ke kantor, membawakan bekal jajan yang cukup, dan persiapan tontonan anak yang ia sukai.

Suatu kali, hal ini tidak saya lakukan lagi, saat suatu hari, Fifi rewel sekali, menangis histeris, sampai guling-guling. Saya membawa Fifi pulang ke rumah, dan ia langsung terdiam seketika lantas mengajak saya bermain masak-masakan dan bermain bola. Di situ saya merasa sedih. :(. Ternyata, Fifi hanya butuh relaksasi dan bermain. :(. Suasana kantor baginya tidak kondusif, dan ia menjadi mudah bosan. Selain itu, seiring pertambahan pegawai kantor, saya mulai merasa tidak nyaman dan khawatir mengganggu kawan-kawan lain saat bekerja.

Dititip Ke Tetangga

Iya, saya memang galauers sejati soal pengasuhan anak. :(. Saya sungguh tidak punya gambaran bagaimana mengasuh anak sembari bekerja. Apalagi dulu ibu saya full time di rumah, gambaran beliau begitu sempurna dan tertanam. Pandai memasak, pandai merajut, bisa menjahit, senang bercocok tanam, bisa membuat boneka, pandai membuat kue, dan selalu ada untuk saya. Ibu yang pertama kali mengajarkan saya membaca-menulis-berhitung, ibu yang mengajarkan saya mengaji. Dulu saya masih balita tapi sudah pandai membaca, masih usia TK saya sudah melahap buku-buku cerita di perpustakaan SD. Semuanya ibu. Apa-apa ibu. Jadi ya begitulah, saya seolah memaksakan kondisi saya agar saya menjadi ibu yang sempurna untuk anak. Bisa ini, bisa itu, bisa semua. Dan selalu merasa kurang dan bersalah saat tidak bisa melakukannya. :(.

Begitupun, soal pengasuhan anak. Saya bolak-balik ganti metode. Dan mempercayakan pengasuhan kepada tetangga, ini pernah saya lakukan, dengan beberapa kali pula ganti-ganti pengasuh. :D.

Rasanya, selalu ada saja yang kurang. Ada saja alasan yang membuat saya kemudian mengganti tempat. Pernah hanya karena saya melihat kondisi keluarga tempat saya menitipkan, kurang baik dalam hal lingkungan agama. Lalu akhirnya saya mendapati tetangga yang baik, dan cukup sesuai, sayang sekali, anak saya sering tidak diperhatikan. Begitulah, rasanya ada saja yang kurang, saya khwatir terhadap banyak hal, takut nanti anak kenapa-kenapa dan sebagainya.

Terakhir, saya sudah cocok dengan pengasuhnya, tapi sayang, di rumah tetangga yang saya titipkan, si empunya rumah doyan sekali dengan televisi. Itu televisi menyala 24 jam non stop sepertinya. :D. Fifi yang tipe visual sudah pasti anteng diem dan gak rewel, tapi ya itu, dia nonton terus selama di sana. Akhirnya malah tidak tidur siang, pulang-pulang ke rumah, saya kebagian rewelnya. Rewel terus sepanjang sore sampai malam.

Tetapi bukan masalah rewelnya yang utama. Masalahnya, saban hari Fifi itu bisa cerita semua episode film yang ditontonnya. Dan kadang, ada hal-hal yang sama sekali tidak baik untuk tumbuh kembangnya. Sementara di rumah, saya benar-benar menjaga panca inderanya dari hal-hal yang bisa meracuni nilai-nilai pemikirannya. Tontonan di rumah saya batasi dan saya pilihkan. Lalu saya galau lagi, :(.

Menitipkan pengasuhan sementara saat Bunda bekerja, ini juga dapat menjadi salah satu alternatif pilihan buat Bunda. Tetapi sebelumnya, Ayah dan Bunda harus benar-benar memastikan, orang yang dititipkan ini benar-benar terpercaya dan memiliki lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak. Dan tentu saja, tidak semua pola pengasuhan di rumah bisa sejalan dan seragam, karena anak kita berada di rumah orang lain.


Baby Sitter

Sejak saya suka gonta ganti metode pengasuhan anak selama saya bekerja. Ini adalah pilihan terakhir. Dan pada akhirnya, setelah diskusi panjang, di tahun 2016 untuk pertama kalinya saya memiliki ART (Asisten Rumah Tangga) di rumah. Kenapa baru sekarang? kenapa baru 2016? karena saya tidak terbiasa dengan asisten, dan tentu saja, karena saya selalu punya bayangan menjadi sosok perempuan sempurna yang memesona. Bisa melakukan apa saja, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. :)

Tidak mudah pencarian saya terhadap ART ini. Cocok-cocokan. Ada yang saya senangi, tetapi sekali pernah ia datang kepada saya, ia menceritakan aib majikan lamanya kepada saya. Bagi saya, ini enggak banget. :(. Saya gak cocok sama tipikal orang yang suka ngibah dan njelek-njelekin orang. Ok, coret. Lalu, saya juga termasuk yang pilah-pilih umur, tampang juga akhlak. Habis gimana lagi ya, saya kan tidak terbiasa ada orang di rumah, saya juga orangnya pencemburu sekali, :p, khawatir jadi ada fitnah buat suami. :D. Diskusi kami soal ART ini sudah jauh bertahun-tahun lampau, dan sulit sekali ternyata mencari ART . Akhirnya, jalan tengahnya, kami sepakat dengan ART yang pulang pergi. Pagi datang, sore kembali. Saya masih belum kuat mental kalau harus ada ART yang nginep. :D.

Boleh baca kisah Emak Ceriwis yang sudah belasan kali gonta ganti ART di sini: Alkisah Para ART a.k.a Pembantu.

Pilihan memiliki ART sekaligus menjagakan pengasuhan anak kepadanya, alhamdulillah saya rasakan sejauh ini menjadi alternatif terbaik kedua setelah Kakek Nenek. Setelah pencarian lama, saya akhirnya dapat juga yang cocok. Saya gak sering gonta-ganti, baru dua kali. Yang pertama berhenti karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan yang kedua ini berhenti karena ingin pulang kampung. Jadi, tepat Jumat kemarin, ART kedua saya menyatakan pemberhentian diri. Saat saat saya menuliskan ini, saya sembari berfikir lagi apa jalan berikutnya yang terbaik untuk anak :). 

Punya ART ini bagi saya memiliki banyak keuntungan. Pekerjaan rumah terbantu dengan baik. Pulang ke rumah dari bekerja saya benar-benar bisa fokus hanya ke anak. Rumah sudah bersih, rapi, makan malam sudah disiapkan, tidak ada cucian menumpuk, setrikaan dan sebangsanya. Sekaligus saya jadi punya waktu lebih untuk 'me time'. Di sisi lain, saya juga merasa nyaman, sebab semua aturan (karena ini rumah saya) terutama untuk pengasuhan anak, semuanya mengikuti aturan yang saya buat dan inginkan. Saya juga memperbolehkan ART saya membawa anak-anaknya saat bekerja di rumah. Kebetulan anak ART saya masih kecil, perempuan dan seumuran Fifi. Sehingga kebutuhan bermain Fifi terpenuhi. Saya terbantu dengan kehadiran ART. Sebaliknya, ia juga senang karena masih tetap bisa mengurus anak-anaknya.

Buat Bunda bekerja, pilihan menggunakan Baby Sitter atau Asisten Rumah Tangga telah banyak menjadi alternatif pilihan. Pastikan Bunda merasa cocok dan 'klik' dulu secara personal dengan calon pengasuhnya. Berikutnya, baru boleh difikirkan bagaimana kualifikasi tambahan yang diinginkan. Misalnya bisa memasak, bantu beberes rumah dan sebagainya.

Dititipkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Saya tidak sedang bercanda soal ini. Ini juga pernah saya lakukan. Pernah, dalam kurun waktu beberapa bulan, saya tinggal Fifi di rumah sendiri saat ia tidur siang, kebetulan waktu itu, ia sudah memasuki Usia TK, dan sekolahnya pulang sampai jam 12 siang. Jadi setelah makan siang dan saya ajak tidur, Fifi saya tinggal di rumah, dan kemudian saya bolak-balik kantor-rumah yang jaraknya tidak jauh sekitar satu jam sekali untuk memastikan keadaannya.

Saat itulah, saya merasa benar-benar tawakkal, menyerahkan semuanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Doa "u'izu auladi bikalimayittaaammat, min syarri kulli syaithoni wahaammah wa min kulli 'ainil laaammah" 
"Ya Allah, aku serahkan anak-anakku di bawah perlindungan kalimat Allah yang sempurna, dari gangguan syaithan, mara bahaya dan dari pandangan yang penuh kedengkian"

Kemudian menjadi doa pamungkas yang saya resapkan dalam-dalam. Belakangan saya jadi mulai paham, dan menurunkan standar menjadi sosok sempurna seperti sosok ibu saya. Karena saya bukan ibu. Dan saya tidak akan pernah mampu menjadi plek, persis, seperti ibu.

Saya sadar, bahwa, dengan siapapun pengasuhannya, sebagai seorang muslim, saya tetap butuh Allah, tempat menitipkan dan tawakkal.

Saya mulai mengurangi berbagai macam pikiran khawatir dan perasaan bersalah dalam hal pengasuhan anak.

Bahwa menjadi seorang Bunda #MemesonaItu adalah menjadi sosok Bunda yang bahagia dan bersyukur dengan kondisinya apapun itu. Saya kemudian mulai memperbaiki nawaitu bekerja. Saya meniatkan bekerja sebagai pengabdian kepada bangsa dan negara, bekerja sebagai ibadah. Saya berusaha meresapi kata pengabdian dengan dalam dan sempurna. Ketika bekerja niatnya sudah benar, dan menjadi ukuran jihadi, saya berharap itu mampu membawa pada jalan kebaikan dan keridloan Allah sehingga Allah mudahkan segala urusan terhadap anak dan termasuk pengasuhannya, tawakkal ilallah.


Bahwa menjadi seorang Bunda #MemesonaItu tidak harus pandai dalam segala hal dan serba bisa dalam segala hal. Sebab yang dibutuhkan oleh anak sejatinya adalah peluk kasih sayang dan dekap kedekatan. Ada hal-hal yang tidak mampu saya lakukan, dan memang sejatinya, saya tidak mampu untuk melakukan banyak hal, dalam satu waktu.


Bunda #MemesonaItu adalah bunda yang tetap konsen dalam pengasuhan anak dan tumbuh kembangnya sembari berkarya dan memberi sumbangsih untuk Bangsa dan Negara.

Sekarang saya mulai terbiasa dengan celotehan anak saya,
"Bunda, kita mau makan di mana? di warung padang atau di tempat sate?", duh, dulu malu sekali saya kalau anak sudah bilang begini, :D. Serasa jadi Bunda gagal :p karena gak selalu sempat masak. Sekalinya masak, sok pencitraan pulaak di upload di blog, :p. Sekarang, saya jadi mulai terbiasa. Karena bagaimanapun, inshallah saya tetap bisa menjadi sosok Bunda Memesona buat anak-anak saya nanti kelak. :)

Begitulah, versi  #MemesonaItu menurut saya. Bagaimana menurut teman-teman? punya cerita yang berbeda? :).



Gambar dipinjam dari: www.pixabay.com





You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



17 komentar

  1. Semoga selalu dimudahkan dalam menemukan asisten yg cocok untuk mengasuh ya,rin... semangat2.. katanya sampe anak usia 7 thn udah mulai enak kok ga terlalu pusing mikir siapa yg ngasuh tpi lebih ke siapa yg nemenin aja. Katanyaaa.. ak jg ga tau sih anakku belom sampe 7 thn hahhaa..

    Btw makasih sudah dipromoin blogku ya hihihi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama Tea. 😊 iya, alhamdulillah semenjak 7 tahun memang tambah enak dan jadi mudah difahamkan ☺

      Delete
  2. i feel mbaaaa :) rasanya sakit saat semua orang bilang saya jahat meninggalkan anak demi dinas, rasanya kecewa saat saya sudah berusaha sebaik2nya menjalankan fungsi ibu namun masih saja mendapati saya ga becus ngurus keluarga padahal dibalik itu semua ada cerita yang tak perlu saya bagikan.

    gudluck mba :) aku jg pengen ikutan deh hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Debatable memang bahas irt vs kantoran memang Mbak 😀.

      Ayuuk Mbak ikutaaan 😊

      Delete
  3. Setiap pilihan memang ada konsekuensinya. Saya gak punya kakek nenek yg bisa dititipi anak. Daycare juga jauh. ART susah dicari, maunya cuma setengah hari. Selain karena memilih, menjadi IRT atau ibu bekerja itu kayaknya takdir juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, sependapat saya soal takdir ini. Saya juga sudah sembari istikharah terus tapi sepertinya jalan ini yang di mudahkan Allah ☺

      Delete
  4. Pasti galau ya Mba apalagi kalau masalah dream job, tapi Mbak udah tahu solusi yang memesona kan jadi semoga tidak menimbulkan masalah baru, Bunda happy baby happy tfs ya Mbak^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bengeuts Mbak galaunya 😅. Iya alhamdulillah sudah tahu apa itu memesona versi saya 😀

      Delete
  5. Kemarin sempat kepikiran mau nanya ke Mbak, "Kalo Mbak kerja, anak sama siapa Mbak?". Tapi pertanyaan itu saya simpen aja, hehe. Kepo emang ndak harus dituruti. Eh, ndak lama terjawab deh ��
    Semoga Fifi jadi anak sholihah.. Amiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin. Makasih Mbak Nabila. Sekarang jadi ndak kepo lagi kan? 😀

      Delete
  6. Saya langsung terpesona dgn tulisan ini sebagai ibu pekerja saya sepemikiran, memang bukan sesuatu yg mudah tapi itulah pilihan kita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali Mbak. Semangat ya Mbak untuk si buah hati 💪💪💪😀

      Delete
  7. Akupun sangat terbantu dgn adanya baby sitter dan mba ART ku mba.. Tanpa mereka, aku udh pasti ga bkl tenang kerja. Dan alhamdulillah, kedua asistenku ini insya allah aku percaya banget dengan mereka krn memang udh lama ikut aku sejak anak pertama dan terbukti jujur. Berkali2 aku srg diam2 ngetes, tapi ga sekalipun mereka gagal dr tes ku. Anak2 jg deket ama keduanya..

    Kalopun ada omongan miring kiri kanan kenapa aku ttp kerja pdhl sbnrnya ga masalah aku berhenti dan nyerahin semua urusan financial k suami, yaa sebodo amatlah yaa :D. Kebutuhan masing2 orang beda. Buatku kerja bukan cm krn gaji, tp itu membantu aku ttp waras, krn sesuai ama kemampuanku, dan aku bener2 suka suasana kerjanya. Toh hubungan dengan anak ttp terjaga kok :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah jika dapat yang cocok ya Mbak. Ini yang rada gak mudah, cari yang cocok. Mudah-mudahan seterusnya bisa klik ya Mbak. ☺

      Delete
  8. Aku juga suka nitip anak mbak kalau ada keperluan, tapi ya gtu memang ada plus minusnya setiap pilihan. Diasuh sm orang lain ya hrus diterima kekurangan2nya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak, selalu ada plus minusnya 😊. Semangat niatkan lillah yaak 💪💪💪

      Delete
  9. Saya dulu juga sering galau kalau menyangkut anak2. Apalagi sbg ASN, kita harus siap dinas luar kapan saja. Tapi sekarang lebih memilih nrimo sambil menata niat bekerjanya. Anak2 waktu kecil di TPA. Kalau sudah SD masuk di full day school.

    ReplyDelete