Celoteh

-190- Every Cloud Has a Silver Lining

Wednesday, May 18, 2016





Kemarin adalah hari yang luar biasa untuk saya, dan mungkin beberapa kawan yang senasib sepenanggungan, ehehe. :p. Yang sampai sore hari, masih ada yang menghubungi saya dan bertanya, 

“Nurin, kamu masih galau gak?,” 

Dan saya jawab, “iya, masih, sedikit.” :)
Kemudian saya lanjutkan, “Tapi setelah tahu, kalau aku tidak sendiri, bukan hanya aku yang mengalami, -karena tiba-tiba kebijakan baru muncul-, aku merasa lebih baik.”

Tadinya, saya mulai berpikir, “Apa ada yang salah dengan saya?,” “apa karena IPK yang pas-pasan? Proposal tesis yang terlalu asal-asalan? Sampai pada ... apa ya salah dan dosa saya?,” haha. 

Tapi, begitu membaca salah satu komentar di grup WA, “Kayaknya yang pada diklatpim tahun ini gak ada yang diterima ya?.”

“Gitu emang ya? Aku sudah sempat nangis di pojokan tadi :( :(”

“Hikhikss sama Nurin, sudah nangis juga dalam hati. :( Tapi InshaAllah ini yang terbaik #soktegar.” 

Nah, setelah itu, bermunculan lah, hashtag-hashtag #tegar ini sepanjang hari kemarin. :D. 


Kejadian ini mengingatkan saya pada peristiwa kira-kira dua belas tahun silam, saat saya merasakan kegagalan terbesar sepanjang sejarah hidup, gagal kuliah sesuai minat dan passion :). 

“Iya, sudah jelas-jelas kita itu berminat, masak kita gak diizinin,” obrolan mengenai guru BP yang gak mengizinkan kami mengambil PBUD di jurusan yang sangat diinginkan. 

Sambil nyeruput es jeruk, sambil sedih-sedihan, gak jelas waktu itu, dan masih sempet ngajak kembali lihat papan pengumuman untuk terakhir kali. :D. Sambil mengucap janji, “tahun depan, di mana pun kita berada, kita harus kembali lagi ke sini, ikut tes lagi, kita pasti bisa masuk.” 

Dan, di tahun berikutnya, apakah yang terjadi? Tidak satu pun dari kami yang kembali, yang satu sudah di Jakarta, yang satu sudah di Yogyakarta, yang satu lagi tetap di daerah tapi tidak juga kembali. Hahaha. 

Tidak sampai di situ, saya juga tidak bisa mengikuti SPMB di tahun itu. Entahlah, semua pintu rasa-rasanya seperti tertutup, satu-satu, tidak ada celah. 

Di situlah, saya merasa gagal, saya merasa seolah sedang menyusun tumpukan buku, buku-buku itu sudah tinggi menjulang, tinggal satu lagi, tapi tiba-tiba tumpukan buku itu ambruk, mengenai saya. Rasanya sakit sekali. Rencana hidup saya berubah, 360 derajat, berubah haluan. 

Lalu tidak lama, paman saya dari Jawa yang seumur-umur tidak pernah datang berkunjung, entah bagaimana ceritanya, seperti di kirim saja, saya lupa ada urusan apa, datang ke rumah, promosi habis-habisan tentang sekolah gratis, lulus jadi pegawai, bla..bla..bla. Waktu itu sepupu saya sudah kuliah di STIS. Inilah yang akhirnya mengubah pola pikir bapak dan ibu, yang akhirnya sepakat bulat meminta saya mengikuti tes ujian masuk STIS. 

Saya mendaftar pada detik-detik menjelang usai. Itu pun dengan malas-malasan. Saya ingat sekali, pendaftarnya tidak banyak waktu itu, sekitar 40 orang. Nilai matematika saya juga tidak sebagus pendaftar yang lain yang rata-rata lulusan SMU unggulan. Saya hafal beberapa wajah, karena sempat bertemu saat mengikuti tes masuk kedokteran. Yang mana, saya tahu beberapa dari mereka sudah memegang banyak tiket, beberapa sudah diterima kuliah di luar negeri. Saya tidak ada apa-apanya, dan saya juga termasuk yang tidak terlalu diunggulkan oleh panitia penerimaan. 

Masa persiapan sisa dua minggu, saya tidak banyak persiapan kecuali menghabiskan buku soal-soal ujian masuk yang saya beli. Kondisi saya juga belum begitu pulih benar, masih demam, dan secara psikologis masih terpuruk. 

Tidak disangka, nama saya tercatat pada –saya lupa- sepertinya sembilan orang yang lolos tahap pertama. Pada tahap psikotes, saya juga tidak banyak persiapan, saya hanya datang ke toko buku, membeli tiga buku mini psikotes. Dan siapa yang sangka, sebagian besar –hampir separuhnya- soal-soal ujian pada saat saya psikotes sama persis seperti di dalam buku yang saya pelajari, bahkan untuk urutan nomor-nomornya. Jadi, saya masih hafal beberapa soal itu. Begitu seterusnya, hingga dinyatakan lulus dan masuk menjadi calon mahasiswa baru STIS. 

Saya tidak menceritakan semua kisahnya. Juga plan A, plan B hingga plan Z. Semua plan gagal total. Yang pasti, masuk STIS sama sekali tidak pernah masuk di dalam plan manapun. Tidak pernah terbersit dalam impian. Tidak terencana, tapi ternyata, jalan menuju ke sana begitu mudahnya. Dan cantiknya cara Allah menutup semua pintu yang telah direncanakan manusia, agar kemudian saya dapat memasuki pintu yang sudah Allah pilihkan. 

Jadi, kalau ditanya, apa motivasi kuliah di STIS?

“Saya tidak tahu. Saya hanya merasa, Allah sudah siapkan pintunya, Allah mudahkan jalannya, saya hanya tinggal masuk. Saya seperti sudah ditakdirkan saja masuk ke dalamnya”. 

Siapa yang mengarahkan paman saya ujug-ujug datang ke rumah kami waktu itu? Siapa yang mengarahkan saya datang ke toko buku dan memilih tiga buku yang paling mini, paling kecil diantara buku-buku psikotes tebal, karena uang saya yang tidak seberapa, lantas membuka hati saya untuk mencoba mempelajari soal psikotes sampai tuntas dan ternyata soal-soal itu yang ternyata keluar pada saat ujian. Siapa? 

Ada kekuatan besar di sana. Yang kemudian saya yakini bahwa, ada sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Bahwa kita ini ada yang memiliki. Sekeras apapun berusaha, jika pemilik kita mengatakan tidak, maka hasilnya tetap tidak, entah bagaimana caranya. Tetapi, jika pemilik kita sayang pada kita, maka Ia memiliki seribu satu cara untuk membawa kita pada suatu jalan kebaikan yang lain, meski kita mati-matian menolaknya, menangisinya, meratapinya. Ada kebaikan lain yang telah Allah siapkan untuk kita. Tidak mesti harus bersesuaian dengan keinginan, tidak harus. 

Begitu juga yang saya rasakan di bulan Maret lalu, saat saya diterpa perasaan lelah. Pada satu titik akumulasi di mana permasalahan menjadi sebuah ujian dalam kehidupan. Konsentrasi saya pecah, tidak lagi dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik. Rasanya saya ingin berlibur lama, tidak ingin memikirkan apa pun. Tapi ke mana? Uangnya siapa? Izinnya apa? Lalu tidak lama, kabar berita tawaran diklat datang. Tawaran berangkat berdua. Siapa yang menjadwalkan? Kenapa pas di bulan Maret? Kenapa bisa berdua? 

Sungguh, bulan Maret adalah ulang bulan pernikahan. Pada akhirnya, saya benar-benar bisa berlibur,  satu setengah bulan, gratis, dibiayai negara, saya bisa puas jalan-jalan, berdua, memperbaiki banyak hal, punya waktu yang lebih banyak untuk semakin mengeratkan hubungan. Rasanya itu hadiah luar biasa. Allah seperti menjawab doa saya. Dan sepulangnya dari sana, saya mendapatkan hidayah, Allah bukakan pintu hati saya untuk kembali menuntut ilmu. Ini hadiah mahal.  

Padahal awalnya, saya tidak punya keinginan. Meskipun sudah di paksa. Meski suami saya berkali-kali memberikan kesempatan kepada saya menuntut ilmu terlebih dahulu. Sampai menyatakan, “saya tidak pernah melarang kamu melakukan apapun sesuai yang kamu inginkan. Tapi kamu harus sekolah lagi, apa pun impianmu di masa yang akan datang”. Saya tetap bergeming, tidak berminat. 

Setelah dipikir-pikir kembali, siapakah yang bisa merencanakan semua itu? Siapa yang mengatur tahun lalu pengajuan beasiswa suami saya tertolak? Lalu tahun ini kami bisa berangkat diklat berdua? Siapa yang pada akhirnya dengan jalan diklat membuka hati saya? Siapa yang mengatur akhirnya kami mengajukan penawaran berdua? Tapi pada akhirnya tidak lulus juga? 

Ada kekuatan di sana. Yang bisa kita rasakan keberadaannya begitu dekat. Bagi saya, tahun ini adalah berkah. Keberangkatan kami di bulan Maret adalah berkah yang luar biasa untuk pernikahan kami. Tetapi, bagi yang lainnya, tidak jadi ikut diklat tahun ini bisa jadi adalah berkah, karena akhirnya mendapatkan ijin kuliah. :)

Apa yang saya dapatkan, di hari ini, bisa jadi tidak di dapatkan oleh yang lain. Masing-masing punya bagian, rejeki setiap orang berbeda-beda wujudnya. Ada yang diwujudkan dengan banyaknya anak, ada yang diwujudkan dengan pasangan yang menentramkan, ada yang diwujudkan dengan kesempatan untuk jalan-jalan, ada yang diwujudkan dengan kesempatan mengenyam pendidikan. Semuanya, inshaAllah, jika dilihat dengan menggunakan kaca mata yang lebih besar, akan terlihat sangat indah. Tidak perlu iri pada bagian wujud rejeki orang lain, sebab bisa jadi ia tidak mendapatkan wujud rejeki yang kita dapatkan hari ini. 

Hari ini, saya memandang peristiwa tidak lagi seperti pandangan saya dua belas tahun silam. Tidak ada yang namanya kegagalan. Yang sebenarnya terjadi, manusia hanya perlu berupaya. Yang sebenarnya terjadi, semuanya adalah kesuksesan, semuanya membawa keberkahan. Tetapi bedanya, ada yang sesuai keinginan, ada yang di tunda, ada juga yang tidak bersesuaian. Seperti saat seorang anak kecil yang sedang batuk pilek merengek minta dibelikan es. Ibunya yang tahu akibat jika anaknya minum es, pasti akan melarang, sekeras apa pun anaknya mengiba, marah-marah sampai guling-guling sekalipun. Begitu juga dengan kejadian setiap potongan dari kehidupan ini. Ada zat yang Maha Tahu akan apa yang pantas untuk kita di masa yang akan datang.

Jujur saja, sebelumnya, saya tidak pernah merasa gimana-gimana melihat teman-teman yang sekolah lagi, S-2, S-3 dalam maupun luar negeri. Saya merasa, itu hasil dari usaha dan kerja keras mereka yang tidak pernah saya tahu. Tidak sedikitpun ada perasaan risau, gerimis atau apapun itu karena saya belum memiliki keinginan dalam hal pendidikan. :). Kecuali hari kemarin. Iya, ada sedikit gerimis di hati saya, galau, bukan karena saya iri pada yang mendapatkan. Tetapi, saya merisaukan diri saya sendiri, ternyata, saat keinginan itu benar-benar datang, Allah belum mengizinkan terwujud sesuai keinginan, di akhirnya. Sempat terbersit juga pertanyaan, “kenapa tidak diberi peraturan dari awal? Kenapa tidak dijelaskan dari awal? Kenapa harus tahu kalau belum mendapatkan izinnya sekarang? Kenapa tiba-tiba?”, tapi begitulah, cara cantik Allah, kalau memang belum saatnya, pasti ada banyak jalan, mau tiba-tiba, mau ujug-ujug, ya semuanya bisa terjadi.

Dan, gerimis itu, lumrah saja, sesuai peri kemanusiaan. :)
Kini, saya sudah #tegar. :)


“Selamat. Barokalloh untuk teman-teman yang dinyatakan lulus sebagai calon penerima beasiswa APBN BPS 2016. Semoga lancar dan sukses hingga akhir. Ilmunya barokah dan bermanfaat untuk diri sendiri, instansi, bangsa dan negara”. 

Pasti setelah jalan berliku, terjal dan banyak drama dalam kehidupan, mendapatkan ini, tentu saja merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri untuk kalian. Turut senang dan berbahagia... :)

Untuk yang belum berkesempatan, dan yang lain yang pada ribut hashtag #soktegar #biartegar #berusahategar dan #tegar. :D. :D. 

Hikmah peristiwa kemarin, salah satunya yang terbesar adalah, blog ini terisi lagi, oh yeaaahh, saya jadi menulis lagi. Itu juga gara-gara salah seorang teman sesama #tegar, :p yang berkata pada saya,

“Nulis Rin... nulis... aku pengen dapat tulisan dari mu tentang ini, biar bisa terima kenyataan” :)

Jadi, baiklah. Terus berpengharapan baik, terus berikhtiar. :)


Every Cloud Has a Silver Lining. Artinya di balik semua kejadian pasti ada hikmahnya, tidak tembus APBN BPS tahun ini artinya ada kesempatan untuk belajar toefl lagi. Jangan buru-buru intinya. Biar aja kita slow tapi sasarannya lebih bagus, ibarat narik karet ketepel. Biar jauh dulu tapi kena sasarannya lebih nancep gitu. (Ema Tusianti, 2016).  

Doakan kami, agar segera menyusul kemudian. Dan bisa bersabar, menanti episode kehidupan yang jauh lebih indah yang telah Allah siapkan. :)



You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



6 komentar

  1. aturan beasiswa emang gitu rin. jamanku juga nggak jelas alasan diterima atau nggak nya. sempet mikir, apa karna IPK ku rendah dibanding yang lain? kalau alasannya senioritas, banyak junior dari daerah lain yang lolos. kalau alasannya kuota provinsi, ada provinsi yang lolos lebih dari satu. awalnya masih nggak terima karena merasa diberi kesempatan melakukan yang terbaik karena sama sekali nggak dapet kesempatan ikut tes. tapi akhirnya pasrah. bukan rejekinya.

    dan akhirnya ... dapet rejeki yang lain.

    buat yang belum dapet beasiswa BPS, jangan kecil hati. siapa tahu rejeki kalian beasiswa dari tempat lain, BAPPENAS, LPDP, atau beasiswa dari luar negeri. atau mungkin yang single mau dikasih rejeki jodoh dulu, yang udah nikah dikasih rejeki momongan dulu :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku rasa IPK juga jadi salah satu pertimbangan mil, di kantorku yang rangking 11 sekali apply langsung ketrima, yang rangking 50an gak diterima. Tapi yo mbuh ya sebenernya gimana juga gak ngerti

      Delete
    2. bisa jadi wi, tapi nggak pernah disebutkan kalau ada prioritas berdasarkan IPK. cuma dibilang IPK minimal sekian sekian. mungkin kalo dibilang dari awal, yang IPK-nya kecil kaya aku udah siap mental kalo gak lolos seleksi pusdiklat.

      Delete
    3. Iya Milo, terima kasih sudah berbagi. :). Iya ya Milo, pikiran kita langsung macem-macem kemana-mana. Kalau bersaing IPK jiper duluan emang, apalah kita-kita ini yang hanya remahan rempeyek,,, :p. Amiiiiiinnnn untuk doa terakhirnya itu....:)

      Delete
  2. Teman kantorku juga ada yang galau kemarin Rin, suaminya aja yang ketrima, jadi sedihnya dobel.
    Bener itu kata milo, banyak beasiswa lain selain bps, mana tahu rejeki Nurin di beasiswa yang lain hehehe. Semangat terus ya Rin

    ReplyDelete
    Replies
    1. doakan aku kawans, :). Iya, Wida, siapa tahu doa ini jadi penyebab terkabulnya doa yang lain ya. amiin.

      Delete