Celoteh

-219- Prasangka, Zon dan Realita

Sunday, October 16, 2016


Sungguh, Tuhanmu benar-benar Esa. 
Tuhan langit dan bumi, 
dan apa yang berada di antara keduanya,
dan Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari
(As-Saffat: 4-6)

Bismillahirrahmanirrahim.

Ini adalah perjalanan yang kesekian, di mana saya dapat benar-benar mengambil pelajaran. Tentang Esanya Tuhan. Tentang pemandangan yang tersuguhkan, tentang tepatnya sebuah kejadian. Tidak ada yang kebetulan bagi yang memahami bahwa semua jalan telah ditakdirkan. 

Pun sore ini, sore yang telah lama saya rindukan. 

Sore di mana saya bisa berdiri sejenak,
menjangkau pandangan sejauh penglihatan bawah sadar dapat memandang,
sore di mana saya dapat membebaskan pikiran,
membiarkannya liar. 

Tentu ada sesuatu mengapa sore ini baru terwujudkan pada sore ini, pada jam kesekian, bersama-sama dengan keramaian hilir mudik empat ratus orang yang tidak saya kenal. 

Tentu pula ada maksud mengapa kiriman email dari Kenanga -setelah saya hitung jumlahnya- berjumlah dua puluh,  sementara saya hanya membacanya, merespon satu-dua, lalu kembali menutupnya. 

"Aku membaca semua emailmu"

Demikian balasan yang saya kirim kepada  Kenanga, singkat saja, sebab saya tidak ingin ia gelisah, menanti apa jawaban saya. 

Tahun-tahun yang telah lewat, saya masih bisa merasa terusik, saat banyak yang bertanya pada saya, 

"Bagaimana kabar Kenanga?" 
"Bagaimana kabar Kenanga?"

Saya sewot, menjawab dengan perasaan terganggu,

"Gak tahu apa-apa. Dan jangan tanya-tanya lagi. Please stop bertanya tentang Kenanga. Dan stop menghubung-hubungkan saya dengan Kenanga, hanya membuka luka lama saja"

Iya, bagaimana tidak. Untuk pertama kalinya, dalam hidup saya, didamprat oleh suami orang, diminta agar tidak dekat-dekat lagi  dengan isterinya, katanya pemikiran saya aneh, katanya pemikiran saya nyeleneh, jauh dari sunnah, katanya saya memberi pengaruh kepada isterinya. Dan beberapa kali saya diminta mengganti nomor handphone agar isterinya tidak lagi menghubungi saya. Waktu itu saya marah sekali, tidak diterima dikatai macam-macam. Mengapa pula saya yang harus repot-repot mengganti nomor?. Ish, waktu itu, ingin sekali rasanya mengumpat di depan wajahnya, dan meneriakkan satu kata, SAKIT JIWA!!!. 

Kemudian kata-kata amarah itu menjelma dengan balutan bantahan dari saya, dan berujung debat tak berkesudahan, tak ada yang mau mengalah. Lalu akhirnya saya jengah, dan menyerah. 

Tahun 2010. Persahabatan saya dan Kenanga terputus hanya karena saya tidak sabar menghadapi kemarahan -suaminya-. Hanya karena saya tidak tahu bagaimana caranya menghadapi dan menanggapi hujatan kata-kata.

Tahun di mana saya belum seperti hari ini. Belum seperti sore ini. Belum seperti pada jam ini. 

"Kamu tahu kenapa waktu itu aku marah sekali. Aku marah sebab aku disebut melenceng dari sunnah, tidak sesuai seperti bagaimana Rasulullah mencontohkan. Aku marah karena yang berkata demikian sejatinya tidak pernah mengenaliku, belum pernah sekalipun bertemu denganku, melihat keseharianku. 

Aku marah sebab saat ia meneriakiku jauh dari sunnah, apa yang telah dicontohkannya? menghubungi non mahram, bagiku itu lancang, di mana adabnya?  di mana letak sunnahnya? bersikap tak berpekerti, menyakiti, tidak beradab dan sopan, di mana letak sunnahnya? . Memutus silaturrahim, di mana letak sunnahnya?"

Semua itu hanya karena satu sms saya yang isinya merekomendasikan satu buah buku rangkuman pondok pesantren terbaik se Indonesia, terbitan dari salah satu harakah.  

"Ya kalau tidak sepemikiran dengan harakahnya, tak perlu marah-marah. Toh saya gak pernah promosikan harakahnya, karena saya juga gak sepemikiran. Saya gak jualan bukunya. Gak suka ya gak usah dibeli. Selesai, gak ada masalah. Apa aku pernah mempengaruhimu macam-macam? tidak. Tidak pernah"

Bahkan saya dan Kenanga, berbeda, dalam banyak hal. Dalam banyak prinsip. Tapi kemudian persahabatan kami tetap seperti biasa, baik-baik saja. 

"Berhenti mengkotak-kotakkan. Aku bukan PKS. Aku bukan NU. Aku bukan Muhammadiyah. Aku bukan salafy, bukan HTI. Aku bukan PPP, PKB, PAN apalagi Gerindra" 

Jika pun saya pada akhirnya terlihat setengah salafy, setengah PKS, separuh HTI, sedikit NU, sebagian Muhammadiyah, lantas kenapa? saya hanya ingin mengatakan bahwa berdebat hanya karena perbedaan pemikiran dan sudut pandang itu sesuatu yang apa sih, apa yang ingin dicari, apa yang penting. TIDAK PENTING. TIDAK BERGUNA. Apalagi musuh-musuhan hanya karena perbedaan pilihan calon pasangan di putaran Pilkada. Itu apa sih, apa yang ingin dicari, apa yang penting. TIDAK PENTING, TIDAK BERGUNA. 

Punya pendapat itu penting. Punya pemikiran itu penting. Meyakini sesuatu itu penting. Tetapi saat pemikiran itu harus berdampingan dengan jutaan pemikiran yang lain dalam sebuah hubungan kemanusiawian, maka itu tidak lagi menjadi asasi. Saya boleh saja tidak sependapat, tidak sepemikiran. Tetapi dengan segala kerendahan hati, saya dapat mengambil sebagian pelajaran dan menikmati buah pengajaran dari berbagai pemikiran di luar sana. Saya mengambil bagian yang baik, dan membuang yang tidak sesuai dengan saya. Itu yang saya lakukan. Itu sebabnya saya masih merasa enjoy berteman dengan orang yang berbeda dalam pemahaman, berteman dengan mereka yang bahkan tidak mengenal kata Tuhan. Berteman, dalam hubungan muamalah, dalam batasan sosialisasi, tidak ada masalah. Perbedaan tidak lantas menjadikan saya kasar, mudah mengkafir-kafirkan, mudah menghujat, melempar benci, apalagi sampai antipati. 

Meskipun jika saya mau, ngotot-ngototan dan 'ego' terhadap pemikiran saya sendiri dan apa yang saya yakini, saya bahkan tidak sependapat dengan perempuan berniqab tetapi masih mengupload foto-foto selfienya di dunia maya. Meski foto tersebut diunggah tetap bertutup lengkap dengan niqab. Karena bagi saya, itu menodai. Tujuan berniqab di dunia nyata kan untuk menjaga diri, menutup penglihatan non mahram, mengapa di dunia maya harus diumbar-umbar -bisa dilihat oleh banyak non mahram- dan membuat orang lain lebih mudah mengenali?  Jadi ya, sekalian saja tidak usah pasang foto diri. Selesai, aman. 

Tapi yang begini-begini kalau di bawa ke ranah kemanusiawian, ke ranah hubungan muamalah menjadi tidak tepat. Apalagi hal-hal yang remeh lain seperti perbedaan harakah.  

"Aku adalah seorang muslim Kenanga, sama sepertimu. Hamba Allah. Perlakukanlah orang lain, sesama muslim sebagai saudara". Demikianlah sebagian isi balasan pada kiriman email yang berbeda, yang saya kirimkan kepada Kenanga

Dan jika itu tidak cukup membantu, perlakukanlah manusia sebagai manusia. 

Karena saya tahu Kenanga, saya tahu ia tidak seekstrim itu, karena saya sahabatnya, bahkan sejak enam tahun lalu, sejak terputusnya hubungan persahabatan kami, saya tahu Kenanga akan kembali, akan mencari tahu tentang saya, dan akan datang dengan sendirinya kepada saya. 

Begitulah prasangka yang saya sematkan kepada Kenanga. Zon yang baik yang bernama husnudzon. 


"Biarkan saja. Aku gak ingin mencari tahu di mana dia. Tunggu saja, suatu saat, dia akan menghubungiku dan datang lagi kepadaku". Begitu kata-kata terakhir saya kepada teman-teman dekat Kenanga yang terus bertanya tentang Kenanga. 

Dan hari itu, datang juga. Ia menemukan saya. Ia menemukan saya melalui blog ini. Alhamdulillah, blog ini membawa berkah. Kemudian kami berbincang -lebih tepatnya Kenanga yang banyak bercerita dan saya cukup membaca-. Saya sampaikan kepada Kenanga, bahwa saya dapat menerima berbagai perbedaan sudut pandang dan pemikiran, tetapi mengingat kejadian 2010, saya memutuskan mengambil sikap untuk tidak terlalu berbincang akrab, sampai -suaminya- ridlo atas saya. 

Karena saya sahabat Kenanga, saya tahu betapa merindunya Kenanga terhadap sahabat-sahabatnya. "Persahabatan adalah tetap persahabatan, engkau masih sahabatku seperti dulu Rin. Dan ketahuilah aku pun masih tetap sahabatmu, aku masih Kenanga yang dulu sebelum kita berpisah". begitu kata Kenanga. Tapi saya tahu, suaminya, tidak suka dengan kawan-kawan dekat Kenanga -entah dengan alasan khusus apa-, ia membatasi Kenanga. Dan saat Kenanga mengirimkan email kepada saya, saya tahu Kenanga berbuat diam-diam, di belakang, tanpa sepengetahuan. Dan, saya, sebagai sahabatnya, tak ingin merestui itu. Kenanga tidak boleh diam-diam. Kenanga harus bicara, Kenanga harus berjuang, Kenanga harus menyampaikan keinginannya, dan  apa pun yang dilakukan Kenanga haruslah mendapat restu dari suaminya. 

Saya membaca ulang semua email Kenanga, dan saya bersyukur saya telah berhasil berprasangka, dengan zon yang baik, husnudzon terhadap Kenanga. Meskipun itu haruslah diawali dengan sebuah zon yang buruk, suudzon terhadap  suaminya. Betapa buruknya prasangka saya saat saya marah-marah, tidak terima dan tidak mau mengalah itu.

Kenanga menceritakan semua yang ia alami lima tahun belakangan. Semua realita yang telah terjadi. MasyaAllah, luar biasa, saya tahu tidak mudah menjalani pernikahannya. Saya tahu tidak mudah berada di posisinya, dan menghadapi tiga ratus enam puluh derajat perbedaan karakter, sikap dan pemikiran. Saya menjadi  paham mengapa ia pernah sampai pada titik terendah dalam kadar keimanan seorang hamba, memiliki keinginan bunuh diri. Saya senang Kenanga menyadari kekeliruan, dan di tahun keenam ini mencoba bangkit dari keterpurukan, memperbaiki semuanya. 

Saya juga bahagia, beberapa bukunya terbit, Kenanga mengirimkan gambar contoh buku-buku aljabar untuk anak-anak sekolah dasar karyanya. Namanya terpampang di sampul depan. Sungguh, saya turut bangga dan berbahagia. :). 

"Terimakasih Nurin mau terbuka kepadaku, dan bercerita tentang apa yang Nurin rasakan lima tahun lalu. Mohon ikhlaskan, mohon maafkan, ikhlaskan semua yang telah terjadi. Kami banyak salah, banyak khilaf". 

Beberapa email dari Kenanga masuk lagi, kali ini bunyinya sama.  Permohonan maaf, meminta keikhlasan. Sore ini saya membacanya dengan lelehan air mata. 

Maha besar Allah yang telah menunjukkan saya jalan. Maha besar Allah yang telah membukakan hati dan pikiran. Saya menangis sebab di hari ini, saya tidak lagi memandang dengan pandangan yang sama seperti enam tahun lalu. Saat ini, saya menyadari bahwa semua yang telah terjadi adalah takdir Allah, bagaimana cara Allah memisahkan dan mempertemukan. Hari ini saya menjadi pribadi dengan kacamata yang berbeda. Saya dapat melihat bahwa jika tidak ada kejadian A, maka tidak akan ada B dan seterusnya. Sudah jalannya, sudah takdirnya, semua ada hikmahnya. Semua ada pelajarannya. Saya tinggal memetiknya, dan mengambil ibrohnya. 

Saya menangis sebab di saat bersamaan, seorang Amelia menyampaikan keluhannya tentang mengapa setiap ia menyampaikan nasihat selalu dilabrak oleh si A. Lalu saya katakan kepadanya bahwa, 

"Mbak, ketika Mbak menyampaikan sesuatu atau nasihat kepada orang lain terkadang terlalu to the point, menusuk dan bikin sakit. Kalau saya, biasanya saya diamin Mbak saja, sampai hati saya kembali netral, tapi untuk orang lain, mungkin beda sikap."

Saya menyampaikan ini, dengan bahasa yang sama persis dengan yang biasa ia lakukan, to the point, langsung, skakmat. Dan saya menyampaikan ini dengan harapan agar ia sadar dan mengubah sikap, sebab yang 'merasa' bukan satu-dua, tapi sudah banyak. Dan tahu apa yang terjadi? ia membela diri, membuat benteng. Mengatakan bahwa kata-kata saya juga sama to the pointnya, dan menusuknya. Mengirimkan saya ciri-ciri golongan darah, dan menyampaikan kepada saya bahwa semua yang ada di keterangan itu ada pada dirinya. Saya membaca keseluruhan dan mengambil kesimpulan dengan cepat bahwa ia menggaris bawahi ciri utama yang ada padanya, suka berbicara terus terang tetapi sebenarnya paling mudah tersinggung. 

Maksud lo? jadi lo bisa seenak kata ngomong ke orang lain, tapi orang lain gak boleh ngomong sembarangan sama kamu? harus hati-hati gitu ngomongnya ke kamu? Mungkin inilah umpatan diam-diam saya jika saya adalah saya enam tahun yang lalu. :)

Tapi saya hari ini, adalah saya yang berbeda, saya mulai dapat mengambil pelajaran baru, bahwa tidak semua orang mengerti dan paham bahwa hal yang paling mudah dalam memanusiakan manusia, adalah berhusnuzon. Berlapang dada terhadap kealpaan, kesalahan, dan meminta maaf. Ya allah, betapa manisnya jika kalimat yang keluar darinya adalah kalimat, 

"Maaf ya, mohon ikhlaskan semua kata-kata saya yang pernah menyakiti, mohon ikhlaskan, mohon ikhlaskan". 

Tetapi realitanya tidak demikian. Realitanya ia belum paham tentang itu. Realitanya adalah bahwa ia tidak mau disalahkan, tidak mau dihujat, dan tidak nyaman diberi nasihat. Realitanya, sebenarnya semua manusia sama. Semua manusia tidak suka disalahkan, tidak suka dihujat dan tidak nyaman terhadap kritikan. Semua manusia realitanya, suka dengan pujian, suka disanjung dan teramat nyaman jika dihargai. 

Maka, perlakukanlah semua manusia demikian. Memanusiakan manusia. 

Jika kita tahu, kita tidak suka disakiti, maka jangan menyakiti. 
Jika kita tahu, kita mudah tersinggung, ya jangan menyinggung.
Jika kita tahu kita tidak suka dikritik, ya jangan mudah mengkritik. 

Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Memanusiakan manusia. Bersikap husnudzon terhadap segala sesuatu. 

Untuk itulah, saya mendiamkan Amelia, tidak lagi membalas jawabannya atas masukan yang saya berikan. Sebab akan sia-sia, karena realitanya, Amelia belum dapat memahami apa yang saya pahami. Amelia akan terus membela diri, membuat benteng, sekuat-kuatnya.  

Saya tidak hanya ingin membuatnya belajar bahwa, "begini lho rasanya orang-orang yang menerima masukan dan nasihat darimu". Pedih kan ya? pedih?. Tidak! bukan itu. Saya ingin ia menjadi lebih hangat, menjadi lebih bisa memanusiakan manusia. Menjadi lebih tahu bagaimana memperlakukan orang lain. Menjadi lebih banyak memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Saya juga belajar bahwa apa yang kita tanam, itulah yang kita petik. Kebaikan yang kita berikan kepada orang lain, akan kembali kepada kita dengan nilai kebaikan yang sama atau lebih. 

Dari Amelia saya belajar satu hal, bahwa orang yang terbiasa 'jahat' (dalam tanda kutip) kepada orang lain pun tidak suka jika dijahati. Maka hal terbaik dalam menghadapi orang yang 'tidak baik' perlakuannya terhadap kita, adalah dengan tidak membalasnya, karena membalas hanya akan memperburuk keadaan, memperkeruh suasana. Diamkan saja, dan netralkan suasana hati. Berikan zon yang baik, husnudzon. Ingat semua kebaikannya. Kadang kala, satu 'ketidakbaikan' dari seseorang menghapuskan seribu kebaikannya hanya karena suuzon kita. 

Dari Kenanga saya belajar banyak, banyak sekali. Saya belajar bahwa sikap husnudzon saya padanya telah membawa saya kepada kehidupan yang mendamaikan. Saya melalui enam tahun ini tanpa dendam ataupun luka menganga yang mendalam. Meskipun sesekali jika ada yang bertanya kepada saya tentang ia, bayang-bayang kejadian tidak mengenakkan di masa lalu itu muncul kembali, sesekali, dan itu sungguh wajar. :). 

Dari Kenanga saya belajar, bahwa sebenarnya yang manusia -pada umumnya butuhkan- hanyalah pengakuan kesalahan dan permohonan maaf. Kenanga bahkan telah melakukannya pada enam tahun lalu, sebelum perpisahan. 

"Maafkan kami. Ikhlaskan kami. Ikhlaskan kami."

Dari Amelia, saya belajar kembali tentang sebuah realita. Realitanya tidak semua orang senang dengan kenyataan. Tidak semua manusia bisa begitu saja dapat menerima permohonan maaf. Bahkan dalam satu titik, bisa jadi memperkeruh keadaan, apalagi jika disampaikan dalam kondisi yang tidak tepat. 

Untuk itu, memberi jarak dan waktu, barangkali akan menjadi pemecahan yang mendamaikan. 

Inilah momen terbaik dalam hidup saya. Sore di mana saya dapat menyadari bahwa kekayaan sesungguhnya yang paling berharga adalah kekayaan hati. Bukan harta, bukan kekuasaan,  bukan jalan-jalan ke luar negeri, bukan kendaraan, bukan uang. Kekayaan yang sesungguhnya adalah sebuah hati yang bahagia, hati yang damai, hati yang nyaman, hati yang tenang, hati yang penuh dengan prasangka baik, hati yang senantiasa berhusnudzon, hati yang yang selalu bersyukur. Alhamdulillah, saya dapat merasakan itu. 

Pada momen ini, saya juga ingin menyampaikan hal yang sama, kepada yang lainnya, dan yang membaca postingan ini.  

"Mohon maafkan dan ikhlaskan jika pernah ada kata-kata, kalimat, perbuatan yang barangkali menyakitkan, menyinggung. Mohon ikhlaskan saya dan keluarga. Mohon ikhlaskan. Ikhlaskan... ikhlaskan..". 


*Kenanga dan Amelia, nama samaran

Hari ini saya telah berubah menjadi pribadi yang tidak sama dengan pribadi enam tahun lalu. Maka saya pun menginginkan itu untukmu Kenanga. Saya ingin bersahabat dengan Kenanga yang baru, Kenanga yang lebih baik. :). Maaf ya, kalau emailnya tidak banyak dibalas, engkau pasti tahu alasannya. 

Dan, saya tahu, suatu saat engkau akan sampai juga di blog ini, dan membaca tulisan ini. :)

"Terimakasih telah berkenan berbagi denganku. Terimakasih telah menjadi sebenar-benar sahabatku"









You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



35 komentar

  1. tulisannya panjang namun alurnya enak dibaca

    ReplyDelete
  2. Semoga kita semua selalu berjalam ke arah yg lebih baik dan lebih baik lagi😊

    ReplyDelete
  3. Serasa ditampar pas baca point berniqob tapi masih upload foto di dumay. Saya pun dulu punya sahabat, dekat cukup dekat. Qadarallah, hatinya lebih condong ikut kajian "hizbut tahdzir" so kami (para sahabatnya, teman seperjuangannya dulu) dimusuhi. Bahkan untuk sekadar mengingat masa lalu pun kami diminta melupakan. Terserahlah.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lho pindah pengajian kok musuh2an? :(. Peer Indonesia banget ini memang Mbak.:( demen banget kita ribut masalah yang tidak asas. Sementara masalah krusial ummat kadangkala terbengkalai.

      Delete
  4. Sahabat adalah orang bisa kita jadikan tempat berbagi, tp kadang tidak semua orang sm pemikiran dgn kita. Semangat terus mba nurin

    ReplyDelete
  5. Sahabat adalah orang bisa kita jadikan tempat berbagi, tp kadang tidak semua orang sm pemikiran dgn kita. Semangat terus mba nurin

    ReplyDelete
  6. Sahabat sejati tak hanya melewati yg indah2, tapi ketika bisa melalui sgala perdebatan,kesalah pahaman dan perbedaan pendapat....

    ReplyDelete
  7. Aku kadang cuma menghindar kalau sudah bicara tentang fikroh beginian karena. Pedih banget kalau kita sama sama Muslim tapimusuhan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya bener Mbak, urusan umat yang lebih penting masih banyak, :)

      Delete
  8. Sahabat teman berdebat dan berbagi buat saya, namun nggak jarang juga diem - dieman 1 hari dan besokannya sudah ketawa ketiwi lagi :)

    ReplyDelete
  9. Ada yang saya sesali dalam persahabatan saya dengan seseorang. Saya nggak bisa nahan diri untuk mengatakan kepadanya bahwa "kamu yang mengalaminya" saat ia menceritakan sebuah kondisi, dengan mengatakan bahwa itu kejadian yang menimpa seseorang dan dia butuh masukan saya.

    saya nggak sembarangan menyimpulkan, tapi seharusnya nggak diucapkan. Efeknya, dia menjauh...

    ReplyDelete
  10. "Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Memanusiakan manusia. Bersikap husnudzon terhadap segala sesuatu."

    Kalimat-kaliamat diatas itu yang coba terus saya jaga, tapi saya juga sadar, ada momen dimana saya tidak bisa menjaganya, mungkin lebih dulu dikuasai emosi yang buruk.

    Saya juga minta dimaafkan jika ada kata yang tidak berkenan ya Rin, sebelum dimaafkan mungkin baiknya beritahu dulu jika memang saya ada salah, agar tak terulang.

    Ikutan "hawa" tulisanmu nih Rin, jadi ikutan minta maaf.hihi..

    ReplyDelete
  11. masyaAllah tulisannya bagus bngt, inspiratif.

    Allah berfirman:
    Barangsiapa yang diberi petunjuk maka tiada seorngpun yang dapat menyesatkannya. (Al Kahfi)

    ReplyDelete
  12. Banyak jlebnya deh ceritanya. Ihiks... self reminder banget. Makasih ya sudah mengingatkan dengan tulisan ini. :)

    ReplyDelete
  13. Memiliki tujuan hidup sangat diperlukan sekali ya mbak namun itu tergantung kitanya saja yang mau mengarahkannya ke mana.

    ReplyDelete
  14. Aku sebenarnya sedih juga mbak, kalau lihat saudara yang berniqob tetap masih mau unjuk diri, ehh berpose2 layaknya mereka yg tidak berniqab, etapi yaitu, saya hanya ingin khusnudzon aja meski kadang suka sedih. Meski juga saya belum bisa seperti mereka yang juga berniqab..
    Tetap semangat yaa mbak ^_^

    ReplyDelete
  15. Sahabat itu harusnya lebih dekat dari teman ya Mba Nurin, tapi kenapa ya kadang sulit menasihati sahabat. Takut dia marah, takut tersinggung... apa berarti kita belum kenal banget ya sama sahabat kita itu? *curcol

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya Mbak, kadang karena sahabat merasa lebih dekat dengan kita, jadi lebih berani nolak nasihat. :)

      Delete
  16. kebayang emosinya kayak apa dituduh-tuduh kayak gitu ya mbak -_-

    ReplyDelete
  17. Duh sampai dituduh melenceng yah Mba Nurin :(

    Alhamdulillah hubungannya bersama Mba Kenanga udah membaik kembali, saya ikut senang mendengarnya Mba :)

    ReplyDelete