Statistisi

-186- Kamar Rokok Pimpinan

Wednesday, February 03, 2016

Credit
Bismillahirrohmanirrohim, 

Hari sangat terik siang itu. Udara panas Kalimantan yang menyengat membuat saya terburu-buru untuk segera masuk ke hotel merasakan sejuknya ruangan ac dan ingin segera berleha-leha di atas kasur yang empuk. Tetapi nampaknya urusan belum selesai, nama saya tidak ‘terdetect’ di nama peserta pertemuan, sehingga urusan jadi lebih panjang di ruang loby. 

Seorang lelaki berpakaian necis beserta pasangannya, masuk dengan terburu, sama seperti saya, mungkin juga mereka menginginkan kesejukan dan kenyamanan sesegera mungkin. Bedanya, mereka disambut, kamarpun telah disiapkan, panitia dan petugas hotel segera mempersilahkan mereka untuk masuk di kamar yang tidak jauh dari resepsionis. Sembari menunggu urusan kamar saya selesai, saya duduk di ruangan loby sambil melepas lelah, sang ibu tiba-tiba datang, dan duduk di sebelah saya. Sementara, suaminya terlihat sibuk mondar-mandir menemui panitia dan petugas hotel.

“Ada apa Bu?”

“Kamarnya bau rokok Mbak, bau banget deh, sepertinya kamarnya baru aja kosong, Bapak kan gak biasa dan anti banget dengan rokok”,

Di tengah keasyikan berbincang, sang bapak tadi segera meminta istrinya untuk segera bergegas.

“Ayo Bu, gak papa deh kita di kamar lantai atas aja, daripada kamarnya begitu. Kasih aja itu buat mereka, yang belum dapat kamar”, sambil mengarahkan pandangan ke saya, tanpa senyum. 

Setengah tidak enak hati, sang ibu yang sudah tertinggal jauh oleh langkah bapak, berseru pada saya,
“Aduh kasihan Mbaknya, mana bawa anak kecil lagi, kasihan anaknya, nanti ngurus ke petugas aja ya Mbak, minta ganti kamar”.

“Iya Bu”, deg, rasanya gimana gitu ya waktu itu, mikir karena bakal dapat kamar yang kurang nyaman, mana pesertanya banyak, saya tidak bisa milih-milih kamar sesuka hati, tapi alhamdulillah, tidak begitu lama, urusan kamar saya beres, karena ternyata teman se-Kabupaten sudah terlebih dahulu memesankan kamar untuk saya. Dan itu, persis, di sebelah kamar bau rokok tadi, yeay, alhamdulillah dapat lantai satu -kebetulan bukan hotel bintang lima, hotel melati tiga lantai dan tidak ada fasilitas liftnya- :). 

Setelah hari di hotel itu berakhir, saya menceritakan peristiwa ini kepada suami saya, (saya pakai bahasa aku-kamu saat kami memposisikan diri sebagai sahabat), :)

“Kamu nanti, kalau jadi pejabat, pimpinan, jangan kayak gitu ya”

“Kayak gitu gimana?”

“Lebih banyaklah memikirkan kepentingan bawahan, suatu saat nanti kamu bisa aja jadi pemimpin, mengayomi rakyat banyak misalnya. Jangan maunya enak saja, terus rakyatnya dibiarkan susah. Kan bisa saja, Bapak tadi gak ngasih kamar rokok itu ke saya, dia bisa saja dengan wewenangnya protes ke pihak hotel minta dibersihin bener-bener, atau bilang kalau itu kamar gak boleh dipake untuk peserta pertemuan. Masak iya, beliaunya saja gak mau masuk ke kamar itu, terus itu kamar dikasihkan ke aku. Nanti, kalau jadi pemimpin, jangan gitu”

Iya, saya memang terobsesi jadi isteri pejabat :p menjadi seseorang yang lebih baik dari hari sebelumnya. Saya mendapati sebuah pembelajaran yang baik, bahwa untuk menjadi seseorang yang 'baik' atau 'lebih baik', kita perlu merasakan sakit dulu. Perlu tahu bagaimana rasanya disakiti, dijahati, dibanting sekejam dan sekeras mungkin. Termasuk menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang baik, akan lahir saat ia telah merasakan pahitnya kezaliman. Sebab kelak, ia tidak akan berbuat hal serupa terhadap siapa saja yang dipimpinnya. Jadi, belakangan saya mulai merasa bahwa di balik kepahitan ada kemanisan yang kelak akan saya cicipi, jika saya mau belajar mengambil hikmahnya. 

Dulu, saya sering merasa tersakiti, bahasa kerennya ‘terzalimi’, :p oleh perilaku orang lain yang membuat saya tidak berkenan. 

Contohnya, -ini sekedar contoh saja-, saat pertama kali mendapatkan penempatan, waktu itu kami semua dikumpulkan, di beri pengarahan, dan saya ingat sekali, sebagian isi pengarahan waktu itu isinya adalah kesepakatan tentang penempatan untuk putera daerah Kaltim, tidak akan ditempatkan di Kaltim, semuanya akan di tempatkan di luar (sekarang Kaltara), sebagai ajang pembelajaran.

“Kalian kan asli Kaltim, jadi enak kan mau mudik juga gak jauh, kasihan nih temen-temen yang dari Jawa, mau ditaruh di mana aja juga jauh dari kampung halaman”.

Bahkan, sebelum hari H pemberangkatan dan menerima SK Penempatan, saya dipanggil khusus di ruangan. Mendapat banyak pembekalan dan arahan.

“Yah, gak papa lah Rin, kamu di tempat yang jauh dulu, hitung-hitung pembelajaran. Kesempatan jalan-jalan juga, masih muda kan, biar banyak pengalaman, kan nanti teman-teman asli Kaltim yang lain juga begitu, nanti ada saatnya kembali ke tempat asal”,

Saya tidak begitu mengerti waktu itu kenapa saya ditanyai terus, kapan berangkat, seolah-olah di minta cepat berangkat. Waktu itu, saya tidak berfikir apa-apa, polos saja.

Sampai tiba di tempat penempatan, barulah saya tahu bahwa ternyata, tidak semua putera daerah di tempatkan di tempat jauh. Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menerima itu. Saya diam, karena protespun percuma, SK sudah jadi, saya juga sudah di tempat penempatan cukup lama, selain karena saya juga masih bisa berfikir positif bahwa ada kepentingan di balik itu.  Saya tidak bisa mengingat semua, tapi saya tahu saya sering sedih, malam-malam menangis karena ini. Di tahun-tahun awal frekuensinya lebih sering, 

“Bukan karena saya ditempatkan di tempat yang jauh, bukan. Tapi saya dibohongi, saya dicurangi. Ini gak adil buat saya. Gak fair”  

Apalagi kalau suatu waktu saya harus bertemu dengan Bapak itu, ketika pengawasan ke Kabupaten dan saya diminta ikut menemani makan-makan.  

“Gimana Rin, kamu baik-baik aja kan di sini?”, itu antara menahan kecewa dan marah, bercampur jadi satu. Pulang-pulang dari bertemu, di rumah pasti saya nangis. Anehnya, beliau tidak pernah merasa salah. Ya iyalah. :). Butuh waktu lama sekali, bertahun-tahun belajar, belajar untuk memaafkan. Dan belajar untuk bisa berbincang lepas, tanpa ada rasa kebencian.

Saya menceritakan ini bukan untuk mengorek-ngorek kesalahan. Bukan. Saya tidak lagi menyimpan dendam, kecewa atau marah yang dulu-dulu. Perihal memaafkan, sudah selesai. Tentang melupakan, itu hal yang lain lagi. -ya maaph, saya mah gitu orangnya, susah melupakan, :)-

Tetapi, ini hanyalah satu cerita sebagai pembelajaran. Sekarang, saya menjadi banyak belajar dari perbuatan orang lain yang tidak menyenangkan hati itu, (sakit hati itu sudah gak jaman, terlalu mainstream, :p), sesungguhnya adalah pembelajaran yang sangat baik bagi kita, agar kita tidak menjadi pribadi yang seperti mereka. Saya jadi banyak berkaca.

“Oh kalau saya tidak suka digituin, saya tidak akan bersikap begitu kepada orang lain”,

“Oh, kalau saya tidak senang dicemberutin, dibentak, dikatain, maka saya tidak akan cemberut, membentak kepada yang lain”,

“Oh, kalau saya tidak suka diperlakukan semena-mena, maka saya tidak akan berlaku semena-mena”

“Oh, kalau saya tidak suka dinyinyirin, maka saya juga tidak akan menjadi pribadi yang nyinyir terus”

Ini mengingatkan percakapan saya dengan seorang kawan,

“Mbak gak mau urus pindah?”, tanya saya.

“Mau lah Mbak, siapa juga yang mau LDR-an terus. Tapi, suami saya bilang ke saya Mbak, hidup ini cari barokahnya. Kita hidup bukan untuk mengalir di tempat, tapi kita akan mengalir ke bawah, ke samudera yang lebih luas. Hidup masih panjang, kita akan menjadi ‘seseorang’ di masa depan. Saya pengen pindah dengan berkah, bisa aja sih Mbak, saya pake jalan pintas atau apa gitu biar cepet pindahnya. Tapi, mungkin dengan itu, ada orang yang tersakiti, yang sudah bertahun-tahun lamanya minta pindah mungkin. Saya gak mau Mbak, sayanya seneng-seneng di Kota, ternyata banyak yang sakit hati karena saya.  Kita udah sering ngerasain kayak gitu kan? Karena itu Mbak, saya mau genepin dulu sampe 6 tahun, sesuai perjanjian. Baru setelah itu, urus pindah”.

Iya ya, benar sekali. Hidup ini yang dicari keberkahannya. Jangan hanya mementingkan ego sendiri. Kalau sekiranya kita diperlakukan seperti itu, diperlakukan tidak adil, kita kecewa, sedih dan marah, setidaknya, jangan jadi penyebab pembuat ketiadakadilan. Seiyanya, jangan berlaku seperti itu juga terhadap orang lain, kelak ketika menjadi pemimpin. 

Seperti sebuah pembelajaran yang dilakukan Syeikh Syamsudin kepada Al-Fatih, saat beliau memukul Al-Fatih yang tidak bersalah dengan pukulan yang sangat keras. Ternyata Muhammad Al-Fatih tidak pernah melupakan peristiwa itu hingga ia sampai pada singgasana kesultanan. Saat itulah Al-Fatih bertanya kepada gurunya, 

"Mengapa engkau memukulku dengan keras saat itu? sedangkan aku tidak bersalah sehingga layak untuk dipukul?", 

Kemudian Syeikh Syamsudin menjawab, 
"Sebab aku tahu, engkau akan sampai pada hari ini, pada hari saat engkau duduk sebagai Sultan. Aku ingin mengajarimu bagaimana rasanya kezaliman dan bagaimana orang yang terzalimi tidur, agar ketika engkau menduduki posisi kepemimpinan, engkau tidak menzalimi seorang pun!". 


Dan, siapakah yang tidak mengenal Muhammad Al-Fatih sang panakluk Konstanstinopel itu? 
Seorang sultan dari Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniyah yang mendapat gelar Al-Fatih karena ialah penakluk Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad, penakluk wilayah-wilayah di Asia, penyatu kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah di Eropa.
----------------
Jadi ya, barangkali, jika kita ingin menjadi seorang pemimpin yang baik, kita memang harus terlebih dahulu merasakan pahitnya kezaliman. 

Sesederhana itu saja. 




You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



6 komentar

  1. Jadi ingat kisah saya yang Alhamdulillah bisa pindah setelah 7 tahun 11 bulan, dilangkahin oleh banyak junior yang bahkan setahun bekerjapun belum cukup masanya. Hehe..

    Semoga lancar segala rencana ya.. Bagaimanapun keberkahan yang kita inginkan akan banyak kendala dan butuh stok sabar yang banyak..

    Tetap Khusnudzon^^

    ReplyDelete
  2. Mbak ini luar biasa sabar ya ga sampai meledak mendapatkan ketidakadilan seperti itu. Dab semoga senantiasa mendapatkan berkah ya, emang hidup kalau udah berkah pasti mudah. Dan semoga kita jadi pemimpin yang arif ya, dalam memimpin diri sendiri ga sampe dzalim ke orang lain

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hah, sudah berlalu itu Mbak, :). Dijadikan pembelajaran saja, :)

      Delete
  3. Ini pengalaman pribadi ya Mba? Tadinya saya kira cerpen :D Alhamdulillah saya ga pernah ngerokok ^^

    Berkunjung juga ya ke blog saya http://bit.ly/ayomaubertanya dan jangan lupa untuk meninggalkan jejak/komen di sana ;)

    ReplyDelete