Review

-145- Takbir Rindu di Istanbul

Friday, February 28, 2014



Bismillahirrohmanirrohim,

Novel ini saya dapatkan langsung dari penulisnya (jadi dapat tanda tangannya dong?) <--- penting, :-). Saya kenal Mbak Pujia sebagai sesama BAW-ers, waktu beliau promo ada diskon ongkir untuk luar jawa, saya langsung ngacung dong, hehe. 

Tokoh utama di dalam novel ini bernama Zaida, anak sulung dari seorang janda dari tiga bersaudara, Fara dan Nadia. Ceritanya tidak jauh dari masalah percintaan, sesuai dengan judulnya. Zaida mencintai seorang lelaki yang bernama Ilham, kawan semasa kuliahnya dulu, mereka berkecimpung di organisasi yang sama, Rohis. Cinta Zaida tidak bertepuk sebelah tangan, tidak lama setelah pertemuan mereka dalam sebuah talk show, Ilham datang ke rumah Zaida, untuk melamarnya. 

Zaida begitu bahagia saat itu, meski sempat ragu karena di waktu bersamaan, Zaida sedang menunggu keputusan penerimaan beasiswa S2 nya di Belanda, pada akhirnya Zaida berkeputusan akan menerima lamaran Ilham. Sesaat sebelum mengutarakan keputusan itu, Zaida berencana menemui Nayla, teman magang di kantornya, untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya dari Nayla. Tanpa disengaja, Zaida mencuri dengar percakapan Nayla dan ibunya, bahwa ternyata ibunda Ilham merasa kurang cocok dengan pilihan anaknya. Sesuai dengan trah keluarga terpandang pada umumnya, pemilihan seorang isteri akan dinilai bibit, bebet dan bobotnya. Ibunda Ilham berniat menjodohkan Ilham dengan Hamidah, puteri Ustad Mansyur, seorang ustad terkemuka. Hamidah sendiri digambarkan sebagai seorang gadis muda yang cantik, dan seorang hafidzoh. Ibunda Ilham begitu mendambakan seorang menantu hafidzoh agar kelak bisa mengajari cucu-cucunya Al-Quran. 

Zaida sangat terpukul mendengar kenyataan itu, jika ia menerima lamaran Ilham, jelas ia bukan menantu yang diharapkan. Tetapi, jika ia menolak, sama halnya dengan membohongi diri sendiri, sebab Zaida sesungguhnya sangat mengharapkan Ilham menjadi pendampingnya. Tetapi, Zaida telah bertekad, ia tidak ingin dibandingkan dengan siapapun, dan ia juga tidak ingin menikah jika tidak bisa diterima oleh keluarga calon suaminya. Hamidah, jelas bukan tandingan yang sepadan buatnya, Zaida merasa lebih baik mengundurkan diri. Laki-laki muslim mana yang sanggup menolak jika hendak dijodohkan dengan Hamidah, gadis dengan kecantikan luar biasa, keturunan ustad, dan seorang hafidzoh. Akhirnya, melalui sepucuk surat, Zaida mengutarakan penolakannya kepada Ilham. 


Setelah impiannya menikah dengan pria idaman kandas, sembari menunggu pemberitahuan keberangkatan ke Belanda, Zaida masuk sekolah Al-Quran. Di pondok pesantren Al-Ukhuwah, Zaida mulai menghafalkan Al-Quran. Di pekan-pekan perdananya, Zaida sudah mampu menyelesaikan 1 juz Al-Quran. 

Hingga tiba masa ujian yang menentukan keberlanjutannya di pondok, seorang tamu dikabarkan akan datang mengunjungi para santriwati, seorang hafidzoh yang berniat berbagi ilmu. Tak disangka, tamu itu tak lain adalah Hamidah. Zaida limbung, lukanya yang belum sempat mengering terkoyak kembali, apalagi menjelang satu hari sebelum hari ujian, Ilham dan keluarganya muncul di Ponpes. Orang tua Ilham rupanya meminta Ustad Rofiq selaku pimpinan ponpes untuk menjadi saksi pernikahan Ilham dan Hamidah. Sontak, konsentrasinya buyar, hafalannya berantakan, Zaida tidak lulus ujian, juga tidak lulus di ujian ulangan. Dan sesuai peraturan Ponpes, Zaida dikeluarkan.

Kisah selanjutnya, beralih ke Belanda. Zaida melanjutkan kuliah ke Belanda dengan hati yang terluka. Sebenarnya, ia tak hendak pergi, ia ingin di rumah saja, menghafalkan Al-Quran. Tetapi ibunda Zaidalah yang memberikan motivasi agar ia tetap pergi. Beruntung, di Belanda, ia satu apartemen dengan Puteri yang notabenenya seorang hafidzoh. Zaida seolah menemukan alasan untuk tetap bertahan di negeri Belanda. Kebersamaannya dengan Puteri terbukti menambah hafalan Al-Quran Zaida menjadi 15 juz. Dan siapa yang sangka, kemudian di negeri inilah, Zaida menemukan tambatan hatinya. 

Adalah Salman, nama pemuda itu, seorang calon dokter dari Yordania. Mereka bertemu saat perhelatan akbar dari Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI) di Den Haag. Masalah kemudian muncul, sebab ternyata sahabatnya, Puteri juga secara terang-terangan telah mengatakan kepada Zaida, perihal perasaan cintanya kepada Salman. Mereka sempat bertengkar, meski pada akhirnya Zaida benar-benar menikah dengan Salman. 

Setelah menikah, Zaida dan Salman tinggal di kota Delft. Sembari menunggu Zaida menyelesaikan kuliahnya, Salman bekerja di Departemen Health, perusahaan riset dan teknologi di Delft. Naasnya, anak dari bos perusahaan Salman diam-diam tertarik dan mencintainya. Lewat sebuah pertemuan yang tidak disengaja, Marijne sang gadis Belanda itu mengenal Zaida, dan mulai belajar islam kepada Zaida. Sebuah hubungan yang rumit, sampai pada kondisi yang semakin menyulitkan bagi Salman untuk tetap berada di perusahaan. Setelah berterus terang kepada Zaida, Salman pun menetapkan hatinya untuk keluar dari perusahaan dan Zaida berterus terang kepada Marijne mengenai identitas dirinya. 

Hari-hari setelahnya, kehidupan Salman dan Zaida di landa permasalahan ekonomi dan beberapa konflik. Marijne yang memalsukan hasil tes kesehatan Salman, membuat Salman berprasangka terhadap Zaida, dan sedikit meragukan anak mereka. Juga kecemburuan Salman saat melihat Zaida sedang berduaan dengan seorang lelaki di lobi hotel. Komunikasi mereka sempat terputus saat Salman harus bergegas menuju Istanbul, hingga kemudian Zaida menyusul Ilham ke sana. Setibanya di Istanbul, Zaida tidak menemukan suaminya, melainkan secara tidak sengaja bertemu kembali dengan Hamidah dan Ilham. Masa lalu yang telah terkubur, muncul kembali. Ilham yang belum juga dikaruniai momongan, dan Zaida yang tengah mencari suaminya, tinggal bersama dalam satu rumah. Prahara terjadi, terlebih saat Hamidah akhirnya menemukan surat balasan Zaida.

Isi cerita novel ini secara keseluruhan cukup menarik, membuat saya penasaran untuk membacanya dalam sekali duduk. Mbak Pujia mampu menguraikan lika-liku kisah cinta ini dengan apik. Sayangnya, saya juga tidak dapat menampik beberapa kekecewaan saya terhadap novel ini. Isi ceritanya sangat mudah ditebak, hanya dengan membaca beberapa halaman di bab pertama, lalu  beberapa halaman di bab terakhir. Saya biasanya melakukan itu yakni membaca bagian depan dan belakang secara singkat untuk memupus rasa penasaran. Tapi inti cerita di dalam novel ini terlalu mudah ditebak. Secara diksi, novel ini terasa kering, terlalu datar dan biasa. Cara bercerita juga lebih banyak story telling. Jadi, saya tidak dapat merasakan ekspresi, emosi atau bahkan karakter dari masing-masing tokoh. Seperti saat Ibunda Ilham yang kurang senang mengetahui Ilham telah melamar Zaida, saya benar-benar tidak dapat merasakan itu. Kecuali paparan panjang tentang bagaimana emosi kedua orangtua Ilham.
Ilham merasa tersudut. Ia tidak menangkap aroma dukungan dari orang tuanya, terutama ibunya. Tidak biasanya mereka seperti itu. Kalaupun terkejut, biasanya tidak terlalu emosional seperti itu. Hal 18.
Karakter masing-masing tokoh juga sedikit membingungkan, sehingga sampai selesai membaca, saya belum benar-benar bisa mengenal karakter masing-masing tokoh dengan baik. Nadia misalnya, di awal diceritakan sebagai gadis yang cukup rasional, tetapi di akhir cerita menjadi gadis yang sangat tidak rasional dan gegabah. Perubahan karakter mungkin bisa saja terjadi, tetapi tentu dengan penjelasan yang cukup masuk akal. Begitu pun dengan penggambaran tokoh. Novel ini sedikit banyak mengisahkan tentang hafid-hafidzoh, tetapi pada penggambarannya agak kurang dapat menggambarkan bagaimana keseharian mereka, dan sifat-sifat mereka. Beberapa sikap terkesan bertolak belakang dengan apa yang seharusnya atau setidaknya yang saya ketahui dari dunia para penghafal Al-Quran. Mereka mungkin tetaplah manusiawi, emosional, marah, cemburu atau apapun, tetapi para penghafal Al-Quran memiliki cara pelampiasan yang berbeda, dan cara penyelesaian masalah yang juga berbeda.

Tentang setting tempat di tiga negara yang berbeda, Indonesia, Belanda dan Turki, memberikan poin tersendiri untuk novel ini. Sayangnya, ketiga tempat tidak digali lebih mendalam, sehingga terkesan hanya sebagai pemanis saja. Padahal, kekuatan latar sangat berpengaruh terhadap keseluruhan isi cerita. Apalagi, penulis memang pernah menetap cukup lama di Belanda. Saya berharap bisa mendapatkan sesuatu seperti gambaran keindahan ketiga negeri ini dengan sangat baik, khususnya untuk Belanda dan Istanbul seperti saat saya membaca novel-novel berlatar negeri luar lainnya. Tetapi, di novel ini tidak demikian. 'Latar emas' yang sungguh menjanjikan ini dibiarkan begitu saja, dan tidak digarap dengan baik.

Untuk alur cerita, sebenarnya beberapa konflik sangat bagus di ekplore untuk menyempurnakan alur. Seperti konflik Salman dengan Marijne, konflik Hamidah dan Ilham, konflik Salman dengan Zaida, konflik Ilham dengan Zaida. Tetapi, konflik-konflik ini terlalu cepat dieksekusi atau bahkan di potong sebelum waktunya. Konflik saat Ilham dinyatakan mandul, lalu kemudian ia mencurigai isterinya yang ternyata mampu melahirkan seorang anak, sebenarnya sangat bagus jika dikembangkan, terlebih cerita ini juga menyangkut Marijne yang di awal kisah cukup banyak mengambil porsi cerita. 

Lalu bagaimanakah akhir dari kisah cinta Ilham dan Zaida? 
Penasaran dengan akhir kisahnya? baca saja sendiri bukunya, :)
Selain dari kekurangan yang telah saya paparkan sebelumnya, novel islami ini setidaknya memberikan angin segar bagi para penikmat novel. Bahwa rasa cinta itu manusiawi, bahwa cinta itu juga merasuki setiap makhluk Allah, tidak terkecuali mereka yang paham agama. Cinta juga bukanlah nafsu yang mesti diumbar, ataupun nafsu yang tak dapat dikendalikan. Mereka yang memiliki imanlah, yang dapat mengendalikan nafsu. Novel ini juga memberikan pesan moral yang sangat baik tentang bagaimana membina keharmonisan hubungan dalam rumah tangga, menjaga ritmenya, dan juga mengelola konflik di dalamnya. Suami-isteri bisa saja saling cemburu, saling marah ataupun bertengkar, tetapi bagaimanapun kepada Allahlah tempat kembali yang terbaik. Pesan terpenting yang mungkin juga hendak disampaikan di dalam novel ini adalah bahwa hidup dengan orang yang kita cintai memang penting, tetapi lebih penting mencintai seseorang yang telah ditakdirkan Allah, untuk kemudian bersama-sama menggapai ridlo-Nya.
---

Identitas Buku
Judul               : Takbir Rindu di Istanbul
Penulis            : Pujia Achmad
Penerbit          : Puspa Populer, Grup Puspa Swara
Terbit              : Cetakan 1, 2013
ISBN                : 9786028290937
Cover              : Soft Cover
Tebal               : 324 hal.
Harga              : Rp. 55.000,-

Sinopsis          :
 Zaida bersiap mengubur harapannya belajar di Belanda ketika  pemuda saleh bernama Ilham datang meminangnya. Namun rencana pernikahannya  kandas hanya karena ia bukan hafizah, muslimah penghafal Al Qur’an. Kegagalan itulah yang kemudian mengantarkannya ke Sekolah Al Qur’an. Sayangnya, ia tidak lulus. Ia pun terpaksa  pergi ke Belanda dengan membawa luka hati.
Di Belanda, Zaida menemukan cinta. Namun kebahagiaan itu kembali goyah oleh kehadiran bos cantik yang jatuh hati pada suaminya, Salman. Bahkan membuat Salman menghilang. Di tengah situasi itu, takdir kembali mempertemukan  Zaida dengan  Ilham di Istanbul, yang  gundah karena istrinya, Hamidah, belum juga hamil. Akankah dawai asmara masa lalu yang tak sempat berdenting menemukan waktunya? Dapatkah impian Ilham bisa bersatu dengan Zaida menjadi kenyataan ?
Endorsenments :
'Recommended Book! Novel ini memiliki pesan moral yang meng-edukasi tanpa menggurui. Kisah cintanya sangat menyentuh. Bagi Anda yang mendambakan kisah novel romantis Islami, novel ini jawabannya' (Oki Setiana Dewi, Aktris Ketika Cinta Bertasbih)
'A must read book! Cinta tidak mengenal batas teritorial. Begitulah kiranya yang digambarkan dalam novel ini. Bila cinta didasari atas ridha-Nya, cinta akan menemukan jalannya yang indah' (Meyda Sefira, Aktris Ketika Cinta Bertasbih)
'Nggak mau melewatkan satu kalimatpun. Rasanya ikut terbawa dalam setiap adegan. Kisah cinta yang sangat nyata. Jodoh itu rahasia Tuhan. Meski tak berjodoh, tetapi jika Tuhan berkehendak, ia tetap bisa berada di dekat kita. Kalau dijadikan film, saya siap jadi pemainnya' (Nina Septiani, The Winner of World Muslimah Beauty 2012)





You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar